Islam dan Kemunculan Kaum Reaksioner
Tanya: Di seluruh dunia, untuk melawan sistem yang sedang berjalan muncullah kaum reaksioner[1] yang mengatasnamakan Islam. Apa pendapat Anda dalam hal ini?[2]
Jawab: Sepanjang sejarah, saya tidak ingat ada sesuatu yang menunjukkan bahwa gerakan reaksioner memiliki manfaat atau mereka yang bergerak dengan pemikiran ini kemudian berhasil mencapai tujuannya. Saya tidak akan menyebutkan nama, tetapi di berbagai belahan dunia beragam gerakan reaksioner, baik yang islami ataupun yang non-islami, dalam beberapa waktu kemudian akan terhenti. Di negara kita gerakan demokratik pertama merupakan gerakan reaksioner. Akan tetapi, mereka tak berumur panjang dan telah hilang ditelan waktu. Kini:
- Dalam pandangan kita; hal yang sangat penting untuk dilakukan adalah menjelaskan tentang pemikiran Islam dan meneliti metode yang mampu meyakinkan manusia akan Islam. Misalnya, seandainya respons kita terhadap mereka yang memusuhi nilai-nilai suci dan kebangsaan di masa gerakan-gerakan reaksioner pertama muncul bukan kebencian dan rasa muak melainkan respon berupa usaha untuk mendidik manusia, kemudian fokus pada kegiatan jangka panjang yang tulus dan ikhlas di bidang pendidikan, barangkali pondasi tempat kita berpijak kini telah menjadi taman bunga.
Perhatikanlah, generasi tahun 50an hingga sekarang mereka sudah menempuh umur kehidupannya selama 40-45 tahun[3]. Pada saat itu, anak-anak yang berumur 10 tahun jika saja pada masanya mereka bisa mendapat pendidikan yang layak dan belajar sampai ke tingkat perguruan tinggi, maka pada hari ini mereka akan berada di puncak kehidupan mereka yang lebih layak. Dan anak-anak yang berumur 20 tahun pada masa itu maka pada hari ini akan berusia 60-65 tahun di mana mereka akan menjadi pemimpin-pemimpin dari generasi yang berusia 10 tahun pada masa itu. Tapi pada kenyataannya mereka selalu bersikap tidak puas.. Dan usaha yang bisa kita sebut sebagai gerakan ketidakpuasan ini akan meleleh bersama waktu, pergi, dan menyisakan hasrat serta keinginan untuk memisahkan diri. Namun, kita juga tetap mengenang jasa-jasa dari mereka yang pada masanya telah berjuang mempersiapkan pondasi pembangunan kemanusiaan bagi kita pada masa ini.
- Lakukan apapun yang mesti dilakukan demi negara kita di masa sekarang ataupun untuk masa yang akan datang, tetapi jangan sampai merusaknya. Apapun yang akan dikembangkan jangan sampai merusak persatuan dan kesatuan negara kita. Ketika kita bertekad "mari lakukan pembangunan", jangan sampai kita melakukan kesalahan yang tidak bisa diperbaiki di masa generasi setelahnya. Jika kita sampai melakukan kesalahan yang demikian, maka kita tidak hanya akan mendapat imbas buruk secara langsung, tetapi kita juga akan mendapat kebencian dan kemurkaan dari generasi setelah kita. Ditambah kita akan banyak kehilangan bekal untuk akhirat kita.
- Orang-orang beriman, boleh saja menginginkan hidup dalam lingkungan (negara) yang sesuai dengan keyakinannya (yang menerapkan syariat islam). Namun, jangan sampai terlupakan bahwa perasaan atau keinginan seperti itu tidak boleh menjadi tujuan asli hidup kita. Rasullulah shallallahu alaihi wasallam tidak pernah menyinggung sedikitpun tentang pembentukan negara islam pada waktu beliau menyampaikan risalahnya kepada kaumnya di Mekkah. Justru sebaliknya, Beliau selalu mengajarkan tentang hakikat keimanan sesuai yang tertera dalam Al-Qur’an dan hadis. Lebih dari itu, 5-10 tahun kemudian ketika Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam memerintah sahabat- sahabatnya untuk pergi menyebarkan syariat islam ke seluruh penjuru dunia, para sahabat sama sekali tidak memiliki keinginan meraih sesuatu untuk kepentingan pribadi mereka sendiri. Mereka terus berjuang meski dalam tekanan yang sangat besar dan niat mereka tidak goyah sedikit pun. Mereka hanya mengharap rida ilahi.
