Musyawarah
Musyawarah (syûrâ) adalah sebuah perkara krusial yang menjadi salah satu pondasi bagi para rabbâniyyûn hingga hari ini, sebagaimana dulu musyawarah juga menjadi salah satu prinsip yang selalu dijaga para "pewaris bumi".
Di dalam al-Qur`an, musyawarah menjadi indikator terpenting yang menunjukkan kualitas keimanan pada suatu masyarakat serta menjadi karakter utama yang melekat pada semua komunitas yang mempersembahkan hidup mereka demi kejayaan agama Islam.
Di dalam al-Qur`an, musyawarah disandingkan sejajar dengan shalat dan infak. Allah s.w.t. berfirman: "Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka." (QS al-Syûrâ [42]: 38).
Lewat ayat ini, Allah s.w.t. mengingatkan bahwa musyawarah adalah sesuatu yang setara dengan ibadah ritual. Bahkan Allah lalu menyematkan musyawarah dalam perintah-Nya yang menyebutkan hal-hal wajib: shalat, musyawarah, dan infak.
Berdasarkan penjelasan ini, maka dapat kita simpulkan bahwa sebuah masyarakat yang mengabaikan musyawarah sebagai landasan hidup, tidak dapat disebut sebagai masyarakat yang sempurna keimanannya kepada Allah. Sebagaimana dapat pula kita katakan bahwa sebuah masyarakat yang mengabaikan prinsip musyawarah, tidak dapat disebut sebagai masyarakat muslim yang seutuhnya.
Dalam agama Islam, musyawarah adalah sebuah landasan hidup yang harus dipegang teguh baik oleh para pemimpin maupun oleh rakyat jelata. Para pemimpin memiliki tanggung jawab untuk menerapkan musyawarah dalam kebijakan politik, pemerintahan, hukum, dan berbagai hal yang berhubungan dengan masyarakat luas. Sementara rakyat memiliki tanggung jawab untuk menjadikan musyawarah sebagai wahana penyampaian aspirasi mereka kepada penguasa.
Ada satu hal penting yang saya temukan berkenaan dengan prinsip musyawarah. Menurut hemat saya, musyawarah adalah syarat utama bagi lahirnya sebuah keputusan terbaik dalam suatu urusan tertentu. Sebagai mana kita tahu, banyak masalah yang muncul disebabkan keputusan atau kebijakan –baik yang berhubungan dengan individu maupun masyarakat umum- yang ditetapkan tanpa meminta saran dari masyarakat. Semua itu terjadi karena pemimpin manapun yang selalu mengandalkan pendapatnya tanpa pernah mau menghargai pendapat orang lain, walau secerdas apapun orang tersebut, pasti semua pendapatnya akan menjadi lebih rentan dari kesalahan dibandingkan pendapat seorang pemimpin yang mungkin tidak terlalu cerdas tapi selalu mau mendengar pendapat orang lain melalui musyawarah. Jadi dapat dikatakan bahwa orang yang paling cerdas sebenarnya adalah orang yang paling mau bermusyawarah serta bersikap terbuka terhadap pendapat orang lain.
Seorang pemimpin yang selalu merasa cukup dengan buah pikirannya saja dalam segala urusannya, pasti akan terperosok dalam kesalahan. Selain akan kehilangan potensi yang sebenarnya dapat dia temukan dalam pemikiran orang lain, seorang pemimpin egois seperti itu juga akan dijauhi dan dibenci oleh orang-orang di sekelilingnya.
Musyawarah adalah syarat utama untuk membangun manusia yang lebih baik dalam tindakan apapun yang dilakukannya. Selain itu, musyawarah adalah sebuah alat yang sangat penting untuk melipatgandakan potensi dan kemampuan yang dimiliki sebuah komunitas.
Jadi seyogianya, sebelum melakukan tindakan apapun, seseorang harus terlebih dulu melakukan musyawarah dan penelitian yang memadai, untuk kemudian dilanjutkan dengan kesungguhan dalam melaksanakan tindakan tersebut. Semua itu perlu dilakukan agar orang yang bersangkutan dapat terhindar dari malapetaka yang mungkin terjadi. Tentu saja, penyesalan tidak akan ada gunanya bagi siapapun yang sebelum melangkah tidak pernah memikirkan resiko tindakannya serta tidak mau bermusyawarah dengan orang-orang yang lebih berpengetahuan dan berpengalaman. Betapa banyak tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang tidak berpengalaman, ketika baru saja tindakan itu dilaksanakan, tiba-tiba kegagalan pun terjadi hingga membuat orang lain menjadi enggan melakukan tindakan serupa.
Di dalam Islam, prinsip musyawarah telah menjadi seperti sebuah sistem. Musyawarah adalah salah satu hal utama bagi kekuatan dan kelestarian gerakan apapun. Musyawarah adalah elemen terpenting yang dibutuhkan untuk mengurai suatu masalah, baik yang berhubungan dengan individu maupun masyarakat banyak, rakyat maupun negara, ilmu maupun pengetahuan umum, perekonomian maupun sosial-kemasyarakatan, dan berbagai hal lainnya selama tidak ada dalil nas yang secara gamblang menjelaskan permasalahan yang sedang dihadapi itu.
