Tempat-Tempat Hening dan Program Membaca
Tanya: Aktivitas yang diliputi oleh kebisingan dan hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari membuat manusia masa kini merasa butuh akan tempat menyepi dan desa yang hening. Tak hanya mereka, hati kaum mukminin juga ingin menggunakan kawasan-kawasan sunyi tersebut demi kehidupan hati dan jiwa mereka. Hal apa saja yang harus dipertimbangkan supaya program yang disusun dapat memberikan hasil yang maksimal nan kamil?[1]
Jawab: Setiap diri kita memiliki tugas dalam kehidupan sosial yang harus ditunaikan. Apalagi jika seseorang yang beriman ingin bermanfaat bagi masyarakat, membimbing mereka menuju cakrawala agung, dan memperdengarkan nilai-nilainya yang mulia ke dalam jiwa umat manusia, maka ia wajib berada di tengah-tengah masyarakat. Ya, seseorang yang benar-benar mengimani Allah dan hari akhir harus berfungsi layaknya kompas kiblat yang selalu menunjukkan letak kiblat kebenaran dan hakikat. Rasulullah pernah bersabda bahwasanya hidup di tengah masyarakat sembari bersabar dengan ujian yang datang dari mereka lebih utama dibandingkan hidup mengasingkan diri (HR Tirmizi, bab kiamat 55)[2]. Oleh karena itu, menurut hemat kami, memilih untuk selalu hidup dalam khalwat dan uzlah sama artinya dengan menghindari kewajiban-kewajiban yang timbul dari kehidupan bermasyarakat. Dengan alasan tersebut, kurasa seseorang yang menghindari kewajiban-kewajiban tersebut telah berdosa meskipun uzlah dilakukan demi alasan supaya bisa meraih kekamilan dan mendapatkan anugerah-anugerah maknawi secara pribadi.
Sayangnya, tinggal di tengah-tengah masyarakat demi cita-cita nan mulia dapat meletakkan kita berhadapan dengan hal-hal yang tidak diinginkan. Demikianlah kondisinya sehingga tanpa disadari langkah kaki kita masuk ke dalam lumpur sehingga sejenis debu ‘umum al balwa[3] pun terpercik ke bagian dekat mata kaki celana kita. Ya, dalam kehidupan masyarakat tanpa disadari mata kita terkotori; kotoran masuk ke dalam pikiran melalui telinga kita; dan sebagian pencemar mungkin telah menodai dunia batin kita.
Mereka yang bersabar dalam menanggung semua hal negatif di tengah masyarakat demi mencapai cita-cita yang luhur memiliki kebutuhan untuk mengasingkan diri sejenak ke tempat yang memiliki udara bersih demi menyucikan diri dari kotoran yang telah mengotori serta menghilangkan noda yang menempelinya. Ia memiliki kebutuhan untuk menghirup oksigen bersih secara maksimal. Demikianlah, terdapat kebutuhan untuk mengisi ulang daya jasmani dan rohani kita. Menurut pendapatku, semua kegiatan muzakarah dan membaca yang ditunaikan demi tujuan tersebut dapat dianggap sebagai salah satu bentuk ibadah.
Namun, pada titik ini terdapat satu hal yang perlu diperhatikan: tempat-tempat hening yang bisa digunakan setelah mengeluarkan kerepotan dan biaya harus dimanfaatkan secara maksimal senti demi senti. Untuk itu, programnya harus diisi dengan kegiatan membaca yang disiplin serta dimeriahkan dengan dengungan suara zikir. Ya, simfoni wirid dan zikir yang bersumber dari kesadaran kolektif nan memenuhi atmosfer bumi dan langit harus diperdengarkan sehingga penduduk alam malakut pun juga tertarik untuk berpartisipasi dan bergabung dalam “paduan suara” ini.
Iklim yang terbuka untuk Spiritualitas
Bacaan Al-Qur’an dan doa-doa yang dibaca teman-teman setiap malam di setiap sudut ruangan pada kamp musim panas yang diselenggarakan di masa lalu betul-betul membuatku tersentuh. Selain itu, pada kamp tersebut mereka berhasil membaca 200-300 halaman buku-buku yang membahas hakikat-hakikat iman. Mereka juga menunaikan beragam topik diskusi. Sarana dan prasarana yang ada di tempat kamp pun sangat sederhana. Misalnya, para peserta tidur di atas tikar. Aku yang memasak dan menyajikan makanannya. Tamu-tamu penting yang datang mengunjungi kamp ini demi melihat situasi dan keadaan tempat kamp berkata: “Sekarang di muka bumi tidak ada tempat yang penuh dengan spiritualitas tinggi seperti ini.” Tahun berikutnya tamu-tamu penting tersebut kembali mengunjungi kamp.
