In Power Syndrome atau Proses Menjadi Tiran
Pertanyaan: Seseorang yang bertanggung jawab atas bidang tertentu atau pimpinan dari suatu posisi, setelah beberapa waktu bisa jadi ia mulai melihat dirinya sebagai pemilik dari bidang atau posisi tersebut. Terkait permasalahan ini, bagaimanakah seharusnya sikap dan pikiran dari seorang muslim? [1] [2]
Jawaban: Dalam mengelola sumber daya manusia, terdapat banyak perbedaan pendekatan yang dilakukan oleh orang yang melakukan pekerjaan karena tugas itu diamanahkan kepadanya dengan mereka yang menganggap bahwa posisi itu adalah milik pribadinya. Namun sayangnya, hal tersebut adalah situasi yang terjadi akibat pengabaian dan kelalaian banyak orang. Sebenarnya, apabila orang-orang yang bertanggung jawab dalam mengelola sumber daya manusia tidak mengikuti jalan Rasulullah Saw. dan Khalifah Rasyid-Nya ridwanullahi 'alaihim serta tidak melihat diri mereka sebagai pengemban amanah melainkan mulai memandang dirinya sebagai pemilik dari suatu posisi tertentu, artinya dia telah mulai membangun jalan untuk menjadi seorang tiran dan despot.
Orang-Orang yang Memandang Hal-Hal Negatif berasal dari Dirinya Sendiri
Salah satu prinsip terpenting yang harus dilakukan supaya kita selamat dari bencana seperti itu adalah orang-orang yang berada di posisi pemimpin hendaknya selalu melakukan muhasabah diri serta melihat semua hal negatif yang terjadi di sekitarnya terjadi tak lepas dari peranan dirinya. Sebenarnya, pemahaman dan falsafah manajerial yang seperti ini bersandar pada agama kita. Terkait permasalahan ini, sikap yang diambil Sayyidina Umar adalah teladan yang baik bagi kita. Meskipun beliau adalah seorang negarawan yang dalam masa 10 tahun pemerintahannya telah berhasil mewujudkan pembebasan yang lebih besar daripada yang dilakukan di masa Usmani dan Seljuk, ketika kemarau panjang menimpa, beliau meletakkan kepalanya dalam posisi bersujud dan merintih: “Ya Allah, janganlah Engkau musnahkan umat Nabi Muhammad gara-gara dosa-dosaku!”. Oleh karena itu, ketika menghadapi kondisi-kondisi negatif para pemimpin hendaknya mengambil tanggung jawab terbesar dari terjadinya kerusakan dan keruntuhan di sekitarnya. Hendaknya mereka merintih dan memanjatkan doa kepada Allah serta melakukan yang terbaik untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Jiwa-jiwa berdedikasi yang mengambil beberapa tanggung jawab untuk menuangkan inspirasi dalam jiwa umat manusia, di waktu yang tak terduga bisa saja mereka mengalami permasalahan dan kegagalan yang tak pernah diperkirakan sebelumnya. Sedangkan di waktu yang lain, Allah Swt. menganugerahi beberapa kesuksesan yang layak mendapat sambutan dari masyarakat. Keadaan tersebut dapat memantik sebagian orang yang karakternya lemah untuk berkeinginan tampil di bingkai yang sama dengan sosok-sosok berdedikasi. Apabila orang-orang yang hanya mencari keuntungan tersebut tidak berhasil meraih apa yang mereka cari, maka mereka akan melontarkan fitnah, kebohongan, dan beragam keburukan lainnya. Tentu saja Allah akan mengambil perhitungan atas apa yang mereka lakukan. Namun, sosok yang bertanggung jawab di situ akan melakukan muhasabah atas problem dan permasalahan yang terjadi serta bertanya kepada dirinya sendiri: “Kesalahan apa yang sudah kulakukan sehingga kami harus menghadapi musibah semacam ini?”
Orang-Orang yang Menolak untuk Mengklaim Keberhasilan Kinerjanya
Apabila orang-orang yang berada dalam posisi sebagai pemimpin tidak memiliki pikiran untuk selalu melakukan muhasabah dan introspeksi diri, ia tidak akan mau menerima kealpaan dan kekeliruan ketika terjadi persoalan yang bersumber dari kesalahan dalam mengambil keputusan. Ia akan menganggap pembahasan atas kekeliruan tersebut sebagai ancaman sehingga ia kemudian berusaha untuk membungkam suara-suara itu. Pada akhirnya, tirani di lingkungan mereka pun bermula. Ya, para pemimpin yang mengklaim keberhasilan yang dianugerahkan Allah Swt. berkat kerja kolektif sebagai prestasi mereka secara pribadi merasa bahwa segala sesuatu bermula dan berakhir karena peranan mereka. Mereka akan terjebak dalam ilusi bahwasanya dirinya merupakan asal dari semua kebaikan yang terjadi. Pemikiran tersebut meskipun tebersit secara implisit, ia tetap merupakan klaim yang masuk ke dalam wilayah sebagian sifat uluhiyah. Mereka yang mengklaim hal tersebut akan menerima akibat seperti dijelaskan dalam hadis qudsi:
اَلْكِبْرِيَاءُ رِدَائِي وَالْعَظَمَةُ إِزَارِي فَمَنْ نَازَعَنِي وَاحِدًا مِنْهُمَا قَذَفْتُهُ فِي النَّارِ
”Kesombongan adalah selendang-Ku dan kebesaran itu adalah kain sarung-Ku. Barang siapa menyaingi-Ku pada salah satu dari keduanya, niscaya Aku melemparkannya ke dalam neraka jahanam (HR Muslim, Birr, 136; Abu Daud, Libas, 26). Melalui hadis qudsi tersebut, Allah SWT memperingatkan bahwa orang-orang yang memandang besar dirinya akan dilemparkan ke neraka jahanam karena telah berani berbuat syirik pada sifat-sifat Ilahi.
