Kondisi Dunia Kita
Setiap orang yang teliti dan berpandangan tajam pasti dapat menemukan fakta adanya saling-intervensi antara pemikiran dan pergerakan dalam semua peristiwa penting yang terjadi di sepanjang sejarah manusia. Di satu sisi, pemikiran selalu mengintervensi, menumbuhkembangkan, dan kemudian menyusun bentuk sebuah pergerakan, sementara di sisi lain sebuah pergerakan atau usaha untuk bergerak selalu menjadi tanah yang selalu membuka ruang bagi pemikiran-pemikiran baru.
Dengan pengertian seperti ini, maka seakan-akan pemikiran adalah langit yang menurunkan hujan bagi pergerakan serta menjadi sumber oksigen yang menjamin kesinambungan hidupnya. Dan sebaliknya, dengan pengertian seperti ini, pergerakan adalah tanah yang menjadi tempat persemaian bagi pemikiran. Pergerakan adalah tanah yang memiliki energi untuk menumbuhkan pemikiran.
Saya tentu tidak akan menganggap bahwa hubungan timbal-balik antara pemikiran dan pergerakan seperti ini adalah sebuah kesalahan, sebab pada hakikatnya segala bentuk pergerakan adalah merupakan implementasi dari sebuah pemikiran atau perencanaan. Sebenarnya, setiap pemikiran merupakan "titik awal" atau "proses" yang akan digunakan untuk melewati jalan menuju tujuan yang diwujudkan melalui sebuah pergerakan.
Perlu Anda ketahui bahwa tahap awal dari "keinginan" adalah "kecenderungan internal", sementara batas akhir dari "keinginan" adalah "keputusan dan kebulatan tekad untuk berbuat". Dalam rangkaian proses ini, pemikiran memiliki peran seperti layaknya benang merah yang menghubungkan antara yang awal dengan yang akhir, sementara perasaan adalah bagaikan ukiran yang menghiasi rangkaian ini.
Tindakan apapun yang dilakukan tanpa pemikiran atau perencanaan sering kali akan berujung pada kegagalan dan kekacauan. Sementara pemikiran yang jumud dan tidak mengejawantah dalam pergerakan juga akan menjadi rencana kosong yang tidak memiliki arti apa-apa. Alih-alih mendatangkan kebaikan, pemikiran yang mati hanya akan merusak semangat dan kehendak luhur yang kita miliki.
Dengan segala kemajuan yang telah berhasil kita raih di zaman modern ini, ternyata cahaya pemikiran banyak terhalang sehingga tidak dapat menjangkau masyarakat pelosok, sebagaimana halnya tekad untuk maju juga telah musnah. Hak representasi dan keterwakilan telah dijauhkan dari masyarakat, dan pergerakan telah dipenggal oleh tangan-tangan anarkis. Berbagai peristiwa yang terjadi dalam sejarah yang busuk telah memerosokkan umat manusia dari satu kebuntuan kepada kebuntuan yang lain, dan dari satu perpecahan kepada perpecahan yang lain. Sifat egois dan oportunis telah menyeret jiwa manusia ke sana ke mari sehingga tidak mampu berbuat apa-apa.
Oleh sebab itu, dengan segala keburukan yang terjadi saat ini, kita tentu tidak dapat menyelamatkan diri hanya dengan mengandalkan jargon "Sebentar... Tunggu dulu...", tanpa pernah berusaha mematangkan kekuatan spiritual dan rasional yang kita miliki.
Tidak ada gunanya lagi kita berteriak-teriak: "Sebentar... Tunggu dulu..." padahal kita ingin mengenyahkan kelemahan yang selama ini menggayuti setiap individu dalam masyarakat kita, memperkuat semangat yang kita miliki, memperteguh keyakinan kita agar sesuai dengan standar yang tepat, dan ingin mengusir rasa frustasi dalam bentuk sekecil apapun dari dalam jiwa kita. Dan yang terpenting, kita ingin menghentikan kebiasaan mengagumi barat secara berlebihan.
Ya. Kita memang harus mengakui bahwa rangkaian perkembangan yang terjadi di barat selama beberapa abad terakhir ini memang telah membuat kita ikut bangkit pada bidang industri dan teknologi modern. Tapi disebabkan kemajuan dalam bidang materi itulah kemudian kita mengalami kelumpuhan spiritual. Kepala dan otak kita menjadi pusing tujuh keliling dan pandangan kita menjadi rabun sehingga kita tidak mampu lagi mendeteksi berbagai bentuk keburukan yang muncul dengan dalih ilmu pengetahuan dan jargon modernitas yang palsu. Terkadang, kelemahan yang terjadi dan gegar budaya yang kita alami itu berlangsung sekian lama. Bahkan sebagian kita begitu dirasuki oleh kepalsuan itu hingga terbawa ke dalam mimpi. Oleh sebab itu, kita harus bersabar sembari menanti pulihnya kondisi masyarakat kita yang waktunya hanya diketahui oleh Allah kapan akan berakhir.