Pada lingkungan yang suci tersebut, di satu sisi kita perlu melakukan muhasabah. Kita harus mengevaluasi kekurangan dalam penunaian pengabdian agama kita. Penilaian harus dilakukan terhadap celah yang terdapat pada posisi kita saat ini dengan posisi pengabdian agama yang harusnya dicapai. Di sisi lain, kita harus meninggalkan hal-hal yang bersifat jasmani, mengasingkan diri dari hal-hal hewani, meninggalkan hal fitrah manusiawi kita, dan mulai melakukan perjalanan dalam orbit kehidupan kalbu dan rohani. Kita coba membuka diri terhadap spiritualisme. Pada titik ini, izinkan aku menyampaikan pemikiranku berikut ini: Dulu aku berpikir untuk meminta teman-teman yang hadir di kamp untuk menunaikan seratus rakaat salat setiap malam. Hanya saja diriku khawatir permintaan ini hanya akan menjadi beban yang tak mampu ditunaikan, sesuatu yang disebut taklifi malayutak. Namun, jika kita menyaksikan kehidupan tokoh-tokoh agung, mereka telah mulai menunaikan 100 rakaat salat setiap hari sedari usia dini. Dari sisi ini, mereka yang memiliki kemampuan hendaknya mencoba menunaikan salat seratus rakaat setiap malam. Waktu-waktu syahdu dalam nuansa atmosfer seperti ini di mana malam-malamnya penuh dengan rahasia ilahi seyogyanya diisi dengan doa-doa, istigfar, wirid, dan zikir.
Karya-Karya yang Menjadi Korban Rutinitas[4] dan Membaca secara Muzakarah
Di sisi lain, demi memanfaatkan dengan maksimal program-program semacam khalwat ini hendaknya ditargetkan supaya dalam sehari bisa menyelesaikan 300 halaman. Apabila target ini bisa diwujudkan, artinya dalam 15 hari terdapat 4500 halaman buku yang berhasil dibaca. Apabila kita bisa melaksanakannya setahun dua kali (dalam artian 30 hari), betapa banyak buku-buku utama yang bisa dikhatamkan.
Selain itu, membaca karya-karya masterpiece ini dengan pendekatan muzakarah, yaitu membandingkannya dengan karya-karya lain, dapat menyingkirkan kemonotonan dan hal-hal yang dapat memicu kebosanan. Realisasi dari rencana ini bergantung pada kesediaan dan dukungan para pesertanya[5]. Dari perspektif ini, maka para peserta yang ditugasi untuk membuat perbandingan buku harus tahu bahwa diperlukan lebih banyak usaha hingga pendekatan dan metode membaca yang lama tersebut betul-betul bisa ditinggalkan. Namun, tak boleh dilupakan bahwa setiap orang memiliki posisi sesuai kadar panduan yang berhasil diinternalisasikan olehnya. Apabila orang-orang yang berada di garis terdepan merasakan keprihatinan mendalam pada urusan ini sehingga hal tersebut mendorongnya untuk tetap mengusahakan diri untuk menerapkannya, maka mereka yang ada di belakang akan mengikuti teladan mereka. Sayangnya, kita telah terperangkap dan diperbudak oleh pemahaman berbahaya yaitu untuk hanya membaca karya-karya berharga ini tanpa usaha untuk memahaminya secara mendalam. Itu terjadi karena ketidakmampuan untuk mengembangkan metode membaca dengan cara perbandingan atau muzakarah. Oleh karenanya, berlian, permata, dan zamrud yang terkandung dalam karya-karya masterpiece akhirnya harus dikorbankan atas nama rutinitas dan keajekan. Kurasa karena itulah para penulis karya-karya masterpiece tersebut tersinggung kepada kita.
Menjaga-Merawat dan Rumah Konservasi bagi Inayat
Sebagai poin terakhir, izinkan diriku menyampaikan hal berikut: mencapai kemurnian dan kejernihan seperti itu di tempat yang sunyi dan tenang, bahkan meski untuk waktu yang sementara, akan menjadi seperti rumah konservasi bagi kehidupan masyarakat. Adalah sebuah fakta bahwa masyarakat kita semenjak menerima Islam untuk yang pertama kalinya tak pernah tercemar separah ini. Jalanan kotor, pasar kotor, halaman tempat ibadah kotor, pun lembaga pendidikannya. Maka dari itu, membersihkan diri di tempat yang bersih, melepaskan diri dari semua kotoran, menyimak kembali apa itu kebersihan, melejit kembali berkat kebersihan, kurasa sangat penting supaya manusia dapat melanjutkan fase kehidupannya di atas garis panduan yang bersih nan suci.
