Apakah syafaat benar-benar ada? Siapakah yang memberikan syafaat dan sejauh mana?
Ya. Syafaat benar. Banyak ayat dan hadis yang menunjukkan bahwa syafaat benar-benar ada. Kita akan membahas ayat-ayat dan hadis-hadis itu pada waktunya. Pertama-tema kita akan membahas bagian kedua dari pertanyaan di atas: Siapakah yang memberikan syafaat, dan seberapa jauh? Pasalnya, menjawab bagian ini memberikan jawaban pula atas bagian pertama pertanyaan.
Para nabi, wali, dan syuhada bisa memberikan syafaat sesuai dengan tingkatan yang Allah berikan kepada mereka. Hanya saja, puncak syafaat ada pada Rasulullah saw. yang memiliki kecerdasaan utama. Dia telah memberi setiap nabi doa yang terkabul dan syafaat. Mereka telah mempergunakannya di dunia, sementara Rasul saw. menyimpannya untuk akhirat. Karena itu, di akhirat nanti beliaulah pemilik syafaat paling agung. Umat beliau akan berkumpul di bawah panji Muhammad agar pemilik kedudukan terpuji itu dapat memberikan syafaat yang akan didapat setiap umat Muhammad saw. sesuai dengan bagian kelayakannya.
Dunia fana dan tidak abadi. Semua problem dan kesulitan di dunia—dari satu sisi—akan menjadi penebus dosa. Akan tetapi, akan datang kepada manusia suatu hari yang menakutkan ketika tidak ada lagi kesempatan untuk melakukan sesuatu yang bisa menyelamatkan. Itulah hari yang kita sebut dengan akhirat. Di sini, Rasulullah saw. sang pemilik syafaat agung, akan muncul untuk memberikan syafaat kepada umat manusia. Tentu saja, syafaat memiliki batasan tertentu. Syafaat pun hanya bisa terwujud sesuai dengan kehendak Allah Swt. dan izin-Nya: “Tidak ada yang dapat memberikan syafaat di sisi Allah kecuali dengan izin-Nya.”[1]
Ini sangat wajar, sebab para pemberi syafaat bisa saja bertindak berdasarkan perasaannya dan melampaui batas sehingga mereka meminta rahmat Ilahi secara tidak logis. Hal ini tidak sesuai dengan adab kepada Allah Swt. Karena itu, Allah Swt. telah menetapkan neraca dan standar syafaat. Dengan itu menjadi jelaslah siapa yang bisa memberikan syafaat, kepada siapa syafaat bisa diberikan, serta seberapa besar syafaat dapat diberikan. Sebagaimana pada setiap perbuatan Allah Swt. terdapat keadilan dan keseimbangan, demikian pula terdapat keadilan dan keseimbangan dalam syafaat yang akan Allah berikan di akhirat. Seandainya batasan-batasan tidak ditetapkan, tentu sebagian mereka akan mempergunakan syafaat secara tidak benar. Seandainya syafaat tidak diberi batasan, hal ini pada sebagian orang—ketika melihat manusia dibakar dalam neraka—akan menimbulkan rasa kasihan kepada mereka sehingga meminta seluruh orang kafir, munafik, dan pendosa untuk dimasukkan ke surga. Akan tetapi, permintaan semacam ini sudah melampaui hak miliaran orang mukmin.
Seandainyan syafaat diserahkan kepada rasa kasihan manusia, tentu akan terbuka peluang untuk dimanfaatkan oleh para pendosa dan orang-orang kafir. Ini berarti rahmat Tuhan juga mencakup orang-orang kafir yang berdosa karena telah mengingkari setiap aturan, setiap hukum, dan setiap keindahan dari Allah Swt. di alam ini sekaligus menghinakan dan memalsukannya. Padahal, orang kafir memikul dosa besar yang tidak bisa ditampung alam dalam setiap detik kehidupannya. Karena itu, memberikan rahmat kepada orang-orang berjiwa buruk dan kelam semacam itu berarti tidak menghormati rahmat itu sendiri.
Rasul saw. bersabda bahwa beliau menyimpan syafaatnya untuk mereka yang melakukan dosa besar di antara umatnya. Dalam hal ini—sebagaimana dalam segala hal—beliau adalah sosok yang adil. Seluruh umat mendapatkan pelipur lara dalam hadis di atas seraya berharap mendapatkan syafaat beliau. Suatu hari ketika al-Hallaj menerangkan hadis ini, ada sesuatu yang menarik. Ia telah melampaui batas dengan berkata kurang lebih sebagai berikut, “Wahai sultan para nabi, mengapa engkau menetapkan batasan tersebut? Mengapa engkau tidak meminta syafaat untuk seluruh manusia? Seandainya engkau meminta hal itu kepada Tuhan, pasti Dia mengabulkan.”
