
Pengorbanan dalam Meraih Kelezatan Maknawi
Pertanyaan:
Disebabkan kesibukan dalam menunaikan pekerjaan, apakah kita bisa menganggap kekurangan dan pengabaian dalam beberapa ibadah pribadi kita sebagai sebuah pengorbanan terhadap kelezatan maknawi?[1]
Jawaban:
Kelezatan maknawi (Fuyudhat ilahiyyah) yang sedang dibahas ini, dalam terminologi Islam merupakan buah manis dari mahabbah kepada Allah. Ia adalah keadaan ruhani yang sulit untuk dijelaskan. Ia terkadang berupa insyirah (kelapangan), di waktu lain ia bisa berupa waridat (pancaran makna, ilham, ilmu, dan anugerah). Jika diharuskan menjelaskan tingkatan-tingkatannya yang membentang dari keimanan hingga menuju kelezatan rohani, maka yang pertama-tama hadir adalah imani billah, lalu marifatullah, kemudian mahabatullah, dan di akhir ada dzauq ruhani.
Dzauq ruhani tidak boleh diinginkan sebagai tujuan utama karena Anda tidak bisa selalu merasakan kedatangan anugerah-anugerah Allah tersebut di dalam kalbu, entah anugerah itu berupa waridat, ataupun pancaran faidh. Bahkan sebagian dari Anda tidak bisa merasakan kehadirannya sama sekali. Allah subhanahu wa ta'ala menjadikan sebagian manusia seperti kotak tertutup. Dia membuatnya tidak bisa merasakan curahan dzauq ruhani yang hadir. Sedangkan sebagian manusia lainnya dibuat bisa merasakan sebagiannya. Akan tetapi, orang dengan fitrah yang berbeda tetap tidak bisa merasakannya. Sementara itu, ada juga orang-orang yang walaupun tanpa hadirnya tajalli berlebih sekalipun, namun dengan mendapatkan paparan radiasi dari sinar mentari maknawi secara langsung, membuatnya bersinar seketika.
Bisa jadi meskipun secara lahiriah mereka tampak tertinggal jauh di belakang Anda, tetapi di alam ruhani (alam misal)[2] mereka justru sedang berada bersama Rasulullah dan ruhaniyyun para tokoh agung yang telah berkhidmat untuk Islam karena fitrahnya bisa sesuai dengan derajat dan tingkatan ini. Jika fitrah tidak sesuai, jangankan bergandengan tangan dengan Baginda Nabi, Anda tidak akan bisa menyaksikan Sang Nabi dalam mimpi sekalipun yang mana keadaan itu merupakan penghibur terindah bagi orang-orang awam.
Jika engkau belum bisa memandang dan meyakini hal-hal yang berkaitan dengan alam akhirat dengan kepastian sejelas dan setegas seperti saat dirimu meyakini dunia materi ini hingga hatimu berada dalam keadaan seolah berkata "Selangkah lagi aku bisa masuk surga," maka pintu-pintu itu tidak akan terbuka bagimu. Bagaimanapun, tidak mencapai keadaan rohani yang demikian sebenarnya bukanlah kekurangan yang serius. Sebagaimana disampaikan Arsitek Pemikiran Abad Ini: "Anugerah ilahi terbesar yang diterima oleh seorang manusia adalah keadaan di mana Allah subhanahu wa ta'ala tidak membuatnya sadar sedang menerima anugerah ilahi." Apalagi keadaan rohani yang demikian pun tidak dimiliki oleh Sayidina Abu Bakar, Anas bin Malik, ataupun sahabat lainnya. Padahal demikian besarnya anugerah yang diterima oleh para sahabat, pun nilai yang dikandungnya, derajat mereka berkali-kali lipat lebih agung dibandingkan dengan derajat yang dimiliki oleh manusia lainnya.
Memang, hal itu bukan sesuatu yang terlarang untuk diinginkan; namun jika Allah subhânahu wa ta‘âlâ belum memberikannya, maka memaksakan diri untuk memilikinya dengan penuh ambisi jelas bukanlah sikap yang tepat. Pertama-tama, semua itu adalah anugerah yang asalnya dari Allah subhanahu wa ta'ala. Oleh karena itu, tugas kita adalah bersikap tulus dan ikhlas; ketika berlari dalam pengabdian agama jangan sampai kita membiarkan pemikiran asing masuk ke dalam kepala kita walau hanya sebesar zarah. Sebagaimana dikatakan dalam salah satu lirik lagu: "Jangan sampai ada khayalan lain masuk ke dalam matamu, Jangan sampai ada orang selain Aku yang menatapmu"[3] Demikian juga dengan hubungan antara kita dengan Allah subhanahu wa ta'ala, ia harus dijaga dengan kriteria ini. Misalnya, jika kita menyaksikan tawajuh dan ketertarikan orang-orang kepada diri kita, dengan merintih kita harus malu dan berkata seperti ini di hadapan Allah subhanahu wa ta'ala: "Ya Allah, jika Engkau tidak memandangku dengan pandangan serupa, biarlah tubuh ini hancur mendekam di dalam tanah." Pekerjaan hakiki adalah pekerjaan yang diridai Allah ta'ala. Sebagaimana disampaikan Ustaz: "Apabila Dia rida, jika dikehendaki, maka alam semesta pun akan rida.
