Apakah tobat nasuha itu?
Dalam ayat tentang tobat nasuha ada seruan kepada kaum mukmin: “Wahai orang-orang beriman, bertobatlah kalian kepada Allah dengan tobat nasuha.”[1]
Terdapat tiga kata yang harus diperhatikan pada ayat di atas. Yaitu: iman, tobat, dan nasuha.
Kata pertama adalah iman. Iman adalah menerima Islam secara keseluruhan disertai pengakuan dengan lisan dan pembenaran dengan hati. Apabila iman tidak terwujud dengan segala sesuatunya yang harus diimani, seseorang tidak disebut mukmin. Yang penting bagi kita adalah pengertian iman menurut syariat agama. Meskipun demikian, jika kita melihat pengertian iman secara bahasa, kita mengetahui bahwa setiap orang yang beriman kepada Allah Swt. masuk dalam keamanan-Nya. Ya. Manusia tidak bisa lepas dari ujian dunia dan berbagai permasalahannya yang sebesar gunung serta tidak bisa lepas dari cengkeraman siksa akhirat berikut bencananya yang sama sekali tidak bisa diukur dengan musibah dunia, kecuali dengan iman.
Kata kedua adalah tobat. Tobat bermakna upaya manusia untuk memperbarui diri dan melakukan perbaikan dari dalam, yaitu mengembalikan keseimbangan hati yang telah timpang sebagai akibat dari pengingkaran dan tindakan menyimpang. Dengan kata lain, tobat adalah larinya seseorang dari Tuhan menuju Tuhan. Atau, dengan ungkapan yang lebih tepat: larinya hamba dari murka Tuhan menuju karunia-Nya, dari hisab-Nya menuju rahmat dan pertolongan- Nya. Tobat juga bisa didefiniskan sebagai evaluasi yang dilakukan manusia terhadap dirinya sebagai akibat dari rasa bersalah. Atau, upaya untuk mengintrospeksi diri dalam melawan kontinuitas hidup yang telah kehilangan rasa tanggung jawab serta menghalau dosa besar dan tidak memberinya izin untuk melintas.
Apabila dosa adalah tergelincirnya hamba ke jurang yang dalam tanpa ada penghalang, tobat adalah menyelamatkan diri dari ketergelinciran dengan melompat ke luar. Dengan kata lain, dosa adalah tertimpanya jiwa oleh luka sementara akibat tidak mawas diri dan hati-hati, sedangkan tobat adalah rasa sakit yang menyelimuti hati dan usaha untuk mengevaluasi dan mengawasi diri serta memberikan kekuatan dan tenaga baru kepada diri. Karena dosa merupakan akibat dari penguasaan setan dan hawa nafsu terhadap manusia, tobat merupakan pertahanan diri melawan setan. Ia adalah upaya mengembalikan keseimbangan jiwa.
Apabila dosa berupaya menggerogoti dan merusak jiwa, tobat melawan upaya tersebut dengan aksi pembangunan [dan perbaikan] lewat kalimat yang baik (kalimat tauhid). Karena itu, betapa agung dan mulianya tobat yang bisa menggerakkan hati sebelum datang hari ketika semua hati dan mata terbelalak. Semoga kita diberi taufik untuk dapat membendung semua celah yang dibuka dosa dengan rintihan dan tangisan tobat.
Manusia lahir dalam kondisi bersih dari dosa dan dari segala kebengkokan. Orang-orang yang menyimpang dari fitrah mereka dan dari jalan lurus telah melemparkan diri mereka ke tanah gersang. Karena itu, akhir perjalanan mereka berujung pada kehancuran, sebab dosa adalah faktor penghancur manusia. Sebuah ayat tentang kembalinya manusia kepada Tuhan setelah melakukan dosa: “Kembalilah kepada Tuhan kalian dan tunduklah kepada-Nya.”[2]
Kembali artinya pulang. Jadi, tobat adalah kembali dan pulang kepada jati diri asli yang bersih setelah dikotori dosa. Nabi saw. bersabda:
Apabila seorang hamba melakukan sebuah dosa, ada goresan noda hitam di hatinya. Apabila ia kembali, meminta ampun, dan bertobat, hatinya dijadikan mengkilat lagi. Namun, jika ia berbuat dosa lagi, noda hitam pun bertambah hingga hatinya ditutupi karat yang disebutkan Allah Swt.: “Sekali-kali tidak demikian, tetapi apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.”[3]
Artinya, pikiran untuk melakukan dosa mulai meluas dalam otaknya. Seperti orang yang menuruni tangga, begitu turun satu tingkat, ia mulai bersiap untuk turun ke tingkat berikutnya. Begitu turun dari tingkat berikutnya itu, ia bersiap untuk turun ke tingkat berikutnya lagi. Demikian seterusnya. Ketika seseorang terbiasa melakukan dosa, ia akan kehilangan rasa malu sehingga mudah berbuat dosa. Ia akan terus turun dan jatuh ke tingkat terendah. Karena itu, seorang ahli hikmah berkata, “Setiap dosa memiliki jalan yang mengantar kepada kekufuran.” Tobat adalah menutup jalan tersebut agar tidak jatuh dan mengubah haluan untuk naik ke jalan menuju Allah Swt. seraya mengerahkan tenaga untuk itu.
