Kenyataan dan Realitas, Memenuhi Prasyarat, serta Keprihatinan
Pertanyaan: Dalam memecahkan suatu persoalan, apa pengaruh dari kemampuan melihat kenyataan dan keprihatinan (اِضْطِرَاب) untuk memenuhi prasyarat supaya solusi ditemukan? Apa hubungan yang terdapat di antara keduanya? [1]
Jawab: Tugas utama yang perlu dilakukan untuk memecahkan masalah yang kita hadapi, baik dalam kehidupan pribadi maupun di kehidupan masyarakat adalah mendiagnosis penyakit dengan baik melalui membaca situasi yang terjadi dengan benar. Apabila seseorang merasa lega dan tentram meskipun menjalani kehidupan di dasar sumur yang dalam, maka sulit baginya untuk selamat dari kondisi tersebut. Karena orang seperti itu tidak akan merasa prihatin (اِضْطِرَاب) oleh kesengsaraan yang menimpanya. Ia tidak akan menemui Allah dengan hati yang membara. Ia juga tidak akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memperbaiki dirinya.
Di sisi lain, seseorang yang mengetahui jenis lubang seperti apa yang dia masuki dan merasa terganggu dengan kondisinya akan berbalik kepada Allah dalam keadaan tak mampu menemukan jalan keluar serta putus asa. Selain itu, dia akan melakukan apa pun yang diperlukan untuk menyelesaikan masalahnya tersebut. Dia akan meminta bantuan sesuai dengan kondisi kesulitan yang dihadapi kepada orang-orang di luar sumur dan berpegangan pada tali atau ember yang diulurkan kepadanya. Sesuai dengan tingkat kesulitannya, dia akan menggali pijakan di mana dia dapat memanjat dan mencoba keluar dari sana. Pada akhirnya, Allah tidak akan membiarkan hamba yang dengan sepenuh hati menghadap kepada-Nya dan telah mengerahkan segala upaya berada dalam keadaan tak berdaya. Dengan tajali sir ahadiyah di dalam nur tauhid, Allah SWT akan mengeluarkan hamba-hamba-Nya tersebutnya ke pantai keselamatan.
Orang-orang yang Berada di Dalam dan di Luar Sumur
Dalam hal ini, hal pertama yang harus dilakukan adalah menganalisis situasi dengan baik. Bagian mana yang disebut sebagai bagian luar sumur dan bagian mana yang disebut sebagai bagian dalam. Singkatnya, sebagaimana menentukan batasan-batasannya dengan sangat baik, kita juga harus mampu membedakan siapa saja sosok yang ideal dan siapa saja orang-orang yang bertentangan dengannya. Harus segera disampaikan bahwasanya periode ideal dalam arti sebenarnya bagi kita adalah periode Potret Kebanggaan Umat Manusia (sallallahu alaihi wa sallam). Sedangkan periode yang paling dekat dengan ideal adalah masa para Khulafaur Rasyidin. Pada periode selanjutnya, periode ideal semacam itu masih muncul meskipun belum dalam tataran yang paripurna atau masih dalam takaran bayangan dari kondisi yang ideal. Periode tersebut misalnya muncul pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz dari Bani Umayyah, lalu pada masa pemerintahan Khalifah al-Hadi, al-Mahdi, dan Harun ar-Rasyid dari Bani Abbasiyah. Periode waktu terlama di mana kehidupan yang paling dekat dengan ideal dijalani terjadi pada masa Usmani. Mereka menjalani kehidupan yang sangat dekat dengan kondisi ideal (atau disebut juga berada di bawah bayang-bayang kondisi ideal) selama kurang lebih seratus lima puluh hingga dua ratus tahun lamanya, sesuatu yang tak bisa disamai oleh negara Islam di masa mana pun.
Karena telah merasakan nyaman dan indahnya kehidupan di luar sumur, mereka pun memahami bahwa kondisi jatuh ke dalam lubang atau hidup di dasar sumur merupakan situasi yang sangat tidak nyaman. Oleh karena orang-orang ini pernah masuk ke dalam lingkungan surga yang sempat hilang mereka akan dengan mudah merasakan perbedaan ketika nilai-nilai yang dimiliki itu jatuh, meski hanya berjarak satu meter saja dari tempat yang seharusnya.
Sementara itu pada kelompok yang kedua, disebabkan belum pernah merasakan kehidupan di dalam surga, mereka tidak akan pernah menyadari bahwasanya mereka sedang menjauh dari surga. Mereka tidak akan memahami bahwa sebenarnya yang hilang adalah nilai-nilai dari diri mereka. Untuk itu, mereka pun tidak merasa prihatin karenanya.
