Akhlak
Yang dimaksud dengan "akhlak" (khuluq) adalah temperamen, tabiat, atau karakter. Akhlak adalah tujuan utama dari penciptaan, dimensi utama bagi seluruh makhluk, dan usaha untuk membuat keinginan manusia dapat sejalan dengan hakikat "penciptaan" yang tujuannya adalah mengikuti akhlak Ilahi. Siapapun yang cakap menggunakan upaya ini dan mampu memakaikan pakaian akhlak kepada makhluk,niscaya akan mudah baginya untuk melakukan semua amal saleh.
Ya, kata "makhluk" (al-khalq) dan "akhlak" (al-khuluq) memang berasal dari satu akar kata yang sama. Bahkan kedua kata ini tidak terlihat berbeda dari segi struktur hurufnya. Hanya saja, makhluk dapat dilihat menggunakan mata dan dapat diindera menggunakan panca indera eksternal, karena ia memiliki pengertian yang didominasi oleh materi yang berhubungan dengan rupa, bentuk, dan struktur. Sedangkan akhlak adalah hal abstrak yang hanya dapat dipersepsi menggunakan hati, dirasakan oleh indera, dan diimplementasikan oleh jiwa.
Seorang manusia tidak dapat diketahui melalui penampilan fisiknya, sebagaimana ia juga tidak mungkin menampilkan suara hatinya yang sebenarnya, melainkan hanya melalui tabiat, temperamen, dan karakternya. Meski manusia menampilkan berbagai penampilan yang berbeda-beda, tapi pada suatu saat tabiat dan karakter mereka pasti akan menyingkap isi hati mereka. Hal ini pernah dipaparkan oleh seorang penyair jahiliyah dalam syair berikut ini:
Keburukan apapun yang tersembunyi dalam diri seseorang
Meski itu tetap tersembunyi, tapi kelak pasti akan diketahui.
Dengan kata lain, akhlak dapat memperbaiki semua keburukan penampilan dan bentuk eksternal yang menipu, sehingga ia menjadi seperti juru penerjemah bagi apa yang tersembunyi di dalam diri seseorang. Sebenarnya, ketika kata "akhlak" disebutkan, ikut pula tersebut di dalamnya segala bentuk akhlak yang baik. Akan tetapi karena seiring berjalannya waktu sebagian dari akhlak telah menjadi kemampuan (malakah), maka kebaikan dan demikian pula keburukan berubah menjadi bagian dari kedalaman tabiat kita. Itulah sebabnya kemudian muncul dikotomi istilah "akhlak yang baik" dan "akhlak yang buruk". Tapi dalam tulisan ini, yang kami maksud dengan "akhlak" hanyalah "akhlak yang baik".
Salah satu tolok ukur terkuat dalam tasawuf adalah "akhlak yang baik". Karena siapapun yang bertambah baik akhlaknya kepada Anda, maka bertambah pula tingkat tasawufnya kepada Anda. Adapun berbagai hal ajaib, maqam yang menakjubkan, dan berbagai kemampuan yang melampaui kemampuan manusia biasa, termasuk seandainya ada bermacam anggapan tentang akhlak baik beserta buahnya yang muncul pada diri seseorang, maka semua itu tidak ada artinya jika orang tersebut tidak memiliki akhlak yang benar-benar baik.
Rasulullah s.a.w. telah bersabda: "Yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya di antara kalian."[1] Pada saat itu beliau ditanya: "Mukmin seperti apakah yang paling afdal?"
Bagaimana tidak, sesungguhnya Allah s.w.t. telah menyebutkan sifat hamba-Nya yang paling afdal dan paling mulia, yaitu Rasulullah, dalam maqam ketenteraman, keamanan, dan pujian lewat firman-Nya: "Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung." (QS. al-Qalam [68]: 4). Pujian ini kemudian diiringi dengan nikmat dan kelembutan Allah yang dilimpahkan kepada Rasulullah s.a.w.. Maksud dari ayat ini adalah: Engkau memiliki akhlak yang agung, sehingga tidak mungkin dijangkau atau pun diketahui seluruhnya, karena akhlak Rasulullah bersumber pada al-Qur`an dan berpusat pada wahyu Ilahi.
Melalui ayat ini Allah menarik perhatian kita kepada Rasulullah dengan akhlak beliau yang sangat luhur dan dengan keistimewaan rohaniah beliau yang sangat tinggi. Atau dengan kata lain, Dia meminta kita melihat Rasulullah dengan akhlak beliau yang menjadi puncak dari penciptaan serta menjadi ujung dari tujuan dan maknanya yang hakiki. Dengan akhlak qur`ani yang Rasulullah miliki, beliau memulai kehidupan sebagai manusia lalu beliau menjadi sempurna hingga berhasil melahirkan Periode Cahaya ('Ashr Nûr) di akhir hayat beliau.
