Saat kemunculan setiap dakwah, para pelaku dakwah diperintahkan untuk melakukan perjalanan suci
Saat kemunculan setiap dakwah, para pelaku dakwah diperintahkan untuk melakukan perjalanan suci. Apakah perjalanan yang dilakukan hari ini dari sebuah negeri ke negeri lain di jalan kebenaran dapat dianggap sebagai perjalanan suci?
Yang dimaksud dengan perjalanan suci adalah hijrah. Hijrah adalah persoalan besar yang mengandung berbagai pengertian dan hakikat agung. Sebagaimana istilah tersebut bermakna hijrah dari satu negeri ke negeri lain, ia juga bermakna hijrah dari satu prinsip dan akidah menuju prinsip dan akidah yang lain. Atau, ia juga bermakna hijrahnya manusia dari dirinya menuju dirinya. Aku tidak tahu apakah bisa memenuhi hak dan pengertian mendalam yang dimiliki oleh istilah tersebut atau tidak. Namun, aku akan menjelaskan semampuku dengan meminta pertolongan, karunia, dan anugerah Allah Swt.
Hijrah merupakan landasan penting dalam setiap dakwah besar. Beberapa hal berikut harus diperhatikan: tidak ada penyeru dakwah besar, tidak ada pemilik pemikiran besar, serta tidak ada pengemban tugas besar yang tidak berhijrah. Setiap penyeru dakwah telah meninggalkan negeri tempat kelahirannya dan demi dakwahnya ia pergi ke negeri lain. Aspek yang paling mengandung keberkahan dan paling penting dalam persoalan ini adalah bahwa hijrah merupakan perintah Allah Swt. Ada beberapa makna hijrah yang memiliki urgensi khusus bagi pehijrah yang mengabdikan dirinya pada dakwah. Meskipun tidak ada yang memberikan sebutan “Sang Nabi Pengembara” kepada Ibrahim a.s., sebutan tersebut layak untuk disandang beliau. Pada masa itu ketika transportasi sangat sulit, kita mendengar suara beliau di Babilonia tempat beliau menyuarakan dakwah, kemudian kita melihat beliau sudah berada di Kan’an, lalu di Suriah yang menjadi tempat Firaun. Beberapa sejarawan berpendapat bahwa yang berkuasa di sana saat itu adalah seorang penguasa zalim bernama Shaduq. Saat itulah istrinya yang suci, Sarah, berdoa kepada Allah agar Dia melindungi kelompok mukmin dari sikap buruk orang-orang yang zalim.
Jadi, Ibrahim a.s. telah mengembara ke berbagai penjuru bumi bersama istrinya untuk membisikkan ke telinga orang yang beliau temui seraya mengajaknya kepada Allah Swt. semata. Tidak lama kemudian, beliau sudah berada di tanah suci yang telah runtuh. Beliau pergi ke tanah Mekah al-Mukarramah tempat akan lahir sang pemimpin para rasul, Muhammad saw., yang akan menjadi mihrab dan kiblat suci kaum mukmin hingga Hari Kiamat serta yang kehancurannya menjadi tanda terbesar akan datangnya Hari Kiamat.
Ibrahim a.s. datang ke tanah suci itu. Beliau melihat bagaimana arus fisik dan nonfisik telah meruntuhkannya. Yakni, arus kesesatan bekerja sama dengan arus air yang menyerang dari pegunungan. Seolah-olah Allah Swt. telah menyerahkan Ka’bah yang suci kepada beliau (baik fisik maupun esensinya) pada hari yang kelam itu.