Andaikan ketika itu ia sadar, tentu ia mengetahui bahwa Rasul saw. tidak mengutarakan sabda tersebut berdasarkan hawa nafsunya: “Dan tidaklah dia (Muhammad) berbicara berdasarkan hawa nafsu.”[2]
Ya. Sebagaimana dikatakan al-Hallaj, seandainya Rasul saw. meminta kepada Allah Swt. syafaat untuk seluruh manusia, pasti dikabulkan. Tetapi, Rasul saw. sangat sopan kepada Tuhannya. Beliau hanya mengatakan apa yang dikatakan Tuhan. Beliau tidak akan melampaui batas. Di antara standar yang ditetapkan Tuhan mengenai syafaat adalah kelayakan seseorang untuk menerima syafaat. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Swt.: “Maka syafaat para pemberi syafaat tidak bermanfaat untuk mereka (orang-orang kafir).”[3]
Dari sini kita mengetahui bahwa syafaat bukan tanpa batas dan bukan untuk semua orang. Selain itu, tidak ada syarat diterimanya syafaat seseorang untuk seseorang lainnya. Yang menjadi dasar dalam hal ini adalah kehendak Ilahi pada setiap hal dan urusan. Orang kafir bersama kekufurannya berada di luar wilayah syafaat. Tidak seorang pun dapat memberikan syafaat kepadanya. Kalaupun diberikan kepadanya, syafaat itu tidak akan diterima.
Allah Swt. mengajarkan doa berikut ini yang mengandung petunjuk tentang kewajiban menjaga ketinggian tekad: “Dan orang-orang yang berdoa, „Wahai Tuhan kami, berilah kami pasangan dan keturunan yang menjadi penyejuk mata serta jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang bertakwa.’”[4] Artinya: Berilah kami, wahai Tuhan, istri dan anak-anak saleh yang menjadi penyejuk hati kami. Berilah kami teman hidup yang menguatkan kami dan membuat kami rindu untuk berjalan kepada-Mu. Jadikanlah anak-anak dan keturunan kami sebagai sarana turunnya rahmat-Mu kepada kami setelah kami tiada lewat amal dan doa saleh mereka. Wahai Tuhan, janganlah Engkau hanya menyampaikan kami ke tingkat orang bertakwa, tetapi lebih dari itu ke tingkat pemimpin orang bertakwa.
Pemahaman semacam ini merupakan ekspresi tekad yang tinggi dan permintaan akan kelayakan mendapatkan syafaat dari Allah Swt. dalam batas-batas yang Dia terangkan kepada kita. Seandainya Allah Swt. tidak mengungkapkan pemberian syafaat, tentu kita tidak tahu bagaimana memintanya. Ketika Allah Swt. memberitahu kita bagaimana meminta, berarti Dia akan memberikan permintaan kita itu. Kita mengharapkan dan menantikannya lewat rahmat-Nya yang luas. Karena itu, kita harus memahaminya secara baik. Ya, mencukupkan diri dengan meminta salah satu bagian di surga adalah tanda lemahnya tekad. Padahal, Allah ingin tekad kita tinggi dengan meminta kepada-Nya agar menjadikan kita sebagai pemimpin orang bertakwa dan memberi kita kelayakan memberikan syafaat untuk mereka.
Rasul saw. melukiskan salah satu gambaran akhirat:
Nabi Nuh dipanggil dan ditanya, “Apakah engkau telah menyampaikan?” “Ya,” jawabnya. Kaumnya lalu dipanggil, “Apakah dia telah menyampaikan kepada kalian?” Mereka menjawab, “Tidak ada seorang pemberi peringatan yang datang kepada kami. Tidak seorang pun datang kepada kami.” Dia pun kembali ditanya, “Siapa saksimu?” Nabi Nuh menjawab, “Muhammad dan umatnya.” Kalian kemudian didatangkan dan kalian memberikan kesaksian bahwa ia telah menyampaikan. Demikianlah firman Allah Swt.: “Begitulah Kami jadikan kalian sebagai umat pertengahan (adil) agar kalian menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas kalian.”[5]
Ya. “Begitulah Kami jadikan kalian sebagai umat pertengahan (adil) agar kalian menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas kalian.”[6]
Syafaat benar dan nyata. Semua orang besar akan memberikan syafaat, namun dalam batas-batas yang Allah tetapkan. Jika kita melihat tugas kesaksian sebagai salah satu bentuk syafaat, seluruh umat Muhammad bisa memberikan syafaat. Orang yang mengingkari syafaat tidak akan mendapatkan keuntungan baik di dunia maupun di akhirat, karena Allah Swt. akan memperlakukan hamba-Nya sesuai dengan pemahaman, pengetahuan, dan harapannya kepada-Nya.
[1] Q.S. al-Baqarah: 255.
[2] Q.S. al-Najm: 3.
[3] Q.S. al-Muddatstsir: 48.
[4] Q.S. al-Furqân: 74.
[5] H.R. Tirmizi.
[6] Q.S. al-Baqarah: 143.
- Dibuat oleh