Generasi Impian-I
Menurut kondisi saat ini, yang disebut sebagai generasi impian adalah representasi ilmu pengetahuan, keimanan, akhlak, dan seni. Mereka adalah pada arsitek rohani bagi generasi setelah kita. Mereka akan membuat berbagai hal baru di setiap ranah kehidupan masyarakat dengan menebarkan inspirasi dari hati mereka yang penuh dengan nilai-nilai ukhrawi kepada umat yang membutuhkannya. Segala bentuk kehilangan, kesia-siaan, kegilaan, dan obsesi yang dialami oleh generasi sebelum kita adalah perkara serius yang terjadi karena mereka tidak bertemu dengan generasi impian yang sedang kita bicarakan ini.
Saat ini kita hidup di masa-masa terakhir dari sejarah kita. Kita telah melewati kegagalan demi kegagalan sampai akhirnya berhasil! Betapa sering kita gagal demi meraih keberhasilan! Pada periode seperti itu, ketika kita saling memangsa seperti serigala, kita telah mewariskan kepada generasi setelah kita sikap dengki, benci, dan fanatisme kelompok. Pada periode itu, orang-orang yang bergelut dalam dunia politik atau ikut berperan meski hanya dari luar, pasti mencari segala cara yang dibolehkan untuk menampilkan kelompok atau kader mereka. Selain itu mereka juga mengira bahwa jika mereka memegang kendali pemerintahan, maka itu dapat banyak mengubah banyak hal dan akan menyelamatkan bangsa.
Rupanya, kedua pihak itu (pemerintah dan oposisi) tidak memahami bahwa satu-satunya cara untuk mencapai tujuan yang diinginkan tidak lain adalah dengan melakukan revolusi yang didasari keimanan, ilmu, akhlak, pemikiran, dan keluhuran. Karena mereka tidak mengetahui hal itu, maka mereka pun mengira bahwa perubahan yang didambakan adalah perubahan yang kosong dari nilai spiritual, sekedar formalitas, dan hanya menyentuh "kulit luar" bangsa kita. Dalam perubahan besar alur sejarah, mereka selalu berpegang pada ekor perubahan yang hanya menyentuh warna dan penampilan belaka.
Bahkan lebih jauh dari itu, sebagian dari mereka ada yang telah menjual nilai-nilai patriotisme bangsa kita kepada setan dan menukarnya dengan harga yang murah. Orang-orang dungu ini benar-benar seperti Faust[1] yang sesat karena terasing dari nilai kebangsaan yang sejati. Mereka tidak pernah bosan untuk terus berada dalam kebingungan disebabkan tuntutan zaman. Di satu waktu mereka harus mengubah penampilan demi negara, tapi di waktu yang lain mereka harus kembali melakukan hal yang sama, padahal mereka tidak pernah "berubah" menjadi sesuatu, melainkan hanya "berpenampilan" seperti sesuatu.
Terkadang mereka menghirup Turanisme, tapi di saat yang lain mereka tenggelam dalam jargon "Bangsa, Petani, Rakyat Jelata". Terkadang mereka bercengkerama dengan aristokrasi, tapi kemudian mereka meneriakkan "Demokrasi!" atau bahkan "Komunisme!"
Singkatnya, mereka tidak pernah terbebas dari kebingungan untuk selamanya!
Terkadang cendekiawan kita mengadopsi mimpi-mimpi ala Prancis, lalu takjub pada Inggris, kemudian mencintai Jerman, namun akhirnya merindukan Amerika...dalam upaya untuk menjelaskan kehidupan dan mengarahkan bahtera ke masa depan, dengan berbekal kerakusan yang busuk ketika mengikuti perubahan zaman.
Kondisi seperti ini tentu harus dihadapi dengan membangun sebuah "ide" yang menyatukan kita sebagai sebuah bangsa. Yang saya maksud dengan "ide" di sini tidak lain adalah agama yang kita yakini dan nasionalisme. Alat pemersatu ini harus diletakkan di atas pondasi kokoh yang berdiri di atas semua mimpi dan imajinasi serta melampaui semua realitas spiritual individu. Ia juga harus disandarkan pada iman yang bersih, pemikiran yang solid, moralitas yang kuat, dan keluhuran yang meresap dalam jiwa bangsa kita. Gerakan seperti inilah yang dapat menyelamatkan generasi penerus kita di masa depan. Sebuah gerakan moral yang jelas arahnya dan terbuka bagi segala bentuk perubahan pada tataran spiritualitas dan moralitasnya, namun ia juga tidak pernah jauh dari "ridha Allah" sebagai pusat orbitnya dan selalu terbuka bagi segala bentuk kemajuan dan manfaat.
Ketika yang terjadi adalah sebaliknya, maka kita pasti tidak akan bisa menjaga spiritualitas dan moralitas kebangsaan. Kita pasti tidak akan pernah mampu menunaikan amanat bagi generasi mendatang dengan baik jika kita tetap berada di atas garis haluan yang menyimpang serta membiarkan diri kita berpegang pada keimanan yang tidak pernah mencapai tahap yaqîn dan di kepala kita masih tertanam berbagai macam konsep yang memiliki pandangan berbeda-beda terhadap peradaban manusia.
