Surah Yâsîn [36]: 20
وَجَاء مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعَى قَالَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِينَ
Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas-gegas ia berkata, “Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu.” (QS. Yasin, 20)
Firman Allah di atas mengisyaratkan kepada kita bahwa penduduk desa atau penduduk kota sebelum firman Allah di atas menunjukkan bahwa tempat itu senantiasa dijadikan tempat oleh para rasul untuk menyebarkan agama Allah. Tempat itu bukanlah suatu dusun di tengah padang pasir, tetapi tempat itu termasuk salah satu kota yang sudah maju menurut ukuran pemikiran manusia yang ada di masa itu. Penduduk kota tersebut telah menolak ajaran yang disampaikan oleh kedua nabi, sehingga Allah mengutus nabi yang lain, sehingga jumlahnya menjadi tiga orang utusan. Nabi terakhir yang diutus ke negeri itu adalah untuk menguati dan membenarkan ajaran yang disampaikan oleh kedua nabi sebelumnya. Meskipun demikian, penduduk kota tersebut tetap membangkang terhadap ajaran ketiga nabi tersebut, bahkan mereka berusaha membunuh salah satu dari ketiga nabi tersebut ketika ia berada di desa mereka.
Firman Allah yang kita bicarakan pada saat ini menerangkan pula bahwa Allah akan mengutus seorang nabi lagi untuk menggenapi jumlah ketiga nabi yang diutus kepada penduduk negeri itu pada waktu sebelumnya, sehingga Al-Qur’an menyebutkan firman berikut,
وَجَاء مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعَى قَالَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِينَ
Artinya, Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegasgegas ia berkata, “Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu.” (QS. Yasin, 20)
Para ahli tafsir sejak dahulu menafsirkan kalimat “aqsal madiinati” dengan berbagai penafsiran yang saling berbeda dan kami ingin menyebutkannya tiga dari penafsiran yang ada.
Menurut kami, kalimat “aqsal madiinati” mempunyai arti bahwa lelaki yang diutus itu berdiam di pojok kota atau desa tersebut.
Adapula kalimat “aqsal madiinati” mempunyai arti bahwa lelaki itu dari golongan orang mulia yang berada di kota tersebut. Bukankah di dalam shalawat Al-Munjiyat pernah disebutkan kalimat “aqsal ghaayaat”, yang artinya segala macam hajat yang tertinggi. Maksudnya, lelaki tersebut termasuk orang mulia yang tinggal di bagian ujung kota itu dan ia termasuk orang mulia yang tidak mempunyai hubungan darah sedikitpun dengan penduduk kota tersebut.
Firman Allah di atas mengisyaratkan kepada kita bahwa orang keempat yang diutus oleh Allah untuk mendukung dan membenarkan ajaran ketiga utusan sebelumnya adalah seorang yang berkedudukan tinggi di tengah kaumnya, seperti yang disebutkan dalam firman Allah berikut,
وَجَاء مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعَى قَالَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِينَ اتَّبِعُوا مَن لاَّ يَسْأَلُكُمْ أَجْرًا وَهُم مُّهْتَدُونَ
Artinya, Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegasgegas ia berkata, “Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu. Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Yasin, 20-21)
Maksud dari firman Allah ini adalah lelaki yang datang dari ujung kota itu adalah seorang yang berpikiran sehat.
Berdasarkan penafsiran kedua dan ketiga, maka kita dapati bahwa di sana ada seorang lelaki yang pemikirannya lebih maju dari pemikiran seluruh penduduk negeri itu. Karena itu, seluruh penduduk negeri itu mohon pendapat dari lelaki itu. Seorang penafsir yang bernama Al-Malilihamdi menyebutkan bahwa ketika penduduk negeri itu akan membunuh salah seorang dari ketiga utusan tersebut, maka ia berkata seperti yang disebutkan dalam firman Allah berikut,
قِيلَ ادْخُلِ الْجَنَّةَ قَالَ يَا لَيْتَ قَوْمِي يَعْلَمُونَ بِمَا غَفَرَ لِي رَبِّي وَجَعَلَنِي مِنَ الْمُكْرَمِينَ
Artinya, Dikatakan (kepadanya), “Masuklah ke syurga”. Ia berkata, “Alangkah baiknya sekiranya kamumku mengetahui. Apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan.” (QS. Yasin, 26-27)
Jika kita menerima penafsiran yang disebutkan di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa lelaki yang terakhir itu adalah lelaki yang baik dan ia berharap kaumnya mendapatkan kebaikan pula. Sedikitpun ia tidak mempunyai perasaan dendam atau permusuhan terhadap penduduk negeri itu. Sebaliknya, ia mempunyai perasaan rahmat bagi orang-orang yang memusuhinya dan ia ingin mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan seperti yang ia peroleh. Ia akan menerangkan bahwa kebahagiaan akan datang kepada mereka jika mereka mau mengikuti ajaran ketiga utusan sebelumnya.
