Qadha’ dan Takdir dari Segi Ciptaan
Sesungguhnya Allah Swt. telah menciptakan segala ciptaan-Nya, dan sekaligus telah menetapkan dalam garis takdir-Nya yang tertulis dalam sebuah kitab di Lauh al-Mahfuzh, termasuk juga segala perbuatan manusia, baik maupun buruknya. Seperti telah disebutkan di dalam firman-Nya Swt. berikut ini, "Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu," (QS Al-Shâffât [37]: 96).
Rasulullah Saw. juga pernah bersabda, "Sesungguhnya Allah yang Maha Mulia telah menciptakan manusia dan segala perbuatan-Nya."[1]
Artinya, apa saja yang dilakukan oleh manusia, seperti mengukir batu alam, maka pencipta dan segala perbuatannya hanyalah bersumber dari sisi Allah Swt. semata. Dia memberi kalian kepandaian dan kemampuan untuk berpikir serta berbuat sesuatu yang baik. Dia pula yang menjadikan kalian mampu berpikir, sehingga kalian dapat mengekspresikan apa yang kalian pikirkan itu ke dalam bentuk amalan. Jadi, hanya Allah Swt. yang menciptakan kalian dan seluruh perbuatan kalian. Kalau begitu, bagaimanakah giliran kehendak kita, dan sampai di manakah fungsi kehendak kita itu?
Perlu diketahui di sini, bahwa kehendak seseorang akan sangat kecil fungsinya, meskipun sangat luas dan sangat dalam pandangannya. Akan tetapi, pandangan dimaksud tidak dapat menembus atau mengetahui apa yang berada di balik alam semesta ini. Alhasil, kemauan manusia tidak akan mampu mewujudkan seluruh yang menjadi kehendaknya. Dengan kata lain, segala yang dikehendaki manusia harus mendapat persetujuan dari sisi Allah Swt. terlebih dahulu. Kalau tidak, maka kehendak manusia itu tidak akan terwujud sedikit pun. Meski sedemikian kecilnya peranan kehendak manusia, akan tetapi kemurahan Allah Swt. sebagai Dzat Yang Segalanya Mahaluas lagi Mahabesar.
Jadi, pencipta utama atas segala sesuatu hanyalah Allah Swt.. Al-Qur’an, Al-Sunnah dan sanubari manusia yang sehat telah menyaksikan betapa besarnya peranan kehendak Allah untuk terwujudnya segala sesuatu. Oleh karena itu, Rasulullah Saw. dan seluruh umat beliau harus selalu berharap hanya kepada Allah Swt., semoga Dia menetapkan segala kebaikan bagi kita sesuai dengan kehendak-Nya, bukan yang sesaui dengan kehendak manusia. Dan untuk lebih jelasnya masalah ini, kiranya perlu kami sebutkan sebuah do’a berikut ini. Diriwayatkan dalam sebuah hadis, bahwa Rasulullah Saw. pernah mengajarkan kepada umat beliau do’a berikut ini,
"Allahumma innî astakhîruka bi’ilmika, wa astaqdiruka biqudratika, wa as-aluka min fadhlikal ‘azhîm, fa innaka taqdiru wa lâ aqdiru, wa ta’lamu wa lâ a’lamu, wa anta ‘allâmu; ghuyûb. Allâhumma in kunta ta’lamu anna hâdzâl amri khairun lî, fî dînî wa ma’asyî wa ‘âqibati amrî, au qâla: ‘âjili amrî wa ajilihi faqdurhu lî wa yassirhu lî tsumma bârik lî fîhi, wa in kunta ta’lamu anna hâdzâl amri syarrun lî, fî dînî wa ma’âsyî wa ‘âqibati amrî, au ‘âjili amrî wa ajilihi, fashrifhu ‘annî washrifnî ‘anhu, waqdurliyal khaira haitsu kâna, tsumma radhdhinî bihi."
