Universalitas Islam
Tanya: Bagaimana kita bisa memahami universalitas Islam?[1]
Jawab: Islam adalah agama yang universal. Islam, menyampaikan pesan-pesannya tanpa membeda-bedakan kaum, suku, bangsa, zaman sekarang, ataupun zaman yang akan datang. Oleh karena itu, sasaran dari pesan-pesannya adalah seluruh umat manusia. Universalitas ini ditunjukkan dengan seruan nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad datang. Ketika mereka berseru “Kaumku, kaumku”, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berseru “Wahai umat manusia..”. Hal ini juga didukung dengan ayat, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Al Anbiya: 21/107) dan hadis “Dan Nabi-Nabi dahulu (sebelum-ku) diutus khusus kepada kaumnya, sedangkan aku diutus kepada manusia semuanya.” Hadis ini ibarat setetes air dari samudra yang luas.
Ketika Islam sedang menyampaikan universalitasnya, ia tidak muncul dengan klaim seperti “Saya adalah agama dan sistem yang universal.” Barangkali daripada sibuk dengan klaim seperti itu, Islam lebih banyak membuktikan universalitasnya lewat beragam dinamika, baik secara materi maupun maknawi. Jadi, demikian baiknya Islam menyampaikan pesan dan dinamika-dinamikanya ke dalam kehidupan pribadi, keluarga, maupun kehidupan masyarakat kita, pesan-pesannya sesuai dengan tabiat manusia sehingga hal tersebut menambah universalitas Islam itu sendiri.
Dalam mencapai tujuannya, Islam pertama-tama menangani manusia dengan segala sisi positif dan negatifnya. Seperti sisi perasaan, keinginan, syahwat, rasa benci, dengki, marah, cinta, serta sifat-sifat lainnya. Tentu semua pesan-pesan Islam tidak pernah bertentangan dengan sifat dan fitrah yang sudah ada. Dari sini, apapun hal legal yang dicari oleh manusia akan bisa ditemukan di dalam Islam. Misalnya, ketika seseorang ingin menjadi insan kamil, mereka cukup merujuk caranya di dalam Islam tanpa perlu mengambil referensi dari Brahmanisme, Mistisme, ataupun Buddhisme. Ketika seseorang memiliki masalah yang muncul entah dari segi kerukunan dalam keluarga, hubungan dengan saudara-saudaranya, ia cukup mengikuti kaidah-kaidah yang ada di dalam Islam. Ketika ada permasalahan di sektor ekonomi yang tidak ada solusinya, maka ijtihad para salaf saleh yang sangat baik memahami Al-Qur’an dan Sunah bisa menjadi solusi untuk setiap permasalahan.
Ya, Islam adalah solusi bagi setiap permasalahan; tidak hanya tentang tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, tauhid ubudiyah, tetapi juga solusi sempurna untuk permasalahan keluarga dan hubungan sosial dengan sesama sehingga kita tidak membutuhkan hal lain lagi di luar Islam.
Lagi pula, sudah jelas meskipun agama ini lahir di Jazirah Arab, ia kemudian juga menyebar dan diterima dalam waktu singkat hingga ke Bukhara (Uzbekistan), Sindabad & India, China, Yunani, India, Afrika hingga ke tanah Bizantium. Hal ini pasti terjadi karena universalitas pesan-pesan yang dimiliki agama ini. Coba pikirkan, Islam masuk ke berbagai negara yang merupakan tanah air dari ratusan teori dan pemikiran tidak dengan hunusan pedang, melainkan melalui suara dan nafas yang dihembuskan oleh para mursyidnya. Seperti atom uranium yang gesit dan aktif bergerak, Bangsa Turki yang mengemban misi untuk memimpin takdir umat manusia dalam sejarah menjadi lebih tenang dan tentram dalam naungan Islam. Begitu pula dengan bangsa lain yang tadinya menyerahkan hidup kepada nirwana dan bersembunyi di dalam tempurung kematian bahkan sebelum mereka tutup usia akhirnya mengetahui hakikat penciptaan melalui Islam.
Artinya jika dua fitrah yang berbeda satu sama lain ini bisa bersatu di dalam Islam, maka pastilah ini bersumber dari universalitas Islam itu sendiri.
Dunia barat yang menyadari keistimewaan ini dengan keras kepalanya mencoba menghalangi perkembangan Islam dengan segala kekuatan sejak berabad-abad lamanya. Persis seperti saat ini. Sebenarnya ketika Eropa mengalami zaman kegelapan pada Abad Pertengahan[2], Islam di Tanah Asia sedang mengalami renaisans[3]. Dan seperti yang dikemukakan oleh para pemikir kita, andai saja saat itu gereja tidak terlalu mendominasi serta tidak berlindung di dalam kemegahan zaman sejarah kuno atau klasik (Yunani Kuno) dalam menghadapi perkembangan Islam, barangkali dunia tidak akan mengalami kegelapan seperti saat ini. Akan tetapi, hal itu pun berlalu. Mereka telah memilih untuk berlindung di dalam pemahaman serta pemikiran yang dikembangkan oleh para penyembah berhala dan sayangnya fanatisme itu masih berlanjut hingga saat ini.
