Takdir merupakan Bagian dari Ilmu Allah Swt.
Takdir adalah suatu ketetapan yang telah digariskan oleh Allah Swt. pada bagian dari ilmu-Nya Yang Mahaluas. Ilmu Allah Swt. terhadap segala sesuatu yang telah Dia ciptakan bukanlah bertujuan untuk mewujudkannya saja berdasar pada keinginan-Nya sendiri. Akan tetapi, berkesesuaian dengan kehendak atas apa yang memiliki pilihan, untuk kemudian ditetapkan berdasarkan pada takdir-Nya. Seperti, pada saat kita mengetahui cara untuk membangun seribu gedung, dan kita tengah dipercaya (mendapatkan proyek) membangun ratusan pabrik, maka tentunya dengan hanya mengandalkan ilmu yang kita miliki semata kita tidak mungkin dapat mewujudkan sesuatu apa pun berdasar pada kehendak diri kita sendiri. Sebab, kita hanya mempunyai ilmu untuk merancang dan membangun suatu bangunan saja. Sedangkan untuk merealisasikan pembangun suatu bangunan kita harus memiliki kemauan berikut kemampuan, yang tanpa keduanya berarti ilmu dan rencana yang kita miliki itu hanya akan menjadi milik kita sendiri (tidak akan pernah terwujud). Kita hanya sekadar berhayal untuk mewujudkan keinginan kita, akan tetapi tidak dapat membangun apa pun dari hayalan kita itu. Sebab, setiap ada rintangan dalam hayalan kita, maka hayalan tersebut hanya akan menguap begitu saja tanpa realisasi. Dan, jika hayalan kita telah lenyap, maka tidak ada bedanya diri kita dengan orang yang tidak memiliki apa-apa.
Dengan bahasa yang lebih mudah dapat dikatakan, bahwa takdir Allah Swt. termasuk bagian dari ilmu-Nya yang juga membutuhkan perwujudan. Dan, ilmu akan mengikuti apa yang telah diketahui oleh ilmu itu sendiri. Atau, ia (ilmu) akan mengetahui segala sesuatu menurut kebiasaannya. Allah Swt. mengetahui apa saja yang akan kita lakukan. Apabila kita akan melakukan sesuatu dengan kemauan kita, maka Allah Swt. akan memberikan takdir-Nya kepada kita menurut ilmu-Nya. Sebab, ilmu Allah Swt. meliputi segala sesuatu, dimana segala sesuatu telah diketahui oleh Allah berdasar pada ilmu-Nya. Termasuk juga seorang yang tidak berlaku taat kepada Allah Swt. atas segala perintah-Nya, maka hal itu akan diketahui secara jelas oleh-Nya. Kami sengaja memakai ungkapan tersebut, agar mudah dicerna oleh akal kita, dan untuk memberi keterangan secara lebih terperinci.
Misalnya saja, waktu tempuh sebuah kereta api yang melakukan perjalanan melewati satu perlintasan ke perlintasan perlintasan lainnya hingga sampai ke stasiun yang dituju bisa diperhitungkan dengan teliti berdasarkan kecepatan laju kereta api yang digunakan dan jarak yang ditempuh. Kemudian, hasil perhitngan tersebut akan dituliskan pada tiket yang tersedia; mulai dari waktu pemberangkatan hingga waktu sampai ke tujuan. Tentunya, prediksi waktu tempuh kereta merupakan wujud dari terealisasinya sebuah rencana. Kini, jika kita kiaskan permisalan itu dengan permasalahan di seputar takdir, kita akan mengatakan bahwa hasil capaian atas waktu sampai dan jarak tepuh kereta api dimaksud adalah takdir. Hanya saja, di sana tersedia suatu pilihan bahwa pengetahuan yang kita miliki tidak harus selalu sama dengan kekuatan jabbari yang dapat mendorong laju sebuah kereta api untuk bergerak. Dengan kata lain, sebuah kereta api tidak akan menuju ke sebuah stasiun tertentu, kecuali jika telah direncanakan secara terperinci dan baik. Jadi, sampainya sebuah kereta api di sebuah stasiun pada waktu tertentu adalah karena telah ditetapkan dengan perhitungan yang saksama. Atau, ilmu pengetahuan yang telah tersedia mampu memprediksikan --berdasarkan perhitungan yang saksama-- apa yang telah dimengerti sebagai hasil dari sebuah pencapaian.
Dari kesimpulan di atas dapat dimengerti, bahwa takdir Allah Swt. dapat disesuaikan dengan kehendak manusia. Sebab, ilmu Allah Swt. telah mengetahui apa saja yang akan terjadi di masa kini maupun mendatang. Sesungguhnya ilmu Allah Swt. dapat mengetahui segala sesuatu dari semua sisinya. Karena, ilmu Allah Swt. dapat meliputi segala sesuatu dari awal hingga akhirnya. Oleh karena itu, di sana tidak ada yang awal maupun yang akhir bagi Allah Swt., yang sebelumnya maupun yang setelahnya.
Karenanya, ilmu Allah Swt. dapat meliputi segala sesuatu dengan jelas dari segala sisinya. Allah Swt. menakdirkan segala sesuatu sesuai dengan ilmu-Nya yang meliputi seluruh makhluk (ciptaan)-Nya. Takdir dapat diarahkan menuju kepada hasil capaian yang baik, dan adakalanya takdir akan menuruti kehendak manusia menuju apa yang ia inginkan; baik maupun buruk. Dengan kata lain apa yang telah diketahui oleh Allah Swt. tidak akan pernah meleset sedikit pun dari takdir-Nya.