"Ya Allah, aku memohon petunjuk-Mu dengan ilmu-Mu, aku mohon kekuasaan-Mu dengan ke-Maha Kuasaan-Mu, dan aku memohon karunia-Mu yang sangat agung. Karena Engkau Mahakuasa, sedang aku tidak dapat berbuat apa pun, Engkau Maha Mengetahui dan aku tidak mengetahui apa pun. Dan Engkau Maha Mengetahui segala sesuatu yang baik. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa masalah ini lebih baik bagiku dalam urusan agamaku, kehidupanku, dan dampak dari urusanku di waktu cepat maupun lambat, maka takdirkanlah bagiku, serta berilah kemudahan bagiku untuk mendapatkannya, kemudian berilah berkah bagiku di dalamnya. Akan tetapi, jika Engkau mengetahui bahwa masalah ini akan berakibat buruk bagiku dalam urusan agamaku, kehidupanku, dan dampak dari urusanku di waktu yang cepat maupun lambat, maka jauhkanlah masalah ini dariku, serta jauhkanlah aku darinya. Kemudian takdirkan bagiku mana yang terbaik, bagaimana pun caranya. Kemudian berilah kepuasan pada diriku dengannya."[2]
Makna dari do’a Rasulullah Saw. di atas adalah, beliau mengajarkan kepada kita semua bagian dari hikmah di balik takdir, bahwa tidak seorang pun dapat mencapai kebaikan atau mencegah keburukan, kecuali hanya dengan pertolongan Allah Swt.. Kiranya hanya dengan pertolongan Allah Swt. saja seorang hamba dapat terhindar dari berbagai kesulitan dan keburukan. Juga hanya dengan pertolongan Allah Swt. saja seorang hamba dapat mencapai kebaikan dan kebahagiaan. Sebab, permasalahan keduanya hanya berada pada sisi Allah Swt. yang berwenang memegang kekuasaan atas keduanya, dan tidak seorang pun dapat mendatangkan kebaikan bagi dirinya atau menjauhkan keburukan dari dirinya, tanpa bantuan dari sisi Allah. Sebab, yang berwenang tentang keduanya hanyalah Allah Swt. semata.
Sesungguhnya hanya Allah Swt. yang dapat menjauhkan cobaan dari pribadi Yusuf as., dan kami tidak ingin membahas tentang burhân yang disebutkan bahwa beliau telah mendapatinya. Akan tetapi, menurut hemat kami, yang disebut dengan burhân itu adalah perlindungan dari sisi Allah Swt. kepada Nabi-Nya dari segala bentuk perbuatan maksiat yang ditimbulkan oleh bujuk rayu istri penguasa Mesir pada waktu itu (Zulaikha). Karenanya, Al-Qur’an menyebutkan kejadian itu menggunakan redaksi sebagai berikut, "Demikianlah, agar Kami memalingkan dari sisinya kemunkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih," (QS Yûsuf [12]: 24).
Penjelasan dari firman Allah Swt. di atas adalah, Allah berkehendak melindungi Nabi Yusuf as. dari perbuatan keji, karena beliau termasuk seorang hamba yang terpilih atau orang yang sangat dekat dengan-Nya. Ada sebuah hadis Nabi Saw. yang juga seiring dengan firman Allah Swt. di atas, yaitu sabda beliau berikut ini, "Ketahuilah, bahwa di jasad manusia ada segumpal daging, jika ia baik maka seluruh jasad itu akan menjadi baik. Akan tetapi, jika ia tidak baik maka seluruh jasad itu juga menjadi tidak baik. Ketahuilah, bahwa segumpal daging dimaksud adalah qalbu (jantung)."[3]
Ketahuilah, bahwa qalbu yang terbaik adalah qalbu yang ikhlas sepenuhnya. Sedangkan qalbu yang termulia adalah qalbu yang selalu mencintai dan mengagungkan Allah Swt.. Dan, qalbu yang seperti itu dapat mencegah segala bentuk bencana yang akan selalu ada pada sisi manusia.
Ada sebuah hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwa Rasulullah Saw. mengisyaratkan dalam sebuah do’a yang beliau penjatkan, bahwa Allah Swt. adalah Dzat yang menciptakan segala perbuatan manusia, dan juga menciptakan seluruh aktivitas makhluk-Nya. Seperti disebutkan dalam do’a beliau Saw. berikut ini, "Ya Allah, tidak ada yang dapat menolak apa yang telah Engkau berikan kepada seseorang, dan tidak ada pula yang akan memberi apa yang Engkau tolak dari seseorang. Juga kekayaan orang yang kaya tidak berguna sedikit pun, karena segala kekayaan datangnya hanya dari sisi-Mu."[4]
Makna dari do’a Nabi Saw. di atas adalah, kita harus meyakini bahwa segala sesuatu akan terjadi dengan kehendak dan takdir dari Allah Swt.. Jika sesuatu telah dikehendaki oleh Allah Swt., maka pasti akan terjadi. Jika tidak dikehendaki oleh Allah Swt., maka pasti tidak akan pernah terjadi. Sebab, segala sesuatu hanya milik Allah Swt., bahkan kekayaan yang dimiliki oleh seseorang hanyalah datangnya dari sisi-Nya. Oleh karena itu, setiap orang harus meminta pertolongan kepada Allah Swt. semata.
