Rasa Tanggung Jawab
Gerak dan upaya untuk bangkit adalah perkara paling penting dalam eksistensi manusia. sikap diam adalah nama lain dari kehancuran dan kematian. Sementara hubungan antara gerak dan tanggung jawab adalah dimensi kemanusiaan pertama dari sebuah gerak. Itulah sebabnya, sebuah gerak atau upaya untuk bangkit tidak dapat disebut sempurna jika tidak dibentuk oleh tanggung jawab.
Kebanyakan orang berusaha untuk mencapai maksud atau tujuan tertentu. Tapi adalah sia-sia jika seseorang menunggu hasil dari sebuah usaha yang tidak dibentuk oleh tanggung jawab. Padahal saat ini para oportunis matanya selalu nyalang karena rakus mencari-cari kesempatan, para politisi riuh melontarkan janji-janji manis yang beracun, media massa ramai menyiarkan berbagai berita dan jargon-jargon, beberapa elit mendadak berubah menjadi malaikat yang rajin membantu masyarakat di tempat bencana, beberapa orang yang disebut "mubalig kondang" sibuk menjual khutbah demi mengejar uang, pasar saham jatuh bangun dalam bayang-bayang spekulasi saban siang dan malam, segelintir aparat pemerintah mencurahkan perhatian mereka hanya untuk membela ideologi tertentu, dan kaum bijak bestari terus membiarkan berbagai macam kebusukan tersebar di mana-mana.
Semua itulah yang dimaksud oleh ungkapan "siapa cepat dia dapat". Adapun mereka yang terpinggirkan dan mati kesepian hanya bisa mendengar ucapan "Inilah seleksi alam. Yang kuat, dialah yang menang!" Jadi tampaknya saat ini, ketika segalanya dianggap "biasa saja", segala hal menjadi jauh lebih sulit untuk dilakukan.
Inilah saatnya seseorang harus tampil dan berteriak kepada para "jagoan" yang membela segala kebusukan yang menyebar di seluruh dunia: "Setop! Hendak kemanakah kalian?!"
Mehmed Akif Ersoy bersyair:
Adalah keliru jika mereka bilang sebuah masyarakat dapat hidup dalam keacuhan
Tunjukkan padaku satu bangsa, siapa dari mereka yang selamat tanpa kesalehan?![1]
Setelah mendengar puisi itu, kalau pun orang-orang tidak meludahi muka Akif, maka mereka pasti akan mengejeknya dengan kata-kata kasar atau bahkan memaki penyair besar itu. Bisa jadi mereka akan berkata: "Setiap domba digantung dengan diikat kakinya!"[2] Atau mereka akan melontarkan sindiran: "Hanya si penyelamat kapal-lah yang pantas menjadi nahkoda!"[3]
Selain mengejek rasa tanggung jawab yang dinyatakan dalam syair di atas, bisa jadi ada orang-orang yang sama sekali tidak peduli pada segala hal selain dirinya sendiri. Sebuah pepatah Turki berbunyi: "Sama sekali tidaklah penting bagiku seekor ular yang hidup seribu tahun tapi tidak pernah menggigitku."
Sialnya, Anda akan sering menemukan tanggapan seperti ini ketika Anda peduli kepada orang lain. Dan lagi, siapakah kiranya orang yang tahu bahwa ketulusan hatinya harus berbalas dengan kata-kata busuk seperti itu!
Tapi tentu saja sikap buruk seperti itu tidak pernah terlintas dalam benak seorang mukmin sejati. Sangatlah tidak cocok jika kita memiliki rasa tanggung jawab yang baik tapi kita berkata: "Ah, omong kosong!" lalu kita berlalu begitu saja.
Sikap tak acuh seperti itu tentu sama sekali tidak sesuai dengan rasa tanggung jawab yang kita miliki. Karena sebagai bangsa, saat ini kita tengah dikepung oleh sikap permusuhan yang ditunjukkan musuh-musuh kita. Selama kita masih berada di bawah kepungan musuh, maka kita tidak dapat mewujudkan jati diri kita secara utuh baik dari segi perasaan, pemikiran, keimanan, seni, dan kebebasan dalam bertindak.
Saat ini kita tidak dapat menjaga kehormatan Islam dan kesucian ajaran agama kita. Saat ini kita tidak dapat menyelamatkan bahtera yang kita naiki untuk mencapai tujuan dengan aman sentosa. Saat ini kita tidak dapat membangun dunia kita sendiri atau pun hidup berdasarkan kehendak kita agar kita dapat menjadi pewaris bumi yang siap kembali kepada Allah.