Tobat adalah kembalinya manusia kepada Pemiliknya setelah tersesat dan menyimpang dari jalan yang benar. Rasul saw. bersabda:
Allah lebih bergembira dengan tobat hamba-Nya yang bertobat kepada-Nya daripada salah seorang kalian yang menunggang kendaraannya di padang pasir lalu ia kehilangan kendaraannya padahal di kendaraan itulah terdapat makanan dan minumannya. Ia pun putus asa [setelah mencari ke mana-mana], mendekati sebuah pohon, dan berteduh di bawahnya [seraya siap menanti ajal]. Dalam kondisi demikian, tiba-tiba kendaraannya ada di depan mata. Ia pun segera mengambil tali kekang kendaraannya itu seraya berteriak karena gembira, “Ya Allah, Engkau memang hambaku dan aku adalah Tuhanmu.” Ia salah ucap karena begitu gembira.[4]
Ada dua sisi terkait dengan tobat. Sisi pertama mengarah kepada kita dan sisi kedua mengarah kepada Allah Swt. Pengertian ini ditunjukkan oleh Rasul saw. ketika beliau bersabda, “Allah menerima tobat orang yang bertobat.”[5] Tobat kita mengarah kepada Allah Swt., sedangkan [anugerah dan penerimaan] tobat Allah dengan kasih sayang-Nya mengarah kepada kita dengan terbukanya kembali pintu-Nya untuk kita. Ketika kita menyimpang dari jalan-Nya, tertutuplah semua jalan dan celah antara kita dan Allah Swt. Kita kemudian menyesal dan bersedih mengapa kita melakukan hal itu? Mengapa kita menyimpang ke jalan yang bertentangan dengan fitrah kita? Ketika kita diselimuti rasa sesal, kita merasa celah itu terbuka kembali untuk kita. Karena itu, langkah pertama adalah tobat kita yang dimulai dengan niat dan penyesalan. Yang kedua adalah tobat Allah untuk kita dengan membuka pintu dan jalan-Nya seraya berkata, “Wahai hamba-hamba-Ku, Aku tidak melupakan dan meninggalkan kalian. Selama kalian mau mengingat-Ku, Aku menerima tobat kalian meskipun berkali-kali kalian melanggar janji.” Ya. Dia adalah Sang Maha Pengasih. Karena itu, betapapun kita berbuat keburukan, kita tidak boleh lupa untuk lari kembali kepada-Nya seraya berdoa, “Wahai Sang Maha Pengasih, kasihilah kami. Wahai Sang Maha Pengampun, ampunilah dosa dan kesalahan kami.”
Kata yang ketiga adalah nasuha. Ia merupakan nomina dengan pola fa„ûl yang mengandung makna “sangat”. Artinya, sangat berupaya untuk membersihkan diri dan melakukan kebaikan. Ia berasal dari akar kata nashîhah (nasihat). Nasihat adalah keinginan seseorang untuk memberikan kebaikan kepada orang lain, berpikir baik, dan berpandangan baik. Ketika kita berkata, “Agama adalah nasihat, maksudnya adalah mengharap kebaikan bagi orang lain, mencintai kebaikan untuk mereka, serta menuntun mereka untuk tidak menyimpang. Karena itu, dakwah menuju Allah Swt. dan Rasul-Nya adalah salah satu konsekuensinya. Oleh sebab itu, kita menyebut para kader al-Nur yang menyeru manusia kepada Allah Swt. sebagai “Tentara Kudus” sesuai dengan istilah Isa a.s. Para tentara itu, kalaupun langit di atas mereka pecah dan bumi di bawah mereka terbelah, tidak akan meninggalkan pengabdian kepada Islam. Mereka terus menjadi pahlawan dakwah meskipun memegang agama tak ubahnya memegang bara api.
