Jati Diri Kita
Tidak diragukan lagi bahwa yang kami maksud dengan "wujud jati diri" adalah refleksi hasrat internal yang kita miliki yang dibangun dari warisan peradaban dan kebudayaan kita sendiri; untuk kemudian diubah menjadi "poros" di mana kita mengorbit di sekelilingnya. Tampaknya banyak orang di zaman kita memahami kata "jati diri" sebagai sebuah semacam folklor yang tidak memiliki hubungan dengan akar "moralitas" umat kita atau pun dengan "insting" yang menyembul ketika umat manusia merasakan kebutuhan pada pemuasan hasrat "jasmani"-nya. Atau ada yang menganggapnya sebagai sebuah upacara yang diselenggarakan dalam jamuan makan, hari raya, atau pesta pernikahan.
Bagi kita, yang dimaksud dengan "jati diri" memiliki makna yang jauh lebih luas, menyeluruh, dan mendalam. Jati diri merupakan sesuatu hal yang efeknya terasa di semua sendi kehidupan masyarakat; sesuatu yang nutrisinya bersumber dari memori, emosi, dan nurani kolektif suatu umat seiring berjalannya waktu, sejak zaman dahulu kala sampai zaman kita sekarang ini. Jati diri itulah yang ter-refleksi dan mengejawantah pada perasaan, pemikiran, ucapan, imajinasi umat yang bersangkutan. Jati diri itulah yang kemudian hidup dalam kebiasaan, adat-istiadat, dan tradisi kita karena jati diri itulah yang menjadi elemen terpenting di kedalaman kesadaran kehidupan kita di sepanjang masa.
Kita selalu merasakan jati diri itu di setiap sendi kehidupan kita dan di setiap halaman dari lembaran hidup serta di setiap tahapan-tahapannya. Bahkan kita selalu merasakan jati diri itu setiap kali kita sampai di satu posisi tertentu dalam perjalanan hidup kita.
Dari model pendidikan yang diterapkan oleh para ibu kita, sampai perilaku nenek moyang kita yang kaya dengan spirit kebapakan yang mencerminkan karakter jati diri kita semua.
Dari pola pendidikan dan muatan ruh jati diri kita yang ada di dalamnya, sampai upaya para pendidik untuk mengembuskan ruh tersebut dengan sebaik-baiknya.
Dari keragaman gaya masakan di setiap dapur kita, sampai aktivitas yang kita lakukan di ladang dan sawah-sawah kita.
Dari berdiri dan duduknya kita di kantor, sampai akhlak yang kita miliki.
Dari gaya bicara dan tulisan kita, sampai hubungan kita dengan orang lain.
Terkadang sebagian dari kita tidak dapat cepat mengerti apa saja sebenarnya faedah ilmiah atau kemasyarakatan dari kehidupan yang dilakukan di dalam "orbit jati diri" seperti itu. Akan tetapi tentu sudah menjadi kebiasaan –dan bahkan keniscayaan-bahwa dalam jangka panjang dan dengan frekuensi pengulangan yang intens, pasti pentingnya "jati diri" itu akan tampak dalam setiap tahap kemajuan. Dalam rangka mewujudkan semua itu, yang harus kita lakukan adalah terus mengayunkan langkah untuk melanjutkan perjalanan dalam kerangka agama, warisan, kebiasaan, adat-istiadat, dan tradisi yang kita miliki, sembari menyerap semua penafsiran baru terhadap zaman yang kita lalui dengan pandangan yang cerdas. Seiring dengan berjalannya waktu, nilai jati diri kita pasti akan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari karakter kita. Segala yang diadopsi dari luar pasti akan larut di dalam cairan tinta yang mewarnai kita, karena ia akan menjadi warna penting di antara sekian banyak warna yang menghiasi atlas jati diri kita, baik dalam ranah pemikiran maupun dalam ranah kultur dan budaya.
Pelbagai peradaban hebat yang telah memukau banyak kepala dan menyilaukan sekian pasang mata dengan kekayaan kultural yang dimilikinya, tidak pernah muncul di Roma, Athena, Mesir, atau Babylonia dalam sekejap mata tanpa didahului oleh masa panjang "pendahuluan". Di mana pun juga, setiap peradaban selalu lahir dari masa pengasuhan yang panjang di dalam dimensi emosional dan intelektual yang dimiliki individu-individu yang tinggal di dalam peradaban yang bersangkutan serta di dalam lahan subur kesadaran kolektif mereka.
Pada tahap selanjutnya, bayi peradaban itu akan minum secara langsung dari mata air di dalam diri mereka sendiri, atau minum dari sumber di luar yang sudah disaring dan dijernihkan airnya. Barulah setelah itu bayi peradaban tersebut akan tumbuh besar yang sekian waktu kemudian akan memainkan peran penting dalam membentuk karakter suatu bangsa serta akan memberi corak yang dominan bagi kehidupan mereka. Kemudian ia akan merambah seluruh aspek kehidupan meski ketika tak ada sepotong lidah pun yang membicarakannya. Ia akan menguasai kehidupan umat di seantero tempat ibadah, sekolah, jalan raya, rumah, kedai kopi, dan bahkan kamar tidur... bahkan ketika seluruh manusia tidak mau melakukan itu dengan kehendak dan kesadaran mereka, ia tetap akan mendorong mereka dengan energi misterius yang menuntun keinginan mereka.