Inilah saatnya bagi kita untuk segera membuka mata dan melihat kenyataan.inilah saatnya kita bertindak berdasarkan pandangan kita sendiri untuk melindungi semua warisan yang hari ini telah kita terima dari khazanah masa lalu. Kita harus segera memberdayakan segala potensi yang terdapat di dalam diri kita untuk memperkokoh eksistensi kita. Jika kita tidak melakukannya sekarang juga, maka kita akan segera menyaksikan satu masa ketika kita tidak mampu lagi menjaga diri kita sendiri, termasuk untuk menjaga kondisi kita saat ini.
Di masa lalu, musuh kita adalah kebodohan, kemiskinan, disintegrasi, fanatisme, dan sebagainya. Saat ini, musuh kita bertambah dengan munculnya kecurangan, penistaan, dekadensi moral, ketidakpedulian, dan hilangnya gairah untuk maju. Sungguh saya ingin meminta maaf kepada orang-orang yang masih memiliki kejernihan dalam beragama, kemurnian pikiran, dan tekad yang kuat, karena saya harus mengatakan bahwa generasi muda dan sebagian dari generasi tua banyak di antara mereka yang selama bertahun-tahun tersesat sehingga salah memilih jalan yang tepat. Mereka pun akhirnya hidup di bawah bayang-bayang kebohongan. Mereka telah tertipu oleh ideologi-ideologi busuk yang hanya berisi omong kosong.
Meskipun fenomena seperti ini hanya terjadi pada elemen tertentu dari bangsa kita, tapi bentuk kesesatan pemikiran dan kekeliruan seperti ini sudah dapat disebut sebagai bentuk penjajahan atas negeri kita. Penjajahan yang dulu telah meracuni Sultan Muhammad al-Fatih, menikam Sultan Murad I dengan belati, membunuh Sultan Yaldarum Bayezid, dan menyebabkan Sultan Yavuz Selim terserang tumor. Penjajahan inilah yang menjadi pembunuh semangat kebangsaan yang telah berhasil memenangi Perang Kemerdekaan, agar leher bangsa kita dapat digorok oleh kebusukan zaman ini, kelalaian kaum intelektual, dan ketidakpedulian masyarakat.
Saat ini kita telah memikul tanggung jawab untuk menyuntikkan semangat baru ke dalam tubuh dunia kita. Semangat baru yang berisi keimanan, cinta antarsesama manusia, dan cinta pada kebebasan. Kita juga harus menyiapkan kondisi yang kondusif untuk menanamkan akar moralitas dari sebatang pohon cinta yang akan tumbuh besar dengan ketiga macam pupuk ini. Dengan akar yang kuat, kelak pohon ini akan memberi keteduhan baru di taman kehidupan kita yang luas.
Tentu saja, semua itu bergantung sepenuhnya pada keberadaan para pahlawan yang siap melindungi negeri kita serta menjaga perjalanan sejarah kita berikut segala ajaran agama, adat-istiadat, tradisi, dan semua kearifan lokal yang dimiliki masyarakat. Semua itu bergantung sepenuhnya pada para pahlawan yang jiwanya dipenuhi dengan kecintaan pada ilmu, semangat dalam membangun, ikhlas beragama, mencintai bangsa dan negara, dan selalu siap melaksanakan semua kewajiban mereka dengan penuh rasa tanggung jawab.
Dengan peran dan kerja keras merekalah pemikiran kita akan terbentuk dan segenap pemahaman kita akan memberi manfaat bagi kehidupan bangsa kita. Setiap orang akan memiliki semangat pengorbanan yang tinggi demi kemajuan masyarakat. Kesadaran atas pembagian tugas masing-masing pihak dan sikap gotong-royong juga akan tumbuh kembali. Berbagai bentuk hubungan akan membaik: antara majikan dengan pekerja, antara tuan tanah dengan buruh penggarap, antara pegawai dengan pemerintah, antara pemilik rumah dengan pengontrak, antara seniman dengan penikmat seni, antara anggota dewan perwakilan rakyat dengan rakyat yang diwakili, antara guru dengan murid, dan seterusnya. Semua yang telah kita tunggu selama berpuluh-puluh tahun akan terwujud satu demi satu.
