Insan-Insan Suci dan Sohbet (Majelis Ilmu)
Tanya: Apakah anda bisa menjelaskan ungkapan bahwa “Sohbet memiliki nilai istimewa dalam setiap hizmet dan kehidupan insan-insan suci”?[1]
Jawab: Pertama-tama, semoga Allah menjadikan kita sebagai salah satu bagian dari insan-insan suci, kemudian menjadikan segala sesuatu yang kita lakukan sebagai salah satu dari apa yang dilakukan oleh insan-insan suci. Semua ini merupakan keistimewaan yang masing-masing telah Allah ta’ala anugerahkan secara terpisah. Ya, kita harus memohon semua ini dari keluasan kasih sayang-Nya khususnya dengan jalan menjadikan kelemahan dan kefakiran kita sebagai wasilah syafaat. Jika kita mengharapkan hizmet yang dilakukan menghasilkan buah, maka ia dicapai bukan dengan ilmu dan kekuasaan kita, tetapi ia diharapkan dengan rasa butuh kita. Semoga Allah tidak membiarkan kita seorang diri bersama hawa nafsu walau hanya sekejap mata, semoga Allah berkenan melimpahkan kasih sayang-Nya di atas kelemahan dan kedaifan kita semua.
Seperti yang diketahui, Nabi Isa (a.s) membawa kabar gembira tentang Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam dan jamaahnya dengan menyebut mereka sebagai “insan-insan suci”. Insan-insan suci atau orang-orang yang disucikan ialah orang-orang yang tidak pernah masuk ke dalam noda keruhnya dunia dan tidak pernah tercampur walau hanya dengan kotoran berupa “umum al-balwa”[2] pada pakaiannya sekalipun; mereka juga sama sekali tidak pernah tunduk di hadapan dunia yang fana.
Hal ini jangan disalahpahami dengan pengertian bahwa mereka tidak pernah melakukan kesalahan maupun dosa. Kesalahan dan dosa lahir bersama Nabi Adam alaihis salam dan ia selalu hadir di samping manusia bagaikan kembarannya. Begitu pula dengan keturunan Nabi Adam alaihis salam, mereka mewarisi kesalahan yang lahir bersama dengan leluhurnya ini, baik pada masa kini maupun kemarin. Keduanya berjalan secara berkesinambungan. Lebih tepatnya, ini adalah sunatullah dan hal yang tidak mungkin untuk kita hindari. Oleh karena itu, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kita pada permasalahan ini dengan bersabda كُلُّ بَنيِ آدَمَ خَطَّاءٌ. Ya, semua orang dapat melakukan kesalahan, tetapi yang terpenting ialah bagaimana kesalahan tersebut dapat diminimalisir dan ditinggalkan. Beliau pun memberikan isyarat pada kondisi ini dengan ungkapan وَخَيْرُ الخَطَّائِينَ التَوَّابونَ. Bahwa “Sebaik-baik orang yang bersalah adalah ia yang berusaha untuk menghapusnya dengan taubat segera setelah melakukan kesalahan.” (HR Tirmidzi 2499, Shahih at-Targhib 3139)
Dari sudut ini, kita tidak memaknai orang yang tidak pernah melakukan dosa dengan ungkapan “suci”, “bersih”, dan “jernih”. Namun, kita memaknai insan-insan suci sebagai orang yang telah mengabdikan hidupnya untuk meraih rida Allah ta’ala; orang yang mengetahui cara bangkit ketika ia terjatuh, mencari jalan untuk mendekatkan dirinya ketika menjauh; senantiasa mengharapkan rida Allah seumur hidupnya; orang yang demi mengagungkan nama Allah, demi berkibarnya nama agung Allah di seluruh penjuru dunia layaknya panji-panji pusaka siap melakukan apa saja. Ya, mereka siap untuk melakukan segala macam pengorbanan di jalan ini.