Umat manapun yang memiliki pondasi yang didirikan di atas landasan kultural sekokoh itu, pasti seiring dengan berjalannya waktu mereka akan sampai pada tingkat kematangan tertentu, karena tentu saja umat itu akan mampu melewati berbagai aral melintang yang merintangi perjalanannya, baik halangan itu berupa kebodohan, kemiskinan, ketidakberdayaan, ketidakpedulian, maupun adanya tekanan dari luar. Semua peradaban: Roma, Athena, Mesir, dan Ottoman –yang kesemuanya dianggap sebagai peradaban Abad Pertengahan- merupakan beberapa contoh yang dapat menunjukkan kenyataan seperti itu. Jika kita telisik sejarah yang lebih mutakhir, maka kita dapat menemukan contoh peradaban Jerman Raya sebagai sebuah perdaban besar kalau saja ia tidak menghancurkan dirinya sendiri karena menceburkan diri dalam kekacauan Perang Dunia II.
Setelah Perang Dunia II usai, Jerman benar-benar terjungkir balik. Ekonominya luluh lantak, kekuatan asing berkuasa penuh atas negeri mereka, sementara masyarakat terpecah belah menjadi faksi-faksi yang saling bermusuhan dalam situasi egois yang muncul dari kekalahan mereka pada perang yang baru terjadi. Singkatnya, pada saat itu negeri Jerman benar-benar menjadi semacam tangsi militer besar dari ujung hingga pangkalnya...
Hanya saja, ternyata hati seluruh rakyat Jerman –di tengah segala keterpurukan itu- tetap memiliki satu tujuan serta memiliki sebongkah kecintaan tunggal terhadap Jerman Raya. Rakyat Jerman sangat percaya bahwa kekuatan fisik dan mental yang mereka miliki masih cukup untuk dapat mewujudkan tujuan itu. Mereka sangat yakin bahwa jika memang Jerman sanggup melewati cengkeraman maut seusai Perang Dunia II, maka Jerman pasti juga akan mampu menyelamatkan dirinya dengan energi dinamis dan peradabannya yang mengakar kuat pada diri rakyatnya. Dan ternyata memang itulah yang benar-benar terjadi.
Ya. Bangsa Jerman memang telah mengarahkan pandangan mereka hanya kepada akar moralitas yang mereka miliki, sembari mendayagunakan segenap kondisi sosiologis, sosio-psikologis, dan sosio-kultural yang mereka punya, sehingga mereka pun menjadi salah satu pihak yang berhasil membaca dan menginterpretasi kondisi faktual yang terjadi pada paruh kedua dari abad kedua puluh yang baru lalu demi kemaslahatan mereka dengan cara yang tidak pernah ada sebelumnya.
Dari beberapa contoh ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa tindakan mereduksi semua penyebab yang menimbulkan problem dalam ranah politik, ekonomi, dan pemerintahan di negara manapun, dengan melakukan pengekangan terhadap kondisi politik, ekonomi, dan pemerintahan, meski hal itu mungkin bisa dianggap benar jika ditinjau dari satu sisi tertentu, sebenarnya tindakan seperti itu adalah sebuah cacat yang memiliki begitu banyak kekurangan pada banyak sisi yang lain.
Memang, tidak perlu diragukan adanya manfaat yang muncul dari setiap kesungguhan, tekad, pengetahuan, dan penciptaan program-program alternatif dalam semua aspek kehidupan. Akan tetapi ada satu "hal lain" yang harus –secara mutlak- menjadi tujuan dari segenap tekad yang kita miliki. Menurut hemat saya, "hal lain" itu adalah: kultur dan akar moralitas yang dimiliki sebuah umat. Karena setiap umat tidak boleh menutup mata dari akar moralitasnya di semua aktivitas sosial, ekonomi, dan politik yang ia lakukan. Selain itu sebuah umat juga sama sekali tidak boleh melupakan misi dan sasaran yang hendak dicapai oleh peradaban yang dimilikinya, selama ia telah memutuskan untuk melakukan perhitungan terhadap zaman yang dilaluinya.
Adalah benar jika dikatakan bahwa setiap kali terjadi pembicaraan seputar perubahan dan perkembangan di negeri kita, maka pada saat itu juga akan tercipta sebuah konsentrasi terhadap peradaban kita. Akan tetapi kita tidak dapat membicarakan secepat kilat tentang kontinyuitas dan struktur dalam ranah ini. Semua sekolah (tradisional), tempat-tempat pengajian, dan berbagai lembaga pendidikan yang telah mendidik para arsitek pemikiran dan para spiritualis yang kita miliki di masa lalu, ternyata tidak mampu menciptakan jalan yang dapat mengantarkan kita ke masa depan. Ketika lembaga-lembaga itu tidak mampu melakukan itu, maka ia pasti akan terkubur di bawah tumpukan puing-puing kehancurannya sendiri.
Tapi ingat, ketika kita tengah membincangkan hal seperti ini, kita harus selalu berpegang pada sebuah prinsip yang sangat kuat menyindir mulut kita, yaitu: "Ingatlah kebaikan-kebaikan orang-orang yang sudah mati di antara kalian, dan lupakanlah keburukan-keburukan mereka."[1] Prinsip inilah yang melarang kita mengungkit-ungkit keburukan para pendahulu kita. Oleh sebab itu, saat ini kita dapat mengatakan bahwa "semua kejadian dalam sejarah tidak pernah mengulangi dirinya sendiri, meski terkadang antara satu sama lain terlihat serupa. Yang harus kita lakukan adalah mengambil tamsil ibarat darinya, bukan menerima pelajaran darinya." Itulah sebabnya, yang boleh kita lakukan adalah mengajukan berbagai pertanyaan tentang masa silam kepada diri kita saat ini, lalu kita berkata: sesungguhnya orang-orang yang mendahului kita musnah karena mereka menyimpang dari maksud dan tujuan eksistensi mereka, dan saat ini kita tengah berada pada kondisi yang sama. Jadi tindakan paling benar yang dapat kita lakukan saat ini adalah menyingkirkan kesalahan-kesalahan yang kita miliki alih-alih kita sibuk mengurus kesalahan mereka, termasuk ketika berhasil menghindari berbagai kesalahan itu.