Ibrahim a.s. memutuskan untuk merenovasi Ka’bah bersama anaknya di atas bekasbekasnya yang masih tersisa. Ibrahim a.s. kemudian melakukan seruan dengan mengajak seluruh manusia untuk mengunjungi Ka’bah. Ajakan tersebut disambut oleh para pemiliki jiwa yang hidup dan mereka segera menuju sana. Para peneliti berpendapat bahwa seruan Muhammad saw. mengacu kepada seruan Ibrahim a.s.: “Dan serulah manusia untuk melakukan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.”[1]
Kedudukan tanah haram itu adalah maqam tinggi tempat manusia bisa membangun hubungannya dengan Tuhan. Tawaf yang dilakukan manusia di seputar rumah suci itu adalah pekerjaan yang tidak tergambarkan. Rasul saw. bersabda, “Bila imam membaca ‘ghayr almaghdhûb „alayhim wa lâ al-dhâllîn,’ ucapkanlah ‘âmîn.’ Barang siapa ucapannya bertepatan dengan ucapan para malaikat, diampunilah dosa-dosanya yang terdahulu.”[2]
Ka’bah merupakan tempat tawaf seluruh makhluk spiritual dan malaikat hingga Sidratul Muntaha. Ketika kita melakukan tawaf di seputar Ka’bah, berarti kita berada dalam penyaksian dan pemeliharaan Allah Swt. seraya berhawaf bersama ruh para nabi. Di tempat penuh berkah semacam itulah, lahir Rasul kita, Muhammad saw. Tempat tersebut termasuk tempat hijrah panjang yang terpenting bagi Ibrahim a.s. Seolah-olah ia menyelesaikan hijrahnya di sana. Di sinilah tumbuh pohon yang merupakan tujuan hijrah itu. Dari pohon itu muncul dua cabang besar yang abadi. Salah satunya menghasilkan buah berkali-kali, sementara cabang lainnya, yaitu cabang Ismail, menghasilkan satu buah yang, jika diletakkan pada salah satu sisi timbangan, akan lebih berat daripada semua nabi besar. Ia menjadi kebanggaan generasi berikutnya. Buah ini adalah Muhammad saw., sosok tepercaya, jujur, dan cerdas. Beliau merupakan hasil dan buah dari hijrah Ibrahim a.s.
Mengapa gelar al-Masih diberikan kepada Nabi Isa a.s.? Salah satu pengertian al-Masih adalah sang pengembara di bumi. Isa a.s. telah melakukan pencarian di berbagai tempat terhadap orang yang mau menyerahkan hatinya kepada kebenaran. Hasil dari pengembaraan panjangnya adalah dua belas orang pembantu beliau. Isa a.s. menerima kedua belas orang itu sebagai murid beliau guna membuka dunia bersama mereka, menunaikan amanat agung yang beliau emban, serta merealisasikan dakwah agung bersama mereka. Jika kita mengingat bagaimana salah seorang murid beliau berkhianat, beliau pergi membuka dunia dengan sebelas orang murid. Meskipun tidak diketahui di mana beliau lahir, kita mengetahui ke mana beliau menuju dalam hijrahnya yang suci. Sejumlah buku sejarah menyebutkan bahwa dalam hijrah dan pengembaraannya, beliau telah sampai ke pusat kota Anatolia. Beliau telah mengembara ke seluruh pelosok Palestina dan Jazirah Arab. Ketika usianya mencapai 33 tahun, beliau meninggalkan dunia yang fana ini dan diangkat menuju alam lebih tinggi yang khusus untuk beliau. Beliau telah mengembara ke banyak tempat di dunia lebih banyak daripada yang dilakukan kebanyakan pengembara. Beliau mencari pemilik hati bersih yang mau mendengarkan pesan dakwah beliau.
Musa a.s. besar di istana Firaun. Meskipun terbiasa dengan kehidupan mewah di istana, beliau juga merupakan sosok pengembara. Jika kita mencermati dan memerhatikan kehidupan para nabi besar, kita akan mengetahui bahwa hijrah merupakan ciri bersama di antara mereka.
Tentu saja, pengembara terbesar di antara mereka semua adalah Rasul kita, Muhammad saw., karena hijrah mencapai puncak pada diri beliau.
Beliau telah menghimpun pengabdiannya dari awal hingga akhir. Dengan kata lain, beliau memulai ibadah dengan bentuk paling sempurnanya yang tidak pernah dilakukan siapa pun sebelumnya. Di langit beliau bersama Jibril a.s., sementara di bumi beliau duduk bersama orangorang badui dan makan dalam hidangan yang sama.
