Dimensi Istigfar di Dalam Hizmet
Terkadang ketika melaksanakan tugas atas nama khidmah untuk agama, bisa jadi hal-hal yang tidak disukai oleh Allah juga dilakukan dan hal-hal seperti ini sering menjadi sebab terhalangnya tugas itu sendiri. Karena itulah Al-Qur'an menghubungkan kesuksesan dengan istigfar, serta menyampaikan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apabila telah datang kemenangan, teruslah beristigfar kepada Tuhanmu”[1]. Sayyidah Aisyah radiyallahu anha berkata: “Setelah turunnya ayat ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam terkadang beristigfar di majelisnya sampai 100 kali.”
Inilah jiwanya seorang Nabi. Sebaliknya, kesenangan yang disebabkan oleh keberhasilan dan kemenangan yang dicapai adalah jiwa Firaun, dan jiwa Firaun pasti selalu menekan perilaku mukmin. Sebagai contoh: bahkan ketika pergi ke sebuah tempat atas nama khidmah pun, berperilaku terlalu santai di mobil ataupun di pesawat, sibuk dengan kemegahan duniawi, pastinya bukanlah perilaku rahmani. Ya, khidmah tanpa istigfar dan muraqabah seperti ini adalah penyebab utama dari segala hambatan. Dan saya percaya secara pasti bahwa segala hambatan yang dihadapi itu pasti disebabkan oleh hal ini.
Ya, kita saat ini berada pada hari-hari yang begitu sensitif sehingga perasaan, pikiran, keyakinan, dan amal para jiwa yang mengabdi kepada masyarakat perlu ditinjau kembali. Perbaikan menyeluruh di berbagai tempat yang bermasalah perlu dipertimbangkan kembali demi menghidupkan dan membangun kembali bangunan jiwa itu. Hanya dengan operasi seperti inilah orang-orang naik ke tingkatan di mana mereka bisa merasakan getaran tatkala melafalkan setiap kalimat. Layaknya orang berpuasa yang merasakan aliran air tatkala sedang minum dan bahkan seringkali mengucapkan “astagfirullah” karena saking khusyuknya salat yang mereka dirikan.
Ya, rida Allah subhanahu wa ta’ala itu tidak bisa diketahui di mana letaknya. Bisa jadi rida-Nya bukan pada salat yang dikerjakan seperti itu, melainkan pada salat yang dilakukan dengan tanpa penghayatan tapi melaksanakan semua rukunnya dengan baik. Memang, yang penting adalah bersikap sesuai dengan adab ketika berada di hadapan Allah, dan berada pada kesadaran akan pentingnya amal yang sedang dikerjakan lewat menyingkirkan setan dan tipu dayanya. Jadı masalahnya bukan terletak pada merasakan apa yang perlu dirasakan. Tapi saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa: “Asas dalam hal ini adalah tidak merasakan apa-apa”. Maksud saya adalah bahwa jika kita tidak mengerti dan mendalami arti istigfar dalam setiap kesuksesan pada kesempurnaan diri sendiri dan masyarakat, maka hal ini juga dapat dikatakan sebagai sebuah kelalaian dan Allah tidak menyukai orang-orang yang lalai. Bahkan perkataan: “Allah telah membuat kita banyak melakukan pekerjaan baik” pun jika tidak diiringi dengan istigfar, maka kemungkinan besar ia adalah sebuah syirik yang tersembunyi. Semua jenis pemikiran berbahaya ini hanya dapat kita hilangkan dengan kedalaman istigfar kita.
Sisi lain dari permasalahan ini adalah: ketika kita sibuk dihadapkan dengan permasalahan-permasalahan yang ada, lalu mengucapkan perkataan seperti: “kenapa ini semua terjadi, apa kesalahan kita?”. Pernyataan ini merupakan perilaku tidak berterima kasih dan tidak sopan di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, ketika perasaan ini muncul di dalam benak maka kita harus segera menghapusnya dengan istigfar. Apakah kita bisa melihat kesalahan ini dari diri kita terhadap semua yang telah terjadi? Apakah kita sanggup tanpa henti mencari kesalahan ini dari alam bawah sadar kita seperti halnya penglihatan yang bersinar dari sebuah proyektor? Tidakkah Al-Qur'an mengatakan: عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ “Lihatlah terhadap diri kalian!” (Surah Al-Maidah 5/105)? Oleh karena itu, kenapa kita tidak mengontrol diri kita dengan sebaik-baiknya dan tidak menyelidiki apa yang masuk dan keluar dari hati kita dengan prinsip: “Allah subhanahu wa ta’ala tidak melihat rupa kalian, akan tetapi melihat hati kalian”?
Ketika semua ini tidak dilakukan, maka bantuan Allah subhanahu wa ta’ala pada kesuksesan yang diraih itu akan terlupakan dan keegoisan pun akan muncul sehingga ia akan tertipu. Semua itu merupakan godaan setan yang datang mendekat dari sisi kanan manusia (yaitu menipu manusia dengan kebanggaan pada keberhasilan). Lihatlah Rasulullah sallallâhu ‘alaihi wa salam. Ketika beliau masuk ke Ka’bah (pada waktu Fathul Mekkah), beliau membungkuk dengan penuh kerendahan hati, sampai-sampai dahi beliau yang penuh berkah hampir menyentuh pelana hewan tunggangan beliau. Kalau begitu, setiap melakukan sesuatu kita perlu mencari rida-Nya. Padahal seringkali kita menghabiskan waktu dalam khayalan tak bermakna dengan penuh canda tawa dan seringkali kita melakukan hal-hal yang salah.
Ya, rida Allah sudah cukup bagi kita. Kalau begitu, maka Dia harus menjadi asas dalam segala urusan kita. Dia harus menjadi tujuan kita, serta segenap perilaku dan pikiran kita pun harus disandarkan kepada-Nya.
[1] An Nashr 110: 1-3 “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.”
- Dibuat oleh