Kita mungkin memang harus menerima kenyataan bahwa mereka (orang-orang terdahulu) tidak pernah memperhatikan dari mana sumber air yang mereka minum, sehingga membuat umat kita sekarang dicekik kehausan. Tapi saya ingin Anda semua berkata –dengan segala hormat: Apa yang telah kita lakukan saat ini? Apakah kita dapat mengklaim bahwa kita –sebagai sebuah bangsa- telah mampu menunaikan semua tanggung jawab kita? Atau apakah kita yakin bahwa kita telah mampu mengurus semua lembaga pemerintahan dengan baik sesuai dengan tuntutan zaman? Coba tolong saya!
Siapa dari Anda yang sanggup mengatakan bahwa sekolah-sekolah kita telah mampu menghasilkan buah seperti yang kita harapkan?!
Adalah benar jika dikatakan bahwa generasi muda kita banyak telah mengenyam pendidikan tinggi di Paris, London, Munich, dan New York... Tapi apakah kemudian mereka begitu saja dapat menjadi warga masyarakat yang berguna bagi masyarakat di sekeliling mereka? Namun yang terjadi justru sebaliknya. Tak usahlah kita bermimpi untuk melihat mereka menjadi warga masyarakat yang berguna, karena ternyata banyak dari mereka yang pulang ke kampung halaman dengan membawa berbagai mimpi fantasi yang bermacam-macam. Alih-alih memberi manfaat, mereka justru menyeret negeri mereka ke dalam pusaran problem yang muncul disebabkan adanya pengaruh anglo-saxonisme, naziisme, slavisme, kapitalisme, liberalisme, dan komunisme. Alih-alih menjadi solusi, mereka justru semakin memperparah kondisi yang sudah buruk serta memperburuk keterputusan masyarakat dengan jati diri mereka. Sampai saat ini kita masih berharap semoga kondisi ini tidak berlangsung terlalu lama.
Sebenarnya, ada sekian banyak alasan bagi kita untuk selalu berharap dan tetap bersikap optimis. Tapi sebelum semuanya dimulai, yang terlebih dulu harus kita lakukan adalah menyadari berbagai bentuk kebobrokan dan kezaliman yang kita alami selama ini. Hal seperti itu harus dilakukan karena siapa tahu, album potret buram yang kita miliki itu akan memberi kita gambaran tentang berbagai gambaran yang berbeda mulai saat ini...
Sesungguhnya, hubungan persahabatan yang kita jalin dengan Prancis, Jerman, Inggris, dan Amerika, dengan segala kegagalan dan ketidakberdayaan kita, serta pelbagai pengalaman yang kita miliki ketika harus melawan ratusan hal negatif yang mengepung kita, telah berubah menjadi kegamangan spiritual yang dapat memicu lahirnya fatamorgana berupa "energi sentrifugal" yang semu. Akan tetapi, upaya untuk mendayagunakan kegamangan itu dengan baik merupakan sebuah kewajiban yang harus kita pikul bersama. Sekolah harus mampu menghasilkan "buah" yang sepadan dengan posisi penting yang dimilikinya.
Sekarang telah tiba saatnya bagi kita untuk menyemai berbagai macam ilmu pengetahuan dan pengalaman yang diberikan para guru setelah meramunya terlebih dulu di dalam dimensi rohaniyah kita serta memberinya nutrisi berupa landasan peradaban yang kita miliki. Semua itu harus kita lakukan karena jika kita memang bertekad untuk melangkah maju ke depan di masa mendatang, maka kita tidak memiliki jalan lain kecuali hanya dengan menjadi individu-individu yang memiliki jati diri dalam logika, pola nalar, dan karakater, dengan mendayagunakan akumulasi ilmu dan pengalaman pada posisinya yang tepat. Sekolah-lah yang telah mengubah manusia bongkahan-bongkahan akumulasi dan pengalaman ilmu, sosial, ekonomi, dan politik. Akan tetapi keberterimaannya pada komponen-komponen yang ada di tengah masyarakat dan keberlangsungannya selalu berkaitan dengan kebersijalinan dan keterpaduannya dengan akar moralitas serta bangunan pemikiran masyarakat yang bersangkutan.
Itulah sebabnya, problem yang kita alami sebagaimana halnya juga dihadapi berbagai negara di dunia, sebenarnya terjadi disebabkan ketidakmampuan kita untuk mengetahui esensi lembaga sekolah dengan segala roh dan maknanya. Bahkan –sangat mungkin- sebenarnya problem itu adalah problem kultural, sehingga tidak boleh tidak, masalah ini harus diselesaikan di tempat.
Ya. Ketika kita masih duduk di bangku sekolah, memang ada banyak hal yang kita capai dan diserap oleh rohani kita. Akan tetapi sebenarnya pada masa itu ada banyak hal yang lebih berpengaruh bagi kita; itulah kebudayaan. Padahal kita semua tahu bahwa kebudayaan termasuk salah satu di antara beberapa hal yang dilahirkan dari tata nilai dan lingkungan sekitar.
