Tamkin
Pertanyaan: Tamkin[1], dinyatakan sebagai puncak dalam tasawuf. Apa saja aspek tamkin yang merangkul kehidupan sosial kita?
Jawaban: Kosa kata tamkin tertera pada sebagian ayat Al-Quran dengan corak yang beragam. Misalkan dalam surat Al-Kahfi, dinyatakan untuk Dzulqarnain yang melakukan perjalanan ke timur dan barat, kemudian yang sampai ke Benteng Cina atau tempat Ya’juj dan Ma’juj berada, seperti ini. إِنَّا مَكَّنَّا لَهُ فِي الْأَرْضِ وَآتَيْنَاهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ سَبَبًا “Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu.” (Surat Al-Kahf 18/84). Kita bisa memahami pernyataan “Kami telah memberi kekuasaan,” dalam hal pemberian kedudukan pada dirinya untuk menjadi unsur keseimbangan dalam keselarasan seluruh negeri; sama halnya kita memahaminya dalam bentuk penjelasan tentang Dzulqarnain akan penumpunya yang bakal menginjak secara kokoh ke muka bumi serta keleluasaan, kekuatan dan wewenangnya yang mampu membuat orang lain mendengarkan perkataannya. Oleh karena itu orang yang ada di timur ketika berpergian ke arah timur, orang yang ada dibarat ketika bertolak ke arah barat dan ketika orang-orang melakukan perjalanan ke dunia Ya’juj dan Ma’juj yang mereka kesalkan itu, selalu bersandar kepadanya demi sebuah jalan keluar. Layaknya dalam satu periode, selalu ditopangkannya harapan kepada Kesultanan Agung (Utsmani) karena menjadi unsur keseimbangan. Contohnya ketika suatu hari Francois I datang, berlindung dan bernaung kepadanya dengan ungkapan seperti Tuanku, Sultanku, Bagindaku.. Inilah, hak istimewa sebagai unsur keseimbangan antar seluruh negeri yang diungkapkan dengan bait “mukna” dalam ayatul karimah, telah diberikan kepada Dzulqarnain pada periode itu.
Secara prinsip untuk memahami pembahasan yang lebih dalam, perlu dilihat dalam bentuk yang menyeluruh ke dalam skema berbeda yang berhubungan satu sama lain yang dipaparkan dalam surat Al-Kahfi. Ketika ditinjau dengan perspektif ini, akan terlihat tingkatan yang berbeda tersebut guna pencapaian ke titik yang akan diraih dalam setiap skema yang ada, di satu sisi dengan syarat seyr suluk (perjalanan dalam memperbaiki ahlak). Dalam skema ini sebelumnya akan dibahas tentang periode gua; setelah itu perhatian dialihkan kedalam ujian pemilik kebun akan dunia sambil menjelaskan tentang kondisinya; kemudian dipaparkan sebuah periode lain seperti pertemanan dengan Nabi Khidir. Di akhir sebelum meletakkan titik ke dalam pembahasan dijelaskan tentang ayat-ayat yang mampu membangun pertahanan dan proteksi terhadap Dajjal serta Ya’juj dan Ma’juj. Guna perlindungan dari keburukan Dajjal, Nabi Muhammad SAW pun menyarankan pada hari Jumat untuk membaca ayat pertama dan ke sepuluh terakhir dalam surat ini. Oleh karena itu permasalahan akan “mukna”, setelah melewati persinggahan ini, selepas merasakan proses ini, merupakan sebuah ni’mat yang Allah SWT akan anugerahkan. Yakni pencapain sebuah masyarakat akan kepuasan materi dan spiritual seperti saat kelembaban sampai ke titik embun kemudian menjadi hujan dengan penyisipan awan positif dan negatif, setelah itu mengalir kembali kedalam limpasan tanah, memperuntukkan titik embun tersebut atas nama “mukna” merupakan hal yang sangat penting. Ini semua adalah hal-hal yang masuk kedalam tamkin.
