Hidup Sembari Meresapi Kehidupan
Pertanyaan: Urgensi dari menjalani hidup sembari menyaring dan meresapi setiap peristiwa melalui beragam sarana pernah dibahas. Apa maksud dari hidup sembari meresapi kehidupan?[1]
Jawaban: Apapun sebutannya, amat penting bagi seorang manusia untuk membaca dan memahami dengan baik bahasa peristiwa dan bahasa tiap entitas yang melingkupi kehidupannya. Penting juga baginya untuk menutrisi pengetahuannya melalui pendalaman tafakur baik tafakur anfusi[2] maupun tafakur afaki[3]. Sebagaimana seorang anak yang memasukkan uang ke dalam celengannya, seorang insan yang memasukkan ke kantong pengetahuannya sinar-sinar makrifat terbaru yang didapat dari aktivitas menyaring dan mendalami hidup yang dijalaninya setiap hari akan memperluas kantong cinta dan mahabahnya. Seorang insan yang senantiasa menutrisi pengetahuannya seiring berjalannya waktu akan mengalami pendalaman pada makrifatnya. Hal tersebut kemudian mengundang mahabah yang berperan dalam menambah keinginan seseorang untuk berjumpa dengan-Nya. Bagi seorang mukmin, semua ini merupakan modal yang sangat penting untuk meraih kehidupan abadi.
Tafakur Afaki dan Anfusi
Kita misalnya, meski kita melihat anatomi diri dengan mata awam dan menyelam ke dalam tafakur anfusi, dapat kita saksikan betapa banyak hal yang ingin dijelaskannya kepada kita. Penempatan organ manusia seperti mulut, hidung, dan sebagainya diletakkan pada posisi yang tepat. Setiap organ menjalankan tugas yang diamanahkan kepadanya tanpa cela. Proses mengambil napas, mengonsumsi makanan, dan menyampaikan kata-kata ketika berbicara dikelola secara sempurna. Aktivitas fisiologis seperti transfer sinyal dan perintah pada otak, sel-sel saraf, dan organ-organ yang diamanahkan kepadanya terkirim dengan sangat cepat dan harmonis. Keterangan tersebut sudah cukup untuk memahami betapa manusia yang penuh misteri ini memiliki sistem yang luar biasa.
Hal yang sama juga terdapat pada ciptaan dan alam semesta yang diciptakan tepat dengan kebutuhan, harapan, dan pikiran manusia. Setiap ciptaan yang terdapat pada alam semesta diciptakan dengan kesesuaian sempurna dengan makhluk ciptaan lainnya di mana satu sama lain saling tergantung dalam kriteria yang tak mungkin bisa dihitung. Apabila kita memikirkan bagaimana manusia memiliki sebagian karakteristik dan atribut yang membuatnya layak menjadi model sekaligus daftar isi dari alam semesta, akan nampak bahwasanya di balik keteraturan luar biasa ini terdapat Sang Nazim, Zat yang meletakkan segala sesuatu sesuai susunannya.
Namun, sayangnya sebagian orang tidak mampu membaca tanda-tanda yang sangat jelas ini. Mereka hanya menjalani hidup demi dunia belaka. Mereka pun menempuh kehidupan yang biasa-biasa saja dan tak bermakna. Mereka menjalankan hidup dengan thulul amal (panjangnya angan-angan) yang menjadi sebab bagi tawahum abadiyah, yakni bertindak seakan-akan kematian tidak akan pernah mendatangi mereka. Orang-orang seperti ini akan berjalan ke akhirat dengan perkara-perkara yang amat menakutkan yang tak pernah terbayangkan oleh perhitungan manusia. Oleh sebab itu, Allah subhanahu wa ta’ala mengirimkan hal-hal pahit bagi kehidupan manusia seperti penyakit, musibah, dan bala untuk menyadarkan manusia dari kelalaiannya. Melalui hal itu, manusia sekali lagi diarahkan untuk melakukan introspeksi diri.
Ini karena umur yang dianugerahkan kepada manusia bukanlah sesuatu yang layak diisi dengan hal-hal yang tak bermakna. Optimalisasi umur membutuhkan analisis yang serius. Ia adalah nikmati ilahi yang besar di mana penggunaannya harus dirasakan, didengarkan, dipelajari, serta harus dipakai sesuai tujuan pemberiannya. Berkat umur, manusia dibedakan dari makhluk lainnya. Ia memiliki posisi yang mulia. Berkat umur, manusia meraih keutamaan dibandingkan malaikat dan makhluk rohani lainnya. Ini karena hewan hidup dengan naluri insting yang tidak memedulikan waktu. Demikian juga dengan malaikat dan makhluk rohani lainnya, kehidupan mereka tidak dibatasi oleh waktu. Dari sisi ini, maka dapat dikatakan bahwasanya pengguna waktu yang hakiki adalah manusia dan perbuatan-perbuatannya. Kehidupan yang terasing dari nilai-nilai tersebut sesungguhnya tak bisa dipandang sebagai kehidupan.