Kita dapat mengatakan bahwa lingkungan selalu menjadi sumber nilai-nilai kebudayaan di setiap peradaban, baik yang dulu maupun yang sekarang. Kita dapat menyebutnya "lingkungan umum", yang terdiri dari perasaan, pemikiran, tingkah laku, ide, corak, gaya, performa, dan berbagai karakteristik lain yang terkandung di kedalaman watak umat. Sama sekali tidaklah sulit bagi kita untuk membuktikan kebenaran pendekatan ini dengan dalil-dalil yang ada. Akan tetapi saat ini kita ingin berkonsentrasi pada gerakan yang lebih kuat, yaitu "inklusifitas" kebudayaan yang oleh semua lapisan masyarakat dihirup seperti udara, diserap seperti air, dihidu seperti bunga, dan dicerap seperti lingkungan sekitar. Sebuah kebudayaan akan terus meluas dan menjangkau sekitarnya sesuai kemampunnya untuk memberi dampak berkesinambungan dengan "inklusifitas"nya itu.
Inilah yang harus terbersit di dalam benak ketika kata "kebudayaan" disebutkan. Ya. Semua itu memang langsung memberi pengaruh besar bagi setiap tolok ukur yang dipakai oleh seorang pemikir dan ilmuwan besar. Baginya, pertemuan air, tanah, udara, dan sinar matahari di satu titik dengan keberadaan makhluk hidup sekecil apapun yang terus melanjutkan hidupnya, itulah yang menurutnya merupakan sebuah "kebudayaan" bagi setiap masyarakat, baik di masa kini maupuan masa mendatang.
Ya. Itulah nilai-nilai terpenting yang akan menghantarkan setiap individu dan seluruh masyarakat menuju tingkat kematangan baik pada ranah psikologis maupun moral.
Lembaga sekolah, dengan segala kemampuannya untuk mengarahkan masnuia menuju tujuan yang hendak dicapai, telah menjadi semacam pelabuhan, bandar udara, atau titik keberangkatan (starting point) bagi umat. Hanya syaratnya, segala apa yang ada di dalam sekolah harus meluruh di dalam "butik" kebudayaan kita sendiri. Karena jika syarat ini tidak dipenuhi, sekolah tidak akan pernah mampu memberi solusi bagi berbagai problem yang dihadapi individu dan masyarakat. Lembaga sekolah, sebagai sebuah pusat perencanaan dan pilot proyek, sangat mungkin memberi makna sesuai kadar kemampuan yang dimiliki kesadaran kolektif menuju suara tertentu yang menjadi bagian dari garis-garis haluannya yang berkelindan dengan moralitas dan kultur umat.
Tapi amatlah sulit –bahkan mustahil- bagi kita untuk dapat menemukan satu saja bukti yang menunjukkan bahwa lembaga sekolah dapat berhasil tanpa peran elemen pendidikan lainnya. Itulah sebabnya, kita harus menyikapi lembaga sekolah sesuai fakta dan realitasnya. Kita tidak boleh terlalu berharap pada sekolah, kecuali hanya pada hal-hal yang dapat ia berikan kepada kita. Tanpa mengenyampingkan hak-hak ilmu pengetahuan, kita harus mengatakan bahwa menumpahkan seluruh harapan hanya kepada lembaga sekolah sebenarnya merupakan sebuah sikap berlebihan yang menunjukkan kedangkalan dan kekerdilan berpikir yang kian memperjelas banyak kenyataan menjadi takkan pernah terpecahkan laksana meletakkan bola bumi di atas tanduk banteng!
Semua masyarakat sehat yang menjanjikan masa depan gemilang selalu terbentuk dari individu-invidu yang juga sehat sebagai komponen yang membentuk sebuah struktur yang utuh. Akan tetapi –dari sisi lain- kemunculan dan bertumbuhkembangnya individu-individu yang disiplin dan unggul tidak akan pernah dapat terwujud, kecuali hanya di dalam masyarakat yang sehat seperti ini. Meski pendekatan semacam ini dapat memerosokkan kita ke dalam sebuah "lingkaran syaitan".
Lingkungan yang memiliki begitu banyak warisan kekayaan, pasti akan selalu terpengaruh oleh warisan tersebut di setiap saat; baik terhadap orang alim maupun terhadap orang awam, baik terhadap pemuda maupun orang tua, baik terhadap warga pedesaan maupun penghuni perkotaan, baik terhadap seorang pemikir maupun bagi seseorang yang tertipu oleh hawa nafsunya sendiri...
Ketika berbagai macam individu itu membuka mata mereka dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar, maka semua kondisi dan situasi yang mereka indera itu akan terus memberi mereka tuntunan berupa hal-hal yang mempengaruhi persepsi serta mengajak mereka berdialog... dengan segala produk, kekayaan, kekurangan, atau dengan lingkungan psikologis maupun material yang ada. Bisa jadi semua itu akan memberi nutrisi, mendidik, dan membangun, atau –sebaliknya- justru akan menghancurkan emosi dan pikiran mereka, sehingga akan mengubah segalanya menjadi puing-puing kehancuran.
Terkadang tidaklah mudah bagi seseorang untuk dapat merasakan secara sempurna pengaruh yang muncul dari "ruh umat" atas masyarakat dan individu mana pun dari setiap aspeknya. Akan tetapi kita harus selalu sadar bahwa akan selalu ada berbagai masalah parsial pada ranah psikologis dan material yang pada mulanya terkesan sebagai sebuah masalah remeh dan biasa-biasa saja, tapi pada sering kali ternyata kemudian masalah itu menjadi begitu banyak menyita perhatian serta membuka pikiran kita untuk mencari penemuan baru atau upaya ilmiah yang sangat penting.
Sebagaimana halnya aktivitas memperhatikan seekor kucing yang sedang mengintai lubang tikus begitu menarik perhatian sementara orang, ada pula beberapa individu yang akalnya mendadak terbuka lebar ketika memikirkan harmoni yang terjadi dalam masyarakat semut dan lebah. Karena masyarakat kedua binatang ini ternyata memiliki tingkat kesempurnaan struktural yang tidak tertandingi oleh republik paling hebat manapun...