Hijrah beliau dari Mekah adalah hijrah yang berat namun memikili sejumlah makna mendalam. Kita tidak mengetahui bagaimana nabi-nabi lain menempatkan persoalan hijrah ini. Adapun Nabi Muhammad saw. selalu mengikat perjanjian dan berjabat tangan seraya memberikan syarat dan berkata, “Engkau harus berhijrah.” Bahkan, pada masa itu beliau tidak mau menatap orang yang tidak berhijrah tanpa sebab. Yakni, beliau tidak mau menatap orang munafik. Walid ibn Walid, Ayyasy ibn Abu Rabi’ah, dan Salamah ibn Hisyam tidak bisa ikut berhijrah karena sebab-sebab tertentu. Mereka bertiga termasuk orang-orang yang berbahagia di samping kaum Muhajirin. Karena itu, Rasul saw. berusaha mengisi celah yang terdapat di luar kehendak mereka dalam kehidupan mereka dengan mendoakan mereka. Beliau mengangkat tangan seraya berdoa selepas rukuk, “Ya Allah, selamatkan Walid ibn Walid, Salamah ibn Hisyam, Ayyasy ibn Abu Rabi’ah serta mukmin yang lemah lainnya. Ya Allah, timpakanlah hukuman-Mu kepada kaum yang zalim itu dan jadikanlah hukuman-Mu itu seperti tahun-tahun bencana yang dialami kaum Yusuf.” Allah Swt. kemudian menurunkan firman-Nya: “Tidak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka atau Allah menerima tobat mereka atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka orang-orang yang zalim.”[3]
Ya. Beliau berdoa dan bermunajat kepada Tuhan, karena mereka termasuk orangorang yang masuk Islam. Ayyasy adalah saudara seibu Abu Jahal. Ketika mengucapkan dua kalimat syahadat, kedua tangan dan kakinya langsung diikat. Ia terus berada dalam kondisi demikian hingga penaklukan kota Mekah. Ia diikat dengan besi, dihina, dan dipukul oleh kakaknya, Abu Jahal, dan anak Abu Jahal, Ikrimah, yang di kemudian hari masuk Islam dan menjadi salah satu pahlawan Yarmuk. Adapun Salamah ibn Hisyam adalah saudara seayah Abu Jahal. Kedua tangan dan lehernya juga diikat dengan besi. Walid ibn Walid adalah saudara kandung tertua Khalid ibn Walid dan anak Walid ibn Mughirah. Yang menakjubkan mereka bertiga adalah orang-orang muslim dengan paha terikat. Mereka telah berusaha sekuat tenaga untuk menuju Rasulullah saw. dan berhijrah bersama beliau. Namun, mereka tidak dapat mengatasi kesulitan dan rintangan yang menghadang mereka. Karena itu, Rasulullah saw. mengangkat tangan setelah rukuk dalam salat fajar untuk mendoakan keselamatan mereka. Kadang beliau juga berdoa untuk mereka dalam salat zuhur, magrib, dan isya.
Hijrah sangat penting bagi Rasulullah saw. Beliau selalu memberikan pesan kepada setiap orang yang berbaiat kepadanya untuk berhijrah serta mendoakan orang yang lemah untuk diberi kemudahan dalam berhijrah. Ketika Sa’ad ibn Abi Waqqash sakit di kota Mekah yang baru saja dikuasai kaum muslim, ia sangat gelisah. Kegelisahan itu ia perlihatkan kepada Rasulullah saw. yang menjenguknya. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah aku akan ditinggal setelah para sahabatku tiada? Apakah aku akan tertinggal dari hijrahku?”[4] Artinya, meskipun Mekah tanah suci dan penuh berkah, mereka gelisah dan takut kalau tinggal jauh dari tempat hijrah mereka.