Terkadang mereka juga bisa jatuh dan juga menjauh dari prinsip yang mereka yakini. Akan tetapi, karakteristik yang membedakannya dengan orang lain ialah ia tidak mau berlama-lama dengan kondisi di mana ia jatuh ke lubang tersebut dengan berat hati. Setelah terjatuh, ia segera bangkit dan berdoa seperti Nabi Adam (as), رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَ "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri,” (QS Al-Araf, 7/23) atau Nabi Yunus (as), لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ "Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim," mereka segera berlindung kepada Allah ta’alaa dari keburukan hawa nafsu. Ya, insan-insan suci mensucikan Allah setiap saat; mereka mengaitkan setiap akhir peristiwa kepada-Nya. Dalam hal ini, mereka dengan setiap ahwalnya menarik dan mengikat dirinya dengan pandangan kasih sayang Allah ta’ala. Dengan kata lain, seraya mengungkapkan kelemahan, kefakiran, kedaifan, dan kebutuhan mereka, beberapa waliullah mengatakan, لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ sama halnya mereka berkata, “Aku tidak meminta sesuatu apapun dari-Mu, lihatlah kondisiku, anugerahkanlah apa yang aku butuhkan!”
Orang suci, di saat yang sama memiliki arti sebagai seseorang yang berkeinginan kuat pada kesucian; yang lari dari dosa dan setelah selamat darinya lebih memilih untuk masuk ke dalam api dari pada harus kembali kepada dosa. Bagi orang-orang seperti ini, melenyapkan kesyirikan dan membangkitkan ketauhidan merupakan cita-cita yang paling luhur serta impian suci yang paling agung. Oleh karena itu, Nabi Isa alaihis salam menyebut jamaahnya Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam sebagai “insan-insan suci” yang akan membersihkan muka bumi dari segala bentuk kesyirikan dan juga merupakan jamaah paling teguh di akhir zaman.
Terdapat dua periode kumpulan insan-insan suci. Yang pertama, dimulai oleh Nabi Muhammad serta tajali asli dan penampakan menyeluruh yang di beragam periode masa berada di posisi puncak nan menjadi pusat peradaban dunia, berjalan layaknya negara, menjadi wajah kekhilafahan dari segi kejayaan dan kesejahteraan. Sementara periode lainnya, akan datang di akhir zaman. Ini berdasar pada kabar gembira yang disampaikan Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam, di mana keberadaan umat Islam untuk terakhir kalinya akan berada pada dimensi yang semestinya.
Dari sudut ini, ketika umat Nabi Muhammad diagungkan dengan sebutan “insan-insan suci”, mereka yang merepresentasikan kebangkitan kedua di akhir zaman turut menerima kemuliaan yang serupa. Insan-insan suci dari periode pertama tiba, menunaikan tugasnya, dan beranjak pergi seperti digambarkan dalam ayat:
تِلْكَ اُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ “Itu adalah umat yang lalu. Baginya apa yang telah diusahakannya... ” (QS. Al Baqarah: 131 & 141).
Sekarang yang harus kita lakukan ialah mengenang mereka dengan kebaikan, berusaha untuk meningkatkan dan mengembangkan karya-karya yang telah mereka tinggalkan untuk kita. Dengan kondisi ini, hal yang sebetulnya lebih berkaitan dengan kita ialah bagaimana kita dapat menggunakan dengan baik kesempatan tersebut untuk menjadi kumpulan insan suci yang kedua ini.
Ketika menyebut insan-insan suci, mereka haruslah sosok yang memikul kembali sebuah idealisme agung seperti khidmah terhadap iman dan kemanusiaan di akhir zaman serta merepresentasikan kebangkitan secara komprehensif. Mereka akan mengantarkan kehidupan seperti halnya Khidir, yang membuat tempat-tempat yang dilaluinya hidup dan bangkit kembali. Hingga saat ini banyak yang telah menggunakan ibarat ini. Misalnya, almarhum Maududi dalam bukunya “Gerakan Kebangkitan dalam Islam” menjelaskan “ba’su ba’dal maut” (kehidupan setelah kematian) secara komprehensif, bahkan ia mengungkapkan gerakan Imam Mahdi juga merupakan salah satu dimensi dari gerakan kebangkitan ini.