Dari sini, orang-orang yang mengabdi kepada agama hendaknya tidak memberikan perhatiannya kepada kelezatan maknawi, melainkan memperhatikan apakah pengabdiannya sudah ikhlas atau tidak. Apabila khidmah yang dilakukannya menjadi sarana bagi diterimanya hidayah oleh seseorang; serta apabila Anda bisa membuat rencana dan program yang bisa menjadi jalan bagi disambutnya hidayah oleh hati seorang anak manusia maka itu artinya Anda telah melakukan pekerjaan yang lebih baik dari segala sesuatu di dunia ini. Dengan memperhatikan kondisi kita pada hari ini, dapat dikatakan - saya mengatakan ini sambil bersumpah - walaupun Anda menyedekahkan jutaan mobil sekalipun ganjarannya tidak akan bisa menyamai keutamaan jika kita menjadi sarana diterimanya hidayah oleh seorang anak manusia.
Apabila Anda melakukan pekerjaan ini dengan jalan yang paling sempurna maka apalah artinya kelezatan maknawi! Kelezatan maknawi yang Anda peroleh itu tak bisa dibandingkan dengannya. Bagaimanapun, oleh karena Anda tidak memperhitungkan kelezatan maknawi, maka pengabdian terbaik pun dapat dikerjakan sepenuhnya. Apabila kelezatan maknawi merupakan hal yang penting, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak akan kembali ke bumi setelah mikraj, sebagaimana disampaikan waliullah Abdul Quddus:"Apabila saya berhasil meraih posisi yang dicapai oleh Rasulullah, saya bersumpah untuk tidak akan kembali ke bumi." Padahal Rasulullah telah meraih puncak yang tak bisa diraih manusia lainnya, di sana beliau menyaksikan tirai-tirai para bidadari di surga, para malaikat menyambut kedatangannya, bintang-bintang berjajar seakan menjadi batu paving tempat beliau berpijak. Akan tetapi, beliau kembali ke bumi demi persoalan yang lebih penting dari semua itu, yaitu demi irsyad dan menyampaikan kebenaran kepada umat manusia. Ya, kita harus menimbang segala sesuatu dengan kriteria Allah subhanahu wa ta'ala.
Di sisi lain, perkataan seperti "disebabkan sibuk bekerja untuk pengabdian saya tidak menemukan waktu untuk beribadah dan mengerjakan ketaatan" bukanlah apologi yang dapat diterima. Karena seorang manusia jika dapat menyisihkan waktu dengan adil untuk minum teh, mengobrol bersama teman dekatnya, dan hal lainnya, sebenarnya ia juga dapat menemukan banyak waktu luang. Saya rasa setiap orang dengan demikian dapat menemukan waktu luang untuk bertawajuh, berdoa, dan bermunajat di hadapan Allah subhanahu wa ta'ala. Ibadah itu selain dapat merehatkannya, ia juga dapat memberkahi sisa waktu yang dimilikinya.
Ya, saya membayangkan seperti ini: andai kita mampu mengatur waktu dengan baik, lalu ketika tubuh terasa lelah secara fisik, maka kita ganti aktivitas kerja dengan ibadah, membaca wirid dan zikir; Ketika hati mulai lelah secara ruhani, kita kembali menyibukkan diri dengan pekerjaan duniawi. Dengan demikian, tubuh dan jiwa kita akan mendapat istirahat secara seimbang. Jika kita bisa menjalani hidup dengan menggilir dua dunia ini, yaitu dari ibadah dan zikir menuju urusan dunia, lalu kembali lagi dari dunia ke ibadah, maka kita akan bisa merajut lembaran hidup kita menjadi sebuah sulaman yang indah serta karya renda yang sempurna berkat izin dan karunia dari Allah...
[1] Diterjemahkan dari buku Prizma dengan judul “Füyûzât Hislerinden Fedakârlık”
https://fgulen.com/tr/eserleri/kendi-iklimimiz/fuyuzat-hislerinden-fedakarlik
[2] Alam misal, tempat kehidupan makhluk lain di alam yang merupakan gambaran dari bentuk sebenarnya di alam asalnya atau aslinya, KBBI; Alam yang terletak di antara alam materi dan alam roh, alam asli di mana semua makhluk dalam keadaan aslinya, belum diberi bentuk materi, sebelum mereka dilahirkan ke alam dunia (definisi dari kubbealti lugati)
[3] Petikan lirik lagu berjudul "Gozlerinin irine baska hayal girmesin" dipopulerkan oleh Zeki Muren
- Publikuar më .