Penjelasan yang sedang kami paparkan ini, yaitu tentang akhlak Rasulullah yang berbanding lurus dengan kedalaman agama, hidup yang bersenyawa dengannya, dan implementasi ajaran al-Qur`an tanpa cacat, semakin dipertegas dengan jawaban Ummul Mukminin Aisyah r.ah. terhadap pertanyaan Sa'id bin Hisyam yang dilontarkan kepadanya: "Wahai Ummul Mukminin, beri tahu aku tentang akhlak Rasulullah s.a.w.?" Aisyah menyahut: "Bukankah engkau membaca al-Qur`an?" Sa'id bin Hisyam menjawab: "Ya." Aisyah berkata lagi: "Sesungguhnya akhlak sang Nabiyullah s.a.w. adalah al-Qur`an."[2]
Dari sisi lain, kata-kata yang membentuk ayat suci al-Qur`an mengingatkan kita bahwa akhlak Rasulullah adalah akhlak yang memiliki akar Ilahiah, qur`aniah, ada di atas pengetahuan manusia, dan menunjuk pada implementasi akhlak beliau, di samping kandungan utamanya yang ditujukan kepadasosok yang menjadi objek firman, yaitu Rasulullah s.a.w.. Akhlak Rasulullah yang bersifat qur`aniah, mendalam, dan mencerminkan keluasan Ilahiah, tidak dapat dibandingkan dengan sistem akhlak manapun. Akhlak beliau yang sangat luhur itu juga berada di luar pengetahuan manusia. Itulah sebabnya Allah menggunakan kata "khuluq" ketika menyebut akhlak Rasulullah s.a.w.. Itu menunjukkan dengan jelas bahwa Rasulullah tidak memiliki satu pun tandingan dari kalangan manusia, baik yang hidup sebelum beliau maupun sesudahnya. Rasulullah adalah Nabi Akhlak Baik, bahkan beliau adalah yang terbaik di antara segala kebaikan.
Ya, Rasulullah dengan segala dimensi fisik dan moral, sifat dan kepribadian, rupa dan akhlak beliau, semuanya terbuka bagi semua bentuk kesalehan. Beliau memiliki fitrah, karakter, dan kemampuan yang semuanya siap untuk menampung segala bentuk kebaikan dan siap bagi segala bentuk keagungan. Dengan pelbagai keistimewaan itulah kemudian Rasulullah berjalan menuju "puncak ketinggian paripurna" (a'lâ 'iliyyî al-kamâlât" dan memperoleh penghormatan tertinggi berkat anugerah yang sudah beliau miliki. Tapi beliau bukan hanya berjalan menuju puncak tersebut, melainkan juga selalu memperhatikan berbagai lathifah yang dianugerahkan Allah yang telah muncul dalam diri beliau sejak dini, berikut berbagai limpahan suci dari-Nya sebagaimana yang difirmankan Allah dalah ayat: "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu..." (QS. al-Ahzâb [33]: 21). Lalu Rasulullah menggandeng tangan para sahabat yang hidup sezaman dengan beliau dan memiliki roh yang suci sebagai para shafwah al-shafwah, untuk kemudian beliau mengangkat mereka menuju puncak ketinggian dengan menjadi pengikut beliau.
Dalam sabda beliau yang mulia dapat kita temukan beberapa pernyataan berikut ini:
1-"Yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya di antara kalian."[3]
2-"Sesungguhnya seorang hamba dengan akhlaknya yang baik akan dapat mencapai derajat akhirat."[4]
3-"Hal terberat di atas mizan pada Hari Kiamat adalah akhlak yang baik."[5]
Di tangan Rasulullah-lah tergenggam rahasia kemampuan untuk mengubah manusia menjadi Insan Kamil (Manusia Paripurna). Rasulullah lalu melakukan pengembaraan bersama orang-orang yang menjadi pengikut beliau dan berkelana di cakrawala yang dihuni oleh para malaikat.
Tanda-tanda akhlak yang baik, baik ucapan maupun tindakan, telah diringkas dalam kalimat berikut ini:
Tidak menyakiti, menundukkan pandangan dari orang yang menyakiti, melupakan tindakan mereka termasuk ketika melihat mereka, dan membalas keburukan dengan kebaikan, sehingga tidaklah salah jika sosok yang menjadi objek berita gembira "Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung." (QS. al-Qalam [68]: 4), adalah sosok yang paling tepat untuk menjadi contoh akhlak yang mulia.