Ya. Kita memang harus bersabar, sebab kita sadar dan menyadari bahwa kita membutuhkan beberapa tahun yang mungkin terasa panjang, untuk menunggu di kedalaman laut sambil tetap bergerak dinamis layaknya sebongkah terumbu karang yang meski diam, namun terus hidup dalam penantian panjang.
Sungguh saya meyakini sepenuhnya bahwa setelah penantian dan gerak dinamis ini, kita pasti akan mampu bangkit dan mengubah wajah dunia di masa mendatang. Tapi tentu saja kita masih membutuhkan waktu, tindakan, dan peluang-peluang untuk memompakan semangat bagi terjadinya proses ini ke dalam urat nadi kehidupan umat. Tujuannya adalah agar mereka dapat menguatkan tekad seperti kedalaman ilmu Abdur Qadir al-Jailani, keluasan wawasan Imam al-Ghazali, ketaatan sang Mujaddid Milenium Kedua Imam Ahmad Faruzi al-Sirhindi, cinta Maulana Jaluddin Rumi, dan ketajaman Said Nursi. Semua itu harus kita lakukan agar kita dapat membentuk kondisi dinamis yang benar-benar matang dan siap untuk memperbarui jiwa setiap individu dalam masyarakat kita. Selain itu, juga agar kita dapat mengenyahkan gelombang krisis yang sejak berpuluh-puluh tahun menghantam pemikiran dan intuisi umat, sehingga kita dapat mengembuskan angin bukit Judi[1] yang sepoi-sepoi menenangkan ke dalam jiwa umat. Tentu saja, semua itu juga kita perlukan agar diri kita dapat menaklukkan diri kita sendiri, membentuk kembali mekanisme jiwa kita, serta untuk membangun dunia batin, perasaan, dan pemikiran kita.
Sebaliknya, kita tentu tidak dapat mencampakkan "cambuk tunggangan kita" ketika kita masih ada di tengah perjalanan. Sampai saat ini, hal seperti itu tidak mungkin kita lakukan karena kita belum menyiapkan "pasukan cahaya kebenaran" yang mampu menolong kita untuk mencapai "mata air Khidir". Singkatnya, selama kita masih terasing dari nilai-nilai luhur atau dari diri kita sendiri, dan selama kita masih hidup jauh dari spiritualitas kita, maka kita tidak boleh berhenti menunggu sambil berusaha.
Tak ada gunanya kita berlelah-lelah mencari musuh di luar diri kita, karena musuh kita yang sebenarnya justru ada di dalam diri kita sendiri. Dengan tenang musuh kita itu duduk bertumpang kaki di dalam istananya sembari terus tertawa terbahak-bahak dalam hati ketika melihat kesengsaraaan kita.
Jika memang sekarang kita harus menyusun strategi perjuangan jihad, maka jihad ini harus ditujukan untuk menyingkirkan semua musuh yang begitu bengis dan bejat, tapi selama ini mereka terus bersemayam di dalam hati kita sendiri. Secara faktual, mereka itulah dan sama sekali bukan yang lain, yang telah mengungkung dunia kita selama berabad-abad. Tahun-tahun terus berlalu tapi masyarakat kita tidak kunjung mampu melepaskan diri dari cengkeraman musuh yang mematikan ini, sehingga mereka tidak pernah bisa kembali menjadi diri mereka sendiri. Bangsa kita menjadi contoh kebingungan dan disorientasi yang tidak pernah mampu bersatu. Seakan-akan kita adalah sasaran tembak bagi berbagai bangsa, tradisi, dan budaya yang bermacam-macam. Atau seakan kita adalah bangsa dungu yang digilas oleh berbagai komunitas, bangsa, dan paham, karena kita terus menyembah begitu banyak berhala dan dewa-dewa gadungan serta terus saja bersumpah setia kepada sesembahan palsu setiap hari!
Itulah yang terjadi saat ini, karena kita tidak pernah benar-benar meyakini kebenaran pemikiran apapun yang kita temukan pada masa-masa penuh penderitaan ini. Itulah sebabnya, kita terus hidup dalam belenggu ideologi-ideologi yang tak terhitung jumlahnya tanpa pernah bisa menerapkan satu pun di antaranya secara utuh dalam kehidupan kita.
Siapakah kiranya yang tahu berapa banyak pemikiran hebat yang tetap berada di "alam barzakh" tanpa pernah berhasil lahir dalam kehidupan nyata di dunia yang penuh kabut ketidakjelasan ini?!
