Harapan Suci dari Idealisme yang Mulia
Pertanyaan: Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwa Islam akan menyebar ke seluruh penjuru bumi (Baca di Sahih Muslim, bab fitan 19; Sunan Tirmizî, bab fitan 14; Sunan Abu Daud, bab fitan 1). Apa tanggung jawab bagi kaum muslimin supaya sabda ini dapat terwujud?[1]
Jawaban: Dalam banyak hadisnya, Rasulullah membahas beberapa peristiwa yang akan terwujud di masa mendatang. Kemampuan memberikan kabar akan terjadinya peristiwa-peristiwa yang demikian melalui mata gaib merupakan bukti kenabiannya. Apabila kita melihat dengan pendekatan umum yang kita gunakan hingga hari ini, kabar akan terjadinya beberapa peristiwa yang perwujudannya terjadi di masa mendatang bukan sekedar pemberian informasi kepada umatnya. Namun, hal ini merupakan petunjuk atas apa yang harus dilakukan oleh umatnya. Salafus Salih kita memahami kabar gembira dari Sang Nabi tentang apa saja yang akan terjadi di masa depan yang disampaikan dengan cara demikian. Mereka pun berusaha menunaikan tanggung jawab yang diamanahkan oleh Sang Nabi.
Misalnya dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda: “Konstantinopel suatu hari pasti akan dibebaskan. Pasukan yang terlibat dalam pembebasannya adalah sebaik-baik pasukan dan komandan yang membebaskannya adalah sebaik-baik komandan (Mustadrak Imam Hâkim, 4/468; Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, 4/335). Melalui sabdanya tersebut, selain mengabarkan peristiwa yang akan terjadi masa mendatang, Rasulullah juga memberi target dan mendorong umatnya untuk mewujudkan target itu.
Meskipun melalui hadisnya Rasulullah menjelaskan pembebasan ini dengan sangat jelas dan pasti, para sahabat dan generasi setelah mereka tidak duduk-duduk begitu saja sambil menunggu datang atau terwujudnya peristiwa tersebut. Sejak masa Asr Sa'adah, pandangan mata mereka tak pernah berpaling dari Istanbul. Mereka pun datang ke Istanbul dan mendobrak pertahanan bentengnya. Bahkan banyak dari mereka, termasuk para sahabat yang jatuh syahid di depan benteng ini. Salah satunya adalah Khalid bin Zaid radhiyallahu anhu yang akrab disebut dengan nama Abu Ayub al-Anshari. Terlepas dari umurnya yang telah mencapai 80 tahun, beliau bersama para tentara menempuh jarak ratusan kilometer. Demi menjadi bagian dari kabar gembira yang disabdakan Sang Nabi, ia berangkat hingga tiba di Istanbul dan akhirnya jatuh syahid di kota itu. Ia dimakamkan di tanah tempatnya syahid dan seakan-akan dengan makamnya itu ia menandai tempat tersebut. Setelah wafatnya, Istanbul seolah-olah berkata: “Anda sudah menerima Rasulullah untuk menjadi tamu di rumah Anda, bagaimana mungkin kami tidak akan memuliakanmu di sini?”. Sebagaimana dirinya telah menjamu Rasulullah di rumahnya, Istanbul pun membuka tangan dan memuliakannya sebagai tamu.
Jalan menuju Yad al-Jamil (Dikenang dalam Kebaikan)
Persis seperti tadi, apabila Rasulullah menyampaikan bahwa nilai-nilai yang dibawa serta namanya yang agung akan terdengar di seluruh penjuru dunia, maka itulah tugas yang diamanahkannya kepada kita. Melalui kabar gaib, Rasulullah sedang memberikan target kepada umatnya. Untuk itu, alih-alih menunggu janji itu terwujud, kaum mukminin harus membuat banyak rencana hijrah ke seluruh penjuru dunia. Kaum mukminin harus memperdalam hijrah dengan semangat dakwah serta harus berusaha merealisasikan tujuan mulia ini.
Sayangnya, hingga hari ini berita gembira tersebut masih belum bisa terwujud secara utuh. Artinya, kita sebagai kaum muslimin masih belum cukup sensitif dalam menyikapi permasalahan ini. Dalam periode waktu tertentu kita masih belum cukup melakukan ekspansi. Apabila hal ini tak bisa diwujudkan di masa kita hidup, maka generasi yang akan datang akan menyalahkan kita. Sebagaimana kita berusaha mengenang para pendahulu dengan kebaikan-kebaikannya serta sebisa mungkin tidak membahas kesalahan dan kekurangan mereka, kita pun harus membantu generasi berikutnya supaya bisa mengenang generasi kita dalam kebaikan. Kita tidak boleh memberi kesempatan kepada generasi penerus untuk bersuuzan hanya karena pengabaian dan kelalaian kita. Kita tak boleh membuat generasi penerus nantinya berkata: “Leluhur kita dulu hanya tidur saja tanpa berkarya. Mereka hanya memikirkan kenyamanan hidup saja. Oleh karena itu, mereka tidak pernah melakukan ekspansi. Celakalah mereka!” Untuk itu, sembari mempertimbangkan kemungkinan negatif yang dapat muncul di suatu hari, maka kita harus menggunakan semua upaya hingga tetes terakhir dan berusaha melakukan ekspansi ke seluruh penjuru dunia.