Dalam ajaran Islam, lembaga permusyawarahan yang ada dalam sebuah negara memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan kekuasan eksekutif. Lembaga itulah yang bertugas mengarahkan setiap kebijakan yang diambil oleh eksekutif atau seorang kepala pemerintahan. Tapi dalam sistem kenegaraan yang diterapkan oleh Republik Turki saat ini justru kita melihat lembaga permusyawarahan justru amat dibatasi kekuasaannya serta tidak memiliki ruang gerak yang luas hingga jauh dari hakikat lembaga permusyawarahan yang diajarkan oleh Islam.
Menurut ajaran Islam, kepala negara adalah seorang pemimpin tertinggi yang harus selalu berpegang pada prinsip musyawarah, termasuk seandainya pun pemimpin yang bersangkutan adalah pilihan Allah yang dibimbing langsung oleh wahyu Ilahi. Demikian itulah yang terjadi dalam sistem pemerintahan Islam di masa lalu hingga sekarang.
Kalaupun ternyata terjadi berbagai bentuk pengabaian terhadap sistem musyawarah di sana sini, tapi telah jelas terbukti bahwa semua bangsa dan masyarakat pasti menerapkan sistem musyawarah meski dengan berbagai bentuk dan istilah yang berbeda-beda. Karena negara manapun yang mengabaikan sistem musyawarah pasti akan terguncang tatanannya. Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tidak akan merugi orang yang beristikharah dan tidak akan menyesal orang yang bermusyawarah."[1] Singkatnya, kejayaan dan masa depan suatu bangsa bergantung pada baik buruknya sistem musyawarah yang diterapkan oleh bangsa yang bersangkutan.
Di dalam al-Qur`an, kata syûrâ disebutkan secara eksplisit di dua ayat berbeda, sementara di banyak ayat lain terdapat penjelasan tentang musyawarah secara implisit. Kedua ayat yang secara terang-terangan menyebut kata syûrâ –sehingga tidak perlu ditafsirkan atau ditakwilkan lagi- itu adalah firman Allah s.w.t.: "...dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu..." yang terdapat dalam surah Âli Imrân ayat 159, dan firman Allah: "...sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka..." yang terdapat dalam surah al-Syûrâ ayat 38 yang telah dijelaskan pada bagian terdahulu. Demikianlah yang telah Allah firmankan dalam al-Qur`an sebagaimana kita juga harus menyadari bahwa di balik penamaan salah satu surah dalam al-Qur`an dengan kata "syûrâ" tentu mengandung hikmah yang luar biasa.
Di dalam surah al-Syûrâ, kata syûrâ digunakan untuk menjelaskan karakter para sahabat Rasulullah yang mendapatkan pujian dari Allah. Jadi dari ayat ini kita dapat menangkap kesan bahwa Allah tidak ragu untuk memuji para sahabat Rasulullah yang menjadikan musyawarah sebagai titik sentral dari segala tindakan dan urusan mereka. Dengan adanya pujian Allah yang ditujukan kepada para sahabat yang berpegang teguh pada prinsip musyawarah, hal ini tentu membuktikan bahwa musyawarah adalah sebuah perkara yang sangat penting.
Selain itu, al-Qur`an juga menjadikan musyawarah sebagai salah satu prinsip yang memiliki posisi sangat penting. Sebagaimana halnya Sunnah Rasulullah s.a.w. juga memberi perhatian besar terhadap prinsip musyawarah, hingga kita temukan sekian banyak nas yang menjelaskan tentang musyawarah. Bahkan Rasulullah s.a.w. sendiri selalu melaksanakan musyawarah dengan para sahabat beliau ketika menghadapi masalah yang tidak dijelaskan oleh nas. Beliau tidak pernah ragu untuk bermusyawarah dengan semua lapisan masyarakat, baik pria maupun wanita, baik tua maupun muda. Pada masa selanjutnya, ketika kemajuan mulai terjadi dalam berbagai bidang kehidupan, ternyata kita justru tidak mampu menandingi kualitas musyawarah seperti yang dulu dicapai oleh kalangan muslim awal.
Ya. Rasulullah memang selalu mengajak para sahabat untuk bermusyawarah dalam hampir setiap urusan. Rupanya beliau selalu ingin mengetahui apa pendapat yang dimiliki para sahabat untuk kemudian menarik benang merah yang menghubungkan berbagai pendapat yang disampaikan para sahabat mengenai masalah yang tengah dihadapi. Melalui musyawarah, Rasulullah berhasil menggunakan pendapat dan kehendak masyarakat umum sebagai soko guru bagi berbagai keputusan yang beliau ambil sehingga membuat keputusan tersebut menjadi kokoh berkat adanya dukungan masyarakat. Rasulullah selalu memberi kesempatan kepada semua orang untuk memberikan sumbangsih baik moral maupun material, dalam setiap tindakan yang beliau lakukan. Tentu saja hal itu dilakukan Rasulullah setelah memperhitungkan semuanya dengan cermat.
Sekarang saya ingin mengajak Anda untuk melihat beberapa kejadian yang dialami Rasulullah s.a.w. yang berhubungan dengan masalah yang sedang kita bahas ini.