Semua itu terjadi ketika si individu yang bersangkutan memikirkan harmoni yang terjadi di dalam masyarakat semut dan lebah yang kesempurnaannya mengungguli republik manapun yang dianggap paling sempurna. Berapa banyak hal kecil di dalam alam materi yang telah membuat nyala api akal manusia kian berkobar?! Berapa banyak hal yang bagi orang lain terasa remeh, namun ternyata hal itu kemudian mamu menjadi sumber inspirasi bagi banyak pembesar? Contohnya bak mandi Archimedes, apel Isaac Newton, keharmonisan gen, kincir air di halaman rumah Nashiruddin ath-Thusi, hormonisasi musikal yang menenangkan janin bagi Ibnu Haitsam, spektrum cahaya matahari pagi yang mempesona Michael Angelo, dan aliran air Denis Babin!
Merupakan sebuah kenyataan bahwa bangunan atau struktur masyarakat, baik dari segi kesehatannya maupun kehancurannya, serta dari berbagai aspek positif atau pun negatifnya, memiliki pengaruh yang sangat besar bagi semua individu, meski pun akal tidak dapat –secara berkesinambungan- melihat apa yang ada di permukaan-eksternal dari persepsi yang dimiliki masing-masing individu tersebut. Hal itu terjadi karena pada hakikatnya semua individu adalah warga dari sebuah masyarakat yang didiaminya. Mereka selalu merasakan segala hal serta "hidup bersama" dan berinteraksi dengan lingkungan masyarakat mereka masing-masing.
Jadi yang harus dilakukan para ilmuwan dan ulama pada umumnya, serta mereka yang bertanggung jawab atas masyarakat pada khususnya, adalah: membersihkan dan menyaring berbagai pemikiran asing yang berbahaya yang hanya akan memberi dampak negatif terhadap masyarakat karena bertentangan dengan akal, kenyataan, pengalaman, dan ajaran agama. Kita tentu tahu bahwa pahlawan-pahlawan terhebat yang melakukan penyaringan terhadap unsur negatif di sepanjang sejarah manusia tidak lain adalah para anbiya yang mulia. Setelah para nabi itu barulah berderet para ashfiyâ` (orang-orang suci) yang memiliki anugerah berupa ilham, para pemikir yang hati dan akalnya telah paripurna, para ilmuwan yang selalu tunduk pada sang 'âlim al-ghaib wa asy-syahâdah Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta tunduk pada perasaan-intuitif dan pikiran-logis, namun juga sekaligus tunduk pada wahyu langit yang diiringi dengan pengalaman nyata.
Ketika Sayyidina Nuh ‘alaihi salam membuka pintu diskusi seputar berhala-berhalan Wadd, Suwa', Yaghuts, Ya'uq, dan Nasr; ternyata Sayyidina Ibrahim ‘alaihi salam justru melakukan revolusi besar dengan menantang berhala dan pemikiran paganisme yang merajalela di sekelilingnya; sementara Sayyidina Musa ‘alaihi salam teguh melawan kelaliman, penindasan, kesewenang-wenangan, dan eksploitasi terhadap umat manusia.
Ketika Isa al-Masih ‘alaihi salam mencampakkan dunia material yang disembah-sembah kaumnya, sang Kebanggaan Alam Semesta Sayyidina Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ternyata mengobarkan peperangan terhadap pelbagai penyakit sosial yang selalu mencengkeram leher umat manusia dalam bentuk kebodohan, kemiskinan, pertikaian, dan perpecahan.
Dan masih ada banyak lagi berbagai bentuk kekeliruan yang berusaha diperbaiki oleh para nabi. Setelah para nabi, sampai saat ini kita masih menemukan upaya keras pada mujaddid dan mursyid untuk menginterpretasi kehidupan dengan perspektif yang baru agar tetap sejalan dengan perintah, kehendak, dan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka itulah semua orang-orang yang berusaha sekuat tenaga untuk merealisasikan upaya pembersihan dan penyaringan budaya manusia dari noda.
Untuk menciptakan dan melestarikan sebuah kebudayaan, kita harus mempercepat proses perubahan sebagai reaksi yang muncul dalam merespon pemikiran-pemikiran asing yang buruk dan berbahaya. Di samping kita juga harus mampu merasakan dan mendeteksi kemunculannya dengan berbagai macam komponen yang membetuknya, di semua kelompok masyarakat. Tujuannya adalah agar di satu sisi kita dapat terus bertahan dengan jati diri dan karakter khas yang kita miliki, dan di sisi lain agar kita mampu terus bergerak ke masa depan tanpa harus terjatuh di dalam keburukan, khurafat, dan keterasingan.
Adanya kondisi saling mempengaruhi antara berbagai kebudayaan merupakan sebuah fakta yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Sebagaimana kita juga tahu bahwa memidahkan sebuah kebudayaan dari satu tempat ke tempat lain sembari menjaga keasliannya adalah sesuatu yang mustahil. Karena kebudayaan bukanlah semacam pakaian yang dapat dicopot dari tubuh dan dipindahkan ke tubuh yang lain. Sebagaimana halnya setiap makhluk hidup mampu menjaga keasliannya karena mereka memiliki karakter biologis yang khas.
Demikianlah pula halnya kebudayaan; ia selalu mampu menjaga dirinya dan kemudian berubah menjadi aspek dinamis bagi masyrakat yang dilahirkan dan dibesarkan di dalamnya jika ia menjadi bagaikan udara yang mereka hirup atau air yang mereka serap, sehingga ia menjadi kedalaman dinamika masyarakat yang bersangkutan yang akan menjaga dan melindunginya.
