Surah al-Baqarah [2]: 150
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلاَّ الَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنْهُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zhalim di antara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). Dan agar Kusempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk,” (QS al-Baqarah [2]: 150)
Setelah Rasulullah Saw. tiba di kota Madinah, beliau Saw. menghadap ke arah Masjidil Aqsa sebagai kiblatnya selama enam belas atau tujuh belas bulan. Pada waktu itu, Ka’bah telah dipenuhi oleh patung-patung yang disembah oleh kaum musyrikin Quraisy. Saat Rasulullah Saw. diutus dengan membawa agama Tauhid, beliau Saw. tidak pernah memuliakan patung-patung itu. Karenanya, Nabi Saw. dilarang menghadapkan wajahnya ke arah Ka’bah dalam waktu tertentu, agar menunjukkan sikap beliau Saw. yang pasti terhadap patung-patung yang disembah oleh kaum musyrikin Quraisy.
Sebenarnya, kedekatan kalbu beliau Saw. dengan Ka’bah sudah ada sejak zaman dahulu kala. Karena itu, setelah beliau Saw. menghadap ke arah Baitul Maqdis selama beberapa waktu, beliau Saw. berharap penuh untuk kembali menghadapkan wajah beliau ke arah Ka’bah sebagai kiblatnya yang pertama. Tentang masalah ini telah diterangkan dalam firman Allah berikut, “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit” (QS al-Baqarah [2]: 144).
Penyampaian keinginan Rasulullah Saw. dengan memperlihatkan mukanya ke arah langit menunjukkan bahwa beliau Saw. benar-benar berharap Allah Swt mengizinkannya dan umat Islam untuk menghadapkan wajahnya ke arah Ka’bah dalam shalat mereka, sehingga firman Allah menyebutkan sebagai berikut, “Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai,” (QS al- Baqarah [2]: 144).
Karenanya, firman Allah di atas menggembirakan kalbu beliau Saw. dan umat Islam. Sesungguhnya untuk memenuhi masalah ini sangat sulit. Dan, masalah ini tidak dapat dipahami oleh siapa saja, seperti pemahaman yang dirasakan oleh Rasulullah Saw., karena hubungan perasaan beliau Saw. dengan Ka’bah sangat kental menurut fitrahnya.
Memang, sebenarnya hubungan perasaan beliau Saw. dengan Ka’bah sangat kuat, tetapi masalah agama Tauhid yang beliau Saw. diutus untuk menyampaikannya kepada umat manusia adalah masalah yang paling pokok bahwa Ka’bah adalah tempat yang paling suci untuk dijadikan arah kiblat bagi seorang mukmin yang sedang shalat. Ketika beliau Saw. sedang shalat menghadap ke arah Baitul Maqdis, kemudian dengan turunnya firman Allah di atas, beliau Saw. segera menghadapkan wajahnya ke arah Ka’bah.
Adapun kaum Yahudi Madinah yang mengakui bahwa mereka adalah orangorang yang pertama mengikuti agama yang menghadapkan wajahnya ke arah Masjidil Aqsa, sedangkan kaum muslimin adalah rombongan kedua setelah mereka. Karena itu, masalah ini dijadikan sebagai dalil kebenaran agama yang mereka anut. Sebenarnya, jika Rasulullah Saw. ingin menghadap ke arah Ka’bah sebagai kiblatnya sejak beliau Saw. tiba di kota Madinah, beliau Saw. bisa melakukannya.
Tetapi, beliau Saw. tidak berani berbuat sesuatu menurut sekehendak kalbunya. Beliau Saw. selalu menuruti petunjuk Allah. Beliau Saw. selalu mengutamakan kepentingan Allah dari perintah-perintah-Nya daripada kepentingan manusia, karena beliau Saw. adalah seorang hamba dan Rasul Allah yang harus menjalankan semua perintah-Nya.
Demikian pula, ketika Rasulullah Saw. masih menghadapkan wajahnya ke arah Baitul Maqdis, perilaku beliau Saw. dapat menimbulkan cahaya petunjuk bagi kalbu sejumlah kaum Yahudi di Madinah, seperti kalbu Abdullah Ibnu Salam, karena ia mengetahui bahwa nama beliau Saw. pernah disebut-sebut dalam kitab Taurat. Karena itu, sebagian kaum Yahudi segera memeluk agama Islam. Akan tetapi, setelah enam belas bulan atau tujuh belas bulan beliau Saw. menghadap ke arah Baitul Maqdis ketika shalat, tidak banyak kaum Yahudi yang masuk Islam. Karenanya beliau Saw. berharap kepada Allah untuk diizinkan berkiblat ke arah Ka’bah, agar dapat dijadikan bukti bahwa agama Islam berbeda dengan agama kaum Yahudi dan berbeda pula dengan agama kaum musyrikin Quraisy.
Ketika beliau Saw. sedang berada dalam keadaan demikian, tiba-tiba datanglah perintah Allah demi mengabulkan do’a beliau Saw. untuk menghadapkan wajah beliau Saw. ke arah Ka’bah.
Dalam kejadian ini pernah disebutkan dalam kitab Injil, bahwa kejadian tersebut akan terjadi, seperti yang telah terjadi, karena sebagian kaum Yahudi berkeyakinan bahwa Nabi yang akan datang akan berkiblat ke arah Ka’bah di kota Mekah. Tetapi kenyataannya, Nabi itu menghadap ke arah baitul Maqdis dalam shalatnya. Inilah sebagian pandangan dari masalah ini.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman, “Dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk,” (QSAl-Baqarah [2]: 150).
Maksud dari firman Allah di atas adalah ketika kamu masih menghadapkan wajahmu ke arah Baitul Maqdis sebagai kiblatmu selama beberapa waktu, hal itu adalah sebagai bukti karunia Allah kepadamu. Akan tetapi, kemudian Allah mengembalikan kiblatmu ke arah Ka’bah, maka hal itu adalah termasuk tambahan karunia Allah bagimu. Dari sini beliau Saw. pernah dinaikkan hingga sampai di Sidratul Muntaha untuk menerima karunia Allah yang lain, yaitu beliau Saw.diperkenankan menghadap Allah secara langsung. Jadi sebagai kesimpulannya, menghadapkan wajah ke arah Baitul Maqdis ataupun menghadapkan wajah ke arah Ka’bah ketika shalat dan bahkan ketika berhadapan dengan Allah secara langsung di Sidratul Muntaha, semuanya itu adalah karunia demi karunia yang diberikan Allah kepada beliau Saw., karena beliau Saw. termasuk Nabi yang paling dimuliakan oleh Allah. Begitu juga umatnya.
- Dibuat oleh