Jika demikian, para pecinta buta (reaksioner islami) sebaiknya memperbaiki niat untuk semata-mata mengharapkan rida Allah subhanahu wa ta’ala. Bukan mengharapkan hal selainnya, seperti misalnya kenyamanan hidup dan pikiran-pikiran yang tidak bermanfaat lainnya. Jika kita berharap sesuatu selain rida Allah subhanahu wa ta’ala, maka seolah kita sedang bernegosiasi dengan Allah subhanahu wa ta’ala seperti: "jika saya bekerja seperti ini maka seharusnya saya akan mendapatkan kehidupan yang saya inginkan". Hal seperti ini menggambarkan bahwa kita tidak memahami arti sejati dari menjadi seorang hamba. Dan jika memiliki perasaan seperti itu, maka akan sulit bagi kita untuk keluar dari kubangan itu.
Menurut hemat saya, apapun pengorbanan yang dilakukan oleh orang-orang seperti itu, meskipun mereka berhasil mencapai tujuannya, mereka tak akan mendapatkan pengakuan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Walaupun dalam prosesnya mereka kehilangan harta, keluarga atau bahkan nyawa mereka, Allah tak akan meridai amal mereka. Oleh karena itu, niat kita haruslah hanya untuk Allah. Tujuan kita hanya untuk mendapat keridaan-Nya. Sehingga Allah akan merestui usaha kita. Kita pun tidak akan merugi di akhirat kelak.
- Dalam hidup ini banyak sekali keinginan yang bersifat duniawi, sebagai contoh adalah keinginan untuk memiliki kekuasaan di mana banyak orang yang rela melakukan berbagai kekejaman sehingga mendapatkan kekuasaan atau supaya kekuasaan yang dimiliki tidak hilang. Bagi mereka, perbuatan keji apapun akan terasa normal dan memang sudah seharusnya dilakukan seperti itu. Para ahli dunia tidak mempercayai akhirat. Bagi mereka, yang ada hanya kehidupan di dunia saja. Karena itulah, mereka tidak mau kehilangan hal-hal duniawi, baik bagi dirinya ataupun bagi anak cucunya kelak.
Sebagaimana terlihat pada satu titik di pembahasan yang dapat dianggap sebagai salah satu dimensi dari tamak, ketika dua pihak menargetkan hal yang sama, maka yang kuatlah yang akan menang. Peristiwa di Aljazair dapat dievaluasi dari sisi ini. Kawan-kawan kita menjadi saksi, ketika mereka bercerita: “Di Aljazair, kaum muslimin menjadi pemimpin melalui jalan demokratis, mereka memenangkan pemilu pertama, dst” saya berkata:”Tidak, Anda terkecoh. Melalui revolusi sesungguhnya mereka telah menghalangi proses demokrasi.” Bahkan ketika saya tiba di Amerika, sembari menyinggung peristiwa di Aljazair kita bertanya kepada seorang pihak berwenang:”Apabila di Turki terjadi peristiwa yang sama, apa yang akan terjadi?” Jawaban dia: “Akan lebih kacau seribu kali lipat”
Oleh karenanya, mulai dari sekarang, dibandingkan melakukan gerakan reaksioner, kita lebih baik menempuh jalan yang di ridai Allah subhanahu wa ta’ala, menyampaikan firman-firman Allah subhanahu wa ta’ala dan menjelaskan sejarah sebagaimana yang terjadi dengan hanya mengharap keridaan-Nya.
[1] Reaksioner, dalam istilah Lenin juga disebut sebagai Ekonomisme—yakni perlawanan yang dilakukan tanpa pengorganisasian, tak terpimpin, dan lebih peduli pada ujung-ujung persoalan yang mendesak dan harus terselesaikan sekarang. Artinya, bergerak begitu saja yang penting tuntutan terdekat tercapai
[2] Diterjemahkan dari artikel: https://fgulen.com/tr/eserleri/prizma/islam-ve-reaksiyoner-cikislar
[3] Artikel ini ditulis pada 27 September 2001
- Dibuat oleh