Bahkan tidak hanya dimensi duniawi, seorang insan juga harus memperhatikan alam malakut[4]. Ia harus memahami dirinya, memikirkan jiwanya, serta memperhatikan hubungannya dengan Allah subhanahu wa ta’ala. Ia harus sadar betapa banyak manusia yang lebih pintar darinya tetapi hanya mondar-mandir di lembah kekufuran dan kesesatan. Dengannya, ia harus bersyukur kepada Allah atas iman yang dimilikinya. Terdapat juga orang-orang yang kemampuan berlogika dan nalarnya jauh di atas kita. Namun, sayangnya nikmat tersebut tidak digunakan untuk mengenal Rasulullah dan mengambil manfaat dari Al-Qur’an. Untuk itu, memikirkan hal-hal tersebut di satu sisi akan menggerakkan rasa syukur pada diri seseorang. Di sisi lain akan membantunya supaya memanfaatkan kesempatan dan peluang yang ada dengan lebih efektif lagi.
Pendeknya, seorang manusia harus menjalani hidupnya penuh dengan tadabur, tazakur, dan tafakur. Ia harus senantiasa menggerakkan jarum sulamnya di atas kain dengan rancangan pola renda yang indah nan penuh makna. Cara untuk mencapainya adalah melalui hidup di dunia tempat kita tinggal ini dengan pemahaman yang serius. Sikap yang demikian disebut sebagai “kesadaran”. Ya, manusia, baik dari segi materi maupun maknawi harus memiliki kesadaran akan dirinya maupun dengan hubungan antara dirinya dengan entitas di sekitarnya. Dengan kata lain, meskipun volumenya mini, tetapi kita harus membaca dengan baik bagaimana ia memiliki keterkaitan dengan ciptaan suci, mulia, lagi transendental. Selain itu, peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan diri ini harus disaring dan diteliti dengan baik.
Rasulullah yang menyadari hakikat ini dan berkehendak untuk meninggalkan contoh-contoh teladan bagi umatnya senantiasa menyukai untuk menyaksikan dan menyimak keindahan-keindahan. Rasulullah ketika melakukan perjalanan seringkali memaknai nama-nama gunung dan lembah yang ditemuinya. Beliau melakukan tafaul (menafsirkan peristiwa-peristiwa yang ditemuinya sebagai pertanda baik), menghindari tempat-tempat di mana penduduknya dimusnahkan, serta mengganti nama-nama yang memiliki makna buruk. Apabila dilihat dari kitab-kitab sirah dan hadis, tampak bagaimana beliau mengubah banyak nama sahabat dan menggantinya dengan sapaan yang lebih bermakna. Peristiwa-peristiwa tersebut merupakan ungkapan dari bagaimana beliau sangat memperhatikan kehidupan dan kadar perhatian beliau terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya.
Sisi Malakut dari Setiap Benda
Kita tahu bahwasanya di alam semesta ini tidak ada sesuatu yang muncul secara kebetulan, tidak pula ada suatu peristiwa yang dibiarkan terjadi tanpa makna. Segala sesuatu terjadi dalam sebuah perencanaan dan program. Pertama-tama, kita harus memahami hakikat ini dengan sangat baik. Apabila dalam benak kita terdapat pikiran bahwasanya segala sesuatu di alam ini terjadi secara kebetulan, maka kita harus mencari solusi baginya. Demikian pentingnya pembahasan ini, ketika kita tidak berhasil memasukkan benang ke dalam jarum ataupun jarum jatuh karena terlepas dari genggaman kita sekalipun bukanlah hal yang terjadi secara kebetulan. Tidak ada satu pun peristiwa dalam hidup maupun lingkungan kita yang terjadi secara kebetulan. Apabila Anda mampu memahami dengan baik hakikat melalui iman yang dalam, Anda pun akan berusaha untuk memahami hikmah serta latar belakang dari setiap peristiwa yang terjadi.