Ya, kita harus mencari kaidah dan aturan apa yang dibawa oleh universalitas Islam untuk umat manusia. Apa yang ia janjikan untuk perempuan, laki-laki, dan anak-anak? Apa sistem yang ditawarkan untuk menghadapi pergolakan ekonomi dan sosial? Apa solusi yang dibawanya untuk mengatasi masalah-masalah umat manusia? Apa yg disampaikannya dalam menghadapi fenomena amoral yang ada di masyarakat saat ini? Saran apa yang dikemukakan dalam rangka menjaga keseimbangan sebuah negara? Dan seperti itulah, ketika kalian meneliti itu semua maka kalian akan melihat identitas Islam yang universal. Semua akan menyaksikan bahwa akan ada solusi di setiap permasalahan yang dihadapi dan mereka akan mengatakan bahwa Islam betul-betul merupakan agama yang universal.
Ada satu hal yang tidak bisa saya lewatkan dalam pembahasan ini, yaitu salah ketika mengatakan bahwasanya universalitas Islam hanya mengambil dasar dari Al-Qur’an. Menurut saya, selain ayat-ayat Al-Qur’an, akan lebih tepat jika kita juga mencari universalitas Islam di dalam Sunah Nabi, ijtihad Khulafaur Rasyidin, dan pendapat para salaf saleh serta menggunakannya sebagai kaidah secara bersama-sama.
Alhasil, sejak dahulu kita selalu percaya pada kesempurnaan Islam. Ya, dalam kesempurnaannya, meskipun kita dihadapkan dengan banyaknya pandangan “isme” yang ada sekarang, kita tidak pernah ragu akan hal ini. Sebaliknya, kita yakin bahwasanya pandangan “isme” lainnya tidaklah setara untuk dibandingkan dengan Islam. Bahkan kita sepenuhnya yakin bahwa orang-orang yang tertindas di bawah trek komunisme pun suatu hari akan bangkit dengan hakikat ini. Asalkan kita diberikan kesempatan untuk menyampaikan dan merepresentasikan Islam dengan baik.
Kita tidak pernah khawatir dengan apapun. Karena kita tahu, menerima, dan percaya bahwa Islam itu universal dengan dinamika dan pesan-pesan yang dibawanya dalam setiap bidang kehidupan mulai dari kehidupan individu, ekonomi, industri, keluarga, militer, dan bernegara. Bukankah fakta bahwa Islam dengan prinsip-prinsipnya yang senantiasa segar tetap bertahan dalam 14 abad terakhir meskipun diterpa kekejaman musuh-musuhnya dan ketidaksetiaan sahabat-sahabatnya sudah cukup menjadi bukti nyata?
[1] Diterjemahkan dari artikel: https://fgulen.com/tr/eserleri/prizma/islamin-evrenselligi
[2] Periode Abad Pertengahan oleh para ahli sering dikonotasikan sebagai “Zaman Kegelapan Eropa”. Abad Pertengahan adalah sebutan bagi sebuah periode sejarah yang terjadi di kawasan Eropa Barat, kecuali wilayah Andalusia (Spanyol) yang masih berada di bawah kekuasaan Dinasti Umayyah. Secara garis besar periode Abad Pertengahan dimulai ketika wilayah bekas kekuasaan Kerajaan Romawi Barat mulai bersatu pada abad ke-5 M, hingga dimulainya era Renaisans yang ditandai dengan dimulainya penjelajahan samudera, kebangkitan ilmu pengetahuan, dan kembalinya humanisme. Istilah Zaman Kegelapan muncul setelah perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan di kawasan Eropa mengalami stagnasi atau bahkan kemunduran akibat dari kuatnya posisi gereja di segala bidang kehidupan masyarakat Eropa saat itu. Tidak ada satupun masyarakat yang diperbolehkan menyebarkan pengaruhnya melebihi pengaruh gereja. Oleh karenanya pada masa ini tidak banyak menghasilkan tokoh-tokoh berpengaruh, terutama untuk perkembangan ilmu pengetahuan modern. Abad Pertengahan juga sering diartikan sebagai periode kekuasaan agama, karena agama sangat mendominasi kepentingan masyarakat Eropa. Segala hal yang tidak berhubungan dengan agama dianggap melanggar hukum. Hal itu semakin menghambat perkembangan ilmu pengetahuan empiris dan teori-teori baru. Masyarakat hanya mengandalkan teori lama yang diperbolehkan oleh gereja. Bahkan tidak sedikit hasil-hasil pengetahuan yang dianggap sebagai sihir dan akan menyesatkan jiwa manusia oleh gereja.
