Hidayah yang Menjadikan Kemauan Manusia Sesuai dengan Pandangan I’tibâr
Sesungguhnya Allah Swt. memberi petunjuk kepada manusia dengan menyediakan bagi mereka berbagai sarana, agar mereka mendapatkan petunjuk melalui sarana yang ada. Seperti, diutus-Nya para Nabi dan Rasul, serta diturunkan- Nya beberapa kitab suci, dijadikann-Nya beberapa ulama yang mengajak umat manusia untuk mendapatkan petunjuk. Semua itu merupakan bukti nyata atas adanya ketersediaan sarana bagi manusia untuk menggapai hidayah-Nya.
Perlu diketahui, meskipun Allah Swt. telah menyediakan berbagai sarana untuk menyampaikan petunjuk kepada umat manusia, akan tetapi Allah tidak pernah memaksa mereka untuk menerima sarana-sarana itu dan tidak pula pernah memaksa mereka untuk beriman kepada-Nya. Sampai ada seseorang yang dibesarkan di rumah seorang Nabi, akan tetapi ia tidak dapat menerima petunjuk dari Nabi itu, bahkan cenderung menentangnya. Sebaliknya, ada pula seseorang yang dibesarkan di dalam lingkup istana Fir’aun, akan tetapi ia beriman layaknya seorang Mu’min di antara keluarga Fir’aun dan istrinya. Petunjuk semacam itu terkait erat dengan kemauan manusia untuk menerima petunjuk atau hidayah-Nya. Allah Swt. hanya menjadikan berbagai sarana untuk manusia mau menerima petunjuk dari sisi-Nya. Akan tetapi, mau atau tidaknya manusia tersebut sangat bergantung kepada kehendak manusia itu sendiri. Meskipun masalahnya cukup misterius, akan tetapi untuk menerima petunjuk itu mempunyai syarat tersendiri. Al-Qur’an telah menyatakan, bahwa untuk menerima petunjuk ada beberapa persyaratan, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman Allah Swt. berikut ini, “Dan adapun kaum Tsamud, maka mereka telah Kami beri petunjuk, akan tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk, maka mereka disambar petir adzab yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan,” (QS Fushshilat [41]: 17).
Dengan kata lain, Allah Swt. telah menyediakan salah satu sarana petunjuk bagi kaum Tsamud, yaitu mengutus Nabi Shalih as. kepada mereka, akan tetapi mereka lebih mengutamakan kesesatan daripada menerima petunjuk (hidayah), sehingga mereka disiksa dan berakhir di api neraka.
Allah Swt. juga telah berfirman, “Mereka Kami utus selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira, dan sekaligus pemberi peringatan, supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya para Rasul itu. Dan adalah Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana,” (QS Al-Nisâ’ [4]: 165).
Meskipun Allah Swt. telah mengirim sejumlah Rasul kepada sekelompok orang, namun tidak semuanya dapat menerima petunjuk Allah tersebut. Mereka lebih banyak yang menolak dengan berbagai alasan daripada menerima ajakan para Rasul untuk beriman.
Selain itu, Allah Swt. juga telah berfirman, “Sesungguhnya Kami mengutus engkau dengan membawa kebenaran, sebagai pembawa berita gembira, dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada suatu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan” (QS Fâthir [35]: 24).
Meskipun Allah Swt. mengutus sejumlah Rasul dan Nabi untuk menerangkan bagi sekelompok manusia, namun Allah menakdirkan juga di antara mereka ada yang mau menerima ajakan para Rasul itu dengan lapang dada, akan tetapi di antara mereka ada pula yang menolaknya. Mereka yang menolak itu lebih memilih kesesatan daripada petunjuk.
Allah Swt. juga telah berfirman, “Siapa saja yang berbuat sesuai dengan hidayah Allah, maka sesungguhnya ia berbuat itu untuk keselamatan dirinya sendiri; dan siapa saja yang sesat, maka sesungguhnya ia tersesat bagi kerugian dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain. Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang Rasul,” (QS Al-Isrâ’ [17]: 15).