Tentunya gerakan kebangkitan yang paling luhur telah direpresentasikan oleh para nabi. Terjemahan ayat berikut, membenarkan dan mengukuhkan permasalahan ini : Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan (QS. Al- Anfal, 8/24). Ya, penuhilah seruan itu sehingga akhirnya kalian bisa bangkit di setiap dimensi, baik dalam ruh, makna, hati, sanubari, jiwa, perasaan, logika, dan pemikiran. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa gerakan kebangkitan yang paling seimbang telah direpresentasikan oleh para nabi dan juga insan-insan suci yang merepresentasikan gerakan ini setelah mereka.
Ketika sampai pada pembahasan karakteristik paling penting dalam kehidupan insan-insan suci, mereka menghayati kedalaman makna persahabatan dalam setiap kondisi: duduk, berdiri, berpikir, berbicara, bernasihat, dan membahas ilmu atau sohbet.
Dalam kitab-kitab terdahulu, orang-orang yang ada di sekitar Nabi Isa alaihis salam disebut sebagai “pengikutnya”. Begitu pula dengan Nabi Musa alaihis salam digunakan ungkapan “muridnya atau pengikutnya”. Sedangkan Al-Qur’an, ketika membahas mengenai jamaahnya Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam, menggunakan ungkapan Ashab, yakni sebuah kosakata yang berasal dari kata sohbet. Dan memang Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam pun menyebut mereka sebagai “Ashabi” (Sahabat-sahabatku).
Jika kita melihat dari sudut pandang ini, sohbet merupakan kosa kata yang sangat komprehensif, bahkan segala jenis nasihat dan irsyad tercakup ke dalam makna sohbet ini.
Di sisi lain, pada majelis ilmu (sohbet) insan-insan suci saling terhubung berkat tujuan dan idealisme yang agung. Kebersamaan mereka bukanlah kebersamaan yang biasa, melainkan kebersamaan yang memiliki tujuan dan landasan. Untuk itu, kebersamaan orang-orang di warung kopi, bioskop, teater atau perjalanan para turis yang dibubuhi makan-minum dan obrolan basa-basi seharusnya tidak disalahtafsirkan sebagai perbincangan (sohbet) dan persahabatan bagi insan-insan suci yang sudah kita garis bawahi di atas. Oleh karena itu juga, majelis ilmu (sohbet) insan-insan suci haruslah ditelaah sedemikian rupa, sehingga kita memaknainya dengan makna yang lebih khusus seperti itu.
Majelis ilmu (sohbet), adalah tempat persahabatan yang bertujuan untuk mengkaji serta mendalami perasaan dan pemikiran bersama-sama. Dalam hadits juga digunakan kata “tadzakur” yang mana hal tersebut memperkuat makna ini. Persahabatan ini juga bermakna sebuah persatuan cita-cita dan idealisme serta memadukan setiap kalbu dengan perasaan dan kegigihan yang sama. Kebersamaan yang seperti ini merupakan sebuah persatuan ruhani yang ideal. Masing-masing merasakan semangat yang sama; meraih kelezatan bersama dengan kelezatan orang lain dan turut bersedih (empati) dengan kesedihan yang mereka rasakan. Ketika kondisinya seperti ini, kebersamaan orang-orang yang pergi saat berada dalam kondisi bahaya, yang meninggalkan tempat yang ia pandang penuh dengan kesukaran secara nyata bukanlah sebuah persahabatan dalam bentuk yang sudah kita definisikan. Jika memang perlu, kita bisa sebut hal itu sebagai “kerumunan” belaka…
Dengan ini, mereka yang tidak menjalin kebersamaan demi negara dan cita-citanya, dalam permasalahan besar yang perlu dihadapi dengan kegigihan para nabi, yang membutuhkan waktu panjang, yang mengharuskan sebuah kesabaran tingkat tinggi terkait panjangnya waktu yang dibutuhkan, setelah mengatakan “ayo kembali lagi dari awal” meski lima puluh rencana, skema, dan strategi setiap tahunnya mengalami kendala, tidaklah akan mampu menangkap cakrawala persahabatan yang sesungguhnya. Jika kebersamaan ini tidak dimanifestasikan dalam setiap kerja keras, perjuangan, pencarian jati diri, pemaduan dengan makna, perolehan gelar yang pantas dalam meraih kebahagian abadi di akhirat, pencapaian rida Allah ta’ala dan penyerbukan embrio begitu jatuh ke tanah dalam bentuk benih yang kokoh di sini, agar dapat keluar sebagai tunas di surga, maka persahabatan ini tidak akan berlanjut di akhirat. Sedangkan saat dirajut di dunia, ia juga tidak akan memiliki nilai.