Ya, segala sesuatu yang terjadi di sekitar kita pasti hendak menyampaikan sesuatu. Misalnya di suatu tempat Anda sangat berkeringat dan jenuh ketika berbicara; atau tiba-tiba tanpa sengaja Anda menjatuhkan sebuah gelas; atau tersandung ketika sedang berjalan. Dengan segera Anda berpikir bahwasanya bisa jadi peristiwa tersebut merupakan akibat dari kesalahan dan kekurangan Anda. Menurut makna yang dimaksudkan ayat Al-Qur’an kepada kita, musibah yang kita alami ibarat sesuatu yang terjadi pada diri karena perbuatan kita sendiri (Perhatikan QS Asy Syuara 42:30, “Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu)). Apabila peristiwa-peristiwa serupa yang terjadi hanya dipahami dari sisi terluar dan Anda anggap ia terjadi karena sebab-sebab lahiriah belaka, maka Anda telah mengecilkan permasalahan ini. Padahal ketika melihat peristiwa secara luas, Anda dapat membaca makna-makna berbeda yang hendak disampaikan dibalik sebab-sebab materinya.
Ketika salah satu bagian tubuh terasa sakit, Anda bisa menggunakan beberapa metode pengobatan berdasar pada sebab-sebab lahiriahnya. Sebenarnya tidak ada masalah dengan hal ini. Sebaliknya, langkah tersebut adalah kewajiban bagi kita untuk menjaga nikmat kesehatan yang telah dianugerahkan. Namun, apabila pandangan hanya berhenti sampai di sini dan Anda tak mampu melihat Sang Musabbibul Asbab di balik musibah yang sedang Anda alami, itu artinya Anda telah membuat kesalahan. Musibah-musibah yang menimpa kita ibaratnya sebuah sinyal yang muncul untuk memantik supaya kita membaca istigfar atas ketergelinciran dan terpelesetnya kaki ketika melangkah. Kewajiban kita adalah membaca sinyal ini secara tepat serta bertobat dan beristigfar kepada Allah. Apabila kita lalai dalam perkara ini, masalah yang lebih besar akan datang mengetuk pintu-pintu kita.
Kita harus melihat setiap permasalahan yang kita hadapi, baik masalah besar maupun masalah kecil, layaknya titik-titik air hujan yang berasal dari samudra rahmat-Nya yang menghujani kita. Kita harus melihat dan mencari tempat berteduh supaya tidak basah kuyup. Maksudnya, masalah-masalah tadi harusnya membuat kita semakin mendekatkan diri kepada Allah. Masalah-masalah tersebut harus menjadi sarana bagi kita untuk berlindung di bawah naungan-Nya. Dengan demikian, melalui hukuman-hukuman kecil tersebut Allah mengampuni dosa-dosa kita sehingga tak tersisa dosa untuk mendapat hukuman-Nya di akhirat nanti. Apabila dosa-dosa tersebut tersisa hingga akhirat, maka hukuman yang diberikan amatlah besar. Jika dilihat dengan pandangan lebih hati-hati dari sudut pandang ini, betapa banyak peristiwa yang secara lahiriah nampak pahit, tetapi kita bisa melihat tajali rahmat Allah terdapat di sana.
Apabila Anda menjalankan kehidupan dengan hati-hati dalam takaran yang demikian, kemudian memfilter setiap peristiwa yang Anda hadapi dengan sangat baik maka Anda dapat melihat bahwa terdapat celah di antara alam dunia yang menjadi tempat Anda hidup di mana dari celah tersebut Anda dapat menyaksikan sebagian hakikat yang berasal dari alam malakut. Di sisi lain, Anda akan tahu bahwa Anda tidak sendiri. Anda akan merasakan terdapat qudrah, inayat, kekuatan, dan pengawasan Allah atas diri Anda. Di waktu yang sama, Anda dapat memanfaatkan setiap masalah yang datang sebagai peringatan dan teguran sehingga kita memiliki kesempatan untuk memperbaiki dan menyelamatkan diri dari kekusutan.
Apabila Anda mengobservasi setiap peristiwa dengan pandangan yang detail tersebut dan Anda mampu melihat sebab sejati dibaliknya, maka Anda akan terselamatkan dari kesalahan karena menganggap sebab sebagai sumber peristiwa yang hakiki. Inilah jalan untuk meraih ufuk taslim dan tawakal. Jika demikian, meminjam istilah yang digunakan oleh Badiuzzaman Said Nursi, letakkanlah ke lantai kapal beban berat yang Anda panggul sehingga Anda pun dapat mengarungi perjalanan dengan lebih nyaman (Lihat selengkapnya di Kitab Al-Kalimat karya Badiuzzaman Said Nursi). Hal tersebut akan menjadi sarana bagi Anda meraih kebersamaan dengan Sang Ilahi serta meraih energi besar yang dengannya Anda akan percaya bahwa Anda mampu mengubah orbit bumi. Oleh karenanya, tawakal bukanlah ungkapan dari kelemahan. Sebaliknya, ia adalah pernyataan dari bersandarnya seseorang pada sumber asli yang kuat dan berkuasa. Perlu juga disampaikan bahwasanya pernyataan tadi bukan berarti kita menihilkan iradat atau mengabaikan sebab.
