Determinisme Hingga Batas Tertentu
Sebenarnya soliditas, kekuatan, dan kesejahteraan generasi mendatang adalah hasil dari semua tindakan yang dilakukan oleh orang-orang luar biasa yang hidup saat ini. Sungguh sebuah kebohongan besar dan mimpi kosong belaka jika kita menunggu masa depan yang sempurna dan terhindar segala bentuk kerisauan dari generasi masa kini yang selalu bermalas-malasan. Masa depan selalu tumbuh dari benih yang dikandung oleh rahim masa kini dan juga akan disusui oleh masa kini agar dapat tumbuh dewasa.
Sebenarnya soliditas, kekuatan, dan kesejahteraan generasi mendatang adalah hasil dari semua tindakan yang dilakukan oleh orang-orang luar biasa yang hidup saat ini. Sungguh sebuah kebohongan besar dan mimpi kosong belaka jika kita menunggu masa depan yang sempurna dan terhindar segala bentuk kerisauan dari generasi masa kini yang selalu bermalas-malasan. Masa depan selalu tumbuh dari benih yang dikandung oleh rahim masa kini dan juga akan disusui oleh masa kini agar dapat tumbuh dewasa.
Sebagaimana eksistensi kita saat ini, dengan segala kebaikan dan keburukannya, yang merupakan buah dari masa lalu, maka masa depan kita tidak lain adalah "salinan" dari masa kini; salinan yang dikembangkan, diperluas, dan dibentuk dari individualitas untuk menjadi bagian masyarakat luas. Kehidupan kebangsaan kita, dengan segala dinamika dan kondisinya, sebenarnya serupa dengan sungai yang mengalir dari pegunungan masa lalu menuju lembah masa kini untuk kemudian terus mengalir ke ngarai masa depan. Ketika "sungai" itu mengalir ke masa depan, tentu saja ia akan membawa berbagai hal baru yang muncul di sepanjang alur yang dilewatinya.
Bahkan jika kita melihat lebih cermat kepada kenyataan di masa kini, kita akan dapat menemukan jejak para pendahulu kita lengkap dengan segala sentimen, rasionalitas, pemikiran, dan apa yang terbersit dalam hati mereka. Itulah sebabnya dapat kita katakan bahwa para pendahulu kita itu merupakan mata air kehidupan kita saat ini. Kondisi kita saat ini dalam perjalanan sejarah kita, sebenarnya tidak lain merupakan "hasil perasan" dari generasi masa lalu.
Jika kita mampu memahami poin kecil yang berhubungan dengan prinsip suksesi ini dengan baik, kita pasti dapat mengetahui bahwa roh umat selalu baru, muda, dan tetap seperti itu sampai "selama-lamanya". Meski dunia terus menua, zaman tak henti berputar, masa selalu berubah, semua yang datang telah pergi, lalu datang para penerus dari mereka yang telah pergi itu...
Di tengah alur perubahan itulah jejak Abu Bakar dilanjutkan oleh Umar ibn Abdul Aziz, langkah Umar ibn Khaththab diteruskan oleh Muhammad Fatih, semangat Sayyidina Ali ibn Abi Thalib diserap oleh Battal Ghazi,[1] para pejuang Badar kembali muncul dalam keteguhan semangat pasukan yang bertempur di Manzikert, Kosovo, dan Çanakkale (Janâq Qal'ah). Semua itu tentu telah membuktikan bahwa semuanya terus berlangsung untuk "selama-lamanya".
Bagi saya, inilah keajaiban di balik siklus pembaruan dan kesinambungan dari satu genersai ke generasi selanjutnya. Jadi, kewajiban kita saat ini adalah dengan menjamin bahwa kematian kita sebagai individu, harus menjadi landasan atau pondasi bagi keberlangsungan kita sebagai bangsa. Oleh sebab itu, kita harus menghadapi kematian dengan gembira alih-alih dengan ketakutan, jika kita mampu menjamin kesinambungan bangsa baik pada sisi duniawi maupun ukhrawi.
Para pahlawan yang telah mempersembahkan masa depan kepada kita, yaitu orang-orang yang telah jauh melampaui konsep al-mudun al-fâdhilah. Merekalah orang-orang yang berhasil menggunakan semua fase di sepanjang usia mereka dengan sebaik-baiknya. Sejak mereka mulai dapat mengenal keindahan dunia, sampai masa-masa remaja ketika hidup menjadi jauh lebih berwarna. Sejak mereka mulai menginjak usia matang dengan segala kekuatan, kekerasan, dan keteguhan sikap, sampai masa tua yang identik dengan kemapanan dan ketenangan jiwa.
Di semua fase itu, kita dapat dengan mudah melihat kepribadian mereka begitu stabil dan seimbang dalam setiap langkah yang mereka ambil. Mereka tidak pernah menyia-nyiakan umur yang diberikan Allah dan selalu siap menghadapi kematian di setiap babak kehidupan. Ketika maut datang, mereka akan dengan sepenuh hati menghadapkan wajah kepada Allah dengan penuh cinta pada-Nya. Merekalah para pahlawan di balik layar; para bangunan spiritual yang kokoh berdiri. Mereka selalu bergerak ke depan, tapi tidak pernah menonjolkan diri. Mereka selalu menjalani kehidupan yang akan meninggalkan kenangan bagi generasi selanjutnya, namun mereka juga selalu bersungguh-sungguh dalam mempersiapkan kematian tanpa dikenal orang banyak layaknya kematian seseorang yang akan dikenang dengan ucapan: "Seorang manusia malang mati di sini!"