Mereka tidak akan menyadari bagaimana perasaan, semangat, dan air mata kita pada suatu waktu dicuri. Mereka juga tidak akan mengerti bagaimana kita dibiarkan hancur secara rohani. Ini karena masjid-masjid yang mereka saksikan bukanlah tempat-tempat yang penuh dengan gairah dan semangat. Di waktu yang sama, mereka belum pernah menyaksikan bagaimana sekolah mengangkat manusia menuju Allah seperti halnya peristiwa mikraj. Mereka belum pernah melihat adab kesopanan dipraktikkan di jalanan. Oleh karena itu, mereka pun terhalang dari kehidupan mulia yang demikian. Kekurangan ini menjadi penghalang bagi pandangan mereka untuk melihat keberadaan lubang di sekitarnya.
Cara untuk mengatasi kekurangan ini dan jalan untuk melihat kenyataan adalah dengan berangkat ke masa di mana idealisme kita dijalani dengan sempurna serta mencoba memahami periode itu dengan segala warna, pola, dan aksennya. Apabila Anda mengenal Rasulullah dengan baik, berjalan di atas jejak langkah sahabat-sahabatnya, serta memahami masa hidup mereka dengan semua dimensinya, maka Anda akan memiliki kriteria untuk mengevaluasi situasi dan posisi Anda dengan tepat. Pada prinsipnya, jalan untuk memahami apakah terdapat “belokan” dalam hidup kita dapat diketahui dengan jalan tersebut. Apabila terdapat kriteria ataupun alat ukur untuk mengontrol status kesehatan pemikiran dan pergerakan, dengannya Anda akan mudah menemukan ketergelinciran maupun ketersesatan. Kondisi Anda terkini pun dapat dengan mudah dideteksi.
Ya, apabila Anda ingin selamat dari ketidakteraturan hidup, yang harus dilakukan pertama kali adalah memahami dengan baik masa kehidupan Rasulullah dan para sahabatnya. Dengannya kita dapat menghapus rasa lapar dan dahaga, mencambukkan gairah dan motivasi, serta menstimulasi ulang hubungan kita dengan Allah SWT.. Jika kita dapat mencapai titik ini dan melihat usia hidup kita dari jendela tersebut, kita akan melihat bagaimana rumah tangga telah hancur lebur, bagaimana jalanan kondisinya sangat buruk, bagaimana institusi pendidikan tidak lagi memiliki wibawa, bahkan tempat-tempat peribadatan yang merupakan tempat di mana orang dipersiapkan untuk mampu mengepakkan sayap serta terbang ke angkasa pun kini hanya bisa diam dan membisu. Hal ini terjadi selain karena para pemateri tidak menyampaikan sesuatu yang serius, demikian juga dengan para jamaah yang tidak menyadari urgensi dari apa yang mereka kerjakan. Orang-orang yang melihat hakikat ini harus melukis dengan baik keindahan-keindahan dari situasi di luar sumur dan pada saat yang sama harus mampu menceritakan dengan indah situasi tersebut sehingga dapat membuka mata mereka terhadap kebenaran. Saat matanya terbuka, mereka pun dapat menilai kondisi dirinya dan berseru: “betapa menyedihkannya kondisiku!”.
Doa Para Muztar (Orang-Orang yang tak Berdaya)
Jika posisi tersebut dapat dicapai dan orang-orang dapat disadarkan betapa memprihatinkannya hidup di dalam sumur, mereka akan kembali kepada Allah SWT dalam keadaan iztar (tidak berdaya) dan dari-Nya mereka mencari pertolongan. Dalam Al Qur’an terdapat ayat أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ yang artinya “Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan (QS An Naml 27:62)” yang mengisyaratkan bahwa doa orang-orang yang tak berdaya akan dikabulkan.
