Sebuah hadis kurang lebih bermakna: “Bertafakur sesaat lebih baik daripada beribadah setahun.” Lalu, bagaimana jalan, kaidah, dan cara bertafakur?
Sebuah hadis kurang lebih bermakna: “Bertafakur sesaat lebih baik daripada beribadah setahun.” Lalu, bagaimana jalan, kaidah, dan cara bertafakur? Adakah wirid dan zikir khusus? Ayat apa saja yang paling menyeru kita untuk bertafakur? Apakah doa dalam hati bisa dianggap tafakur?
Aku melihat, ketika pertanyaan di atas terlontar, jawabannya sudah menyertai. Benar bahwa ada hadis daif yang menyebutkan bahwa tafakur sesaat lebih baik daripada ibadah sunnah selama satu tahun. Namun, sejumlah ayat Al-Quran menguatkan hal tersebut: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda kekuasaan Tuhan bagi mereka yang berakal.”[1]
Ya. Tatanan dan sistem mencengangkan yang di dalamnya berlangsung gerakan matahari dan bulan merupakan tanda-tanda kekuasaan Tuhan bagi mereka yang berakal. Pada ayat tersebut ada sebuah ajakan yang jelas untuk bertafakur dan berpikir. Rasul saw. bersabda, “Celaka bagi orang yang membaca ayat itu dan tidak mau memikirkannya.”[2]
Ummul mukminin Ummu Salamah r.a. bercerita bahwa ketika ayat tersebut turun atau ketika membaca ayat tersebut, Rasulullah saw. menangis. Pada suatu malam, beliau membaca ayat itu dalam salat tahajud dan menangis tersedu-sedu hingga membasahi janggutnya yang mulia. Ayat di atas dan sejenisnya dianggap sebagai pengantar, penuntun, dan pembuka jalan tafakur. Ayat-ayat ini mengandung berbagai petunjuk khusus dalam menerangkan dimensidimensi pemikiran dalam Islam.
Hanya saja, makna tafakur harus diketahui. Pertama-tama tafakur harus bersandar pada berbagai informasi pendahuluan. Jika tidak, tafakur yang bodoh dan buta tidak akan menghasilkan apa-apa. Tafakur yang tertutup semacam itu hanya mendatangkan kejemuan lalu manusia tidak lagi bertafakur. Karena itu, sangat penting bagi manusia untuk mengetahui objek perenungan dan tafakurnya secara baik. Hendaknya berbagai hal yang ia jadikan objek perenungan hadir dan tampak di benaknya. Dengan kata lain, ia harus memiliki informasi pendahuluan mengenai objek itu agar ia bisa berpikir secara tersusun dan sistematis.
Apabila ia mengetahui sesuatu yang rasional tentang bulan, bintang, gerakan, dan hubungannya dengan manusia, juga ia mengetahui aktivitas menakjubkan atom yang membentuk manusia berikut gerakannya, ketika ia berpikir tentang semua hal itu dalam kondisi demikian, kita bisa menyebut itu sebagai proses tafakur. Adapun orang yang mengingat sesuatu secara sentimentil mengenai gerakan matahari atau bulan tidak bisa kita sebut sebagai orang yang sedang bertafakur, sebagai orang yang mempunyai daya khayal tinggi. Demikian pula kita tidak bisa menisbahkan tafakur kepada kaum naturalis, yaitu mereka yang menisbahkan segala sesuatu kepada alam. Adapun sejumlah penulis dan penyair terkenal di era republik yang layak disebut pemikir hanya sebagian kecil, bisa dihitung dengan jari. Jumlah yang kecil itu pun telah diperangi dan diusir. Masyarakat tidak diizinkan mengenal mereka dan mereka tidak boleh terkenal.