Para Pelaku Musyawarah dan Akal Kolektif
Sebagaimana segala sesuatu tidak bermula dari kita, segala sesuatu juga tidak berakhir karena kita. Kegagalan akan menjadi konsekuensi karena telah menggantungkan keberhasilan pada performa pribadi. Apabila kita bisa menjauhi individualis dan sifat egois, maka perpecahan dan kerusakan pun bisa dihindari. Demikianlah seseorang harus memandang dirinya, dimanapun ia ditugaskan. Daripada menggantungkan keberhasilan hanya pada kemampuan pribadinya, lebih baik ia menyerahkannya kepada akal kolektif. Jangan pernah mencukupkan diri dari praktik musyawarah dan penggunaan akal kolektif. Ketika ia tak sanggup memenuhi ekspektasi dari tanggung jawab yang diamanahkan kepadanya, ia harus bisa sadar diri. Tanpa berat hati, ia harus bisa menyatakan: “Saya bertanggung jawab untuk mengembangkan persatuan dan kesatuan masyarakat. Saya juga diamanahkan untuk menyiapkan hati masyarakat dan menyeru mereka kepada taufik ilahi. Apabila performa saya dirasa kurang representatif dan meyakinkan, Anda bisa menyudahi amanah ini dan menugaskan saya ke peran yang lebih sederhana.” Mereka yang bertekad untuk berkontribusi dan melayani kebenaran, masyarakat, dan bangsanya haruslah memiliki perasaan dan pemikiran seperti itu.
Orang-Orang yang Tidak Berharap Imbalan Duniawi dan Ukhrawi
Mereka tidak mengharap imbalan duniawi dan ukhrawi atas tugas yang telah mereka lakukan, tidak pula ada dalam hati mereka keinginan untuk mendapatkan jabatan yang tinggi, memperoleh pangkat, dan berharap untuk menjadi orang yang populer. Karena jika ditelisik dari segi nafsu dan dunia, pandangan yang selalu ke atas dan mengagumi diri sendiri merupakan tanda dari kepongahan dan kesombongan. Akan sangat sulit bagi orang sombong untuk bergerak secara seimbang, memenuhi hak dari amanah yang diembannya, dan menyadari apa yang menjadi tanggung jawabnya. Karena mereka menganggap dirinya seakan-akan orang yang paling penting di dunia. Mereka pikir akan terjadi bencana dan kehancuran saat mereka melepaskan diri dari pekerjaannya. Pemikiran tersebut merupakan kesilapan dan keterperdayaan yang nyata.
Orang-Orang yang Memilih Menjadi Tabi'iyah (mengikuti) daripada Matbu’iyah (yang diikuti) yang Menyebabkan Jatuhnya Tanggung Jawab dan Datangnya Bahaya
Sebagian besar kriteria yang disampaikan Ustaz Badiuzzaman Said Nursi dalam Risalah Ikhlas dan Ukhuwah merupakan tolok ukur berharga bagi pembahasan ini. Mengamalkannya merupakan langkah penting untuk mencegah terjadinya ketergelinciran semacam ini. Misalnya, di satu kesempatan beliau mengatakan bahwa lebih baik memilih menjadi pengikut saja daripada harus menjadi pemimpin yang menjadikannya dimintai pertanggungjawaban dan sebab bagi datangnya kehancuran (baca di Al Lamaat, Cahaya ke-20, Nokta Pertama). Jadi, seseorang lebih diutamakan mengikuti orang yang pantas untuk diikuti daripada menjadi orang yang harus diikuti. Ini karena setiap tanggung jawab berisi beragam bahaya dan risiko. Misalnya, di suatu tempat akan didirikan salat berjamaah. Seseorang tidak seharusnya langsung maju untuk mengimami jamaah tersebut. Sebaliknya, ia harus sadar diri dan bermakmum kepada orang lain yang lebih baik. Bahkan sebaiknya ia tidak mengambil tugas meski sebagai muazin sekalipun. Seyogianya ia menyerahkan tugas itu kepada orang lain. Kecuali, masyarakat menganggapnya layak untuk mengambil tugas itu. Jika kepekaan tersebut dipraktikkan dalam situasi-situasi yang bisa membuat orang terlihat populer dalam kehidupan sosial seperti memimpin salat dan berceramah, maka seiring berjalannya waktu akhlak ini akan bersemayam di hati masyarakat dan kemudian menjadi bagian dari karakter mereka. Orang-orang yang dapat menjadikan sifat “tahu kapan harus mundur” menjadi bagian dari kedalaman karakternya tidak akan jatuh menjadi seorang tirani ataupun bersikap layaknya seorang despot ketika mereka ditugasi sebuah amanah untuk menjadi seorang pemimpin.