Ketika melihat kehidupan para nabi, kita akan melihat banyak contoh tentang hal ini. Misalnya Nabi Yunus bin Matta a.s. ketika berada di perut ikan kemudian mencurahkan kondisi dirinya kepada Allah SWT dengan munajat: لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim (QS Anbiya 21:87)”
Daripada berkata: “Selamatkanlah aku dari perut ikan, dari kegelapan samudera, dan dari mencekamnya malam,” beliau lebih memilih untuk menyerahkan kondisinya kepada Allah SWT. Ketika seseorang melakukan apa yang menjadi tugasnya dan bertawajuh sepenuhnya kepada Allah SWT dengan perasaan tak berdaya, rahasia ahadiyah di dalam nur tauhid pun akan muncul. Dengan kata lain, di tempat di mana manifestasi Sang Jalal dibutuhkan, Jamaliyah-Nya bertajali sesuai kebutuhan dan kondisi dari Nabi Yunus a.s. Ketika dia kembali kepada kaumnya, sebagaimana disampaikan oleh Al-Qur'an dalam surat as-Saffat (37) ayat 147-148[2] terdapat lebih dari seratus ribu orang yang beriman padanya. Artinya, meskipun ia jatuh ke dalam perut ikan disebabkan beliau meninggalkan umatnya sebelum turun pertanda dari Allah SWT, beliau melakukan segala hal yang dibutuhkan untuk menebus kesalahannya dan merintih kepada Allah dengan sepenuh hati.
Hal serupa juga dialami Sang Potret Kebanggaan Umat Manusia. Ketika beliau meninggalkan Mekah untuk pergi menuju Madinah, orang-orang musyrik membuntutinya. Beliau kemudian bersembunyi di Gua Tsur (Sebenarnya saya kurang nyaman menggunakan istilah “bersembunyi” karena saya pikir kata tersebut tidak layak disandingkan untuk sosoknya yang mulia. Karena baik Gua Tsur, Gua Hira, bahkan Madinah sekalipun tidak akan cukup untuk melindunginya. Beliau hanya berlindung kepada Allah SWT. Pada dasarnya apa yang beliau lakukan semata-mata merupakan usaha menunaikan hak dari iradatnya dan untuk memenuhi sunatullah belaka, yaitu untuk menghilangkan jejak dari kejaran musuh, ~ penulis). Kita tidak mengetahui doa seperti apa yang beliau panjatkan di sana. Namun, nampaknya apa yang beliau sampaikan dalam munajatnya adalah sesuatu yang penting. Beliau bertawajuh sepenuhnya kepada Allah. Melalui sebab-sebab yang sederhana Allah pun melindunginya dari kejaran orang-orang musyrik.
Dari perspektif yang serupa, Anda juga dapat melihat bagaimana peristiwa selamatnya Nabi Yusuf melalui tambang yang dijulurkan ke dalam sumur ataupun Nabi Musa yang membelah lautan dengan menghentakkan tongkatnya terjadi. Secara rinci, Al-Qur’an tidak menyampaikan doa seperti apa yang mereka panjatkan. Namun, tidak ada keraguan bahwasanya nabi-nabi yang mulia tersebut mengarahkan diri sepenuhnya menghadap Allah dan menyampaikan rintihan termurni dari lubuk hati yang paling dalam di saat semua sebab lahiriah tak lagi dapat diandalkan. Sebagai hasilnya, dalam kondisi itu sir ahadiyah di dalam nur tauhid pun muncul. Para nabi tersebut kemudian berhasil meraih keselamatan melalui pertolongan yang dikirimkan dari sisi Allah SWT.
Kemunculan sir ahadiyah di dalam nur tauhid menandakan bahwa tajali jamaliah dan rahmaniah-Nya datang sesuai kebutuhan dan situasi yang dihadapi hamba-Nya. Dengannya, si muztar pun dikeluarkan di pantai keselamatan. Namun, untuk mewujudkannya terdapat syarat seperti si muztar harus menghadapi bencana; si muztar harus merasa benar-benar tak berdaya; terakhir, si muztar dengan segala keakuannya sepenuhnya menghadap kepada Allah SWT semata. Oleh karena itu, di satu sisi ia bergantung pada dalamnya keprihatinan dalam usaha memisahkan antara yang baik dan yang buruk, terang benderang dan kegelapan, serta antara cahaya dan kekelaman.
Mengikuti Sunatullah
Setelah menyadari hal-hal negatif yang menimpanya, selain bertawajuh kepada Allah dalam keadaan tak berdaya, diperlukan juga usaha untuk memenuhi hak iradat dan mengikuti sunatullah. Hal tersebut merupakan undangan penting menuju iradat, kehendak, dan lingkungan Allah SWT yang meliputi segala sesuatu. Oleh karena itu, misalkan sebab-sebab lahiriah tampaknya tidak cukup untuk menyelamatkan kita dari bencana yang kita alami, selama kita telah maksimal dalam berikhtiar, insya Allah Dia tidak akan membiarkan perjuangan kita tidak terjawab.
