Mengapa Wahyu Pertama Dimulai dengan Perintah: Iqra’ (Bacalah!)?
“Bacalah!” merupakan perintah, seruan, dan tugas ilahiah yang ditujukan kepada makhluk termulia-Nya, Nabi Muhammad saw. Perintah itu kemudian ditujukan kepada seluruh manusia. Alam terhampar di hadapan kita untuk kita perhatikan dan kita pahami makna serta isinya. Alam juga merupakan bukti atas tatanan yang dibuat Sang Pencipta dan atas kekuasaan, keagungan, dan keindahan-Nya. Alam semesta tidak lain adalah salah satu manifestasi Lauh Mahfuz. Allah Swt. telah menjadikan segala sesuatu di alam ini, baik makhluk hidup maupun benda mati—selain manusia—sebagai pena yang menuliskan berbagai manifestasi dan hikmah di dalamnya.
Setiap entitas, baik makhluk hidup maupun benda mati, tak ubahnya sebuah buku. Karena itu, perintah tidak turun dengan redaksi “Lihatlah dan perhatikanlah!”, tetapi dengan redaksi: “Bacalah!”. Itu karena buku memang untuk dibaca. Alam raya ini laksana perpustakaan Ilahi. Itulah mengapa, ketika setiap entitas—selain manusia—ditugaskan untuk “menulis”, manusia secara khusus ditugaskan pula, di samping menulis, untuk “membaca”.
Ilmu tak lain adalah pengetahuan tentang berbagai manifestasi sistem-ilahiah dan keterkaitan, susunan, serta keteraturan segala sesuatu di alam ini. Sistem yang amat cermat dan seimbang ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan semata. Pasti ada pembuat dan peletak sistem itu, dan begitu jelas [keniscayaan] keberadaannya.
Sebelum sebuah sistem dibuat, konsepnya disempurnakan terlebih dahulu. Seorang arsitek bangunan, misalnya, tentu sudah memiliki konsep sebelum ia menggambar desainnya di atas kertas. Apabila di satu sisi kita melihat konstruksi fisik dan pemikiran manusia serta bagaimana konstruksi tersebut memengaruhi konsepnya tentang alam, maka kita bisa mengatakan bahwa jika Lauh Mahfuz merupakan sistem yang komprehensif tentang alam, Al-Quran adalah sistem yang tercatat dan tertulis. Al-Quran adalah cermin Lauh Mahfuz. Karena itu, manusia harus membaca dan berusaha memahami setiap kali membaca. Bisa jadi ia keliru dalam memahami serta melewati pengalaman salah-dan-benar ketika ia berusaha dengan inti ilmu untuk sampai kepada tingkat yakin dan berpegang teguh.
Melihat, menyaksikan, memahami, serta mengukir apa yang telah dipahami dan diterima di dalam hati dan perasaan, masing-masing adalah sesuatu yang berbeda. Demikian pula, sesudah semua itu, menerapkan apa yang telah diterima dan menyerukannya kepada pihak lain juga merupakan sesuatu yang berbeda. Tetap saja, semua aktivitas berbeda-beda yang berkaitan dengan pemahaman dan pengetahuan ini selalu ada. Itu karena ada hukum-hukum yang cermat dan harmonis di alam ini yang dibuat oleh sang Peletaknya. Di antara hukum-hukum itu:
1. Perjalanan dari satu menjadi banyak;
2. Adanya persamaan, perbedaan, dan pertentangan di antara yang banyak ini;
3. Adanya keseimbangan aktual di antara berbagai hal yang bertentangan;
4. Perwakilan, yakni adanya perwakilan dalam tugas/fungsi;
5. Adanya proses belajar dan lupa lalu belajar lagi;
6. Pengerahan upaya dan usaha;
7. Analisis dan konstruksi; serta
8. Ilham dan penyingkapan.
Semua hukum di atas terwujud dalam diri manusia. Karena itu, adalah wajar dan alami apabila terdapat persamaan, perbedaan, dan perselisihan di antara manusia dalam hal pemikiran, pandangan, keyakinan, perangai, dan tindakan. Semua perbedaan dan pertentangan alamiah itu tidaklah kosong dan hampa, namun merupakan perbedaan yang hidup dan aktual dalam koridor keseimbangan. Karena itu, adalah wajar dan alami pula apabila gerakan yang hanya bertujuan iman semata terhalang dari ilmu dan, sebaliknya, gerakan yang hanya bertujuan ilmu semata terhalang dari iman.
Itulah mengapa terdapat ilmu dan kebodohan, pengakuan dan pengingkaran, kemuliaan dan kehinaan, keadilan dan kezaliman, cinta dan benci, damai dan perang, kehidupan yang diliputi kemalasan, kelemahan, serta ketidakberdayaan dan kehidupan yang melihat bahwa manusia bisa melakukan segala sesuatu seorang diri. Itulah mengapa kita melihat kehidupan diwarnai ketergesaan, kerusakan, kegilaan, dan syahwat. Kehidupan kadangkala membangun dan kadangkala merobohkan.
Itulah pula mengapa ada kemungkinan manusia untuk lupa bahkan terhadap apa yang telah diajarkan oleh sang manusia istimewa yang diutus sebagai rahmat bagi alam semesta. Ia harus mengingatnya kembali dan harus mempelajarinya lagi. Demikian pula ketika ia melakukan analisis dan pemetaan. Dalam proses ini akan muncul pemahaman baru, pandangan baru, serta ilham dan ketampakan baru.