Sosok-Sosok Rendah Hati yang Melarikan Diri dari Tepuk Tangan dan Atensi Banyak Orang
Oleh karena sultan-sultan Usmani seperti Sultan Muhammad al Fatih, Sultan Salim I (Yavuz Sultan Selim), dan Sultan Sulaiman al Qanuni telah menjalani rehabilitasi dan penggemblengan karakter yang amat ketat, saat berkuasa mereka tidak lepas dari sikap tawaduk dan beragam sifat mulia lainnya serta tak sedikit pun menjalankan kekuasaannya dengan tirani. Perkataan tak patut, tak pantas, serta tuduhan keji yang dinisbahkan kepada mereka merupakan perkataan yang bersumber dari kebodohan belaka. Sultan Sulaiman al Qanuni yang menghabiskan umurnya dari satu medan pertempuran ke medan pertempuran lainnya demi menghadapi orang yang telah terkunci mata hatinya dalam permusuhan adalah sosok yang senantiasa menundukkan wajahnya ke arah tanah. Ia tak pernah berlepas diri dari ketawadukan di hadapan orang-orang mukmin dan para pengikutnya. Diriwayatkan bahwa ketika kembali dari kemenangan-kemenangan besar, beliau memilih beristirahat di koridor istana untuk melakukan perhitungan terhadap nafsunya. Demikian pula dengan Sultan Selim I. Saat kembali dari perang Mercidabik (Marj Dabiq)[3] dan Ridaniya[4], beliau menunggu di Uskudar hingga malam tiba demi menghindari sambutan dan tepuk tangan dari rakyatnya.
Tidak Mengabaikan Nutrisi Maknawi
Sangatlah penting bagi orang-orang yang mengabdikan dirinya demi melayani agama dan kemanusiaan untuk menjalani pelatihan semacam ini sejak awal. Seseorang sudah berkewajiban menjauhkan diri dari sifat-sifat tirani terkecil sekalipun yang mungkin saja muncul ketika wewenangnya masih terbatas. Dengan demikian, ketika wewenangnya semakin besar ia tidak akan merasa bahwa dirinya adalah penguasa dunia yang berhak menindas orang-orang di bawahnya ataupun orang-orang yang tidak mengikuti perintahnya, khususnya ketika rencana yang disusunnya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sebaliknya, ia harus meyakini bahwa semua keberhasilan terwujud berkat izin dan inayat dari Allah. Ia tak boleh lupa bahwa dirinya hanyalah sebab kecil belaka. Apa pun posisi dan jabatannya, ia harus tahu diri.
Oleh karena itu, mereka yang jabatannya paling rendah hingga yang jabatannya paling tinggi tidak boleh ada yang kosong dari nutrisi maknawi. Orang-orang harus senantiasa direhabilitasi dalam kerangka islami, insani, dan disiplin akhlak universal. Mereka harus dibantu supaya menjadi seorang manusia yang matang. Apabila orang-orang dibiarkan tanpa nutrisi maknawi, maka mereka akan jatuh dalam kekosongan, terputus, serta menjauh dari prinsip-prinsip tersebut. Sekalinya terputus, mereka akan berseru: “diriku...diriku...” dan berjalan tanpa arah. Mereka akan hidup dalam keterputusan yang dapat menghancurkan mereka, akan kehilangan teman dan kerabat sejati mereka, serta akan menghabiskan umur dalam batas-batas sempit diri mereka.
[1] In-Power Syndrome adalah gambaran bagi orang yang sebelum berkuasa perilaku dan ucapannya seperti ‘orang bener’, tapi ketika berkuasa ia mulai lupa diri dan mati-matian mempertahankan kekuasaannya dengan cara apapun.
[2] Diterjemahkan dari artikel https://fgulen.com/tr/eserleri/kirik-testi/guc-zehirlenmesi-ya-da-tiranlasma
[3] Pertempuran Marj Dabiq adalah pertempuran yang terjadi pada tahun 1516 M antara Kesultanan Usmani dan Kesultanan Mamluk. Pertempuran ini terjadi di Padang Rumput Dabiq, sekitar 38 km dari Aleppo. Di Dabiq diyakini terdapat makam Nabi Daud as. (https://islamansiklopedisi.org.tr/mercidabik-muharebesi)
[4] Pertempuran Ridaniya masih lanjutan pertempuran antara Usmani dan Mamluk. Dalam pertempuran ini Kesultanan Mamluk takluk. Pertempuran ini terjadi pada tahun 1517 M. Salah satu sebab pertempuran adalah koalisi Kesultanan Mamluk dan Shah Ismail, pendiri dinasti Safawi.
- Dibuat oleh