Alhasil dalam sebuah hadits syarif dijelaskan permasalahan seperti ini: Ketika ada orang yang baru meninggal dunia, sahabat dan keluarga yang meninggal sebelumnya berkumpul di sekitarnya. Kerabatnya di dunia bertanya kepada arwah-arwah itu, “Keadaan si fulan dan si fulan bagaimana?” Untuk menjawab pertanyaan itu, terkadang tamu baru alam barzah itu menjawab, “Dia sudah meninggal sebelum saya, apakah ia tidak menengok kalian?” Dari peristiwa ini, yang lain pun memahami permasalahannya dan ketika mengungkapkan kesedihannya mereka berkata: “Karena ia tidak menengok kita, itu berarti mereka telah membawanya ke tempat yang penuh kemalangan!”
Ya, keberlangsungan persahabatan di sana itu berhubungan erat dengan kebersamaan yang ada di sini. Banyak ayat dan hadis yang mengingatkan kita terkait hal ini. Pendek kata, sama halnya terjemahan hadits syarif dengan ungkapan yang singkat, ringkas, dan komprehensif: "Seseorang akan dikumpulkan dengan orang-orang yang dicintainya." mengukuhkan keistimewaan ini, ayat yang akan kita paparkan di sini juga memberikan penekanan yang sama: “Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pencinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. An Nisa 4/69)
Dari sudut pandang ini, persahabatan kita ialah sebuah persahabatan yang terbuka terhadap keluasan, berlimpah, dan memiliki banyak kedalaman. Ia merangkul perasaan, pemikiran, dan perjuangan dakwah yang sama dan termanifestasi dari kebersamaan orang-orang yang saling berbagi hal yang sama. Ia merupakan sebuah persahabatan majelis ilmu (sohbet) yang menghayati tauhid, tahlil, dan tahmid. Keagungan Allah ta’ala dibahas melalui muzakarah, demikian juga pembahasan tentang Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam. Nasihat juga merupakan salah satu sumber kehidupan dan aspek yang sangat penting bagi majelis ilmu (sohbet) ini. Kebersamaan yang berdimensikan ukhrawi, merupakan persahabatan yang begitu luhur sehingga kubur tak dapat menghalanginya, kematian pun tidak akan mampu memisahkannya. Ya, dunia tidak akan mampu menghalangi persahabatan yang terjalin dalam pertimbangan “Salah satu di antara kita mungkin di timur, di barat, di selatan, atau di utara. Ada yang di dunia, ada pula yang di akhirat, meskipun begitu, kita akan tetap bersama".
