Hubungan Antara Orang Tua dan Anak
Pertanyaan:
Sudah dikatakan dari sejak dahulu, sebagaimana juga ditegaskan dalam Al-Quran, bahwa anak adalah sarana ujian bagi orang tuanya. Apa yang dimaksud dengan pernyataan tersebut?[1]
Jawaban:
Kehidupan dunia dengan segala rasa manis dan pahit getirnya adalah kehidupan yang menyiapkan proses perpindahan kita ke alam keabadian. Pada saat yang sama, hidup ini penuh dengan ujian dan cobaan. Anak-anak meskipun menjadi salah satu unsur dari beragam ujian tersebut, tetapi mereka juga di satu sisi memiliki tempat istimewa dalam kehidupan kita. Bagi manusia, anak-anak selain merupakan nikmat yang luar biasa, di waktu yang sama mereka adalah sebenar-benarnya ujian.
Ujian bagi seorang ibu dimulai sejak hari-hari pertama masa kehamilan. Hampir setiap ibu meyakini dalam jiwanya bahwa udara yang dihirup oleh sang anak pun berasal darinya. Karena suapan yang dimakan dan seteguk air yang diminum terbagi di dalam badan sang ibu serta menjadi nutrisi bagi mereka berdua. Pada masa-masa berikutnya, sang ibu menggendongnya, terkadang di punggung kadang di pangkuannya. Karena anaknya, sang ibu tidak bisa tidur nyenyak. Setiap saat anaknya memiliki kemungkinan untuk terjatuh dari tangga, terpeleset di balkon, memasukkan sesuatu ke dalam soket listrik, ketumpahan air panas di kepalanya, atau kakinya tersenggol knalpot panas serta ribuan hal lain yang mendatangkan kekhawatiran dan kecemasan yang luar biasa.
Anak adalah amanah yang diberikan Allah kepada manusia dan akan diambil kembali ketika saatnya tiba. Apabila anak tersebut dirawat, dibina, dan dididik sebagai manusia yang matang dan bermanfaat bagi sesama, artinya orang tua berhasil lulus dari ujian. Akan tetapi, jika manusia melihat si anak sebagai bagian dari kehidupan yang dimilikinya, kemudian cinta yang seharusnya dipersembahkan kepada Allah ta'ala ia alihkan sepenuhnya untuk si anak; maka sesuai prinsip "tidak mungkin dua sultan bersemayam di satu singgasana hati", berarti orang tua telah gagal dalam ujiannya.
Dalam sebuah ayat disampaikan bahwasanya harta benda dan anak-anak adalah ujian, "Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar"[2]. Berdasarkan hakikat yang disampaikan oleh ayat tersebut, dalam segala sesuatu tujuan utama kita adalah mencari rida-Nya dan bertawajuh kepada-Nya, sedangkan hal selainnya adalah prioritas kedua. Mereka yang menjalankan hidup mereka di garis ini akan sukses, sedangkan mereka yang mengambil jalan lainnya akan merugi. Akan tetapi, ini tidak berarti kita akan meninggalkan dunia serta anak istri sepenuhnya. Sebaliknya, demi bisa memenuhi amanah dari Sang Pemilik dari semua ini, maka kita harus merawat mereka sepenuhnya. Dalam hal ini, seseorang harus melihat dirinya sebagai seorang penjaga amanah yang dititipkan Sang Pemilik subhanahu wa ta'ala. Lewat berbagai anugerah lain yang dipercayakan Allah kepadanya, seseorang harus mengayomi anak istrinya dan tidak boleh mengkhianati amanah ini.
Terkait anak, agama Islam memberlakukan tiga tugas penting kepada orang tua, yaitu memberikan nama yang indah, memfasilitasinya untuk mengenyam pendidikan yang baik, dan menikahkannya saat waktunya tiba. Tugas-tugas ini harus dipahami dengan baik. Karena tugas-tugas ini melingkupi seluruh aspek kehidupan. Karena itu, sama seperti dokter yang menerapkan menu makanan tertentu pada bayi yang berada dalam buaian sang ibu, demikian juga dengan pendidikan untuk anak, orang tua harus memperhatikannya sesuai dengan level usia dan daya paham anak-anak mereka. Terutama ketika tiba waktu bagi orang tua untuk menikahkan anak-anaknya, berpedoman pada nasihat Baginda Nabi, jangan sampai kita terpaku hanya pada kekayaan, kecantikan, dan keturunan dari sosok yang akan dinikahkan kepada anak kita, melainkan jadikanlah profil kehidupan religinya sebagai kriteria utama.
Menjaga hubungan dengan anak juga merupakan salah satu prinsip penting dalam mendidik keluarga. Di satu sisi, orang tua perlu menjaga wibawa serta keseriusan di hadapan anak-anaknya; di sisi lain, juga merupakan hal penting agar orang tua mampu menjadi sosok yang nyaman bagi si anak untuk berbagi dan bercerita berbagai masalah maupun kebahagiaan yang dirasakannya. Jika orang tua tidak menjaga wibawa dan keseriusannya, maka si anak hanya akan berbagi hal yang sifatnya kanak-kanak saja; barangkali mereka bisa menjadi teman bermain dan bergulat saja. Di saat bersamaan, orang tua akan kesulitan menjaga jarak dengan si anak, yang mengakibatkan kata-kata dari orang tua tidak akan memberi pengaruh lagi kepada anak-anaknya. Anak yang tumbuh dalam suasana seperti ini, dapat menunjukkan perilaku buruk seperti manja, bahkan anak bisa menjadi arogan. Dalam hal ini, jika kita ingin anak-anak menjalani pendidikan yang sehat, baik itu anak kandung kita sendiri maupun anak-anak yang diamanahkan kepada kita untuk dididik; maka kita harus membatasi jarak dengan mereka secara tepat.
Selain itu, anak-anak selalu merasa perlu mendapatkan teladan yang ideal. Di sinilah peran orang tua untuk menjadi model panutan bagi anak-anaknya. Anak-anak yang tidak menemukan model panutan yang ia cari di dalam keluarganya, pada level usia berikutnya, ia akan mencari model panutan tersebut dari dunia luar sehingga dapat mengakibatkan konflik dalam jiwanya. Sedangkan anak-anak yang berhasil menemukan model panutan ideal dalam keluarganya akan menjalani kehidupan yang bahagia dan damai.
Mari kita selesaikan pembahasan ini dengan sebuah ayat: "Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[3]
Jadi, harta benda dan anak di satu sisi berpotensi menjadi musuh, sedangkan dalam aspek lainnya mereka adalah rekan karib kita. Jika semua amanah yang dititipkan ditunaikan di jalan Allah, maka melalui sarana tersebut seseorang dapat memakmurkan kehidupan dunia dan akhiratnya.
[1] Diterjemahkan dari buku prizma pada artikel “Cocuk Ebeveyn Munasebeti” https://fgulen.com/tr/eserleri/prizma/cocuk-ebeveyn-munasebeti
[2] QS. At Taghabun, 64/l5
[3] QS At-Taghabun, 64/l4
- Dibuat oleh