Ya. Mendakwahi manusia menuju Allah, menuju Rasul, menuju Al-Quran dan menuju Islam, memberikan rasa tenteram kepada hati yang kosong, menghembuskan pemikiran dan perasaan tentang akhirat ke dalam hati yang lupa, serta membangkitkan kerinduan untuk melihat keindahan Allah Swt. di akhirat yang setiap detiknya sama dengan ribuan tahun kehidupan surga, semua itu bisa diringkas dengan kata: “cinta kebaikan” dan termasuk dalam istilah “nasihat” yang terdapat dalam sabda Rasul saw. bahwa agama adalah nasihat. Sebagaimana telah kami sebutkan, kata “nasuha” bermakna kecintaan yang sangat kuat kepada kebaikan.
Manusia pertama-tama harus mencintai kebaikan untuk dirinya sendiri serta harus menjaga dirinya dari seluruh keburukan dan dosa. Menjaga diri adalah salah satu dari lima kewajiban yang harus dipelihara. Karena itu, manusia harus menjaga dirinya dari minuman keras, zina, kekufuran, dan kesesatan. Setiap kewajiban itu memiliki hubungan dengan salah satu dari “Lima Dasar” (Rukun Islam?). Jadi, manusia harus menjaga diri agar tidak menjadi kayu bakar neraka. Jika ia hidup seperti kayu bakar, ia akan dikumpulkan sebagai kayu bakar. Kita sudah tahu bagaimana nasib kayu bakar. Al-Quran mengatakan bahwa mereka adalah kayu bakar neraka. Karena itu, manusia harus memiliki keinginan kuat untuk mendatangkan kebaikan bagi dirinya. Hal ini baru terwujud kalau ia sensitif dalam menghadapi semua dosa. Tingkat menginginkan kebaikan harus dalam bentuk benci untuk kembali kepada kekufuran dan kesesatan—setelah Allah menyelamatkannya—sama seperti kebenciannya untuk dilempar ke neraka. Meskipun demikian, bisa saja kaki manusia bergeser dan terpeleset. Dalam kondisi demikian, yang harus dilakukannya adalah kembali berpikir dan merenung seraya berkata, “Aku tidak mungkin begini kecuali karena jauh dari Allah. Maka, tidak ada keselamatan bagiku kecuali aku kembali kepada-Nya.” Ia mengatakan hal itu kemudian berusaha memperkuat hubungannya dengan Allah Swt. Upaya ini merupakan satu sisi dari tobat nasuha.
Sisi lainnya adalah manusia tidak kembali kepada dosa-dosanya terdahulu. Orang yang menginginkan kebaikan bagi dirinya tidak akan melakukan hal tersebut. Sebagaimana manusia terus-menerus mengharapkan kebaikan untuk anak-anaknya dan ingin agar masa depan mereka cerah, demikian pula ia harus selalu menginginkan kebaikan untuk dirinya. Karena itu, ia harus berusaha sejak awal untuk tidak masuk dalam perbuatan dosa dan menilai keadaan jauh dari Allah Swt. sebagai kesalahan besar dan jurang lebar yang sulit ditutup. Jika demikian, tobatnya tergolong tobat nasuha. Allah Swt. berfirman, “Bertobatlah kalian kepada Allah dengan tobat nasuha.”
Artinya, Dia berkata kepada orang-orang beriman bahwa kalian dengan keimanan kalian berada dalam wilayah yang aman. Dengan iman, kalian bisa membedakan antara hitam dan putih, antara baik dan buruk. Kalian telah beriman kepada Allah, percaya kepada-Nya, dan bersandar kepada-Nya. Jika kalian sempat bergeser atau berpaling walau sejenak dari jalan yang benar, janganlah kalian putus asa, sebab Allah Swt. mengampuni semua dosa selain syirik: “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki.”[6]
Karena itu, kalian tidak boleh terus-menerus berada di tempat jatuh kalian. Kalian harus menyesali ketergelinciran kalian seraya menghadap kepada Allah Swt. agar kalian menemukan diri kalian kembali. Inilah yang menurutku disebut dengan tobat nasuha.
Tobat nasuha memiliki beberapa syarat, antara lain:
1. Apabila dosa yang dilakukan terkait dengan salah satu hak hamba, hak itu harus diberikan kepada pemiliknya terlebih dulu seraya meminta maaf kepadanya.
2. Bertekad untuk tidak kembali kepada dosa itu lagi.
3. Tidak memberikan kelonggaran waktu antara dosa yang telah dimintakan tobatnya dan dosa berikutnya. Artinya, tidak boleh dosa dibiarkan tanpa tobat—selama itu memungkinkan—meski hanya selama lima detik.