Setiap orang yang memahami periode yang kacau ini pasti mengetahui kehilangan yang kita alami dan nilai-nilai luhur milik kita yang telah kita sia-siakan. Saat ini kita tidak pernah berhenti untuk menemukan metode dan falsafah hidup baru untuk kita sendiri. Tujuannya adalah kita dapat menjauhi berbagai paham berbeda yang saling berlawanan, interpretasi yang jauh berbeda, dan berbagai pemikiran yang saling bertentangan.
Tapi tampaknya semua itu mustahil dilakukan!
Berapa banyak waktu yang telah terbuang percuma, sementara kita tetap senang bermimpi untuk menemukan hal-hal baru! Padahal menurut pendapat saya, kita akan sulit menemukan falsafah hidup baru di masa mendatang, karena kita juga tidak berhasil menemukan hal seperti itu di masa lalu. Semua itu terjadi karena kita tidak akan pernah dapat menemukan formula pemikiran yang baru dan metode yang inovatif tanpa menjaga akar spiritualitas dan moralitas dalam kehidupan kita. Sungguh kita memang selalu gagal untuk mencapai sistem pemikiran yang baru dan metode yang inovatif...
Bahkan bukan hanya itu, kita juga selalu hidup dalam keadaan sakit dan bingung disebabkan kondisi zaman yang penuh kesulitan. Seakan-akan kita terpaksa merasakan begitu banyak hal di satu waktu yang sama!
Ketika semua itu terjadi, ada begitu banyak kesia-siaan yang terjadi di mana-mana. Ada banyak kesempatan untuk kita, sebagaimana kita juga memiliki banyak potensi terpendam yang terbuang sia-sia.
Meski seolah-olah kita telah banyak berbuat dalam waktu satu atau dua abad terakhir, tapi kita belum dapat menghasilkan sesuatu yang benar-benar kuat dan dapat menunjukkan keimanan kita di kedalaman sejarah kita beserta pemikiran, moral, budaya, seni, dan perekonomian kita. Meski pun dalam beberapa periode tertentu kita temukan beberapa pencapaian, tapi semua itu tidak lebih daripada sekedar imajinasi kosong yang jauh dari kebutuhan kita yang sebenarnya, seperti interpretasi atas masa, apresiasi terhadap ilmu, pemahaman atas hikmah kerukunan dan kecocokan (al-wifâq wa al-ittifâq), serta pengentasan kemiskinan yang telah membebani punggung kita selama berabad-abad.
Keselamatan kita dari pandangan yang memenjarakan perasaan kita dan dari segala bentuk pemikiran yang salah, hanya akan dapat terwujud di tangan para pahlawan pemikiran, ketajaman mata hati, dan memiliki anugerah ladunniyyah yang memahami zaman dan mencintai hakikat seperti mencintai ilmu. Merekalah orang-orang yang punggungnya telah bungkuk disebabkan beban masa kini dan masa depan. Apa yang ada dalam batin mereka selalu tampak dari perilaku mereka, dan mereka selalu mampu melihat segala yang berada di balik entitas.
Mereka adalah para pahlawan ladunniyyah yang selalu merasakan derita umat ketika mereka berusaha membawa umat bangkit dari keterpurukan. Mereka selalu mencucurkan air mata dalam hati dan meratap seperti Nabi Ayyub a.s. karena mereka selalu berbagi dengan umat manusia baik pada hal-hal yang berhubungan dengan masa kini maupun masa depan.
Mereka selalu menerawang keketinggian langit sambil bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah anugerahkan kepada mereka. Mereka selalu menggali inspirasi dari sejarah kita yang penuh warna dan telah terbentang selama ratusan tahun. Dari situlah mereka menggali energi baru dan kemudian menghirup semangat nasionalisme yang sejati dan penuh dengan daya hidup.
Mereka tak pernah bosan menyuntikkan keimanan, cita-cita, dan pergerakan kepada generasi muda, untuk kemudian membuka "saluran-saluran" baru dari telaga nasionalisme kita yang sudah ratusan tahun tak bergerak airnya. Melalui saluran-saluran baru itulah kita sebagai bangsa akan menemukan aliran yang dapat mengantar kita ke tempat peribadatan batin kita yang selama ini hilang. Kita akan menangis haru ketika akhirnya kita sampai di tempat tinggal kita yang sejati yang begitu hangat laksana sudut surga. Di situ, kita akan dapat melihat bayangan surga yang telah sekian lama hilang; kita akan kembali dapat melihat sekolah-sekolah kita kembali dibangun di atas pondasi kerinduan pada ilmu pengetahuan dan demi menemukan kebenaran.
Ketika semua itu terwujud, kita akan kembali dapat mengenal alam semesta karena kita dapat melihat dari jendela-jendela jagad raya yang kembali terbuka. Kita akan kembali mencintai semua orang, dan akan kembali belajar untuk berbagi. Kita akan kembali terampil mengayomi semua golongan dengan ketulusan hati yang sejernih permata, dengan budi pekerti agung yang jauh dari kegalauan. Kita akan kembali mencintai seni, dan kita akan kembali mampu memikirkan interaksi antarsesama manusia dengan penuh kejujuran hati dan air mata haru yang tulus ketika kita menunjukkan siapa diri kita sebenarnya.
[1] Faust: penyihir Jerman yang telah menjual jiwanya kepada setan demi mendapatkan kesenangan duniawi.
- Dibuat oleh