Allah Swt. sengaja mengutus sejumlah Nabi dan Rasul kepada sekelompok manusia, agar mereka menerima petunjuk dari Allah, dan agar mereka tidak beralasan mengapa tidak diutus sejumlah Nabi dan Rasul kepada mereka, sehingga mereka lebih memilih jalan kesesatan. Kini, giliran kita yang telah diutus kepada kita seorang Nabi dan Rasul yang bernama Muhammad Saw. Oleh karena itu, tidak ada lagi alasan bagi kita untuk menolak petunjuk dari Allah Swt.. Sebab, kita semua telah mendengar seruan Nabi Saw. melalui Al-Qur’an dan Al-Sunnah beliau. Bahkan kita mendengar suara nafas beliau melalui firman Allah yang terucap dari lisan beliau yang mulia.
Selain itu, Allah Swt. juga mengadakan seorang pembawa pembaharu (mujaddid) setiap seratus tahun sekali untuk memperbaiki keadaan agama Islam dan umatnya. Semua itu dilaksanakan oleh Allah Swt. agar manusia mau menerima petunjuk. Dan kesemuanya itu merupakan kemurahan Allah Swt. bagi hamba-hamba-Nya.[1] Akan tetapi, mau atau tidaknya sang hamba untuk menerima petunjuk dari sisi Allah Swt. itu sangat tergantung kepada kemauan manusia itu sendiri.
Allah Swt. menciptakan petunjuk dan kesesatan secara bersamaan. Allah Swt. mengutus Nabi Saw. di tengah-tengah kaum Quraisy, dan beliau menyampaikan agama Islam kepada mereka. Di antara mereka ada yang menerima secara langsung dan segera menaati aturan yang disampaikan, seperti yang dilakukan oleh Sayyidina Abu Bakar al-Shidiq ra. Sebab, di lubuk sanubari Abu Bakar telah diberi cahaya keimanan oleh Allah Swt..
Meskipun demikian, ada pula yang menolak tuntunan dari Rasulullah Saw. dengan keras, seperti Abu Jahal. Ia lebih memilih kesesatan daripada menerima ajakan Rasulullah Saw. ke dalam Islam. Tentunya semua itu terjadi karena telah ditakdirkan oleh Allah Swt. bagi diri Abu Jahal sebagai orang kafir yang menentang Islam sampai ia mati dalam keadaan kafir di medan peperangan Badar.[2]
Al-Qur’an mengumpulkan adanya petunjuk dan seruan kepada petunjuk dalam satu ayat, seperti telah disebutkan oleh Allah Swt. di dalam firman-Nya berikut ini, “Allâh menyeru manusia ke Dâr as-Salam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam),” (QS Yûnus [10]: 25).
Meskipun Allah Swt. mengajak manusia ke jalan petunjuk, akan tetapi menerima atau tidaknya atas petunjuk itu sangat bergantung kepada kemauan manusia; sesuai dengan kehendak-Nya. Sebab, Allah Swt. akan memberi petunjuk atau kesesatan bagi siapa pun yang dikehendaki-Nya. Sarana apa pun yang dapat mengajak manusia ke jalan petunjuk, pasti Allah Swt. akan memberikannya kepada manusia. Akan tetapi, ketentuannya sangat bergantung kepada takdir dan kehendak Allah Swt..
Kitab Al-Qur’an adalah sumber petunjuk terbesar. Meski begitu, tidak semua orang mau menerimanya, meskipun telah disebutkan bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Sebagaimana telah disebutkan di dalam firman Allah Swt. berikut ini, “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,” (QS Al-Baqarah [2]: 2).
Jadi, dari firman Allah Swt. di atas dapat disimpulkan, bahwa kita harus menjadi orang-orang yang bertakwa terlebih dahulu, agar kita dapat menerima petunjuk dari Al-Qur’an. Adapun dari segi takdir, maka setiap orang harus berusaha menjadi orang-orang yang bertakwa. Seperti telah disebutkan di dalam firman Allah Swt. berikut ini, “Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabb mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung,” (QS Al-Baqarah [2]: 5).