Rasulullah tidak marah ketika berhadapan dengan orang yang dengan congkak berkata kepada beliau "Bersikap adil-lah kau!".[6] Beliau juga tidak marah ketika menghadapi orang yang menyakiti beliau dengan menarik surban yang beliau kenakan.[7] Beliau juga tidak marah ketika menghadapi orang yang menebarkan debu ke wajah beliau.[8] Beliau juga tidak marah ketika menghadapi orang yang memfitnah istri beliau yang suci.[9] Bahkan alih-alih bersikap marah terhadap orang-orang jahat itu, Rasulullah justru menjenguk ketika ada di antara mereka yang sakit,[10] dan ikut hadir ketika ada di antara mereka yang meninggal dunia,[11] yang kesemuanya itu terjadi karena akhlak Rasulullah s.a.w. yang mulia telah mewarnai karakter beliau.
Betapa banyak orang yang menampilkan akhlak yang mulia, perangai yang lembut, dan gemar menyampaikan nilai-nilai kemanusiaan, akan tetapi ternyata akhlak luhur dan kelembutan yang mereka miliki tidak lebih dari sekedar penampilan palsu yang rapuh seperti kristal yang mudah pecah. Ketika emosi mereka meluap sedikit saja, perangai dan isi benak mereka yang asli langsung tampak.
Tapi tidak demikian dengan seorang pemilik akhlak mulia yang sejati. Sikapnya tidak akan berubah meski ia diceburkan ke dalam jahanam. Ia akan tetap hidup di dalamnya dengan hati yang sabar dan penyantun, sembari berbincang-bincang dengan Zabaniah, sementara hatinya tabah menghadapi malapetaka yang menimpanya dengan lapang dada.
Hati yang telah terbuka bagi akhlak mulia sebenarnya serupa dengan sebuah tempat yang luas. Termasuk ketika kegundahannya dapat memenuhi seisi dunia, maka ia tetap dapat menemukan ruang di dalam hatinya untuk memencam kegundahan itu sehingga tidak meluap menjadi amarah. Adapun pada pribadi yang berakhlak buruk, mereka memiliki dada yang sempit, sebab merekalah orang-orang dungu yang lebih bodoh dibandingkan gagak seperti yang terjadi pada Qabil. Mereka tidak akan pernah dapat menemukan liang kubur yang cukup luas untuk menjadi tempat mereka memendam kemarahan dan perasaan mereka yang busuk.
Mari kita tutup bagian ini dengan sama-sama menyatakan:
Kesempurnaan manusia adalah dengan akhlak,
Keteraturan dunia hanya dapat dicapai dengan akhlak.
Wahai Allah, kami memohon maaf-Mu, kesejahteraan-Mu, ridha-Mu, tawajuh kepada-Mu, anugerah-Mu, kelembutan-Mu, dan kedekatan dengan-Mu. Limpahkanlah selawat dan salam kepada sosok yang Kau utus sebagai rahmat bagi alam semesta, dan kepada segenap keluarga serta sahabat beliau.
[1] Ibnu Majah, al-Zuhd 31; al-Musnad, Imam Ahmad 4/278. Dalam masalah ini banyak ditemukan hadits-hadits lainnya, silakan lihat misalnya: al-Bukhari, al-Adab al-Radhâ' 11, al-Îmân 6; Abu Daud, al-Sunnah 16.
[2] Muslim, Shalâh al-Musâfirîn 139; Abu Daud, al-Shalâh 316; al-Nasa`i, Qiyâm al-Lail wa Tathawwu' al-Nahâr 2.
[3] Al-Tirmidzi, al-Radhâ' 11; Abu Daud, al-Sunnah 16; al-Musnad, Imam Ahmad 2/250, 6/99.
[4] Al-Mu'jam al-Kubrâ, al-Thabrani 1/260; al-Musnad, al-Dailami 1/197; Majma' al-Zawâid, al-Haitsami 8/25, 24; Kasyf al-Khafâ`, al-'Ajaluni 2/261, 260.
[5] Al-Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah 5/212; al-Musnad, Abd Bin Hamid 452; al-Mu'jam al-Kabîr, al-Thabrani 24/253, 25/73; Hilyah al-Auliyâ`, Abu Nu'aim 5/75.
[6] Al-Bukhari, al-Adab 95, al-Manaqib, 25; Muslim, al-Zakâh 142.
[7] Al-Bukhari, Fardh al-Khams 19; Muslim, al-Zakâh 128.
[8] Al-Bukhari, al-Târîkh al-Kabîr 8/14; al-Mu'jam al-Kabîr, al-Thabrani 20/342; Majma' al-Zawâid, al-Haitsami 6/21.
[9] Al-Bukhari, al-Syahâdât 15; Muslim, al-Taubah 56.
[10] Abu Daud, al-Janâiz 4; al-Musnad, Imam Ahmad 5/201; al-Mu'jam al-Kabîr, al-Thabrani 1/163.
[11] Al-Bukhari, Tafsîr Sûrah al-Taubah 12; Muslim, al-Munâfiqîn 2-3.
- Dibuat oleh