Namun, karena bahasan-bahasan seperti ini sering kali tidak terjelaskan secara objektif maka tidak semua orang dapat memahaminya. Misalnya ketika sedikit mendalami perkara-perkara tauhid, urusan menyerahkan segala sesuatu ada di “tangan” Allah itu bergantung pada kadar iman di dalam hati. Apabila Anda meyakini bahwa segala peristiwa berada dalam jangkauan ilmu dan iradat Allah serta menjalankan hidup dengan keyakinan yang demikian, maka Anda akan menjangkau hakikat yang lebih dalam serta melihat peristiwa yang terjadi dalam kehidupan pribadi Anda baik yang berkenaan dengan perintah takwini maupun tasyri’i secara lebih jelas.
Namun, terkadang terdapat peristiwa di sekitar kita yang tak mampu kita pahami hikmah dan rahasia di baliknya. Kita tak mampu melihat tajali ilahi yang terdapat padanya serta tak bisa menyadari maslahat apa saja yang tersimpan di dalamnya. Dalam keadaan demikian, setidaknya kita harus tahu bahwa Allah sekali-kali tidak akan melakukan pekerjaan yang sia-sia (hasya) dan Dia tidak pernah berbuat zalim kepada hamba-Nya meski sebesar atom belaka.
Hidup Tersistem, Terstruktur, dan Seimbang
Namun, periode ini telah bertransformasi menjadi era serba cepat di mana semua orang hidup dalam ketergesa-gesaan dan berusaha tiba di banyak tempat dalam waktu singkat. Sayangnya hal tersebut menjadi sebab bagi tercecernya banyak hal. Oleh karena itu, jika kita ingin menjalankan hidup sambil menyaring, meresapi, dan memikirkannya, maka kita harus memprogram ulang kehidupan kita serta menautkannya pada sebuah disiplin yang serius.
Apabila Anda membagi-bagi tugas kepada rekan-rekan lainnya dalam prinsip tolong menolong, membagi-bagi peranan, meletakkan tugas yang harus dikerjakan dalam sebuah rencana, dan memberikan kadar fokus yang tepat padanya, maka kecepatan pun akan berpihak kepada Anda. Jadi, meskipun penting bagi manusia untuk tidak lambat dan mengerahkan kemampuan semaksimal mungkin supaya pekerjaan lebih cepat selesai, keberhasilan tetap bergantung pada sistematika kehidupan dan gerak secara terstruktur. Pada prinsipnya, pembagian salat wajib dalam sehari menjadi lima waktu mengajarkan kepada kaum muslimin supaya membagi waktu dengan baik dan hidup terencana.
Jika Anda tidak memperhatikan pentingnya perencanaan dan pembagian waktu, meskipun berlari kencang layaknya kuda gurun, beberapa waktu kemudian Anda akan terlindas oleh roda peristiwa. Pekerjaan-pekerjaan yang sedang dilakukan akan menyebabkan kelelahan dan kejenuhan. Anda tidak akan dapat berpikir dengan jernih ketika mengerjakan tugas maupun ketika menghadapi masalah, tidak pula mampu membuat keputusan yang tepat. Ini kemudian menyebabkan pekerjaan tidak memberikan hasil. Karenanya Anda pun tidak meraih keberhasilan dalam pekerjaan Anda. Di kemudian hari Anda berpotensi tertinggal di tengah jalan. Dari sisi ini, apabila Anda ingin menjadi yang terbaik dalam hidup serta hendak meraih hasil yang paling utama, tak ada jalan selain bekerja secara tersistem dan terstruktur. Gaya hidup yang demikian akan membantu Anda meraih hasil yang lebih berkah tanpa harus meningkatkan kerja hingga sepuluh kali lipat.