Ketika Rasulullah s.a.w. berangkat menuju Uhud, beliau memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan strategi perang yang beliau rancang. Pada saat itu, sama sekali tidak ada indikasi bahwa perintah Rasulullah s.a.w. akan dilanggar, termasuk penempatan pasukan panah di lereng Uhud sebagai bagian dari taktik pasukan muslim dalam menghadapi musuh. Selain itu Rasulullah juga memperingatkan mereka untuk tidak meninggalkan posisi mereka meski nanti kemenangan telah diraih pasukan muslim. Bahkan beliau dengan tegas melarang mereka turun guna mengambil pampasan perang.
Namun ternyata setelah perang meletus dan kemenangan berhasil diraih pasukan muslim, beberapa orang sahabat Rasulullah yang menjadi regu pemanah melakukan kesalahan dalam menentukan kapan berakhirnya perintah Rasulullah s.a.w. karena para sahabat sangat patuh kepada beliau. Kejadian itu berakhir dengan "pelanggaran" yang dilakukan beberapa anggota regu pemanah sebab mereka meninggalkan posisi mereka sebelum waktunya.
Seandainya peristiwa itu terjadi pada orang selain Rasulullah s.a.w., tampaknya dapat dipastikan para sahabat yang melanggar perintah itu pasti akan langsung menuai kecaman disebabkan keteledoran mereka. Tapi ternyata hal itu sama sekali tidak dilakukan Rasulullah s.a.w. Bahkan tidak berapa lama setelah peristiwa itu, Rasulullah menyampaikan ayat Allah yang berbunyi: "...dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu..."
Bayangkan, ketika darah yang keluar disebabkan luka di tubuh beliau belum kering, Rasulullah telah mengumpulkan para sahabat termasuk mereka yang melakukan "kesalahan" dalam perang Uhud untuk bermusyawarah dengan mereka. Padahal saat itu, telah banyak jatuh korban di pihak pasukan muslim disebabkan pelanggaran yang mereka lakukan hingga membuat beberapa sahabat Rasulullah langsung pulang ke Madinah tanpa mau peduli akan apa yang terjadi. Dan bukan hanya mengajak mereka bermusyawarah, Rasulullah juga menyampaikan perintah Allah yang meminta beliau untuk memohonkan ampunan untuk mereka.
Demikianlah Rasulullah secara terang-terangan menunjukkan kepada kita semua bahwa beliau diperintah oleh Allah untuk menegakkan prinsip musyawarah di tengah perjalanan hidup beliau yang selalu berada di bawah bimbingan wahyu Ilahi. Dengan perintah Allah itu, Rasulullah mengingatkan para pemimpin akan tanggung jawab yang mereka emban serta sekaligus menyatakan kepada siapapun yang berada di bawah kepemimpinan orang lain bahwa mereka memiliki hak untuk mengemukakan pendapat. Melalui prinsip musyawarah, rakyat jelata dapat ikut membantu para pemimpin serta mencegah mereka agar tidak berubah menjadi diktator.
Diriwayatkan pula bahwa ketika Rasulullah menerima ayat yang berbunyi: "...dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu..." tidak lama setelah perang Uhud usai, beliau menyatakan di depan para sahabat bahwa sebenarnya Allah dan Rasulullah sama sekali tidak membutuhkan musyawarah. Namun Allah telah mengutus Rasulullah sebagai rahmat bagi umat manusia, hingga beliau pun menyatakan bahwa siapapun yang bermusyawarah niscaya akan benar tindakannya, sedangkan siapapun yang mengabaikan musyawarah niscaya akan tersesat.
Jadi, dari perintah Allah yang disampaikan kepada Rasulullah yang sebenarnya tidak perlu meminta pendapat para sahabat beliau, kita dapat mengetahui bahwa setiap pemimpin harus memegang teguh prinsip musyawarah.
Berikut ini adalah beberapa hadits yang menunjukkan urgensi musyawarah.
"Tidak akan merugi orang yang beristikharah; tidak akan menyesal orang yang bermusyawarah; dan tidak akan miskin orang yang hemat."[2]
"Sama sekali tidak akan sengsara seorang hamba dengan musyawarah, dan tidak akan bahagia jika mengabaikan pendapat (orang lain)."[3]
"Sesungguhnya orang yang diajak bermusyawarah (dimintai saran) adalah terpercaya."[4]
"Demi Allah, tidaklah suatu kaum itu bermusyawarah melainkan mereka pasti akan mendapatkan petunjuk ke arah apa yang terbaik bagi mereka."[5]
Sebab itu, maka para ulama Islam bersepakat bahwa musyawarah adalah salah satu di antara sekian banyak pokok agama Islam (ushûl al-islâm) hingga hukumnya wajib untuk dilaksanakan. Ketentuan ini telah dilaksanakan dengan berbagai variasi dalam penerapannya sesuai dengan zaman dan kondisi yang dihadapi.
* * *
Namun meski musyawarah memiliki posisi istimewa dalam ajaran Islam, ia tetap tidak dapat mengungguli perintah Allah. Adalah benar jika dikatakan bahwa musyawarah adalah dasar atau pondasi bagi semua aturan dan hukum, namun ia tetap dibatasi oleh hukum-hukum syariat pokok. Seperti kita ketahui, agama Islam tidak membolehkan adanya intervensi manusia dalam ranah hukum syariat yang telah ditetapakn secara gamblang oleh nas. Berkenaan dengan hukum-hukum yang sudah jelas, posisi musyawarah hanyalah sebagai wahan untuk menemukan hikmah dan tujuan dari hukum-hukum tersebut.