Pada era tersebut ada segelintir orang yang berusaha menguak alam eksistensi dan esensi segala sesuatu. Namun, mereka sama sekali tidak mampu mencapai hakikatnya. Benar bahwa ketika orang membaca syair pujangga naturalis serta ungkapan mereka tentang gemericik air, tetesan air hujan, desir pohon, dan kicau burung, ia akan merasa seolah-olah berada di surga. Akan tetapi, karena mereka tidak mampu merasakan kehadiran akhirat dan karena mereka menjadi musuh masa lalu dan tidak memahami masa kini, mereka tidak menggapai hasil apa pun. Mereka tetap berada dalam wilayah alam lahiriah tanpa bisa menembus di balik tirai alam itu. Mereka tak ubahnya seperti musafir yang menaiki sampan kecil dengan hanya satu dayung yang mengitari diri sendiri di lautan luas tak bertepi. Seluruh sisi pemikiran mereka tampak tertutup. Apa yang mereka sebut sebagai proses berpikir hanya membuat mereka putus asa dan sakit hati di hadapan ketertutupan dan kebuntuan. Tentu saja metode berpikir semacam itu tidak mendatangkan manfaat apa-apa.
Untuk merenung dan bertafakur, pertama-tama harus ada sejumlah informasi pendahuluan, pengetahuan tentang hakikat kondisi sekarang, penyusunan konstruksi pemikiran yang sesuai, yakni tidak taklid, serta kecenderungan dan upaya keras untuk mencari hakikat kebenaran. Orang yang mampu bertafakur dengan cara ini secara kontinu dapat menggapai cakrawala baru. Ketika cakrawala baru itu dijadikan sebagai permulaan untuk mendapatkan konsep pemikiran yang lain, ia dapat sampai kepada berbagai kesimpulan baru dan kepada kedalaman berpikir yang lebih jauh. Selanjutnya, ia mampu mengubah pemikirannya yang memiliki satu atau dua dimensi menjadi pemikiran yang memiliki tiga, empat atau lebih banyak dimensi. Artinya, ia memiliki dua sayap di alam pemikiran hingga sampai kepada tingkat manusia sempurna.
Jadi, landasan pertama bagi tafakur adalah kebiasaan membaca dan menelaah kitab alam. Kemudian, manusia membuka dada dan hatinya untuk menerima berbagai ilham Ilahi, serta akalnya untuk menerima prinsip syariah yang fitri dan untuk melihat alam lewat lensa Al-Quran sebagai kitab alam yang terbaca. Itulah syarat-syarat tafakur. Jika tidak, pandangan yang dangkal terhadap segala sesuatu, pengetahuan bahwa planet ini adalah venus, lenyapnya matahari akan begini, dan Planet Mars di posisi sekian, serta berbagai informasi yang gelap dan tidak memiliki tujuan semacam itu tidak bisa disebut tafakur dan tidak akan mendatangkan hasil apa pun. Selain itu, kelayakannya untuk mendapatkan ganjaran sangat diragukan.
Yang menjadi sebab tafakur sesaat lebih baik daripada ibadah setahun adalah bahwa manusia, ketika bertafakur sesaat secara benar dan produktif, dapat menguatkan dasar-dasar keimanannya sehingga cahaya makrifat dalam dirinya muncul dan cinta Ilahi dalam hatinya bersinar. Dengan begitu, ia sampai kepada kerinduan spiritual dan terbang di angkasanya.