Peristiwa di mana Nabi Musa memukulkan tongkatnya ke samudera di satu sisi merupakan sebuah sebab yang menghadirkan hasil yang kemudian menolongnya dari musibah. Betapa pun sepertinya ikhtiar yang dilakukan mungkin tidak sesuai dengan kadar yang dibutuhkan, tetapi mengikuti sunatullah ibarat kita sedang mengetuk pintu rahmat Ilahi. Apabila ia dilakukan dengan iradat yang paripurna, maka Allah akan menghantarkan Anda meraih apa yang Anda harapkan.
Kita tidak tahu apa yang dilakukan Nabi Yunus bin Matta dalam rangka memenuhi aspek sunatullah ketika beliau berada di dalam perut ikan. Bisa jadi beliau beberapa kali melepaskan tinjunya ke dinding perut ikan sehingga si ikan pun merasa tidak nyaman dan kemudian memuntahkannya ke pinggir pantai. Serupa dengan hal tersebut, dalam Al-Qur’an tidak diperinci apa yang dilakukan oleh nabi Yusuf dalam rangka bertawasul kepada sebab-sebab supaya ia selamat dan berhasil keluar dari lubang sumur. Namun, ketika beliau melihat ember dijulurkan ke dalam sumur, ia kemudian segera berteriak atau mungkin menggenggam ember itu erat-erat.
Mari kita beri contoh juga dari kehidupan Rasulullah tentang bagaimana beliau bertawasul kepada sebab-sebab. Sebagaimana diketahui, ketika beliau hijrah menuju Madinah al Munawwarah di sana terdapat komunitas yang populasinya lebih besar daripada populasi komunitas muslim. Beberapa di antara mereka tak henti-hentinya mempersiapkan beragam persekongkolan disebabkan keingkaran mereka kepada Allah dan misi kenabian. Sang Potret Kebanggaan Umat Manusia yang memahami kondisi ini kemudian dalam sebuah perjalanan bergumam: “Seandainya saja ada seseorang yang piket berjaga-jaga di pintu sehingga aku bisa beristirahat dengan tenang” sebagai langkah pencegahan percobaan pembunuhan akan dirinya. Tepat saat lintasan pikiran tersebut muncul, tiba-tiba putra dari bibinya, yaitu Zubair bin Awwam, muncul lengkap dengan pedang terhunus. Ia menyampaikan bahwa dirinya ingin menjaga Rasulullah di waktu beliau sedang beristirahat. Ia pun menjadi uyun-u sahira (mata yang terjaga) yang siaga berjaga hingga pagi tiba. Sikap Baginda Nabi tersebut di satu sisi menunjukkan ketidakberdayaannya di hadapan Allah SWT, sedangkan di sisi lainnya menunjukkan bagaimana beliau menyempurnakan ikhtiar dalam memenuhi sunatullah.
Pada akhirnya, demi memecahkan masalah yang kita hadapi, pertama-tama kita harus mampu membedakan antara cahaya dan kegelapan serta mana yang baik dan mana yang buruk, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Setelah itu, kita harus menggeliat dengan penuh keprihatinan. Memikirkan bagaimana cara meluruskan tulang punggung dunia Islam yang telah lama bungkuk ini hingga otak berdenyut dan merintih penuh keprihatinan merupakan keadaan yang sama pentingnya dengan mengangkat tangan untuk berdoa hingga pagi hari tiba. Kemudian, semua jalan yang dapat membebaskan kita dari beragam kesulitan harus dipelajari. Semua sarana yang tersedia di jalan tersebut harus dicoba. Karena pencipta dari segala sebab adalah Allah SWT, untuk itu mengerjakan sunatullah adalah bentuk ikhtiar kita dalam memberikan penghormatan yang layak kepada-Nya.
[1] Diterjemahkan dari artikel: https://fgulen.com/tr/eserleri/kirik-testi/realiteler-sebepleri-yerine-getirme-ve-izdirap
[2] Lihat tafsir Kemenag RI QS As Saffat 37:147-148. “Dan setelah pulih, kami utus dia kembali kepada kaumnya yang saat itu berjumlah seratus ribu orang atau lebih. Kedatangannya disambut gembira karena mereka menunggu seorang rasul yang membimbing mereka menuju keimanan. Mereka sadar bahwa Allah dengan kasih sayang-Nya telah menyelamatkan mereka dari azab yang tampak di depan mata, sehingga mereka benar-benar beriman kepada Allah dengan tulus. Karena itu kami anugerahkan kenikmatan hidup kepada mereka hingga waktu tertentu, yaitu akhir hayat mereka. Anugerah semacam ini hanya Allah karuniakan kepada umat nabi Yunus (lihat pula: Surah Yunus 10: 98).”
- Dibuat oleh