Hijrah adalah sebuah amal saleh yang mendatangkan rida Allah Swt, karena orang yang berhijrah melakukan pengorbanan besar di jalan Allah Swt. Manusia sangat mencintai keluarga, anak-anak, dan tanah air tempat ia dilahirkan. Betapa banyak penyair yang mendendangkan tanah airnya dan meratapi kegalauan akibat jauh darinya. Perasaan ini terdapat pada semua orang. Karena perasaan itu adalah fitrah, manusia tidak dapat mencabut perasaan tersebut dari hatinya. Kerinduan Abu Bakar r.a. dan lainnya juga demikian. Mereka telah berhijrah ke Madinah demi akidah dan dakwah, namun kerinduan kepada tanah air tetap membakar hati mereka. Orang semacam Abu Bakar r.a. yang tidak pernah sedikit pun berpikir untuk berpisah dengan Rasul saw. juga merindukan Mekah dan kesal dengan sikap kaum musyrik yang menjadi sebab ia meninggalkan negeri dan tanah airnya. Ketika pergi meninggalkannya, ia berkata kepada Mekah, “Demi Allah, aku akan keluar darimu. Aku tahu bahwa engkau adalah negeri Allah yang paling kucintai dan paling mulia bagi-Nya. Kalaulah bukan karena pendudukmu mengusirku, tentu aku tidak akan keluar.”[5]
Ini adalah bentuk rasa rindu dan cinta. Karena itu, kita harus mencermati persoalan hijrah dari sisi ini pula. Para sahabat dilahirkan di Mekah, besar, dan terbiasa di sana. Di sana pun terdapat rumah suci yang dibangun oleh ayah mereka, Ibrahim a.s. dan didatangi oleh ribuan manusia dari seluruh penjuru setiap tahun. Mereka adalah para pemelihara dan penjaga Ka’bah. Di antara mereka ada yang bertugas melayani para pengunjung, ada yang bertugas menyediakan air zamzam bagi para pengunjung, serta ada yang bertugas memerhatikan hewan-hewan kurban yang diberikan para pengunjung. Masing-masing memiliki tugas. Biasanya sulit bagi seseorang untuk meninggalkan sesuatu yang telah biasa baginya. Kita, misalnya, telah biasa merasakan sejumlah perasaan mendalam yang dihembuskan bulan Ramadan, berikut puasa, buka puasa, dan pelaksanaan salat tarawihnya. Juga muncul perasaan mendalam ketika pergi berhaji dan pulang darinya. Kesedihan karena berpisah—meski bersifat sementara—muncul dalam diri kita. Banyak di antara kita yang mengalami hal ini berkali-kali.
Nah, para sahabat meninggalkan tanah air mereka, rumah mereka, anak mereka, dan keluarga mereka. Ketika Umar r.a. berhijrah, ia tidak pergi bersama istrinya. Ketika Abu Bakar r.a. berhijrah, ia tidak pergi bersama anaknya, Aisyah r.a. Kita tidak mengetahui ke mana ia menetap. Demikian pula dengan para istri Abu Bakar yang nama mereka pun tidak kita kenal. Kita juga tidak mengetahui di mana orang tuanya yang telah buta, Abu Quhafah, tinggal. Bagaimana ia bisa meninggalkan mereka semua? Tidak. Mereka semua adalah contoh sosok yang mengasihi dan mencintai. Mereka memiliki hubungan kekeluargaan yang sangat kuat, namun hijrah di jalan Allah Swt. melebihi segalanya.
Karena itu, mereka meninggalkan semua milik mereka di Mekah dan pergi berhijrah. Di antara mereka ada yang berhijrah secara terang-terangan seraya menantang semua orang dan di antara mereka ada yang tidak mengenal hal lain selain hijrah di jalan Allah Swt. Artinya, mereka melangkah dan pergi menuju sesuatu yang tidak jelas dan tidak diketahui. Di tanah air yang mereka tinggalkan, mereka memiliki segalanya: rumah, anak, keluarga, dan harta. Kemiskinan, kesepian, keterasingan, dan kesendirian sedang menanti mereka di tempat yang mereka tuju. Ketika itu mereka tidak tahu bahwa penduduk Madinah yang setia akan menyambut dan menjamin mereka. Di samping menampilkan sosok manusia yang teguh dan lurus, mereka juga membantu munculnya komunitas yang istimewa, yaitu kaum Ansar.