Faktor berikutnya guna membantu kita menyaring kehidupan dan menjalankannya secara maksimal adalah keseimbangan. Mulai dari makan hingga tidur, bekerja hingga beribadah pun membutuhkan keseimbangan yang serius dan proporsi yang ketepatannya luar biasa. Untuk mengerjakan yang satu tak perlu mengorbankan pelaksanaan aspek lainnya. Tidak kebutuhan jasmani, tidak pula keluarga di rumah. Tidak kewajiban kita kepada masyarakat, tidak pula kewajiban kita kepada Allah. Kewajiban kita kepada semua pihak harus ditunaikan secara seimbang. Al-Qur’an memerintahkan: فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” Apabila kita telah sampai pada titik jenuh ketika mengerjakan suatu pekerjaan, beralihlah ke pekerjaan berikutnya. Dengan demikian, ketika sedang mengerjakan aktivitas berikutnya sebenarnya kita sedang menikmati istirahat. Untuk itu, amatlah mungkin mengerjakan banyak pekerjaan sekaligus tanpa menunda pekerjaan lainnya.
Hidup terencana dan terprogram pada waktu yang sama merupakan konsekuensi dari sikap berakhlak dengan akhlak ilahi. Ini karena Sang Pencipta ketika menciptakan alam semesta Dia menciptakannya dalam suatu tatanan rencana dan program yang kita sebut sebagai takdir. Tak hanya terbatas pada proses melihat, mendengar, dan berbicaranya manusia, gerakan galaksi-galaksi dan nebula-nebula serta semua ciptaan pun berada dalam jangkauan pengetahuan Allah. Semuanya bergerak dengan harmonis dalam sebuah sistem tertentu yang direncanakan oleh pengetahuan Allah. Oleh karena Allah subhanahu wa ta’ala meminta supaya kita bersikap dengan akhlak-Nya, maka kewajiban para hamba adalah bergerak sesuai program takdir-Nya.
Sebuah gedung sekalipun tak akan bisa dibangun tanpa perencanaan. Sebelum pembangunan dimulai, fondasi harus disiapkan. Ia harus dibangun dengan kokoh dan memperhitungkan ketahanannya terhadap gempa. Demikian juga dengan aktivitas menanam benih. Ia yang tampaknya sederhana sekalipun harus dikerjakan dengan perencanaan yang benar. Misalnya, di awal kesuburan tanah perlu dicek; apakah air tersedia dengan cukup untuk menyirami benih; bagaimana dengan kondisi intensitas sinar matahari?
Apabila contoh parsial tersebut saja dipercaya memiliki pengaruh penting terhadap pertumbuhan benih, maka tak bisa dibenarkan apabila ada manusia yang hidup sambil menutup matanya akan kenyataan ini. Untuk itu dibutuhkan suatu standar yang serius, standar di mana sikap dan perilaku disandarkan, standar yang akibat dan dampaknya dipercaya telah melewati proses pemikiran yang baik.
[1]Diterjemahkan dari artikel: https://fgulen.com/tr/eserleri/kirik-testi/hayati-suzerek-yasama
[2] Artinya mentafakuri hal-hal yang berhubungan dengan nafs. Manusia pertama-tama perlu memikirkan esensi dari keberadaan dirinya. Kata nafs mengungkapkan badan dengan ruhnya. Untuk itu, tafakur anfusi meliputi tafakur akan perlengkapan ruhani dan maknawi serta perlengkapan badan dan jasmani seorang manusia
[3] Tafakur afaki adalah mentafakuri segala hal yang berada di luar tubuh kita, mulai dari lapisan-lapisan udara, bintang gemintang, hingga seluruh tingkatan di alam semesta
[4] Alam malakut, yang lebih dikenal dengan alamnya para malaikat dan jin, merupakan suatu alam yang tingkat kedekatannya dengan alam puncak lebih utama daripada alam-alam sebelumnya. Alam malakut masih lebih rendah daripada alam di atasnya, seperti jabarut dan al-a’yan al-tsabitah. Para penghuni alam malakut terdiri atas para jin dan malaikat, termasuk iblis. Alam ini tidak bisa diakses dengan pancaindra atau kekuatan-kekuatan fisik manusia. Alam ini hanya bisa diakses manusia jika mereka mampu menggunakan potensi lahut dan malakut yang dimilikinya. Hubungan interaktif antara para penghuni alam dimungkinkan, mengingat berbagai alam itu sama-sama ciptaan Allah SWT. Manusia sebagai makhluk utama memiliki kemampuan untuk itu karena kedahsyatan unsur roh (manusia terdiri dari unsur jasad, nyawa, dan roh). Dikutip dari “Apa itu Alam Malakut” oleh Prof. Nasaruddin Umar.
- Dibuat oleh