Salah satu dimensi dari keluasan dan kelimpahan persahabatan yang seperti ini ialah, tindakan saling mengingatkan. Yaitu, ketika dia melihat bahwa temannya melakukan kesalahan, dia memperingatkannya. Mereka yang berkata kepada seseorang yang sedang berjalan di atas es batu, "Awas, hati-hati! Kamu sedang berjalan di atas es. Nanti kamu bisa jatuh!". Sama halnya juga ketika seorang teman kepalanya terbentur, pandangannya kabur, atau hampir terpeleset, kawannya tidak akan membiarkannya terjatuh; ia menggenggam erat tangannya seraya menunaikan kewajiban dari rasa persaudaraan dan kesetiaan, serta berkata, "Awas, terpeleset di sini bisa mengakibatkan terpeleset di akhirat!" merupakan keharusan dari persahabatan yang seperti ini. Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam menyebut kaumnya dengan istilah “Ashab”, bukan dengan “jamaah”, karena mereka telah mewujudkan arti yang sempurna dari persahabatan yang seperti ini. Dengan kata lain, hubungan persahabatan yang sesungguhnya yaitu hubungan yang terdapat di antara beliau dengan mereka yang merasakan keluasan yang terdapat dalam kajiannya; meraih manfaat dari nasihat dan pesan-pesan sucinya, hingga kemudian mendapati jalan kedekatan menuju Allah ta’alaa dengan zikir dan tafakkur, serta memahami falsafah jalan keabadian persahabatan bahwa jalan yang ia masuki di sini secara nyata akan berlanjut di akhirat.
Selain itu, terdapat isyarat dalam kitab-kitab terdahulu bahwa mau'izah (Perkataan atau nasihat) akan mewujudkan salah satu aspek penting terkait kebangkitan di akhir zaman. Ya, salah satu gelar penting bagi sekumpulan orang yang akan menghembuskan angin kebangkitan kepada umat Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam di akhir zaman ialah gelar “Nasih” (Pemberi Nasihat). Dari sudut pandang ini, majelis ilmu (sohbet) yang memiliki dimensi nasihat dan kedalaman mau'izah merupakan hal yang sangat penting.
Memang, kita tidak bisa serta-merta menerima kitab-kitab terdahulu itu apa adanya. Namun, jika hal itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, lingkup permasalahan yang Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam tidak wajibkan (untuk kita yakini, dalam artian kita bisa memilah milih) bisa dipertimbangkan secara terbuka.
[1] Diterjemahkan dari artikel: http://fgulen.com/tr/eserleri/prizma/kudsiler-ve-sohbet
[2] Ditinjau dari segi bahasa ‘umûm al-balwa terdiri dari dua kata yaitu ‘umûm dan al-balwa. ‘Umûm berasal dari kata ‘amma yang berarti meliputi dan menyeluruh, “’amm al-mathar al-bhilad” (hujan telah turun di seluruh tempat). Sedangkan al-balwa berasal dari kata bala’ atau ikhtibar yakni cobaan dan ujian. Selain Kata al-balwa lafazh bala’ juga berarti al-bala’, albaliyah, al-bilyah, al-bilwah.
Para ulama berbeda pendapat tentang pengertian ‘umûm al-balwa, di antaranya:
Menurut Shaleh Hamîd, ‘umûm al-balwa adalah: “Umumnya suatu cobaan (bala) dengan perkiraan sulit untuk menghindarinya kecuali dengan usaha yang maksimal.”
Para ahli Fikih lebih cenderung menggunakan ‘umûm al-balwa dengan kata ad-Darûrah al-Mâssah (kebutuhan yang mendesak) atau hâjatunnâs (kebutuhan manusia)
Wahbah az-Zuhaili mendefinisikan ‘umum al-balwa’ dengan meratanya bala’ (ujian dalam bentuk kesusahan) sehingga terlalu sulit untuk menghindarinya.
Dari beberapa pengertian di atas, maka ‘umum al balwa adalah suatu perkara yang berkaitan dengan taklîf (beban) kepada manusia yang berlaku secara merata sehingga sangat sulit menghindarinya atau tidak melakukannya kecuali melalui kesulitan tambahan. (Mahmudin, ‘Umum al Balwa dalam Perspektif Hukum Islam’ 2020. Al-Falah: Jurnal Ilmiah Keislaman dan Kemasyarakatan, Vol. 20 No. 1 Tahun 2020)
- Dibuat oleh