Adapun pada perkara hukum yang sama sekali belum dijelaskan oleh nas, maka secara mutlak ia harus ditetapkan berdasarkan musyawarah. Semua keputusan hukum yang diambil melalui musyawarah –pada hal-hal yang belum dijelaskan oleh nas- kekuatannya setara dengan hukum yang telah dijelaskan oleh nas. Setelah keputusan diambil melalui musyawarah, maka keputusan itu harus dipatuhi oleh semua umat Islam. Atau dengan kata lain, semua pertentangan yang terjadi di dalam musyawarah harus selesai setelah sebuah keputusan yang disepakati semua pihak telah diambil. Kalau pun terdapat kesalahan dalam sebuah keputusan yang diambil melalui musyawarah yang diikuti para jumhur ulama, maka kesalahan itu hanya dapat dihapuskan juga melalui musyawarah berikutnya.
Adalah benar jika dikatakan bahwa nas atau dalil yang menjelaskan mengenai musyawarah mengandung pengertian yang umum ('âm). Akan tetapi, dalil-dalil yang tersebar dalam beberapa tempat berbeda tersebut juga menjadi khusus (khâsh) disebabkan keterkaitan antarsatu sama lain, sebagaimana ia juga menjadi khusus disebabkan adanya perbuatan atau sikap Rasulullah s.a.w. yang berhubungan dengannya. Seperti kita ketahui, di dalam ajaran Islam nas-nas yang membahas satu masalah tertentu memang biasanya terdapat di beberapa tempat berbeda serta mengandung pengertian yang umum. Masing-masing nas itu biasanya juga tidak menjelaskan secara terperinci tentang masalah yang sedang dibicarakan.
Adapun pada masalah-masalah yang belum dijelaskan oleh nas, maka di situlah musyawarah memainkan perannya secara mutlak karena semua masalah seperti itu memang harus dipecahkan lewat musyawarah. Sebab menurut Islam, semua hukum yang telah dijelaskan oleh nas tidak boleh lagi menjadi objek musyawarah lagi, namun sebaliknya semua permasalahan hukum yang belum dijelaskan oleh nas harus dicarikan solusinya melalui musyawarah. Alasannya adalah karena musyawarah selalu memiliki hubungan dengan Islam, sejalan dengan al-Qur`an dan Sunnah, serta dilakukan dengan tujuan untuk mencapai tujuan yang dijelaskan oleh Kitabullah.
Tidak diragukan lagi, melalui musyawarah, Islam selalu ingin mencapai tujuan luhur seperti: mewujudkan kesetaraan antarsesama manusia, memerangi kebodohan, menyebarluaskan ilmu pengetahuan, menemukan solusi atas semua masalah berdasarkan hukum Islam, mencegah terjadinya pertentangan antara kaum muslim dengan ajaran agama yang mereka anut, menuntun rakyat negeri ini (Turki) untuk menjaga kehormatan mereka dalam kancah politik lokal dan internasional, mengikuti perkembangan zaman, menggali potensi umat, dan mempersiapkan umat menghadapi perang pemikiran agar mereka mampu menghadapi dunia ketika kondisi mengharuskan demikian.
Sejak zaman dulu sampai sekarang, para pemimpin besar, cendekiawan, dan bahkan para filsuf selalu mencari solusi atas berbagai masalah kemanusiaan dengan cara musyawarah. Demikian pula Rasulullah s.a.w. telah memberi perhatian besar pada prinsip musyawarah ketika beliau mengembang tanggung jawab sebagai sumber syariat dan suri teladan bagi umat manusia. Bahkan Rasulullah telah meletakkan musyawarah sebagai dasar bagi kehidupan manusia dengan segala perkembangan peradaban mereka dalam pergaulan antarsesama mereka. Dengan musyawarahlah Rasulullah mempertautkan antara kondisi emosional, pemikiran, rasionalitas, logika, dan perasaan yang dimiliki manusia.
* * *
Musyawarah memang sangat istimewa karena memiliki hasil tertentu berikut beberapa ketentuan yang mengantarkan siapapun yang melakukannya pada hasil tersebut. Di antara hasil istimewa yang dicapai melalui musyawarah ialah: meningkatkan kualitas pemikiran dan sikap saling tolong-menolong di tengah masyarakat; mengingatkan urgensi musyawarah dalam memecahkan berbagai persoalan; menstimulasi munculnya berbagai pemikiran alternatif; menjaga urgensi dan semangat musyawarah demi masa depan Islam; merealisasikan peran golongan al-sawâd al-a'zham dalam mengurus berbagai persoalan sesuai kesempatan yang tersedia; melakukan pengawasan berkesinambungan terhadap penguasa jika memang hal itu dibutuhkan; dan membatasi kekuasaan para penguasa dalam menjalankan roda pemerintahan.