Semua perbuatan manusia telah tercatat di Lauh al-Mahfuzh, dan terjaga secara baik sejak dahulu kala; sebelum manusia itu sendiri Dia ciptakan. Jadi, apa pun yang ditakdirkan oleh Allah Swt. bagi seorang hamba telah dikalungkan di atas lehernya sesuai dengan tulisan yang terdapat dalam catatan di Lauh al-Mahfuzh seperti yang disebutkan dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla berikut ini, "Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya --sebagaimana tetapnya kalung yang melingkar-- pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada Hari Kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka" (QS Al-Isrâ’ [17]: 13).
Dengan demikian, apa saja yang akan dilakukan oleh seorang hamba telah tercatat di Lauh al-Mahfuzh, baik maupun buruk. Dan, apa saja yang telah ditetapkan, atau apa saja yang telah dituliskan di dalam catatan amal di Lauh al-Mahfuzh, maka setiap orang akan melaksanakannya sesuai dengan ketetapan-Nya. Takdir yang telah ditetapkan itulah yang disebut sebagai bagian dari ilmu Allah Swt. terhadap apa saja yang akan dilakukan oleh seorang hamba di dalam hidupnya. Ilmu yang seperti itu bukanlah suatu kekuatan yang memaksa seseorang untuk melakukannya. Jika Allah Swt. telah menulis di Lauh al-Mahfuzh bahwa seseorang akan melakukan sesuatu yang baik ataupun yang buruk, maka para malaikat pun akan mencatat perbuatan orang itu dalam catatan amalnya, dan kelak akan diajukan di hadapan Allah untuk dimintai pertanggungjawaban oleh Allah.
Seorang hamba tidak akan dapat berbuat apa pun dalam hidupnya, kecuali apa yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. baginya. Dan, kelak Allah Swt. akan membacakannya di hadapan orang itu, serta akan memperhitungkannya sesuai dengan apa yang tercatat di Lauh al-Mahfuzh maupun yang terdapat dalam catatan para malaikat-Nya.
Selanjutnya, akan kami jelaskan pula di sini mengenai orang-orang yang suka memperbincangkan permasalahan di seputar ruh dengan segenap konsekuensinya. Ada pendapat yang mengatakan, bahwa ruh seseorang adalah kawan dekat bagi jasadnya. Dengan kata lain, apa saja yang menyertai jasad seseorang dapat pula memberi pengaruh dalam kehidupannya sehari-hari.
Adapun orang-orang yang suka memprediksi masa depan seseorang melalui garis-garis telapak tangannya, mereka berpendapat bahwa garis-garis tersebut merupakan garis-garis takdir yang akan terjadi pada diri orang yang bersangkutan. Sebab, masalah takdir telah tergambar secara gamblang pada garis-garis tangan seseorang, meskipun ilmu seperti itu termasuk sesuatu yang masih bersifat prediksi. Dan, mempelajari ilmu semacam ini tidaklah bertentangan dengan firman Allah Swt. yang berbunyi, "Tidak ada yang mengetahui tentang sesuatu yang ghaib, kecuali Allah." Sebab, prediksi bukanlah merupakan "penentuan" atas apa yang belum terjadi, melainkan hanya disandarkan pada apa yang dalam proses penempuhannya bersentuhan secara langsung dengan takdir (apa yang telah ditetapkan oleh) Allah Swt..
Untuk mengetahui segala apa yang tersembunyi berdasar pada prediksi dan atau kekuatan firasat berupa kelebihan yang dimiliki seseorang, maka pada masa Nabi Muhammad hal itu juga pernah ada (terjadi). Bahkan, Nabi Saw. sendiri pernah didatangi oleh seseorang yang mampu memprediksi orang lain berdasarkan pada apa yang disaksikannya. Yaitu, pada saat beliau kedatangan seseorang yang kemudian berhasil membedakan antara Usamah dan ayahnya, Zaid bin Haritsah ra. Keduanya pada saat itu tengah berbaring, dan seluruh tubuh dari keduanya ditutupi dengan selimut, kecuali pada bagian kaki keduanya yang dibiarkan terbuka. Maka, dengan hanya menyaksikan telapak kaki keduanya orang tersebut dapat membedakan bahwa yang berkulit putih adalah Usamah, sedangkan yang berkulit hitam adalah ayahnya.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa Sayyidah ‘Aisyah ra. pernah mengatakan, "Pada suatu hari ada seorang yang memiliki kemampuan memprediksi datang ke rumah kami, sedangkan Nabi Saw. menyaksikan kedua kejadian yang ada. Pada waktu itu, Usamah bin Zaid dan ayahnya tengah berbaring, sementara tubuh keduanya diselimuti oleh Nabi Saw. dari atas kepala hingga kedua mata kaki. Sedangkan telapak kaki kedua orang itu dibiarkan terbuka. Sehingga orang yang memiliki kemampuan memprediksi itu dapat mengatakan bahwa yang kulitnya berwarna putih adalah putranya, sedangkan yang kakinya berwarna hitam adalah ayahnya."[1]
[1] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam bahasan mengenai keutamaan sahabat Radhiyallâhu ‘Anhum, hadis nomor 17.
- Dibuat oleh