Sebuah kebudayaan pasti akan mati jika ia dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain dan ternyata lingkungan baru yang didiaminya tidak menyediakan segala hal yang mendukung keberadaan dan pertumbuhannya. Atau –setidaknya- kebudayaan yang bersangkutan pasti akan kehilangan banyak ciri khas kepribadiannya dan ia akan memalingkan wajah serta menghilangkan jati dirinya untuk berpaling pada ladang kebudayaan yang lain. Padahal "orang lain" tidak akan mampu menyamai secara presisi suara, irama, rupa, dan gaya kita dengan jati diri yang asli. Sebagaimana halnya kita juga tidak bisa meniru secara sempurna berbagai ciri khas kebudayaan orang lain.
Dengan kekayaan warna yang ada di dalam kebudayaan kita, ternyata orang lain tidak banyak mengambil makna dari hal itu seperti yang kita lakukan. Sebagaimana halnya sensasi yang muncul pada diri kita tidak akan pernah muncul pada diri orang lain. Bahkan ketika suatu hal tertentu memapar mereka, maka itu tidak akan pernah memberi dampak dengan bentuk dan karakter yang sama. Dan kondisi yang sebaliknya juga akan terjadi ketika kita menelan mentah-mentah kebudayaan miliki umat lain tanpa terlebih dulu mencerna dan mengunyahnya.
Semua itu dapat terjadi karena kebudayaan bukanlah benda mati yang dapat dibeli dari para saudagar yang berniaga di mana-mana, untuk kemudian dapat kita tenteng ke rumah seperti layaknya sebuah lukisan, foto, CD, atau kaset. Sebagai sebuah wujud yang menjadi tempat bertemunya berbagai elemen temporal dan spasial bagi lingkungan yang ada di sekelilingnya, kebudayaan adalah tempat tumbuh kembang "setiap komponen" yang tidak terpisah. Selain itu, kebudayaan juga adalah sebuah wujud khusus dengan lingkungan yang menjadi tempatnya bertumbuh. Itulah sebabnya, kebudayaan harus dicerap bersama seluruh komponen yang berada di belakangnya, sehingga kita dapat meletakkan setiap komponen yang membentuk serta memasok nutrisi bagi kebudayaan tersebut dengan tepat sesuai posisi hubungan antara satu komponen dengan komponen yang lain.
Hal pertama yang terbersit di dalam benak ketika kita melihat semua itu adalah kesimpulan bahwa kebudayaan adalah sebuah bentuk kehidupan tertentu yang memiliki ciri khas pada umat tertentu; atau, sebuah struktur dari beberapa karakter unik tertentu yang dimiliki oleh individu-individu umat yang bersangkutan. Tidak diragukan lagi bahwa hal pertama yang menarik perhatian dalam analisa ini adalah adanya pengaruh dan saling mempengaruhi antara falsafah kehidupan masyarakat dengan kondisi moral mereka. Ketika falsafah kehidupan menguat karena dibangun oleh setiap individu yang menjadi warga masyarakat, maka moral dan karakter kehidupan mereka juga akan tetap lestari dan menjanjikan masa depan yang cerah.
Sebagaimana halnya dalam kehidupan makhluk-makhluk biologis, satu "individu" –atau satu tubuh dengan berbagai komponennya- dapat menentukan gerak sel untuk mengikuti garis haluan tertentu, sehingga sel-sel yang diarahkan ke tujuan tertentu itu akan melakukan tugas mentransformasikan rancangan umum yang dimiliki "individu" ke masa depan.
Struktur gerakan ini, yang terus berlari seakan ia sedang memikul tanggung jawab yang tiada habisnya, pada satu sisi akan melahirkan sebuah keteraturan tahapan kerja ketika ia berhubungan dengan makhluk yang memiliki kehendak bebas. Di sisi lain, ia akan menerbitkan aliran tes dan percobaan yang muncul dari akal sehat, observasi yang tepat, dan analisa menggunakan perasaan nuraniah.
Metode yang luar biasa ini pasti mampu menyatukan masyarakat dan menyelaraskannya dengan falsafah hidup, karakter jati diri, dan watak sejarah mereka, sehingga masyarakat itu dapat menjadi sebuah masyarakat yang bersikap teguh terhadap masa lalu dan masa depan mereka serta sekaligus selalu bersikap terbuka terhadap akal, pikiran, dan wahyu. Karena kalau tidak, maka ia hanya akan menjadi semacam folklor yang tidak pernah sempurna pertumbuhannya, karena hanya terbentuk dari adat-istiadat, tradisi, dan permainan belaka sehingga tidak akan pernah mampu memuaskan berbagai macam hasrat yang ada di dalam hati nurani manusia, termasuk yang sering dipuja-puja secara berlebihan. Ia hanya akan menjadi tipuan yang terbentuk dari kehampaan dan kebobrokan budaya.
Ya. Memang ada proses menerima dan memberi (take and give) serta saling mempengaruhi yang terus berlanjut di antara berbagai kelompok masyarakat yang bermacam ragamnya dalam semua umat atau peradaban mapan yang tidak lagi mengalami guncangan sosial; atau dalam lingkungan yang di dalamnya terdapat iklim demokrasi yang baik, sikap saling mempengaruhi, serta interaksi yang signifikan dan berkesinambungan antara puncak piramida masyarakat dengan berbagai elemen yang menopangnya. Guru di sekolah, penceramah di kursi, penulis di koran dan majalah, pengamat di layar televisi, sastrawan dengan puisi dan prosanya, pelukis yang mengabadikan penampakan berbagai jenis makhluk –dengan berbagai macam pengertian yang ada- ke lembaran lukisan untuk dipamerkan... mereka semua selalu bergerak dalam konteks saling mempengaruhi dengan masyarakat mereka. Mereka yang berada di atas, dengan posisi mereka sebagai pemberi dan pembuat, selalu mengirim sinyal ke sekeliling mereka secara terus-menerus, yang tujuannya adalah untuk merangsang agar setiap orang yang gemar melontarkan kata-kata mau bergerak. Selain itu mereka juga terus menambah jumlah para pemberi dan pembuat itu dengan mengarahkan kemampuan dan kesiapan mereka menuju kaki langit "imajinasi" profesional dan artistik mereka. Bahkan mereka mengubah setiap orang yang semula menjadi "penerima" –yang jumlah mereka kian berkurang seiring berjalannya waktu- menjadi manusia-manusia yang memiliki wawasan luas.