Pada bagian lalu telah kami katakan bahwa Allah memuji para sahabat Rasulullah lewat ayat yang berbunyi: "...dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu..." disebabkan posisi musyawarah yang sangat penting. Tentu saja terdapat hikmah yang luar biasa di balik perintah Allah kepada Rasulullah untuk bermusyawarah dengan para sahabat beliau sebagaimana yang termaktub dalam ayat: "...dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu...". Padahal perintah itu turun setelah kaum muslimin menghadapi peperangan yang berat karena pasukan mengalami kekalahan, dan Rasulullah justru harus bermusyawarah dengan para sahabat yang menyebabkan kekalahan itu!
Perlu kita ketahui bahwa musyawarah yang disebutkan dalam dua ayat Allah ini memiliki dasar yang fleksibel sehingga dapat berubah mengikuti kebutuhan zaman. Jadi meskipun dunia terus berubah seiring berlalunya waktu, bahkan kalau pun seandainya umat manusia telah bermigrasi ke luar angkasa dan menetap di planet antah-berantah, maka kedua nas tersebut di atas akan selalu relevan. Pada hakikatnya, semua dasar dan kaidah ajaran Islam memiliki fleksibilitas yang sama serta selalu terbuka bagi perkembangan semesta. Itulah sebabnya ajaran Islam selalu segar dan sesuai dengan zaman. Dan itu akan terus berlangsung sampai kapanpun.
* * *
Berikut ini saya jelaskan beberapa dasar musyawarah yang perlu kita ketahui:
1- Musyawarah adalah hak bagi pemimpin dan rakyat. Tidak ada salah satu di antara kedua pihak itu yang lebih berhak atas musyawarah. Dalam firman Allah yang berbunyi: "...sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka..." (QS al-Syûrâ [42]: 38) kita menemukan dalil yang menunjukkan kesetaraan antara kedua pihak ini dalam ranah musyawarah. Segala permasalahan umat Islam selalu menjadi urusan milik umat Islam secara keseluruhan. Oleh sebab itu maka mereka setara dalam memberikan pendapat mengenai permasalahan tersebut. Namun tentu saja, hak tersebut dapat berubah mengikuti perkembangan zaman, tempat, dan kondisi, yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan dalam bentuk musyawarah yang dilakukan atau lembaga penyelenggaranya.
2- Karena setiap pemimpin harus menerapkan musyawarah dalam semua urusan yang berhubungan dengan masyarakat berdasarkan perintah Allah yang berbunyi: "...dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu...", maka jika seorang pemimpin harus dihukum jika ia tidak mampu atau tidak mau memusyawarahkan segala urusan yang dihadapinya dengan bawahannya. Di sisi lain, rakyat juga memiliki tanggung jawab untuk merahasiakan pendapat mereka jika mereka belum diajak bermusyawarah. Hal ini perlu dilakukan karena rakyat dapat dianggap tidak mampu memenuhi hak rakyat lain jika mereka hanya mampu mengemukakan pendapat tanpa pernah ada usaha untuk mencari pendapat terbaik di antara mereka melalui musyawarah.
3- Salah satu dasar penting yang perlu diperhatikan: setiap musyawarah harus dilakukan demi memohon keridhaan Allah, menjaga kemaslahatan umat Islam, dan selalu menghindari terjadinya penyimpangan pendapat para peserta musyawarah disebabkan terjadinya praktik suap atau intimidasi. Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya orang yang diajak bermusyawarah (dimintai saran) adalah terpercaya." Jadi siapapun yang dimintai saran dalam suatu perkara tertentu, maka hendaklah ia memberi saran sebagaimana ia memberi saran untuk dirinya sendiri.
4- Dalam musyawarah, terkadang ijmâ' (konsensus) tidak dapat tercapai. Jika pendapat yang saling berbeda dalam sebuah musyawarah tidak dapat ditemukan jalan tengahnya, maka pendapat yang diambil adalah yang paling banyak mendapat dukungan dari peserta musyawarah. Alasannya adalah karena Rasulullah s.a.w. telah menetapkan bahwa pendapat mayoritas setara dengan hukum yang dicapai lewat konsensus.
Rasulullah s.a.w. bersabda: "'Tangan' Allah bersama jamaah."[6]
Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya umatku tidak akan pernah bersepakat pada kesesatan."[7]
Rasulullah s.a.w. bersabda: "Aku telah memohon kepada Allah agar umatku tidak pernah bersepakat dalam kesesatan, dan Dia pun mengabulkan permohonanku itu."[8]
Dari beberapa penjelasan yang disampaikan Rasulullah s.a.w. ini, kita dapat mengetahui bahwa suara mayoritas setara dengan konsensus. Itulah sebabnya kita harus mengikuti pendapat al-sawâd al-a'zham (mayoritas). Di dalam hidup Rasulullah s.a.w. terdapat banyak contoh yang menunjukkan hal ini. Contohnya musyawarah yang Rasulullah lakukan pada awal dan akhir perang Badar dan perang Uhud.