Saat ini kita hidup di suatu masa di mana semua cita-cita yang selama ini hanya ada dalam benak kita akan terwujud, dan kita yakin bahwa para tokoh masa kini akan dapat merealisasikan semua mimpi kita ketika waktunya tiba.
Sejak bertahun-tahun lalu, inilah landasan dari semua cita-cita dan visi kita. Hal pertama yang menjadi jalan utama menuju realisasi cita-cita kita adalah kesadaran dan etika dalam memikul tanggung jawab. Ketika kita ketahui bahwa kondisi diam dan statis adalah sama saja dengan kematian dan kebinasaan, sebagaimana sikap tidak mau bertanggung jawab dalam gerakan adalah sama saja dengan kekacauan, maka tidak memiliki pilihan lagi selain membangun setiap tindakan kita dengan penuh rasa tanggung jawab. Bahkan seyogianya semua usaha yang kita lakukan harus dilakukan dengan tanggung jawab yang sempurna.
Jalan yang kita tempuh adalah jalan kebenaran. Tugas kita adalah memikul kebenaran. Tujuan kita adalah adalah meraih ridha Allah di setiap kedipan mata kita. Sebenarnya, bersikap seperti ini adalah wujud asli dari kemanusiaan kita dan sekaligus merupakan hikmah dari semua cita-cita kita.
Kita menyadari bahwa diri kita harus mampu menemukan tujuan hidup, menumbuhkan cinta dalam jiwa, menyadari tanggung jawab kita, dan membimbing siapapun yang sudah "bangun dari tidur" ke arah sumber sebuah sistem yang landasannya adalah iman, sumber kekuatannya adalah cinta, dan cahaya yang meneranginya adalah ilmu, seni, akhlak, dan hikmah...
Kita harus sadar bahwa kita adalah budak dari tugas suci yang tidak mungkin kita tinggalkan ini. Inilah awal dari kebangkitan global kita yang kedua. Inilah kerja besar yang kita harapkan dapat menyebar dan berkembang di jalan lurus dan spiritualitas yang dimiliki pada waliyullah, sufi, orang-orang bajik (abrâr), dan mereka yang dekat dengan Allah (muqarrabûn) sejak dulu sampai sekarang.
Setiap masa pasti memiliki keajaibannya masing-masing. Harkat kemanusiaan kembali lahir pada abad keenam dengan kemunculan Islam. Banyak suku-suku Turki yang kembali hidup berkat jasa Islam pada abad kesepuluh. Metamorfosa bangsa Turki dari "kepompong" menjadi "kupu-kupu" Kesultanan Ottoman yang perkasa di daerah Söküt[4] terjadi pada abad keempat belas.
Menurut hemat saya, keajaiban abad kedua puluh satu akan muncul ketika bangsa kita dan semua bangsa yang memiliki hubungan dengan kita menempati kedudukan yang tepat di tengah keseimbangan dunia internasional. Pencapaian ini kelak akan mengubah arah sejarah dunia yang akan bergerak pada poros spiritulitas, akhlak, cinta, dan keluhuran.
Ya. Kita yakin bahwa dengan jihad spiritual yang pantas disebut sebagai "perjuangan ilmu, akhlak, kebenaran, dan keadilan", kita pasti akan dapat menyatukan kepingan umat Islam yang selama ini terpecah belah di seluruh penjuru dunia, untuk kemudian kita bangun satu generasi baru yang selama ini selalu hidup bagaikan ayam yang kehilangan induk. Ketika itu terjadi, itulah yang disebut sebagai "kebangkitan setelah kematian" dan pada saat itulah kita akan dapat mengibarkan panji-panji Liwâ` al-Hamd.
[1] Mehmed Akif Ersoy, al-Shafahât, hlm. 272.
[2] Ungkapan ini adalah sebuah pepatah Turki yang maksudnya adalah bahwa setiap orang bertanggung jawab hanya kepada dirinya dan apa yang telah dilakukannya, sehingga semua yang dilakukan seseorang bukan menjadi urusan orang lain.
[3] Ungkapan ini adalah sebuah pepatah Turki yang menunjukkan sikap egois seseorang yang memiliki kelebihan tapi tidak mau mengurus kepentingan orang lain.
[4] Di daerah Sokut inilah tercetus kelahiran Kesultanan Turki Ottoman.
- Dibuat oleh