Orang-orang yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, yang menunaikan semua kewajiban agama seperti puasa, zakat, dan beriman kepada kitab Allah yang diturunkan kepada para Nabi, serta mereka beriman pula kepada alam akhirat, maka orang-orang seperti itulah yang disebut sebagai orang-orang yang bertakwa, yang sengaja diberi petunjuk oleh Allah Swt. sesuai dengan takdir-Nya yang telah tercatat di dalam sebuah kitab di Lauh al-Mahfuzh.
Allah Swt. juga berfirman, “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu Al-Qur’an dengan perintah Kami. Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apakah Al- Kitab (Al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah Iman itu. Akan tetapi, Kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya engkau benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Yaitu, jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang berada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan,” (QS Al-Syûrâ [42]: 52-53).
Dari penjelasan firman Allah Swt. di atas dapat disimpulkan, bahwa petunjuk terbagi menjadi dua. Yang pertama, berupa sarana seperti adanya kitab-kitab suci dan adanya para Nabi serta Rasul. Yang kedua, ada yang berupa petunjuk yang telah diciptakan oleh Allah Swt. di qalbu (sanubari) manusia. Ada petunjuk yang dimasukkan ke dalam sanubari manusia melalui perantara, dan ada pula yang dimasukkan tanpa melalui perantara. Dengan kata lain, dimasukkan secara langsung oleh Allah Swt. ke lubuk sanubari seseorang atas kehendak-Nya. Yaitu, petunjuk secara langsung yang disebut sebagai bentuk dari kemurahan Allah Swt. kepada seorang hamba.
Selain itu, ada pula petunjuk dan kesesatan yang oleh Allah Swt. diberikan secara bersamaan. Seperti telah disebutkan melalui sebuah hadis berikut ini, “’Umar Ibnul Khaththab menuturkan, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda, ‘Aku diutus sebagi seorang da’i (penyeru) dan muballigh (penyampai), akan tetapi masalah petunjuk bukan berada di tanganku sedikit pun. Demikian pula Allâh menjadikan iblis sebagai perayu, akan tetapi masalah kesesatan bukan berada di tangannya sedikit pun.”[3]
Lazimnya manusia menghendaki sesuatu, dan Allah Swt. yang menciptakan segala sesuatu yang dikehendaki oleh manusia itu. Meskipun takdir manusia untuk mendapatkan pahala itu sangat terbatas, akan tetapi ia mempunyai kekuatan lahir untuk berbuat segala macam dosa dan keburukan. Sebab, keduanya merupakan sesuatu yang bersifat sangat buruk, namun banyak digemari manusia. Alhasil, manusia harus berusaha selalu untuk mendapat petunjuk (hidayah) yang baik dari sisi Allah Swt., agar dapat melakukan sesuatu yang baik pula di dalam kehidupan ini. Jika ditinjau dari segi ini, maka setiap manusia wajib selalu berharap untuk mendapatkan petunjuk Allah Swt., agar dapat melakukan segala perbuatan yang baik sesuai dengan apa yang diridhai-Nya.
[1] Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, pada pembahasan mengenai al-Malâhim, hadis nomor 1.
[2] Lihat lebih lanjut dalam al-Bidâyah wa al-Nihâyah, karya Imam Ibnu Katsir, Jilid 3, halaman 287.
[3] Imam al-‘Uqaili menempatkan riwayat ini dalam al-Dhu’afâ’, Jilid 2, hadis nomor 8. Lihat pula penjelasannya dalam Mîzân al-I’tidâl, karya Imam al-Dzahabi, Jilid 2, halaman 416. Juga dalam kitab Kanzu al-Ummâl, karya Imam al-Muttaqi, Jilid 1, halaman 546.
- Dibuat oleh