Jika saat ini kita tidak mampu menyiapkan pahlawan-pahlawan seperti itu, tidak bisa memberi mereka kesempatan untuk mengimplementasikan tindakan mereka seperti yang telah dijelaskan di atas, atau kita tidak sanggup menyediakan ruang bagi setiap tahapan hidup mereka, maka kita tidak pernah menyiapkan apa-apa untuk masa depan kita sebagaimana kita juga tidak akan pernah bisa menjamin kelanggengan eksistensi kita di masa depan.
Jika kita telah meyakini bahwa babak sejarah yang sedang kita jalani ini adalah pondasi utama bagi masa depan, maka seyogianya kita mendayagunakan dengan sebaik-baiknya masa kini dengan penuh ketajaman hati, kepekaan perasaan, kematangan nalar, dan kesabaran yang matang untuk kemudian kita menyiapkan semuanya demi masa depan sembari menjaga seluruh jiwa dan esensi yang kita miliki. Selain itu, kita juga harus mampu mengembangkan semua elemen yang terbuka untuk diinterpretasi agar dapat menghadapi masa depan dengan baik. Kita pasti tidak akan dapat menghindari semua bahaya yang telah disebutkan di atas jika kita mengabaikan semua kewajiban yang harus kita penuhi.
Tidaklah dibenarkan bagi kita, baik dalam spirit keagamaan maupun dalam Hukum Alam (al-syarî'ah al-fithriyyah), untuk mengabaikan kausa, padahal kemudian terjadi berbagai hal yang muncul disebabkan kausa. Tentu saja yang saya maksud di sini adalah kausalitas pada kondisi yang wajar. Ketika kita melihat determinisme terus terjadi di tengah entitas hingga batas-batas tertentu dan dengan berbagai syarat yang berhubungan dengannya, yang juga terjadi di sepanjang sejarah.
Saat ini, semua orang dan kejadian di masa lalu yang telah menjadi "sejarah", telah menjadi seperti benih yang ditebarkan di tanah sejarah, atau seperti telur yang akan ditetaskan di dalam inkubator sejarah. Semua itulah yang dianggap sebagai dasar pembentuk masa kini. Dilihat dari perspektif kausalitas, semua kausa yang ada saat ini adalah bagaikan benih yang tersebar di atas sejarah. Benih-benih itulah yang akan menentukan "hasil" di masa depan dalam dimensi hikmah, keadilan, stabilitas, dan integritas.
Bukankah semua ini selalu berulang dan terus berlangsung sampai sekarang? Bukankah hari-hari kelam yang terkadang kita saksikan pada satu babak sejarah tertentu sebenarnya muncul disebakan "noda" dari babak sejarah sebelumnya? Bukankah banjir bandang yang menghancurkan umat Nabi Nuh a.s. terjadi disebabkan pembangkangan yang mereka lakukan? Bukankah angin topan yang melumat Ahqaf adalah untuk membersihkan bumi yang dinodai kaum Ad? Bukankah kehancuran Sodom dan Gomorrah tidak lain merupakan bentuk balasan atas dosa yang dilakukan penduduk bumi?
Bukankah penjajahan yang dilakukan Inggris terhadap India selama ratusan tahun dapat terjadi disebabkan sikap sebagian penduduk India yang mengusir saudara mereka sendiri? Bukankah kesalahan pahaman terhadap semesta, perpecahan, dan kebodohan adalah sebab yang membuat bangsa-bangsa yang tinggal di kawasan Asia Tengah di masa lalu dengan mudah dijajah oleh Jengis Khan, Holako, dan sebagainya? Dan bukankah semua penyebab itu pula yang telah membuat mereka pada masa berikutnya jatuh ke tangan komunisme, sosialisme, dan kapitalisme yang kesemua itu baru saja berlalu?
Lihatlah orang-orang yang berkhianat kepada kesultanan Ottoman, yang menjadi penyeimbang kekuatan di wilayah kekuasaannya yang sampai awal abad dua puluh masih membentang dari Afrika sampai Balkan dan sebagian Asia; bukankah para pengkhiatan itu ternyata harus menanggung hukuman yang beratnya berkali-kali lipat demi menebus pengkhianatan yang mereka lakukan?
Apa yang dilakukan oleh tangisan Chartago, atau jeritan kaum Nasrani awal yang ketakutan, atau rintihan orang-orang tertindas yang berada di bawah cengkeraman Kekaisaran Romawi? Bukankah akhirnya Romawi yang congkak itu runtuh hancur berkeping-keping?