Sebetulnya pada hari ini, gairah ekspansi dapat dikatakan sudah ada. Ada banyak teman yang sudah berangkat hijrah ke berbagai negara di dunia. Mereka hampir tidak menyisakan negara yang belum mereka sambangi. Ribuan pujian hanya untuk Allah, teman-teman pun diterima dengan baik oleh masyarakat lokal. Mereka tidak menutup pintunya untuk teman-teman kita. Al-Ustaz Said Nursi menilai keberadaan muridnya di suatu tempat sudah cukup menjadi isyarat bahwasanya gagasan-gagasan islami sudah diterima di wilayah tersebut. Di satu sisi, beliau mengingatkan kita akan pentingnya mengaitkan diri pada idealisme yang mulia nan agung, di sisi lain beliau memberi pelajaran bahwa kita harus tetap menjaga semangat dalam beraktivitas untuk menunaikan cita-cita luhur di tempat tujuan hijrah.
Apabila di tempat tujuan hijrah Anda menjalani kehidupan yang jauh dari idealisme nan agung, maka Anda tidak akan mampu menyelamatkan diri dari lubang keegoisan. Mari kita mengutip kembali pernyataan dari Al Ustaz Said Nursi: Apabila Anda tidak memiliki idealisme yang agung atau lupa atau dilupakan, maka Anda akan berputar-putar di sekitar keegoisan belaka (Al Ustaz Said Nursi, Kitab Al Kalimat, hlm. 771). Sebenarnya hal itu di satu sisi merupakan hukuman dari Allah untuk manusia. Ketika seorang insan yang mendedikasikan hidupnya untuk menjelaskan nilai yang diyakininya berhenti melakukan apa yang diamanahkan kepadanya, maka Allah akan mengikat insan tersebut pada dirinya. Ia pun mulai menggunakan suara dan kata-kata hanya untuk bercerita tentang diri pribadinya belaka. Tak ada keraguan bahwasanya hal tersebut adalah cara Allah untuk menyesatkannya. Jalan keluar dari masalah tersebut adalah konsisten dengan tujuan-tujuan yang mulia.
Sedangkan sampai sejauh mana seorang manusia mengerjakan idealisme tersebut sudah memasuki pembahasan yang lain. Allah-lah yang akan menentukannya. Bagi kita, yang terpenting adalah bagaimana menjalani hidup tetap di orbit tersebut serta bagaimana kita melakukan taslim di jalan ini kepada Sang Pemilik. Sayyidina Abu Ayub Al-Anshari berangkat untuk membebaskan Istanbul. Namun, beliau syahid sebelum berhasil merealisasikannya. Pada akhirnya, realisasi pembebasan ini menjadi takdir bagi komandan muda yang menjadi representasi dari semangat futuwwah. Tugas bagi generasi masa kini adalah berusaha mengerjakan banyak pekerjaan demi meraih cita-cita yang luhur. Kita tak pernah tahu seberapa banyak Allah akan menakdirkan realisasinya kepada kita. Generasi terdahulu telah membawa panji-panji dakwah hingga titik tertentu. Generasi penerusnya kemudian mengambilnya di titik tersebut dan membawanya ke titik terdepan. Generasi masa kini pun kemudian dikenang dalam kebaikan. Maksudnya, Anda akan dikenang dalam kebaikan oleh generasi mendatang.
Namun, orang-orang yang mendedikasikan diri pada tujuan yang mulia tidak akan mengikatkan diri dan karyanya pada pengabdian-pengabdian yang telah mereka tunaikan. Demikian pula pada hasil yang telah sukses diraihnya. Mereka mengelola sikap, perilaku, dan suara kalbunya sedemikian rupa sehingga yang dipikirkan hanya rida Allah semata. Namun, meskipun mereka tak mengharapkannya, Allah akan membuat nama mereka tetap dikenang dalam kebaikan oleh generasi mendatang. Inilah jalan supaya kita tetap didoakan dan dikenang dalam kebaikan oleh generasi mendatang, yaitu dengan memaksimalkan semua kesempatan yang dianugerahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala hingga sentimeter terakhir.
Berhulu dari Mimpi yang Retak, Berhilir ke Visi yang Sentosa
Ya, apabila kita ingin agar mimpi kita yang tak sempurna di masa lalu bertransformasi menjadi visi yang sentosa di masa mendatang serta supaya generasi mendatang berkenalan dengan nilai-nilai serta mengingat kita dalam kebaikan, maka kita harus mendayagunakan seluruh kesempatan yang ada untuk menunaikan tugas-tugas yang diamanahkan kepada kita dengan penuh kesensitifan. Apabila kita telah menunaikan kewajiban, maka Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan menyia-nyiakan usaha kita. Setelah periode musim dingin yang panjang, musim semi pun akan datang.