Demikianlah siapa pun yang meniti jalan tafakkur dapat sampai kepada tingkatan yang tidak bisa dijangkau manusia lain yang tidak bertafakur. Dengan kata lain, orang yang bertafakur mendapatkan prestasi besar. Adapun orang yang tidak mampu menghadap kepada Tuhan dengan perasaan dan pemahaman tersebut, kalaupun ia mengarahkan wajahnya ke timur dan barat selama seratus tahun, tidak akan mampu mencatat satu langkah pun untuk maju ke depan. Apa yang dilakukannya pun tidak bisa menyamai proses tafakur yang sesaat. Namun, bukan berarti ibadahnya selama setahun sia-sia. Allah tidak akan menyia-nyiakan imbalan atas setiap rakaat dan sujud yang dilakukan: “Barang siapa melakukan amal kebaikan seberat biji atom pun, niscaya ia akan melihat [balasan]-nya, dan barang siapa melakukan amal keburukan seberat biji atom pun, niscaya ia akan melihat [balasan]-nya.”[3] Setiap orang akan mendapatkan imbalan atas perbuatannya. Atas landasan itulah orang itu menunaikan tugas pengabdiannya dan membangun hubungan antara dirinya dan Tuhan. Hanya saja, ia tidak sampai kepada tingkat yang bisa diraih lewat tafakur, tingkat tafakur sesaat yang menyamai seratus tahun ibadah.
Ada pertanyaan lain: Adakah wirid atau zikir khusus yang menjadi landasan atau sarana tafakur? Apakah wirid atau zikir tertentu bisa meluaskan tafakur manusia?
Hal ini juga bergantung pada kadar perasaan dan pemahaman saat wirid dan zikir diucapkan. Ia sama seperti menelaah kitab alam. Doa yang terwujud dengan perasaan dan munajat khusyuk yang penuh dengan sentuhan emosi bisa membuka sebagian besar kunci dalam diri manusia. Hanya saja, aku tidak bisa menyebutkan dari mana dan bagaimana memilih wirid dan zikir semacam itu, sebab wirid dan zikir beragam sesuai dengan penerimaan dan kesiapan serta kadar keimanan dan keyakinan seseorang. Karena itu, siapa yang mau bisa membaca wirid al-jawsyân, al-awrâd al-qudsiyyah, al-ma‟tsûrât, atau berbagai wirid lainnya yang dibaca oleh Syaikh al-Syadzili, Syaikh al-Jailani, Ahmad al-Rifa’i, atau Ahmad al-Badawi. Ketika membaca wirid para tokoh itu, hendaklah ia merasa seolah-olah mereka berada di sampingnya atau dekat dengannya, sehingga ia tidak pernah puas dengan nikmatnya kerinduan yang menggenangi kalbu. Betapa aku berharap semua orang membaca wirid dan mengambil manfaat darinya, karena dengan wirid mereka bisa memperbarui dan menguatkan hubungan dengan Allah Swt.
Pertanyaan lainnya adalah apakah membaca ayat-ayat yang mengajak tafakur dalam hati sudah bisa disebut tafakur?
Jika manusia tidak memahami apa yang dibacanya, ia tidak bisa sejalan dengan dan tidak bisa menghayati apa yang dibacanya. Ia memang mendapat pahala, tetapi aspek tafakur tidak terkandung. Tafakur terambil dari kata fikr (pikir), yaitu proses menggabungkan sebagian kejadian dan sebagian lainnya serta melakukan konstruksi. Benar bahwa menetapkan hubungan sebab akibat serta menguatkan hubungan antara hamba dan Khalik termasuk tafakur. Hanya saja, wirid-wirid yang tidak mengantarkan kepada hubungan suci semacam itu, meskipun dinisbahkan kepada tokoh besar, tetap tidak dianggap sebagai tafakur namun tetap mendapat pahala. Untuk dianggap sebagai tafakur, harus dilihat sejauh mana wirid itu membangkitkan ruh dan hati serta sejauh mana ia menguatkan hubungan kita dengan Allah Swt.
Kita berdoa kepada Allah Swt. agar Dia memberikan taufik-Nya. Tidak lupa kami ingin menyebutkan bahwa tafakur termasuk hal langka dalam kehidupan kita dewasa ini. Jika kita katakan bahwa manusia pada masa kini sangat lalai dalam urusan ini, sama sekali tidak berlebihan.
[1] Q.S. Âl ‘Imrân:
[2] Tafsîr Ibn Katsîr, I, 164.
[3] Q.S. al-Zalzalah: 7 – 8.
- Dibuat oleh