Di zaman modern, dapat kita temukan betapa Lenin, Stalin, Hitler, Mussolini, dan diktator lainnya akhirnya tersingkir dari tubuh umat manusia seperti tumor yang menjijikkan, berikut semua patung dan ideologi yang mereka sebarkan. Bukankah seringnya kita saat ini mendengar kutukan yang ditujukan kepada para penguasa lalim tersebut terjadi disebabkan kekejaman mereka yang melebihi batas-batas perikemanusiaan?
Kaum muslim awal, yang selalu berada di bawah bayang-bayang penindasan, ternyata di kemudian hari mampu membenamkan musuh-musuh mereka dalam kubangan pertikaian antarsesama mereka sendiri. Bahkan kemudian mereka berhasil mengibarkan panji-panji yang mereka bawa di seluruh penjuru bumi dengan tetap menjunjung keadilan. Peristiwa Badar dan Penaklukan Mekah (fath makkah) merupakan dua bukti paling jelas yang menunjukkan kebenaran dan keadilan umat Isam, sebagaimana halnya peristiwa perang Uhud menjadi bukti kemenangan pihak yang tertindas. Selain ketiga peristiwa penting itu, umat Islam selalu meraih kemenangan karena mereka selalu mencabut pedang berdasarkan bisikan nurani yang bersih. Itulah sebabnya, beberapa peristiwa yang sering dianggap sebagai kekalahan umat Islam yang terjadi pada masa itu, tetap dapat kita anggap sebagai kemenangan bagi mereka. Bagi umat Islam, tampaknya gerbang kemenangan telah terbuka lebar di sepanjang perjalanan mereka ke masa depan.
Namun sebaliknya, ketika pedang atau kekuatan senjata telah berada di genggaman penguasa yang menutup nuraninya, bukankah ketika itu terjadi maka semua kebijaksanaan dan kemenangan tiba-tiba berubah menjadi kegagalan yang parah? Ketika itu terjadi, maka semua kemenangan mendadak berubah menjadi kekalahan.
Jadi apapun nama atau istilah yang digunakan, kejahatan pasti akan melahirkan kejahatan, dan kezaliman pasti akan terus berputar di dalam lingkaran setan yang takkan jelas ujung pangkalnya. Orang-orang yang gemar menebar fitnah, baik dulu maupun sekarang, pasti akan menuai keburukan. Dan sebaliknya, orang-orang yang menanam kebaikan, pasti kelak akan memetik buah kebaikan yang penuh berkah. Secara faktual, sering kali buah dari kebaikan atau kejahatan yang ditanam saat ini tak kunjung muncul dalam kenyataan, tapi kita harus menyadari bahwa buah itu pasti akan muncul ketika waktunya tiba, untuk memberi pelajaran kepada orang-orang yang zalim atas kezaliman mereka dan demi menyelamatkan para korban kezaliman dari penindasan yang mereka alami.
Demikianlah, di sepanjang sejarah pergulatan antara sebab dan akibat terus terjadi. Ketika "waktu penebusan" tiba, itulah waktu di saat surga seolah tampak di hadapan mereka yang telah berbuat baik, sebagaimana halnya neraka juga tampak di mata para durjana.
Semua hal seperti yang telah saya sebutkan di atas dapat kita jelaskan dengan prinsip determinisme –atau prinsip kausalitas yang menghubungkan antara sebab dan akibat- dalam "roh" sejarah. Atau dengan pernyataan yang lebih tepat: kita dapat menjelaskan perjalanan sejarah dalam semangat keadilan dan dalam prinsip "hukum alam" (al-syarî'ah al-fithriyyah) yang mengantarkan kita pada pemahaman bahwa sejarah sering mengulang dirinya sendiri. Meskipun ada begitu banyak "sebab" yang berada di balik layar pentas sejarah kita, tapi Allah yang Mahakuasa dan Mahamutlak telah menciptakan "sebab" sebagai tirai bagi kehendak dan ketetapan-Nya yang kemudian Dia gunakan untuk melingkupi dunia. Itulah bentuk kelembutan Ilahiah yang selalu mengandung hikmah –sebagaimana dalam setiap kehendak-Nya- yang telah Allah anugerahkan kepada manusia. Tak ayal, hukum sebab-akibat telah menjadi jembatan yang dapat kita gunakan untuk menentukan apa yang akan kita lakukan.
Berdasarkan perspektif ini, kita mungkin dapat menemukan fakta bahwa sangatlah mungkin sebuah gerakan kecil ternyata menjadi pemicu terjadinya sebuah gerakan besar bertahun-tahun kemudian, sebagaimana sangat mungkin terjadi sebuah keguncangan dahsyat dalam masa depan sejarah kita yang disebabkan oleh sebuah kekeliruan kecil yang terjadi di masa lalu.
Oleh sebab itu, kita harus berusaha sekuat tenaga untuk memperhatikan dengan cermat masa depan seperti apa yang akan kita bangun bagi umat manusia, dari semua tindakan kecil yang kita lakukan sekarang berdasarkan kebaikan generasi kita yang hidup saat ini.
[1] Dalam bahasa Turki, kata "ghazi" berarti "pejuang", adapun "Battal Ghazi" adalah nama seorang prajurit Ottoman yang sangat terkenal dengan keberaniannya.
- Dibuat oleh