5- Ketika sebuah musyawarah telah dilaksanakan dengan sebagaimana mestinya, maka semua pendapat yang telah dicapai melalui konsensus atau suara mayoritas dalam musyawarah itu tidak boleh dilanggar atau dicarikan alternatif penggantinya. Semua pendapat yang disampaikan untuk melawan keputusan yang sudah diambil adalah dosa dan dianggap sebagai bentuk pelanggaran hukum. Bukankah dulu dalam perang Uhud Rasulullah s.a.w. mengerahkan pasukan muslim bukan berdasarkan pendapat beliau, melainkan berdasarkan pendapat mayoritas sahabat. Bahkan setelah terbukti bahwa pendapat mayoritas itu berujung malapetaka yang menimpa pasukan muslim, Rasulullah tidak pernah menyatakan bahwa pendapat mayoritas harus diabaikan. Di dalam al-Qur`an sendiri, Rasulullah tetap diminta untuk bermusyawarah dengan para sahabat muqarrabûn yang terbukti keliru dalam "berijtihad" mengenai pengerahan pasukan dalam perang Uhud.[9]
6- Musyawarah lebih tepat digunakan untuk memecahkan permasalahan yang akan dihadapi, bukan untuk membicarakan peristiwa yang sudah terjadi. Kehidupan islami pasti selalu berada di bawah naungan nas suci. Adapun pelbagai kasus yang berada di luar jangkauan nas, maka harus dicarikan solusinya berdasarkan nas sesuai dengan syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh nas.
7- Lembaga permusyawarahan yang telah terbentuk harus segera berkumpul ketika dibutuhkan guna memecahkan masalah atau menetapkan rancangan tertentu. Lembaga ini tidak boleh berhenti bermusyawarah sampai persoalan yang mereka bahas telah tuntas ditemukan solusinya. Nas memang tidak pernah menjelaskan waktu tertentu yang harus digunakan oleh lembaga permusyawarahan untuk berkumpul. Sebagaimana nas juga tidka pernah menjelaskan apakah anggota lembaga permusyawarahan berhak menerima imbalan (gaji) atau tidak. Tapi yang pasti, umat Islam tidak dituntut untuk menerapkan segala hal yang tidak termasuk dalam ranah syariat. Apalagi, dalam kehidupan masyarakat modern telah kita lihat betapa banyak lembaga permusyawarahan yang diisi oleh para "wakil rakyat" dengan gaji tertentu ternyata justru banyak menimbulkan masalah.
* * *
Tentu saja, permbahasan mengenai musyawarah juga harus dibarengi dengan pembahasan mengenai siapa yang dapat ikut dalam sebuah musyawarah. Apalagi untuk mengumpulkan seluruh umat atau seluruh komunitas dalam satu kesempatan musyawarah sepertinya mustahil dilakukan. Itulah sebabnya, kita cukup menggunakan sistem perwakilan dengan menunjuk wakil dari tiap-tiap kelompok yang ada dalam masyarakat. Tentu saja, para wakil yang ditunjuk ini harus memiliki kompetensi dan ilmu yang memadai agar dapat menyampaikan aspirasi dari orang-orang yang diwakilinya dengan baik serta memiliki pengalaman yang cukup agar dapat mengikuti musyawarah dengan baik. Para "wakil" inilah yang oleh para ulama sering disebut dengan istilah "ahl al-hill wa al-aqd". Mereka haruslah orang-orang yang berkepribadian matang dan mampu menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat.
Selain para "wakil rakyat", masyarakat muslim tentu juga harus memiliki para cendekiawan dan ilmuwan yang menguasai bidang tertentu, baik bidang sains, teknik, maupun seni yang akan menjamin kemaslahatan bagi umat Islam. Tapi di samping itu, masyarakat muslim juga harus memahami inti serta memiliki pengetahuan mengenai ilmu-ilmu agama. Para cendekiawan dan ulama itulah yang layak menjadi "wakil rakyat". Merekalah para "ahl al-hill wa al-aqd" yang layak mewakili rakyat banyak. Merekalah yang kita butuhkan, khususnya saat ini, agar kehidupan kita dapat menjadi lebih baik dan semua masalah yang muncul dapat kita hadapi dengan baik.
Jika para wakil rakyat terdiri dari ulama dan cendekiawan yang mumpuni, maka kita dapat mengandalkan mereka ketika musyawarah untuk memecahkan suatu masalah akan dilakukan. Keberadaan para ulama dalam lembaga permusyawarahan (legislatif), akan menjamin terjaganya semua keputusan yang diambil dalam lembaga tersebut dari segala bentuk pelanggaran terhadap syariat agama.
Sebagaimana halnya musyawarah yang hanya dapat diserahkan kepada "ahl al-hill wa al-aqd", bentuk implementasi permusyawarahan yang mengikuti perubahan zaman pun harus selalu memperhatikan peran para "ahl al-hill wa al-aqd". Ketika kita membaca lembaran sejarah, kita pasti dapat menemukan berbagai bentuk lembaga permusyawarahan yang mengikuti perubahan zaman. Terkadang, sebuah lembaga permusyawarahan (badan legislatif) memiliki wewenang yang sempit, tapi terkadang lembaga ini mendapatkan wewenang yang amat luas. Terkadang lembaga permusyawarahan sama sekali tidak memiliki wewenang di luar wilayah urusan kerakyatan. Terkadang lembaga permusyawarahan hanya diisi oleh para panglima perang, tapi terkadang lembaga tersebut diisi oleh para ulama dan kaum cerdik-pandai, dan semuanya itu terjadi mengikuti perubahan zaman. Tentu saja, segala dinamika yang terjadi di sepanjang sejarah itu tidak menunjukkan bahwa dasar pokok ajaran Islam boleh berubah, namun disebabkan fleksibilitas dan akseptibilitas dari prinsip musyawarah yang berterima di setiap waktu dan tempat.