Dimensi lain dari tobat adalah bahwa dosa pasti mendatangkan rasa sakit dalam jiwa dan kerisauan dalam hati. Karena itu, jika seseorang terbiasa melakukan dosa dan tidak merasa sakit dengannya, lalu ia bertobat dengan lisannya semata, itu tidaklah dianggap sebagai tobat. Itu hanyalah ekspresi spontan dan ucapan yang tidak berarti, sebab tobat adalah ekspresi dari rasa sakit yang dirasakan jiwa sehingga manusia merasa resah. Adapun ucapan tobat dengan lisan harus disertai dengan penyesalan dan rasa sakit. Dengan kata lain, tobat adalah rintihan penyesalan dan rasa sakit, namun dengan syarat: caranya harus dipelajari dari pembawa syariat, Rasul saw. Misalnya dengan mengucap:
اَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيمَ الْكَرِيْم الَّذِى لاَ إلَهَ إِلاَّ هُوَ تَوْبَةَ عَبْدٍ ظَالِمٍ لاَ يَمْلِكُ لِنَفْسِهِ مَوْ تا وَلاَ حَيَا ة وَلاَ نُشُوْ را
“Aku memohon ampun kepada Allah Yang Mahaagung dan Mahamulia Yang tiada Tuhan selain Dia, dengan tobat seorang hamba zalim yang tak bisa berbuat apa-apa dalam menghadapi kematian, kehidupan, dan kebangkitan.”
Dalam hadis disebutkan bahwa orang yang berniat tobat harus melakukan salat dua rakaat kemudian meletakkan keningnya di tanah seraya berdoa dengan sepenuh hati:
يَا حَيّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ أَصْلِحْ لِي شَأْنِى كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِى إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ
“Wahai Yang Mahahidup dan Maha Berdiri sendiri, aku memohon pertolongan dengan rahmat-Mu. Perbaikilah seluruh kondisiku dan janganlah Kauserahkan aku kepada diriku sendiri walau sekejap mata.”
Atau, bisa pula membaca doa-doa lain yang intinya mengungkapkan penyesalan. Ada doa dari Rasulullah saw. yang disebut dengan sayyid al-istigfâr (penghulu istigfar) dan dibaca di waktu pagi dan siang:
اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لا إله إلا أَنْتَ خَلَقْتَنِى وَأنا عَبْدُكَ وَأنا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوءُ بِذَ نْبِي فَاغْفِرْ لِى فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ .
“Ya Allah, Engkau Tuhanku. Tidak ada Tuhan selain-Mu. Engkau telah menciptakanku. Aku adalah hamba-Mu dan aku berpegang pada janjiku kepada-Mu semampu mungkin. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang kulakukan. Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku. Karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau.”
Sebagian salaf menambahkan: “ya ghaffâr ya ghafûr” sesudah kata “anta (Engkau)” dalam doa di atas. Meskipun tambahan tersebut tidak ada dalam doa Rasul saw., menambahkan dua nama terindah-Nya adalah sesuatu yang baik.
Ya. Tobat adalah penyesalan dalam hati. Ketika kita meminta ampun dengan doa-doa di atas atau doa lain, tidak akan diterima kecuali disertai penyesalan. Karena itu, kalau lisan kita mengucap:
اَسْتَغْفِرُ اللهَ اَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيمَ الْكَرِيْم الَّذِى لاَ إلَهَ إِلا هُوَ الْحَيُّ اْلقَيُّوم وَ أتُوبُ إِلَيْه
“Aku memohon ampun kepada Allah. Aku memohon ampun kepada Allah Yang Mahaagung dan Mahamulia Yang tidak ada Tuhan selain Dia Sang Mahahidup dan Sang Maha Berdiri sendiri, serta aku bertobat kepada-Nya.”
tanpa penyesalan yang menyertai kalimat itu di dalam hati, istigfar kita sia-sia. Jadi, manusia setidaknya harus mengungkapkan dosa-dosanya di hadapan Allah Swt. secara tulus dari dalam hati. Itu karena ketika bertobat kita tidak sedang melakukan pekerjaan canda atau seremonial belaka, tetapi kita sedang mengungkapkan rasa penyesalan yang jujur kepada Allah Swt.
[1] Q.S. al-Tahrîm: 8.
[2] Q.S. al-Zumar: 54.
[3] Q.S. al-Muthaffifin: 14.
[4] H.R. Bukhari dan Muslim.
[5] H.R. Bukhari.
[6] Q.S. al-Nisâ’: 48.
- Dibuat oleh