Ketika para "produsen" menghasilkan pemikiran dan kemudian "mendistribusikannya", para "konsumen" menerima semua yang "didistribusikan" kepada mereka dari puncak piramida dengan pandangan penuh selidik, teliti, dan kritis, untuk kemudian menyampaikan kekeliruan yang dilakukan para "produsen" yang bertengger di puncak piramida masyarakat atau menyampaikan kritik atas hal-hal yang salah menurut pandangan mereka. Mereka akan menekan orang-orang yang berada di atas sembari menyampaikan berbagai solusi yang dapat dijadikan sebagai alternatif.
Dengan melakukan itu, mereka telah mempertegas segala yang mereka inginkan, dan sekaligus berlangsung pula proses kritik terhadap kesalahan yang terjadi di dalam berbagai hal dengan cara mengayaknya lewat alat penyaring sehingga berbagai kekeliruan yang ada dapat hilang berkat proses pengujian dan introspeksi. Proses imbal-balik seperti ini yang terjadi antara berbagai strata dalam masyarakat tidak dapat terjadi kecuali hanya dengan partisipasi aktif mereka semua serta kebersamaan mereka untuk mewarisi kekayaan budaya secara bersama-sama.
Jika suatu umat dengan berbagai kelompok yang bermacam-macam telah berhasil bahu-membahu dan mampu mentransformasikan dirinya menjadi laksana "barisan yang teratur"[2] sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah sang Kebanggaan Alam Semesta Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan telah mampu mencurahkan segenap kekuatan dan energi yang mereka miliki di dalam upaya pembentukan dan harmonisasi bangungan internal, maka segala yang menyusahkan pasti akan berubah menjadi kemudahan. Kalau sudah begitu, maka tentu saja secara alamiah umat yang bersangkutan akan mampu menemukan jalannya sendiri untuk menjadi elemen yang berperan aktif dalam konstelasi hubungan internasional.
Akan tetapi hubungan sosiologis yang berdampak besar bagi tingkat kekuatan yang berjalan seiring dengan budaya sendiri, seluruh pilarnya telah berdiri tegak dan bersijalin dengan kehidupan seluruh lapisan masyarakat hingga menjadi satu dengan karakter dan wataknya... Budaya yang dibangun di atas nilai-nilai akhlak yang menjadi sumber nutrisi dan sumber pernafasannya. Budaya yang disandarkan pada kekuatan agama yang kokoh sehingga mampu melakukan lompatan dengan menjadi sandaran bagi semua bentuk "alienasi". Budaya yang bersandar pada semua imajinasi artistik kita karena ia menjadi tempat perlindungan yang aman baginya di mana pun juga.
Kalau tidak demikian, maka kebudayaan seperti apapun yang tidak memiliki kerangka dan karakteristik yang baik serta tidak berterima di tengah masyarakat dunia, pasti kebudayaan yang mengalami kondisi semacam itu akan selalu rentan dari konflik dan pertikaian antarperancang kebudayaan yang bersangkutan dan antarmurid-murid mereka. Jadi jangan pernah Anda berharap akan dapat mengharapkan kekayaan dan pengayoman darinya!
Terkadang, pertikaian semacam ini –khusunya ketika terjadi pada ranah seni dan moral- akan menyebabkan terjadinya luka yang sulit diobati. Terkadang, penerapan aturan yang terlalu ketat dan berlebihan di dalam ranah seni dan akhlak akan mendominasi serta menjajah emosi dan pikiran masyarakat. Pada tahap selanjutnya hal itu terkadang dapat memerosokkan individu dan masyarakat ke dalam kemelaratan; dan terkadang bentuk otoritarianisme semacam itu akan membuka pintu menuju pengabaian terhadap aturan dan moralitas dalam retorika, serta menodai semuanya dengan kekacauan dan keburukan.
Kita, ketika kita berhadapan dengan urusan kebudayaan, maka alih-alih menyiapkan suasana dan iklim yang tepat demi memuaskan insting dasar manusia dengan berbagai kelezatan fisik dan senda-gurau seperti yang biasa dilakukan oleh mereka yang belum menyadari kemampuan spiritual mereka, yang sepatutnya kita lakukan adalah menambah berbagai aktivitas yang dapat memberi kekuatan dan anti-bodi kepada mereka agar dapat menghadapi berbagai dilema yang muncul, baik di saat sekarang maupun di masa yang akan datang.
Selain itu kita juga harus dapat meletakkan landasan dalam rangka menuntun mereka menuju pola pikir komprehensif yang akan menumbuhkan sikap pada diri mereka untuk selalu memilih yang baik, indah, dan benar. Dengan demikian maka akan terciptalah iklim kondusif yang dapat membuka kesempatan bagi semua individu untuk dapat memilih yang lebih utama dan lebih berguna, berkat adanya arahan antara keterpaksaan dan kebebasan memilih (free will), sehingga mereka akan beralih dari arus utama (main stream) kepada sikap mengandalkan ilmu pengetahuan dan wawasan....