Meski bentuk lembaga permusyawarahan berubah-ubah mengikuti zaman, tempat, dan kondisi yang terjadi, tapi syarat agar para "wakil rakyat" yang duduk di lembaga legislatif harus merupakan pribadi-pribadi yang berilmu, adil, berpengetahuan, berpandangan tajam, berpengalaman, bijaksana, dan memiliki intuisi yang tajam, selalu berlaku di sepanjang masa. Yang dimaksud dengan "adil" adalah selalu mampu menunaikan kewajiban tanpa pernah melanggar larangan atau pun melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Yang dimaksud dengan "berilmu" adalah berpengetahuan luas dan berpengalaman dalam bidang agama, pemerintahan, dan seni. Seorang "wakil rakyat" tidak harus seorang ilmuwan yang menguasai beberapa bidang ilmu, tapi dia haruslah sosok yang memiliki wawasan luas dan terbuka dalam semua masalah yang menjadi objek musyawarah. Tapi dalam musyawarah kita diperbolehkan untuk menjadikan ilmuwan non-muslim sebagai referensi dalam beberapa ilmu tertentu yang membutuhkan wawasan dan pengalaman dalam ilmu tersebut.
Yang dimaksud dengan "bijaksana" adalah memiliki sikap arif dengan seluruh dimensinya yang dibarengi dengan ilmu, sifat sabar, serta pemahaman terhadap misi kenabian Rasulullah s.a.w. Selain itu, seorang "wakil rakyat" juga harus memiliki intuisi yang tajam untuk mengetahui apa yang berada di balik entitas serta mampu merasakan berbagai hal "gaib" (tak kasat mata) yang tidak dapat dilihat orang kebanyakan. Seorang "wakil rakyat" juga harus mampu, siap, dan cerdas dalam memecahkan pelbagai permasalahan yang muncul di tengah masyarakat, baik yang menyangkut individu maupun masyarakat umum.
Disebabkan semua syarat itulah maka individu yang benar-benar layak menjadi "wakil rakyat" sebenarnya amatlah sedikit. Apalagi demi mengingat beratnya beban yang harus dipikul dan kemampuan menghadapi perkembangan yang terjadi di tengah masyarakat.
* * *
Sekarang mari kita memperhatikan sejenak Rasulullah s.a.w. yang ternyata di sepanjang hidupnya selalu memberi perhatian besar terhadap prinsip musyawarah serta selalu menghargai pendapat orang lain tanpa memandang usia atau tingkat kecerdasannya.
Rasulullah adalah pemimpin yang tak pernah ragu mendengar pendapat orang lain di setiap kesempatan serta menerima pendapat mereka untuk menentukan jalan terbaik demi memujudkan langkah dan rencana yang kokoh. Terkadang Rasulullah meminta pendapat seorang sahabat yang dianggap layak dimintai saran, dan terkadang beliau mengumpulkan beberapa orang sahabat untuk melakukan musyawarah secara kolektif.
Berikut ini adalah beberapa peristiwa dalam hidup Rasulullah yang dapat kita jadikan sebagai bukti betapa besarnya perhatian beliau terhadap prinsip musyawarah.
1- Dalam peristiwa "hâdits al-ifki", Rasulullah meminta saran dari Ali ibn Abi Thalib r.a., Umar ibn Khaththab r.a., Zainab binti Jahsy r.a., Barizah r.a., dan beberapa sahabat beliau yang lainnya. Pada saat itu, Ali r.a. memberi masukan kepada Rasulullah yang cukup membantu beliau memecahkan masalah yang tengah beliau hadapi. Demikian pula Umar ibn Khattab r.a., Zainah binti Jahsy r.a., Barizah r.a., dan para sahabat lain menyatakan bahwa Ummul Mukminin Aisyah r.a. bersih dari segala desas-desus yang disebarkan kaum munafik.
Berkenaan dengan peristiwa ini, terdapat sebuah riwayat yang meski lemah sanadnya namun cukup menggambarkan dialog yang terjadi antara Rasulullah s.a.w. dengan Umar ibn Khaththab r.a. Dalam riwayat itu disebutkan bahwa Rasulullah meminta pendapat Umar r.a. mengenai Aisyah r.a.. Umar lalu menjawab dengan menegaskan kembali bahwa Aisyah r.a. pasti bersih dari segala fitnah yang dituduhkan kepadanya. Rasulullah pun bertanya kepada Umar mengenai alasan sahabatnya itu bisa begitu yakin akan kesucian Aisyah r.a. dari segala noda.