Demikianlah—sesuai dengan posisi kaum Muhajirin yang penuh berkah itu—kaum Ansar mempelajari karakter hawâriyyîn (para penolong nabi) dari kaum Muhajirin. Sebaliknya, kaum Muhajirin mempelajari sifat menolong dan saling membantu dari kaum Ansar. Bentuk dan model kehidupan kedua komunitas tersebut tidaklah sama. Cara berpikir mereka berbeda. Tingkat dan cara dialog di antara mereka juga tidak sama. Karena itu, kaum Muhajirin menghadapi banyak hal. Seluruh kehidupan mereka dipenuhi kesan hijrah. Kendati demikian, tidak satu pun dari mereka kembali ke Mekah kecuali seorang penyair buruk yang pulang ke Mekah karena imannya yang lemah. Adapun semua orang lainnya tidak ada yang berpikir untuk kembali ke Mekah. Hijrah yang telah memperkokoh iman para sahabat dan telah memberikan warna istimewa kepada kaum muslim dan Islam, saat ini juga merupakan hal penting.
Hijrah memberikan banyak manfaat kepada generasi Al-Quran, sebab di samping jejak positif di negeri tempat ia lahir dan besar, setiap orang juga meninggalkan jejak negatif. Setiap orang memiliki kenangan buruk di desanya, negerinya, dan di antara teman-temannya. Ada saatsaat ia berselisih dengan mereka atau bersikap tidak baik kepada mereka. Semua ini tidak sesuai dengan kewibawaan yang harus dimiliki olehnya setelah ia memikul tugas dakwah di jalan Allah. Sikap kekanak-kanakan yang dulu ia miliki—yang pada periode usia tertentu sulit dijauhi—bisa jadi tetap melekat di benak sebagian orang padahal ia telah menerima tugas dakwah, dan itu bisa menjadi sebab dan faktor penilaian negatif terhadapnya.
Misalnya, orang-orang Mekah menyebut Nabi saw. sebagai anak yatim peliharaan Abu Talib. Ya, kepada dunia mereka, menyebut beliau anak yatim Abu Talib. Dengan itu mereka ingin merendahkan kedudukan dan risalah beliau. Mereka ingin menggunakan keyatiman Nabi saw. sebagai senjata untuk menyerang beliau. Mereka ingin berkata, “Celaka engkau! Orang yang dulu ketika kecil duduk bersama kami di gang-gang dan suka berjalan di pasar sekarang mengaku telah naik ke langit dan membawa berita yang tidak masuk akal.” Demikianlah yang terjadi padahal Allah Swt. telah menyiapkan beliau sejak kecil untuk misi kenabian dan kerasulan serta menjaga dan melindungi beliau dari segala hal yang mengotori misi beliau. Contohnya adalah apa yang Nabi saw. ceritakan:
Aku tidak pernah berhasrat melakukan keburukan yang biasa dilakukan orangorang jahiliah kecuali dua kali. Itu pun dicegah oleh Allah. Aku pernah berkata kepada seorang teman dari Quraisy ketika menjaga kambing milik keluarganya di Mekah, “Tolong awasi kambing-kambing ini agar malam ini aku bisa bergadang sebagaimana para pemuda.” “Baik,” jawabnya. Aku pun keluar. Ketika mendekati rumah pertama di Mekah, aku mendengar nyanyian, suara rebana, dan suling. Aku pun bertanya, “Keramaian apa ini?” Orang-orang menjawab, “Pesta perkawinan fulan dengan fulanah.” Akhirnya, aku duduk untuk mendengarkan. Tetapi, kemudian Allah menutup telingaku hingga tertidur dan baru terbangun oleh terik matahari. Aku lalu kembali kepada temanku. Ia bertanya, “Apa saja yang telah kaulakukan?” Kuberitahukan kepadanya apa telah yang terjadi. Selanjutnya, pada malam kedua aku melakukan hal yang sama [dan terjadi hal yang sama pula].”[6]