Sebenarnya, kita beriman dan meyakini sepenuhnya bahwa Allah Swt. adalah pencipta diri kita dan segala perbuatan kita. Tentunya, masalah ini merupakan berita yang sangat menggembirakan bagi setiap Mu’min yang meyakini bahwa Allah Swt. akan senantiasa berada di sisi setiap Mu’min.
Jika seseorang telah merasa bahwa dirinya selalu didampingi oleh Allah Swt., sudah tentu qalbunya akan selalu merasakan ketenangan. Oleh karena itu, ia akan selalu pasrah kepada kehendak Allah Swt. terhadap diri dan perbuatannya. Semoga kita selalu dilindungi oleh Allah Swt. dari segala bentuk keburukan.
Perlu kami tambahkan di sini, bahwa pada awal pembahasan buku ini telah kami sebutkan seputar petunjuk atau hidayah serta kesesatan, yang mana kesemuanya itu terwujud karena telah ditakdirkan oleh Allah Swt.. Sebagaimana telah disebutkan di dalam firman-Nya Swt. berikut ini, "Siapa saja yang diberi petunjuk oleh Allah, maka ia adalah hamba yang mendapat petunjuk. Dan siapa saja yang disesatkan-Nya, maka kalian tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya," (QS al-Kahfi [18]: 17).
Allah Swt. juga berfirman, "Dan siapa saja yang diberi petunjuk oleh Allah, maka ia adalah hamba yang mendapat petunjuk. Dan siapa saja yang Dia sesatkan, maka sekali-kali kalian tidak akan mendapat penolong-penolong bagi mereka selain dari-Nya," (QS Al-Isrâ’ [17]: 97).
Dan, firman Allah Swt., "Dan siapa saja yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak seorang pun yang dapat menyesatkannya. Bukankah Allah Mahaperkasa lagi mempunyai kekuasaan untuk mengadzab?" (QS Al-Zumar [39]: 37).
Makna dari beberapa firman Allah Allah Swt. di atas, siapa pun yang diberi petunjuk oleh Allah, maka sinar petunjuk akan bersemayam di lubuk sanubarinya. Dan siapa pun yang dikehendaki kesesatan oleh Allah Swt. atas dirinya, maka tidak seorang pun dapat menyelamatkannya dari kesesatan, meskipun ia diberi upah berapa pun untuk menyesatkan orang itu. Sebab, sanubarinya telah di tutup oleh Allah Swt. dari sinar petunjuk (hidayah).
Sebagai kesimpulan, hendaknya kita selalu meyakini bahwa yang memberi petunjuk atau hidayah dan kesesatan hanyalah Allah Swt. semata, bukan yang lain. Sebab, keduanya adalah makhluk yang telah diciptakan oleh Allah Swt. sesuai dengan kehendak-Nya. Oleh karena itu, kita diwajibkan untuk selalu memohon petunjuk dari sisi Allah Swt. dalam shalat kita, dan memohon agar dijauhkan dari kemurkaan serta kesesatan. Sebagaimana telah disebutkan di dalam firman- Nya Swt. berikut ini, "Tunjukilah kami jalan yang lurus. Yaitu Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat (petunjuk) kepada mereka; bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang tersesat," (QS Al-Fâtihah: 6-7)
Rasulullah Saw. menafsirkan orang-orang yang dimurkai adalah kaum Yahudi. Sedangkan orang-orang yang disesatkan adalah kaum Nashrani.
Kiranya, pembahasan kita tentang masalah ini sampai sekian dahulu, dan kita lanjutkan untuk membahas tingkatantingkatan serta arti petunjuk, agar kita tidak terjebak dalam pengertian yang keliru mengenai masalah takdir.
[1] Lihat lebih lanjut penjelasannya dalam buku Amali al-Mahâmilî, halaman 309. Juga dalam Kanzu al-Ummâl, karya Imam Muttaqi, Jilid 1, halaman 263.
[2] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, pada pembahasan mengenai Tahajjud, hadis nomor 25. Diriwayatkan pula oleh Imam Ibnu Majah pada pembahasan mengenai Iqamah, hadis nomor 188.
[3] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, pada pembahasan mengenai Iman, hadis nomor 39.
[4] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, pada pembahasan mengenai al-Qadaru, hadis nomor 12.
- Dibuat oleh