Selain itu, berlindung kepada Allah dengan membaca wirid dan zikir juga merupakan sumber kekuatan rahasia yang akan melindungi manusia. Sebagaimana dinyatakan dalam ayat: "Maka, ingatlah kepada-Ku niscaya Aku pun akan ingat kepadamu (QS. Al-Baqarah, 2: 152)”, jika kita mengingat Allah dengan bertasbih, bertahlil dan bertakbir, maka Dia akan mengingat kita dengan mencurahkan rahmat-Nya khususnya saat kita menghadapi masalah dan kebuntuan. Kita juga dapat memahami ayat tersebut sebagai berikut: "Kembalilah kepada-Ku dalam keadaan tidak berdaya dan miskin, niscaya Aku akan menolongmu dengan kekuatan dan kekuasaan-Ku." Dalam perjanjian semacam kontrak tersebut, tawajuh-tawajuh-Nya memiliki skala anugerah yang besarnya seperti gelombang-golombang di lautan. Maksudnya, di satu sisi Allah jalla jalaluhu menerima perjanjian ini dan di sisi lain seakan berfirman: “Lakukanlah hal-hal berikut untuk-Ku niscaya aku pun akan memenuhi hajat-hajatmu.”
Ringkasnya, setiap orang membutuhkan fase kehidupan isolasi sementara seperti itu untuk membersihkan anggota-anggota tubuhnya seperti mata, telinga, dan lidah dari dosa-dosa, menyucikan hati, dan melakukan pengisian ulang energi spiritualnya. Namun, dalam pertemuan-pertemuan seperti itu, pikiran harus dikunci pada buku-buku bacaan dan hati harus dikunci pada wirid dan zikir. Lisan tidak berbicara kecuali membahas perkara-perkara agung. Di situasi itu, tidak ada kata-kata tak bermakna dan sia-sia yang boleh terucap.
[1] Diterjemahkan dari artikel Asude Mekânlar ve Okuma Programları, https://fgulen.com/tr/eserleri/mefkure-yolculugu/asude-mekanlar-ve-okuma-programlari
[2] المؤمنُ الذي يخالطُ الناسَ ويَصبرُ على أذاهم خيرٌ منَ الذي لا يُخالطُ الناسَ ولا يصبرُ على أذاهمْ
“Seorang mukmin yang bergaul di tengah masyarakat dan bersabar terhadap gangguan mereka, itu lebih baik dari pada seorang mukmin yang tidak bergaul di tengah masyarakat dan tidak bersabar terhadap gangguan mereka” (HR. At Tirmidzi 2507, Al Bukhari dalam Adabul Mufrad 388, Ahmad 5/365).
[3] ‘umum al-balwa adalah bencana umum yang sulit dihindari oleh mukallaf karena bersifat merata dan sering terjadi, sehingga seorang mukallaf sangat membutuhkan untuk mengerjakan perintah Syari’ tidak dengan cara yang sempurna, atau meninggalkan larangan Syari’tidak dengan cara yang sempurna, bahkan membuatnya terpaksa meninggalkan perintah Syari’ dan mengerjakan larangan Syari’. Itu terjadi karena mukallaf mendapatkan kesulitan ketika mengerjakan perintah atau meninggalkan larangan tersebut dengan cara yang sempurna. Umum al-balwa adalah kondisi yang sarat dengan kesukaran, terulangnya kondisi, dan kebutuhan yang tak terelakkan, sehingga menjadi penyebab dispensasi hukum. Memahami ‘umum al-balwa akan membuat seorang cendikia menjadi lebih arif dalam menyimpulkan jawaban hukum tanpa mengabaikan teks-teks syariat beserta maksud-maksudnya.
[4] Sesuatu yang menjadi rutinitas terkadang membuat seseorang kehilangan kesegaran dan jiwa untuk melakoninya.
[5] Pada link berikut para pembaca dapat melihat visualisasi dari metode membaca yang dimaksud penulis dalam artikel ini: https://www.youtube.com/watch?v=e9eWdUYVfaY&t=102s
- Dibuat oleh