Pada masa itu, orang-orang Eropa tidak memiliki visi yang jelas untuk membangun peradaban mereka. Semua orang, tanpa terkecuali, dituntut untuk selalu berpegang pada dogma-dogma gereja, dan terdapat larangan untuk bertanya mengenai berbagai hal. Jika pihak gereja tidak mampu untuk menjawab pertanyaan dari masyarakat, maka orang yang bertanya akan dianggap sesat dan akan disingkirkan. Segala tindakan gereja akan didukung oleh raja yang berkuasa, sehingga kedudukan gereja dapat disetarakan atau bahkan lebih tinggi dari pemerintahan istana. Zaman Kegelapan Eropa ini diperparah dengan tingkat intelektualitas masyarakat yang kian menurun. Tidak ada satupun kaum terpelajar yang ingin meningkatkan kualitas pengetahuan masyarakat karena mereka takut akan larangan gereja. Mereka banyak yang melakukan penyebaran ilmu pengetahuan secara sembunyi-sembunyi untuk kalangan tertentu saja. Periode “kebodohan” masyarakat Eropa ini bahkan sampai menyentuh pada hal-hal yang bersifat ilmiah, seperti ketika muncul sebuah wabah penyakit baru, maka masyarakat akan menganggap hal itu sebagai ancaman sihir dan harus ada pengorbanan untuk menghentikannya, baik itu mengorbankan nyawa manusia ataupun yang lainnya.
Pada masa ini segala bentuk kebijakan pemerintah untuk urusan kenegaraan tidak diputuskan berdasarkan demokrasi parlemen, tetapi kebijakan negara akan diputuskan melalui rekomendasi dewan gereja. Sehingga mereka yang memiliki kedudukan di dalam gereja menjadi sangat makmur secara ekonomi. Tidak seperti masyarakat biasa yang sangat kesulitan untuk bertahan hidup. Zaman Kegelapan Eropa menjadi sebuah kecacatan dalam peradaban Eropa, di saat peradaban Islam sangat maju di bawah Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. (https://kumparan.com/potongan-nostalgia/zaman-kegelapan-eropa-yang-serba-membingungkan)
[3] Para penguasa Dinasti Abbasiyah merupakan keturunan dari paman Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, al-Abbas. Pendiri dinasti ini adalah Abdullah al-Saffah pada 750 M. Sang pendiri memerintah hanya dalam waktu singkat, dari 750 sampai 751 M. Al-Saffah kemudian digantikan oleh Abu Ja'far al-Mansur (754-775 M). Dalam Ensiklopedia Islam disebutkan, dua khalifah pertama itu meletakkan dasar-dasar Dinasti Abbasiyah. Sedangkan, tujuh khalifah sesudahnya membangun pilar-pilar peradaban Islam hingga mencapai puncaknya. Boleh dikata, Dinasti Abbasiyah menyempurnakan bangunan peradaban Islam dari dinasti sebelumnya, Dinasti Umayyah. Badri Yatim dalam Sejarah Peradaban Islam mencatat, Dinasti Umayyah-lah yang memperkenalkan sistem pendidikan formal. Namun, kala itu pendidikan formal masih diselenggarakan di masjid-masjid. Anak-anak didik memperoleh pengajaran tafsir, hadis, fikih, sastra, dan bahasa di masjid-masjid. Jika seorang murid ingin mendalami disiplin tertentu, yang bersangkutan biasanya pergi ke masjid lain atau langsung ke rumah ulama yang ahli di bidang itu. Namun, khusus bagi para pangeran, mereka mendapatkan pendidikan di dalam istana. Model pendidikan seperti itu berkembang pesat di zaman Dinasti Abbasiyah. Sultan-sultan dari Bani Abbas sangat peduli pada peningkatan peradaban Islam melalui pendidikan. Puncak kejayaannya terjadi pada masa kekuasaan Khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan putranya, al-Ma'mun (813-833 M). GE Bosworth dalam Dinasti-dinasti Islam menyatakan, tiga abad pertama Dinasti Abbasiyah (abad ke VIII sampai ke XI) merupakan abad kejayaan dinasti ini. Bidang sastra, teologi, filsafat, dan ilmu pengetahuan berkembang pesat. Kemajuan ekonomi dan perdagangan terjadi di mana-mana, terutama di Irak, Persia, dan Mesir. Karena itu, seorang orientalis asal Swiss, Adam Mez, tidak ragu-ragu untuk menyebut era Dinasti Abbasiyah ini sebagai "Renaisans Islam".(https://republika.co.id/berita/ol38dk313/dinasti-abbasiyah-renaisans-islam)
- Dibuat oleh