Perlu diketahui bahwa pemikiran dan perilaku semacam itu termasuk pemikiran dan perilaku yang bersih dan ikhlas dan keduanya akan tetap ada di setiap masa dan di segala tempat seperti yang ada pada pribadi Nabi kita Saw. yang mengajak umatnya untuk menganut agama Islam, meskipun pada saat tertentu beliau Saw. harus menggunakan kekerasan untuk memerangi kebatilan, seperti terjadinya perang Uhud, sehingga beliau Saw. bercucuran darah dari tubuhnya. Meskipun demikian, beliau Saw. masih berdoa, “Ya Allah, berilah petunjuk kaumku, karena mereka banyak yang tidak mengerti tentang diriku dan agama Islam yang aku sampaikan kepada mereka.”[1]
Selanjutnya, perlu kami terangkan juga bahwa jika Nabi Muhammad Saw. memohonkan petunjuk bagi kaumnya yang tidak mengerti, tetapi Nabi Nuh as pernah mendoakan kaumnya, seperti yang disebutkan dalam firman Allah berikut,
وَقَالَ نُوحٌ رَّبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّارًا إِنَّكَ إِن تَذَرْهُمْ يُضِلُّوا عِبَادَكَ وَلَا يَلِدُوا إِلَّا فَاجِرًا كَفَّارًا
Artinya, Nuh berkata, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat ma'siat lagi sangat kafir.” (QS. Nuh, 26-27)
Jika kita perhatikan do’a Nabi Nuh ‘Alaihissalâm dan do’a Nabi Muhammad Saw. bagi kaumnya masing-masing, mengandung arti yang berkesan bertentangan. Jika Nabi Muhammad Saw. memohonkan petunjuk bagi kaumnya yang ingkar, akan tetapi Nabi Nuh ‘Alaihissalâm memohonkan kecelakaan bagi kaumnya yang ingkar. Padahal maksud yang sebenarnya, Nabi Nuh ‘Alaihissalâm tidak memohonkan kebinasaan bagi kaumnya, tetapi ia cukup mengetahui bahwa akhir dari masyarakat yang ingkar itu pasti akan berakhir dengan kesengsaraan, apalagi setelah Nabi Nuh ‘Alaihissalâm mengajak kaumnya ke jalan Allah selama sembilan ratus tahun lebih, sehingga Allah memberinya ilham untuk memohonkan kebinasaan bagi kaumnya.
Selanjutnya, mari kita memahami jika kita mau menerima kisah-kisah di dalam Al-Qur’an, apakah kisah-kisah itu benar-benar terjadi ataukah tidak ? Karena kita tetap yakin bahwa kisah-kisah di dalam Al-Qur’an bukanlah kisah-kisah yang tidak bermakna, tetapi kisah-kisah tersebut benar-benar terjadi dan sengaja disebutkan oleh Al-Qur’an untuk kita ketahui.
Selain itu, perlu kita maklumi bahwa kisah-kisah yang disebutkan dalam Al- Qur’an adalah kisah-kisah yang benar yang dapat diambil pelajaran baik daripadanya dan kisah-kisah itu sengaja disebutkan agar dapat dijadikan pelajaran yang baik bagi setiap orang hingga di akhir masa, karena Al-Qur’an diturunkan untuk masyarakat umum, bukan terbatas pada masyarakat dan masa tertentu saja. Karena itu, kita perlu meyakini bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci Allah Yang Maha Benar, karena semua kisah yang disampaikan di dalamnya, baik kisah orang-orang mukmin, orang-orang kafir, orang-orang munafik, orang-orang Yahudi dan orangorang Nashrani. Semua sebab turunnya ayat demi ayat mengisyaratkan berbagai masalah.
Semua orang dapat menerima ajaran Al-Qur’an dengan akalnya, perasaannya, kejiwaannya dan dapat menerimanya di manapun ia berada di masa apapun. Siapapun yang menyelami ajaran Al-Qur’an sedikit demi sedikit, pasti akan mendapat pengaruh tersendiri setiap saatnya yang dapat ia rasakan di dalam kalbunya. Atau dengan kata lain, setiap orang yang membaca Al-Qur’an atau yang mendengar bacaannya, hendaknya ia berkata di dalam kalbunya, “Meskipun aku bukan seorang nabi, tetapi aku merasakan keindahan kandungan ayat demi ayat di dalam Al-Qur’an, sehingga kalbuku menjadi tenang, meskipun Al-Qur’an ini telah diturunkan sejak berabad-abad yang lalu.”