Semua itu telah terjadi dan pasti terjadi serta akan terus terjadi. Sepuluh perintah diwahyukan kepada Nabi Musa a.s. untuk menata kehidupan sosial. Nabi Isa a.s. diberi sifat santun, kasih sayang, cinta, dan sabar dalam berinteraksi dengan manusia. Lebih dari itu, Nabi Muhammad saw. diberi ilmu, kehendak, kebijaksanaan, keberimbangan, kemampuan menganalisis dan menyusun, serta kalam dan penjelasan yang komprehensif.
Oleh sebab itu, tugas seorang muslim dari satu segi lebih banyak dan lebih sulit daripada orang lain, namun pada saat yang sama, lebih mulia dan lebih luhur. Itu karena fungsi seorang muslim harus memenuhi sepuluh perintah Ilahi dan prinsip-prinsip bermasyarakat, seperti sifat cinta, toleran, memberi maaf, santun, kasih sayang, dan sabar, serta mengharuskan adanya ilmu, kehendak, kebijaksanaan, ketawadukan, dan penataan hati. Dengan kata lain, fungsi seorang muslim menuntut dan mengharuskan derajat yang tinggi.
Karena itu, berbagai penemuan yang terwujud dalam bidang fisika, kimia, dan biologi serta kemajuan yang dicapai oleh para ilmuwan dan penemu layak mendapatkan penghargaan dan penghormatan, sebab penemuan-penemuan itu telah menyingkap banyak kebenaran yang tercatat dalam Al-Quran, kitab yang tertulis dalam Lauh Mahfuz, di seputar sejumlah prinsip beragam hubungan yang terdapat di berbagai penjuru alam. Namun, pada waktu yang sama, umat manusia pun harus dilindungi dan dijaga agar mereka tidak terjatuh ke dalam kesesatan pemikiran, seperti pengingkaran adanya Pencipta alam, penolakan adanya ilham, petunjuk dan wahyu Ilahi, atau sikap menuhankan manusia dan menjadikan kehendak manusia sebagai penguasa mutlak.
Apabila berbagai pendekatan baru tidak diberikan kepada ilmu-ilmu fisika, kimia, dan biologi terkait dengan hukum-hukum yang tersingkap dan didasarkan pada eksperimen laboratorium, maka akan terdapat bahaya besar di hadapan masyarakat berisi manusia yang—karena tertipu oleh berbagai penemuan itu—mulai congkak dan berusaha melepaskan diri dari semua ikatan kemanusiaannya, bertambah berani, serta kurang bertanggung jawab. Karena itu, manusia semacam ini—yang telah menjadi seperti hewan percobaan yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan—harus menyadari bahwa dirinya adalah manusia dan bahwa masyarakat bukanlah hewan percobaan untuk dijadikan objek dalam berbagai eksperimen.
Sangat penting membersihkan sains yang ada saat ini dari berbagai kebekuan dan kesiasiaan. Ini akan membantu untuk memahami persoalan berbagai hal yang menjadi perhatian ilmu pengetahuan, di samping juga mengantarkan manusia untuk bisa melakukan apa yang terdapat dalam kehendak dan pikirannya sehingga bisa menyaksikan berbagai hal yang didapatkan oleh perasaan dan kalbunya secara batin. Kalau ini terjadi, sang cendekiawan akan berbalik menjadi lisan yang fasih dan kalbu yang bisa membaca alam yang terhampar luas di hadapannya sebagai buku yang terbuka, baris demi baris. Mustahil kita mengabaikan kesamaan alam dengan buku, apalagi dalam urusan-urusan penciptaan, karena “pena (qalam)” adalah hal yang pertama kali diciptakan dan, karena itulah, perintah pertama dalam Al-Quran adalah “Bacalah!”
Namun, persoalan ini tidaklah mudah seperti tampak pada mulanya. Sebab, meskipun ada pandangan yang mengatakan bahwa kekuatan pengindraan [lahir] dan perasaan [batin] tergantung pada kekuatan indra lahir dan indra batin, adanya aksiden apa pun pada salah satu indra berdampak negatif kepada indra lainnya.
Karena itu, kita mengetahui bagaimana tuli, buta, dan bisu disebutkan secara bersamaan dalam ayat-ayat Al-Quran, sebab meskipun mata dapat membaca hal-hal yang diciptakan (alawâmir al-takwîniyyah), pendengaran merupakan indra yang dipenuhi banyak rahasia sebagai tempat pertama yang menerima hal-hal yang diturunkan (al-awâmir al-tanzîliyyah, seperti Al-Quran), sementara lisan adalah alat yang menerjemahkan penyaksian dan pendengaran. Oleh karena itu, barang siapa tidak bisa menyaksikan ayat-ayat Tuhan yang terdapat di alam dan di dirinya, ia pun tidak bisa mendengar apa yang sampai ke telinganya. Kalaupun mendengar, ia tidak bisa memahaminya. Demikian pulalah kalbu yang tidak tersambung dengan hal-hal ilahiah (al-awâmir al-ilâhiyaah, antara lain perintah Tuhan), ia tidak memahami apa yang didengar telinganya dan ia melihat kesibukan diri dengan agama yang fitri ini hanya sebagai sesuatu yang percuma.
Jadi, perintah “Bacalah!” adalah simbol tauhid, keterpaduan, dan penyempurnaan. Ia juga merupakan simbol penyaksian dan penilaian, di samping ekspresi lisan terhadap pengetahuan batin ini. Ia mengandung banyak petunjuk bagi kita dengan melihat keberadaannya sebagai perintah pertama untuk kita.
Kami telah menjelaskan masalah ini secara panjang lebar karena memang demikian penting, dan mungkin kami telah keluar dari konteks pembicaraan dan menyimpang kepada masalah lain. Kami berharap, dengan menelaah, memikirkan, dan menganalisis masalah ini kembali, akan dimengerti mengapa kami berpanjang lebar dan sedikit keluar dari konteks permasalahan.
- Dibuat oleh