Umar pun lalu menjelaskan bahwa pada suatu ketika Rasulullah s.a.w. pernah shalat bersama para sahabat. Sebelum shalat, ternyata Rasulullah melepaskan terompah beliau terlebih dulu. Umar lalu bertanya mengapa Rasulullah melepas alas kaki beliau. Rasulullah kemudian menjawab bahwa Jibril a.s. telah memberitahu bahwa ada najis di terompah beliau. Jadi, ujar Umar, jika bahkan mengenai keberadaan kotoran di terompah saja Allah s.w.t. langsung mengutus Malaikat Jibril a.s. untuk memberi tahu Rasulullah s.a.w. tentang hal itu, maka bagaimana mungkin Allah akan berdiam diri jika memang ada istri Rasulullah yang telah berbuat nista.
Meskipun sanad riwayat ini diperdebatkan dan menjadi objek ilmu jarh wa al-ta'dîl (ilmu kritik sanad), tapi kandungan dari riwayat ini layak kita tangkap dengan sepenuh hati.
2- Ketika perang Badar akan dimulai, Rasulullah terlebih dulu meminta saran kepada para sahabat beliau, baik dari golongan muhajirin maupun anshar. Pada saat itu, seorang sahabat Rasulullah yang bernama Miqdad r.a. mewakili kaum muhajirin, sementara Sa'd ibn Mu'adz r.a. mewakili kaum anshar. Dalam musyawarah itu, ternyata baik Miqdad r.a. maupun Sa'd r.a. sama-sama mengemukakan pendapat yang serupa mengenai dukungan yang akan diberikan para sahabat terhadap Rasulullah s.a.w. dengan penuh keimanan, semangat yang tinggi, dan sikap patuh kepada beliau. Sebab itulah tidak lama kemudian, semua sahabat dari kedua golongan ini bersepakat untuk melaksanakan keputusan yang diambil pada musyawarah itu.
Jadi melalui musyawarah Rasulullah telah berhasil membuat semua sahabat menjadi pendukung atas pendapat yang telah disepakati. Selain itu, melalui musyawarah Rasulullah juga telah menumbuhkan semangat kebersamaan di tengah sahabat-sahabat beliau yang berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda.
3- Dalam perang Badar Rasulullah s.a.w. juga meminta saran dari Habab ibn Mundzir r.a. dan para sahabat lain mengenai posisi penempatan pasukan muslim dan di mana sebaiknya mereka bertempur melawan musuh. Tidak berapa lama kemudian keputusan pun diambil dan kemudian dipatuhi oleh semua prajurit muslim. Perang Badar berakhir dengan kemenangan gemilang di pihak pasukan muslim dalam satu pertempuran meski kekuatan pasukan musuh jumlahnya tiga atau empat kali lipat lebih banyak dibandingkan mereka. Seusai perang, pasukan pun kembali dengan membawa senandung kemenangan.
4- Pada perang Ahzab (perang Parit), Rasulullah bermusyawarah dengan para sahabat mengenai taktik perang yang akan digunakan pasukan muslim. Pada saat itu Rasulullah memilih usul yang dikemukakan oleh Salman al-Farisi r.a. yang meminta pasukan muslim menggali parit untuk mencegah masuknya pasukan musyrik ke kota Madinah. Peristiwa ini dengan jelas menunjukkan sikap Rasulullah yang sangat terbuka terhadap saran sahabat beliau.
5- Pada peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah menunjukkan perhatian besar beliau terhadap prinsip musyawarah. Pada saat itu, Rasulullah berhasil menyatukan pendapat seluruh umat Islam. Bahkan setelah perjanjian itu selesai dilakukan, Rasulullah meminta saran dari Ummul Mukminin Ummu Salamah r.a. Meski perjanjian ini pada mulanya oleh para sahabat dianggap sebagai kekalahan umat Islam, namun akhirnya setelah rombongan umat Islam kembali ke Madinah, Rasulullah berhasil menunjukkan kepada mereka bahwa Perjanjian Hudaibiyah adalah kemenangan gemilang bagi mereka.
Perjalanan hidup Rasulullah s.a.w. memang banyak dihiasi dengan musyawarah mengenai hal-hal yang tidak dijelaskan oleh wahyu, dan tanpa ragu Rasulullah menerapkan hasil musyawarah dengan para sahabat. Setelah masa Rasulullah, semua lembaga permusyawarahan yang ada di seluruh negeri-negeri muslim tidak lain hanyalah gambaran sederhana dari apa yang telah dirintis oleh Rasulullah s.a.w. ratusan tahun yang lampau.
[1] Al-Thabrani, al-Mu'jam al-Ausath, 6/365.
[2] Al-Thabrani, al-Mu'jam al-Ausath, 6/365.
[2] Musnad al-Syihâb, 2/6.
[4] Abu Daud, al-Adab, 114; al-Tirmidzi, al-Zuhd, 49; al-Adab, 57.
[5] Al-Bukhari, al-Adab al-Mufrad, 1/100.
[6] Al-Tirmidzi, al-Fitan, 7.
[7] Ibnu Majah, al-Fitan, 8.
[8] Al-Musnad al-Imâm Ahmad, 6/396.
[9] Dalam perang Uhud, semula Rasulullah enggan mengerahkan pasukan dan memilih untuk bertahan di Madinah, namun sebagian sahabat terus mendesak beliau untuk menghadapi pasukan musyrik di luar Madinah sampai akhirnya Rasulullah mengerahkan pasukan muslim meski beliau sendiri pada mulanya tidak menghendaki hal itu.
- Dibuat oleh