Sebagai kesimpulannya, semua ayat yang ada di dalam Al-Qur’an dapat memberi ketenangan di kalbu pembacanya, karena Al-Qur’an yang diturunkan kepada Rasulullah Saw. dapat mengajak berbicara kepada anda dan kepada siapapun yang datang setelah beliau Saw. wafat, seolah-olah Al-Qur’an ini mengajak berbicara untuk semua orang asalkan kalbu orangnya bersih, tetapi jika sebagian orang menganggap Al-Qur’an sebagai kitab kuno dan kisah-kisahnya juga kuno, maka orang yang berpikiran demikian tidak dapat mengambil pelajaran apapun dari Al-Qur’an.
Sekarang mari kita kembali membahas lagi tentang firman Allah di atas sebagai berikut,
Sesungguhnya kejadian yang diterangkan dalam firman Allah di atas akan terjadi berulang kali sepanjang masa sampai datangnya hari kiamat, misalnya ketika kita menceritakan para utusan yang terdapat dalam surat Yasin tersebut, maka dapat kita simpulkan bahwa kejadian seperti itu pernah terjadi di kalangan Fir’aun beserta seorang mukmin dari keluarga Fir’aun. Dan kejadian itu terus berlanjut hingga datangnya Rasulullah Saw. bersama Abu Bakar ra.
Dari mereka, kita dapat menyaksikan pula bahwa ada seorang yang datangnya dari ujung kota Istanbul yang sengaja datang dengan membawa berbagai gagasan atau pendapat yang berkaitan erat dengan masa depan agama Islam. Orang itu sengaja datang untuk menyampaikan gagasannya tanpa mengharap imbalan, kemasyhuran atau kekayaan apapun, tetapi ia datang untuk memberikan gagasannya bagi umat Islam dengan ikhlas dan pengorbanan yang sungguhsungguh sampai ia berkata, “Andaikata aku diberi kesempatan dapat melihat keselamatan iman umat Muhammad Saw., maka aku rela dibakar di dalam api neraka, karena ketika jasadku dibakar di api neraka, tetapi kalbuku masih merasa bahagia dan tenang.”[2]
Di sana masih ada berbagai contoh lain, baik di Turki maupun di negerinegeri lain dari orang-orang yang mempunyai kesucian kalbu untuk menyampaikan dakwah dan pengorbanannya kepada masyarakatnya, agar masyarakatnya menikmati manisnya iman.
Al-Qur’an mengulangi kembali kisah yang terjadi di masa Nabi Musa as bahwa di antara keluarga Fir’aun ada yang beriman, meskipun ia hidup di alam istana dan ia termasuk kelas orang-orang penting di dalam istana Fir’aun, sehingga ketika ia mendengar perundingan antara Fir’aun dan bala tentaranya yang ingin membunuh Nabi Musa as, maka ia berkata kepada mereka, seperti yang disebutkan dalam firman Allah berikut,
وَقَالَ رَجُلٌ مُّؤْمِنٌ مِّنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَكْتُمُ إِيمَانَهُ أَتَقْتُلُونَ رَجُلًا أَن يَقُولَ رَبِّيَ اللَّهُ وَقَدْ جَاءكُم بِالْبَيِّنَاتِ مِن رَّبِّكُمْ
Artinya, Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir'aun yang menyembunyikan imannya berkata, “Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan, “Tuhanku ialah Allah padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu.” (QS. Al-Mu’min, 28)
Tentunya, nasihat semacam itu tidak akan diucapkan oleh seorang dari kalangan rakyat, karena ia merasa bertanggung jawab jika Fir’aun sampai merencanakan untuk membunuh Nabi Musa as.
Dalam Sirah Nabawiyah disebutkan pula jasa kepahlawanan Abu Bakar ra ketika kaum musyrikin Quraisy sengaja menyiksa umat Islam di kota Mekkah sampai ada yang mati, maka Abu Bakar Ash-Shiddiq ra yang ketika itu termasuk salah seorang yang ditokohkan oleh kaum Quraisy di kota Mekkah karena kekayaannya, maka ia mengucapkan protesnya sebagai berikut, “Apakah kalian akan membunuh seorang yang mengaku Allah sebagai Tuhannya.”[3]
Sebagai kesimpulannya, kisah-kisah kebenaran dan kejujuran seorang untuk memperjuangkan kebenaran yang disebutkan oleh Al-Qur’an akan selalu berulang hingga di akhir masa kelak di berbagai tempat dan di berbagai kalangan masyarakat.
[1] HR.Bukhari, Al-Anbiya’ 54; Muslim, Al-Jihad 104; Ibnu Majah, Al-Fitan 23.
[2] Sirah Adzatiyah, Badiuz Zaman Sa’id An-Nursi hal.457
[3] HR.Bukhari, Fadhoilush Shahabah 5, Manaqibul Anshar 29, Tafsir Al-Qur’an (40) 1; Musnad Imam Ahmad 2/204.
- Dibuat oleh