Ya. Allah Swt. telah menyiapkannya untuk sesuatu. Saat masih muda, beliau telah ikut serta dalam pembangunan Ka’bah setelah hancur akibat banjir. Beliau memindahkan batu-batu. Tidak mungkin rasanya beliau ketinggalan dalam pekerjaan mulia semacam itu. Saat bekerja, Abbas berkata kepada Nabi saw., “Kalungkanlah sarungmu di leher agar terlindung dari batu.” Ketika hendak melakukan hal tersebut, beliau jatuh ke tanah dalam kondisi tidak sadar dengan mata menghadap ke langit. Begitu sadar, beliau langsung berteriak, “Sarungku, sarungku!” Beliau segera memasang sarungnya. Setelah kejadian itu, tidak seorang pun melihat beliau dengan aurat terbuka.[7] Allah Swt. menjaganya dari segala sesuatu yang tidak pantas bagi beliau karena beliau telah dipersiapkan untuk memikul risalah besar. Meskipun demikian, kaum musyrik Mekah tetap menyebut beliau sebagai anak yatim peliharaan Abu Talib. Dalam iklim semacam itu ketika Rasul saw. tidak mendapatkan pembelaan dan dukungan dari penduduk Mekah, kaum Ansar membuka hati mereka untuk beliau. Mereka juga membuka pintu negeri mereka dan pintu rumah mereka untuk beliau. Mereka berpasrah secara total kepada beliau ketika beliau meminta mereka untuk berbaiat dalam Baiat Aqabah II, “Berbaiatlah kalian kepadaku untuk mendengarkan dan taat baik dalam kondisi giat maupun malas, untuk memberikan nafkah baik kala sempit maupun lapang, untuk melakukan amar makruf dan nahi mungkar, untuk berbicara karena Allah dan tidak takut terhadap celaan orang yang mencela, serta untuk membela dan melindungiku jika aku datang kepada kalian sama seperti ketika kalian melindungi diri kalian, istri kalian, dan anak-anak kalian. Balasan semua itu adalah surga.”[8]
Demikianlah, Rasul saw. merasa dirinya berada di tengah-tengah orang yang mengenal kedudukan beliau dan melihat beliau bagai mentari pagi yang bersinar cerah. Mereka menghormati beliau dengan penghormatan yang memang wajib diberikan kepada beliau. Mereka melihat beliau sebagai nabi sejak saat pertama kali mereka mengenal beliau. Mereka tidak mengetahui masa kanak-kanak beliau. Mereka menghormati beliau layaknya seorang nabi.
Sebagaimana para sahabat dihinakan di negeri mereka di Mekah, tidak mudah bagi penduduk Mekah untuk mengakui kedudukan Bilal yang berkebangsaan Habasyah kecuali setelah penaklukan kota Mekah. Sebelumnya ia dan banyak sahabat lainnya, yang memiliki hati dan jiwa bersih, mendapatkan berbagai ujian dan penghinaan. Akan tetapi, di Madinah mereka menjadi komunitas yang dimuliakan dan dihormati. Bahkan kaum Ansar meminta kepada Rasul saw. untuk menjadikan kaum Muhajirin sebagai bagian dari mereka sehingga dapat menggunakan harta dan rumah mereka. Ini merupakan sisi lain lain dari hijrah.
Perlu diketahui bahwa kaum Muhajirin mendapatkan perhatian khusus dari Nabi saw., sementara Rasul saw. sang memimpin hijrah sejak kecil telah disiapkan untuk memikul risalah dan berada di bawah perlindungan Allah Swt.
Bagi kita, hijrah sangat penting dilihat dari sisi dakwah karena setiap orang di antara kita memiliki kesalahan sesuai dengan konsekuensi alamiah sebagai manusia. Kadang banyak komentar buruk orang tentang kita. Karena itu, adalah lebih baik berhijrah dari tempat kita tinggal, sebab betapapun niat ini bersih, tidak adanya gambaran cacat tentang kita di benak para pendengar adalah sangat penting. Bahkan, kita harus menjadi contoh yang memberikan keamanan dan ketenteraman serta bisa dipercaya oleh mereka. Hal ini tidak mudah kecuali kalau kita berada di tengah orang-orang yang tidak mengetahui kekeliruan dan kekurangan kita sebelumnya serta memandang kita seperti sosok yang seolah-olah turun dari langit. Ini sangat penting.
Ketika Allah Swt. menghijrahkan seluruh dai dan pembaru, tampak bahwa hijrah merupakan hukum Ilahi. Seolah-olah Allah Swt. mengharuskan seluruh dai dan mubalig untuk berhijrah. Misalnya, salah seorang mereka berada di timur Anatolia, namun kita mendengar suaranya bergema di barat Anatolia atau di Istambul. Kita melihat Imam al-Ghazali banyak melakukan pengembaraan. Kita melihat Imam Rabbani juga mengembara di sepanjang India. Ketika kita mencermati kehidupan dan perjuangan para tokoh istimewa, kita mengetahui betapa hijrah mempunyai kedudukan penting.