Dan memang tanda-tanda ini sudah muncul. Ayam jantan telah lama berkokok. Fajar demi fajar saling mengikuti satu sama lain. Namun, tidak boleh dilupakan bahwa kelahiran besar selalu datang dengan rasa sakit yang teramat pedih. Sebagaimana terkadang sebuah proses kelahiran harus dibayar dengan nyawa sang ibu, kelahiran-kelahiran besar di tengah masyarakat sayangnya terkadang harus dibayar dengan pengorbanan satu generasi. Namun, itu semua sebenarnya tidak terlalu penting. Yang terpenting adalah proses kelahiran bisa berlalu dengan sukses. Apabila kita pergi, apa ruginya bagi masyarakat; apabila kita tinggal, apa untungnya bagi masyarakat. Bukankah bagaimanapun kita akan melanjutkan perjalanan menuju akhirat? Menikmati lezat dan nikmatnya kehidupan atau tidak juga tidak begitu penting.
Bahkan sebagian orang zalim dan melewati batas menjadikan kehidupan sebagai penjara bagi kita. Demikianlah, sehingga pelarian, penjara, kurungan, kezaliman datang silih berganti. Mereka tidak mengizinkan Anda mencicipi kenikmatan dunia meski hanya sedikit. Namun, harus segera saya sampaikan bahwa itu semua bukan apa-apa bila dibandingkan dengan tanggung jawab kita. Tujuan fitrah serta maksud penciptaan kita telah ditentukan. Kewajiban kita adalah bergerak untuk mewujudkannya. Setelah berhasil mewujudkannya, pengorbanan tadi seakan tak terasa. Namun, apabila Anda meninggalkan dunia ini sebelum melakukan sesuatu demi mengagungkan nama Allah dan mengenalkan Rasulullah ke seluruh penjuru dunia, itu artinya Anda pergi ke akhirat dalam keadaan belum menunaikan kewajiban.
Untuk itu, saat ini kita membutuhkan orang yang siap melakukan pengorbanan baik dari segi materi maupun maknawi, yang sadik, loyal, dan memiliki ikatan dengan dakwahnya seperti dijelaskan oleh Al-Ustaz Said Nursi: “Demi iman dan keselamatan masyarakat, aku rela mengorbankan dunia dan akhiratku. Asalkan iman bangsaku selamat, aku rela meski dengannya diriku harus terbakar oleh api neraka.” Jika tidak, maka dia tak akan mampu menolak untuk tidak membahas tentang dirinya (dengan nama dan istilah yang berbeda), berlindung di bawah pemikiran fanatik, serta menghiasi diri dengan ego sektarian. Semua hal tersebut merupakan ungkapan dari pelarian makna aslinya.
Menurutku, kita harus berusaha bersandar pada disiplin-disiplin dan prinsip-prinsip daripada memperkuat egoisme diri melalui afiliasi dengan pihak-pihak tertentu ataupun bangga dengan apresiasi dan penghormatan. Kita membutuhkan orang-orang berdedikasi yang terus berlari di jalan yang ia yakini hingga akhir hayatnya tiba daripada orang yang harus melenyapkan nyawa orang lain demi meraih pencapaian pribadi. Berkat pribadi-pribadi berdedikasi yang mampu mengorbankan kenyamanan diri dan kenikmatan jasmani serta tidak memikirkan kelezatan materi dan maknawi-lah mimpi yang retak bertransformasi menjadi visi yang sentosa.
Betapa mulianya kehidupan yang dihabiskan di jalan para nabi! Mereka yang melangkah di jalan dan tujuan yang sama dengan para nabi akan berkumpul di tempat luhur yang sama di akhirat nanti. Barangkali bukan berkumpul, menyebutnya “dimuliakan di tempat yang luhur” sepertinya akan lebih tepat. Karena menurut apa yang kami pahami dari beberapa hadis, setiap orang di akhirat nanti akan dibagi menjadi beberapa golongan. Kemungkinan di akhirat nanti akan terdapat kategorisasi seperti kelompok orang-orang yang suka berinfak di jalan Allah, kelompok orang-orang yang berhijrah, kelompok orang-orang yang memperdalam makna hijrahnya dengan irsyad, serta kategori-kategori lainnya. Demikian pula bagi mereka yang berjalan untuk li i'la'i kalimatillah (meninggikan kalimat Allah), barangkali untuk mereka pun terdapat kategorinya sendiri. Bersama siapa kita beramal ketika di dunia, bersama mereka juga nantinya kita akan dibangkitkan.
Siapa kiranya yang tak ingin dibangkitkan bersama para nabi ataupun tokoh-tokoh agung terdahulu seperti Imam Rabbani, Maulana Khalid al Baghdadi, maupun Al-Ustaz Badiuzzaman Said Nursi! Demi pencapaian yang seperti ini, pengorbanan apa pun yang dibutuhkan sungguh teramat layak.
[1] Diterjemahkan dari artikel: https://fgulen.com/tr/eserleri/kirik-testi/yuce-bir-mefkurenin-kutlu-talipleri
- Dibuat oleh