Berapa banyak manhaj cemerlang yang harus bertabrakan dengan paham sesat yang hanya berisi kepicikan?!
Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki tujuan apapun serta tidak memiliki kesadaran atas ilmu dan moral yang menghubungkan semua makhluk dengan pelbagai peristiwa yang terjadi dalam sejarah. Selain itu, mereka juga tidak memiliki kesadaran atas hubungan antara manusia dan alam semesta.
Yang menjadi masalah bagi mereka adalah bahwa kita harus memahami apa yang kita pahami saja dan meninggalkan apa yang tidak kita pahami dengan anggapan bahwa nanti kita juga akan dapat memahami apa yang tidak kita pahami itu!
Selain itu, kita juga harus mengukur, memilah, dan membentuk segala sesuatu berdasarkan bayangan mereka, karena dengan kepandaian yang kita miliki, kita akan mampu menguasai segala sesuatu, termasuk ilmu pengetahuan di bawah keyakinan dan dogma yang mereka miliki tanpa ada sedikit pun celah bagi kita untuk mendiskusikannya. Semua itu dilakukan dengan menunjukkan semua kebenaran yang sebenarnya lebih jelas dibandingkan sinar matahari, sebagai sesuatu yang meragukan, sementara segala yang meragukan ditunjukkan sebagai sebuah kebenaran, dengan alasan bahwa tindakan seperti itu memang diperlukan!
Bahkan mereka menyampaikan semua itu dengan kata-kata indah dan redaksi yang tegas sembari menegas-negaskan bahwa itulah kebenaran yang sempurna! Mereka tampil sebagai sosok yang seolah-olah telah menyaksikan segala entitas sejak awal kemunculannya!
Seandainya alam semesta sama sekali tidak mengandung kebenaran apapun yang dapat diyakini, dan seandainya setiap pemikiran tidak pantas untuk diyakini atau diterima, maka berarti segala entitas yang ada sebenarnya tidak lain hanyalah kekacauan yang absurd!
Jika dunia diisi dengan pola pemahaman seperti itu, lantas bagaimana mungkin kita dapat melindungi masyarakat dari relativisme[2] dalam menyikapi hal-hal yang sudah pasti benar?!
Tidakkah umat manusia yang menerima prinsip relativisme sebagai kebenaran mutlak akan menyikapi sebuah kebenaran hanya berdasarkan tingkat akseptibilitas mereka terhadap lawan dari kebenaran yang sedang mereka hadapi itu?! Dan tidakkah mereka juga akan menyikapi sebuah kesalahan dengan sikap serupa?!
Tentu saja, ketika pemahaman seperti ini telah menyebar luas, segala sesuatu, mulai dari konsep mengenai kebaikan dan keburukan sampai kesadaran atas sesuatu yang sesuai moral atau tidak, akan tunduk pada prinsip relativisme.
Saat ini, sosok yang sangat dibutuhkan oleh bangsa kita adalah sosok manusia yang memiliki sifat ikhlas, bertekad yang kuat, dan seimbang kepribadiannya. Sosok yang digerakkan oleh kesadaran terhadap pemahaman dan tanggung jawab. Sosok yang semua gerak, pemikiran, dan tindakannya di masa depan selalu dibangun berdasarkan pemikiran atas apa yang dibutuhkan hari ini. Sosok arsitek pemikiran dan spiritualitas, yang hatinya selalu terbuka terhadap segala entitas, yang akalnya selalu memiliki kesadaran pada ilmu, yang selalu mampu memperbarui dirinya sendiri di setiap waktu, yang selalu patuh pada aturan, yang selalu mampu memperbaiki orang lain...
Itulah sosok yang selalu mengembara dari satu kemenangan ke kemenangan lain. Tapi bukan untuk menghancurkan negeri dan kemudian membangun singgasana di atas reruntuhan peradaban, melainkan untuk memotivasi pemikiran, perasaan, dan potensi yang dimiliki umat manusia, serta memperkuat semua itu dengan cinta, kasih-sayang, dan kehormatan yang akan mampu mengayomi seluruh umat manusia dan alam semesta.
Sosok seperti itulah yang akan membangun segala yang telah hancur serta meniupkan roh kehidupan pada segala yang telah mati, agar dapat kembali hidup dengan darah baru yang segar. Sosok seperti itulah yang akan memberi kita tingkat spiritualitas baru demi mencapai tujuan penciptaan.