Perjalanan suci itu saat ini, dilihat dari sisi dakwah, menjadi lebih penting daripada sebelumnya. Apabila seorang saudara mukmin melakukan hijrah ke negeri kafir, kita tidak boleh menilainya sebagai sesuatu yang buruk. Benar bahwa sekarang tidak ada Madinah al- Munawwarah, tetapi akan ada kota-kota yang berusaha meniru Madinah. Dengan kata lain, agar kita bisa tampil di hadapan “pemilik Madinah”, kita harus membangun madinah-madinah lain. Agar kita bisa berkata, “Kami telah meninggalkan kota kami, wahai Rasulullah, untuk menyiapkan madinahmu,” diperlukan kota-kota tempat hijrah. Karena itu, kita tidak bisa menyepelekan sikap orang-orang yang pergi ke pelosok bumi untuk menyebarkan Islam dan berhijrah demi itu, karena mereka tidak melakukannya demi keuntungan materi atau kepentingan pribadi. Tujuan mereka adalah menyebarkan Islam dan meraih rida Allah Swt.
Orang-orang yang berhijrah untuk dakwah, entah berasal dari Turki atau dari seluruh penjuru dunia Islam, akan mendapatkan ganjaran mereka sesuai dengan niat mereka, sebagaimana kaidah: “Amal perbuatan itu dengan niat, dan setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya.” Kita berdoa kepada Allah Swt. agar menempatkan mereka di sisi generasi pertama pehijrah. Dengan kata lain, semoga Allah Swt. mengumpulkan mereka yang berhijrah itu dengan kaum Muhajirin dan para penolong agama ini dengan kaum Ansar. Ketika Dia memanggil pada Hari Kiamat, “Hendaklah para pehijrah berkumpul,” kita berharap mereka berada di belakang kaum Muhajirin pertama yang terdiri dari para sahabat. Siapa yang tahu orang yang mungkin ada di depannya? Bisa saja Abu Bakar r.a., Umar ibn Khattab r.a., atau Usman.
Kadang kita tidak mampu mewujudkan pemikiran yang menjadi alasan berhijrah, tetapi sepanjang niat mereka berhijrah ikhlas di jalan Allah Swt., mereka akan beruntung dan sukses. Ini bisa dijelaskan dengan hadis Nabi saw.: “Barang siapa meminta mati syahid kepada Allah dengan tulus, niscaya Allah menyampaikannya ke tingkat para syuhada meskipun ia mati di atas ranjang.”[9]
Ya. Jika salah seorang mereka ingin mengabdikan diri kepada agama Allah dan dakwah- Nya serta berencana untuk menyebarkan agama Allah hingga ke seluruh pelosok dunia, lalu ia menyeru, “Marilah kita pergi, melihat, menyaksikan, mengetahui, membimbing, serta meniti jalan Ibrahim, Musa, Isa, dan jejak Rasul saw. sebagai manusia teragung. Marilah kita menunaikan tugas kita ini,” maka meskipun ia mati di negerinya, kita harapkan ia dicatat oleh Allah dalam golongan orang yang berhijrah.
Semoga Allah Swt. memberi orang-orang yang menghabiskan usia mereka demi Islam dan dunia Islam pahala kaum Muhajirin dan ganjaran para syuhada. Allah adalah pelindung dan penolong terbaik.
[1] Q.S. al-Hajj: 27.
[2] H.R. Bukhari dan Muslim.
[3] Q.S. Âl ‘Imrân: 128.
[4] H.R. Bukhari, Muslim, dan Abu Daud.
[5] Al-Haitsami, Majma„ al-Zawâ‟id, III, h. 283 dan Musnad Abî Ya„lâ.
[6] Al-Sîrah al-Halabiyyah, I, h. 200.
[7] H.R. Bukhari dan Muslim.
[8] Ibnul-Atsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, III, h. 156 – 163.
[9] H.R. Muslim, Tirmizi, dan al-Nasa’i.
- Dibuat oleh