Demikianlah, berkat kesetiaan berpegang pada prinsip yang kita yakini, dan berkat adanya arahan –baik dengan keterpaksaan maupun kebebasan memilih- terhadap struktur sosial masyarakat, maka akan terciptalah sebuah masyarakat yang menjadi pusat pertemuan "moralitas", "intelektualitas", dan "rasa seni" yang ketiganya akan menjadi asupan nutrisi bagi karakter kehidupan kita serta akan menjadi mesin penarik bagi seluruh gerakan dan terobosan yang kita lakukan. Selain itu ketiganya juga akan membuat kita dapat mereguk –secara berturut- semua kenikmatan yang terbit dari kemenangan pada ranah kebaikan, keindahan, dan kebenaran.
Salah satu hal penting lain yang layak disampaikan di sini adalah bagaimana menginterpretasi dan menalar "konsepsi" moral, iman, seni, dan konsep keindahan.
Sesungguhnya, pengungkungan "moral" hanya sebatas penerapan satu-dua prinsip yang ketat; pemahaman bahwa "iman" adalah keyakinan buta yang tidak memberi ruang bagi rasionalitas, observasi, perasaan, dan emosi; interpretasi bahwa "keindahan" adalah menjiplak penampakan sesuatu untuk kemudian dituangkan dalam kanvas dan patung; pemenjaraan "kesenian" dalam sel-sel sempit yang bernama puisi, musik, dan drama; semua itu sebenarnya tidak berarti apa-apa melainkan pembelengguan keindahan dan kebudayaan di sebuah ruang sempit yang akan menjadikannya sebagai sesuatu yang dangkal tapi sekaligus mewah bagi orang-orang tertentu.
Kebangkitan kita yang baru dengan kebudayaan yang kita miliki menuntut adanya para pemilik hati yang digerakkan oleh iman, para arsitek pemikiran yang melanglang buana di masa depan dengan wawasan pemikiran mereka, para jenius yang selalu mengayomi segenap wujud dan realitas dengan imajinasi artistik mereka, orang-orang yang selalu mampu menggunakan kepekaan dan sensitivitas yang mereka miliki untuk menemukan cakrawala baru yang jauh lebih luas dibandingkan yang telah kita miliki sekarang.
Sesungguhnya keterbukaan para perindu keindahan pada cakrawala keindahan baru dengan interpretasi yang juga baru terhadapnya... gairah besar yang layak diapresiasi milik para seniman yang menguasai berbagai macam seni bersama murid-murid mereka yang sungguh-sungguh... senandung para pemilik suara yang mencurahkan segenap kemampuan mereka untuk mengembalikan musik kita kepada ruhnya yang sejati serta kekayaan yang mereka miliki... kerja keras yang dilakukan oleh para penyair dan penulis prosa untuk melewati masa-masa taklid, ketika mereka mulai dapat mencium semerbak aroma sastra...
Semua itu menunjukkan kepada kita seakan-akan bagaikan semburat sinar yang menandakan datangnya fajar sidik dalam perjalan pulang yang kita tempuh menuju jati diri kita sendiri. Meski beberapa saat sebelumnya terlihat fajar kizib, tapi tidak perlu diragukan lagi bahwa pasti kemudian fajar sidik yang akan terbit!
Jika kita mau melewati garis-garis haluan ini, tentulah kebudayaan kita yang kuat, akar moralitas dan spiritualitas kita, dan juga kepribadian yang kita miliki, semuanya akan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan dunia di saat waktu yang tepat telah tiba. Tetapi jika kita tetap dalam keterpurukan yang sudah kita alami di hari kemarin sampai hari ini, yaitu ketika kita terus membiasakan menjadikan kebudayaan asing sebagai sumber budaya kita, dan kita biarkan tradisi taklid merajalela setiap kali kita berpikir, maka umat ini tidak akan pernah pernah mampu menyelamatkan diri dari kehinaan. Kita tidak akan pernah merdeka dari kungkungan orang lain dalam seni puisi, musik, lukis, dan berbagai cabang seni lainnya. Selain itu kita juga tidak akan pernah dapat mewujudkan keberadaan kita sendiri dengan jati diri kita yang sebenarnya, dan kita tidak akan pernah sampai ke tingkat "produsen" dan selalu menjadi "konsumen" di tengah hiruk-pikuk kebudayaan dunia.
Ya. Jika kita tidak segera memulai sekarang juga untuk mendistribusikan kebudayaan kita kepada generasi muda yang sedang bertumbuh, dan jika kita tidak segera menghidupkan semua yang telah kita "distribusikan" ke dalam hati masyarakat kita, maka berarti kita telah memaksa generasi yang lahir setelah kita untuk mengambil alih kesengsaraan hidup yang kita alami saat ini.
Oleh sebab itu, setiap orang yang menguasai masalah ini dan para arsitek pemikiran yang kita miliki, harus diperingatkan akan arti penting mobilisasi massa dengan seruan yang ditujukan kepada semua orang. Tujuannya adalah agar mereka mengubah negeri ini dari yang paling bawah sampai yang paling tinggi menuju upaya untuk membangun kebudayaan kita sendiri, sekolah-sekolah falsafah hidup kita, dan laboratorium-laboratorium perakitan dan analisa logika serta rasionalitas kita. Semua itu harus dilakukan karena kesinambungan jati diri kita akan selalu berjalan seiring dengan kebangkitan jati diri kita itu sendiri.
[1] At-Tirmidzi, al-Janâiz, 34. Abu Daud, al-Adab, 50.
[2] QS ash-Shaff [61]: 4.
- Dibuat oleh