Inilah manusia yang selalu memiliki naluri rabbani di setiap kondisi yang seperti apapun juga. Ia akan selalu "bersama" semua makhluk yang ada di sekelilingnya, karena dialah sang "Khalifatullah". Semua gerak dan tindakannya selalu berada di bawah bimbingan dan pengawasan Allah. Semua yang dilakukannya, hanya akan dilakukan dengan kesadaran bahwa tindakan itu pasti akan diperhitungkan oleh Allah. Itulah yang membuat Allah menjadi pendengarannya ketika dia mendengar, menjadi penglihatannya ketika dia melihat... menjadi susunan kata-katanya ketika dia bertutur...[3] Semua itu dapat terjadi karena segala keinginan yang dimilikinya telah menjadi keinginan Allah seperti layaknya "mayat di tangan orang yang memandikannya".
Bagi sosok istimewa seperti itu, kesadaran akan kelemahan dan kefakiran dirinya di hadapan Allah telah menjadi sumber kekuatan dan kekayaan yang paling utama. Itulah sebabnya dia selalu berusaha melakukan yang terbaik dan tidak melakukan kesalahan sekecil apapun karena menyadari bahwa yang dia gunakan adalah anugerah Allah yang tak terbatas.
Selain itu, sosok unggul seperti ini selalu bermuhasabah dan memiliki kesadaran murâqabah yang tak pernah putus. Baginya, kebaikan dan kejahatan, keindahan dan keburukan, akan tampak pada permukaan cermin jiwanya sebagai dua hal yang sama sekali berbeda antarsatu sama lain serta memiliki tempat yang pantas bagi masing-masing. Kedua hal yang bertentangan itu akan terihat jelas berbeda seperti siang dan malam, cahaya dan kegelapan.
Dengan segenap tekad, hati, dan perasaannya, dia selalu berusaha untuk meraih tujuan lebih tinggi yang terdapat dalam mekanisme aktifitas spiritual manusia dengan segala lathîfah yang terdapat di dalam dirinya. Dia adalah orang yang selalu menyadari bahwa "anugerah Allah ('athâyâ) hanya pantas dipikul oleh binatang pemanggul beban (mathâyâ)". Itulah sebabnya ia selalu berada beberapa langkah di depan para malaikat berkat makrifat yang dimilikinya, berkat hubungan antara hatinya dengan cinta pada Allah ('isyq), berkat kesadarannya atas semua misteri yang terkandung dalam entitas dan di balik entitas, dan juga berkat kepatuhannya kepada Kebenaran Absolut "tanpa reserve" (bilâ kam wa lâ kaif).
Dalam kehidupan pribadinya, sosok istimewa seperti itu selalu ingin mencapai cakrawala manusia ideal yang mengungguli para waliyullah dan para sufi dalam mengimplementasikan perintah dan larangan Allah. Dia akan melakukan dengan sangat teliti dan cermat seperti layaknya seseorang yang mampu membelah sehelai rambut menjadi empat puluh bagian.
Dengan keberanian yang dimilikinya, sosok seperti itu akan melampaui bayangan siapapun dalam usahanya untuk menegakkan ajaran Islam yang benar, dalam tindakannya melawan siapapun yang telah membuat Allah murka, dan dalam keteguhan sikapnya untuk meniti jalan keimanan.
Bagi sosok istimewa seperti itu, kata-kata manusia tidak akan pernah mampu menjabarkan toleransi yang dimilikinya dalam pergaulan dengan manusia lain, makrifatnya akan Allah s.w.t., kerendahan hatinya yang luar biasa, kesadarannya akan keagungan Allah, pengetahuan akan hubungan antara makhluk dan Khaliq, dan bahkan kata-kata tidak akan mampu melukiskan cinta, kerinduan, ketergantungan, dan perhatian kepada Allah yang dimilikinya.
Tapi di atas semua penjelasan tersebut di atas, sosok unggul seperti ini adalah manusia makrifat yang telah menerima anugerah berupa pengetahuan dan tugas ladunniy.[4] Tapi untuk yang terakhir ini, tampaknya saya harus menulis sebuah artikel khusus yang menjelaskannya.
[1] Menurut al-Qur`an, Judi adalah nama bukit yang menjadi tempat berlabuhnya perahu Nabi Nuh a.s.. Allah berfirman: "Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah,' Dan airpun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan: 'Binasalah orang-orang yang zalim'." (QS Hûd [11]: 44).
[2] Relativisme: pandangan bahwa pengetahuan itu dibatasi, baik oleh akal budi yg serba terbatas maupun oleh cara mengetahui yg serba terbatas.
[3] Pernyataan ini bersumber dari sebuah hadits qudsi riwayat Imam Bukhari dari Abu Hurairah r.a.
[4] Ladunniy: "anugerah Allah" dalam arti yang sesungguhnya. Anugerah yang tidak didapat dari usaha hamba, melainkan sepenuhnya langsung dari Hadirat Allah. Lihat: Lihat: Sufi Terminology (Amatullah Armstrong: 1995).
- Dibuat oleh