Tamkin Dalam – Tamkin Luar
Sedangkan dalam sebuah ayatul karimah yang terdapat di surat Al-Hajj diungkapkan kepada para Sahabat tentang diperbolehkannya berjihad secara jasmani demi perlindungan harta, kehormatan, harga diri, kemuliaan dan martabat mereka. Ya, atas nama perlawanan terhadap kedzaliman dan penindasan musuh agama yang terikat oleh dendam dan kebencian serta sebagai peringatan di kemudian hari bahwa hal tersebut agar tidak lagi terulang.أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقٰتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا۟ وَإِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ “Diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sungguh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu.” (Surat Al-Hajj. 22/39). Kemudian juga Allah SWT: dengan berfirman
الَّذِينَ إِن مَّكَّنّٰهُمْ فِى الْأَرْضِ
“(Yaitu) orang-orang yang jika Kami berikan kedudukan di bumi, “(Surat Al Hajj. 22/41) diungkapkan tentang pemberian “mukna” kepada mereka di muka bumi. Yakni berfirman akan menjadikan sebuah unsur keseimbangan dalam stabilitas seluruh negeri dan memberikan karunia tamkin kepada mereka. Sahabat Nabi akan melewati dari tempat singgah itu, merasakan penderitaan Mekkah, membangun situs-situs disana saat datang ke Madinah dan dengan itu mereka akan mengatakan “Kita pun ada dalam keselarasan, kita berjanji dengan sesuatu yang telah kita katakan!” Allah SWT berfirman akan memberikan kesempatan kepada mereka di jalan ini dan menganugerahkan tamkin. Hal ini yang kita sebutkan sebagai misal, bahwa tamkin memiliki hubungan dengan kehidupan sosial dan aspek yang merangkul lingkup pengabdian kepada hakikat, berbeda dengan tamkin yang para sofi[2] pahami dan seperti yang lebih sering diungkapkan dalam banyak pertanyaan.
Namun pertimbangan tamkin yang para sofi paparkan dan yang dianggap puncak dalam ilmu tasawuf, tidak berarti telah terpisah secara utuh dari pertimbangan tamkin yang telah disebutkan diatas. Selain itu pertimbangan bahwa masing-masing kedua tamkin memiliki sebuah perbedaan yang pasti terlihat gamblang. Karena dalam pandangan sofi, dunia yang paling besar, ialah alam jiwa manusia, dunia anfusi. Ya, menurut mereka, meski dunia yang ada diluar terlihat lebih besar, alam semesta dalam dunia manusia itu tersembunyi dan jagat raya pun termaktub dalam dunia itu. Tamkin yang lain dari segi ini, jika dibandingkan dengan tamkin yang manusia capai dalam dunia anfusi akan terlihat kecil. Ya, Dzulqarnain, Dawud, Sulaiman terlihat kecil dibandingkan dengannya. Yunus Emre yang mengatakan “Terdapat Sulaiman di dalam jiwa Sulaiman”, pun kemungkinan mengisyaratkan permasalahannya seperti ini.
Permohonan Bukan Kepalsuan
Oleh sebab korelasi yang ada di koridor pembahasan ini, jika mau mari kita membahas sejenak akan pertimbangan tamkin dari segi kehidupan kalbu dan ruh. Para sofi, mengembangkan sebuah pertimbangan tamkin dari sudut pandang hubungan mereka dengan Allah SWT. Maksudnya adalah, seorang salik, sambil melewati beberapa tingkat, dapat menyempurnakan pangkat seyr suluknya. Ya, ia, ketika terbang tinggi menuju Ilahi dengan cakrawala kalbu dan ruhnya, dapat menggunakan kedisiplinan (tahapan) yang berbeda berhubungan dengan ahlak mulia Islam dalam keistikqomahan menuju fanafillah, baqabillah dan maallah. Kedisiplinan ini melihat tugas dalam mi’raj dan naik(uruj)nya manusia masing-masing sebagai tangga. Perumpamaan uruj disini jika diambil dalam bentuk kawsul uruj[3], kawsul nuzul[4] meski memiliki makna yang berbeda, para sofi menggunakannya dalam makna naiknya manusia menuju Allah SWT. Bahkan mereka mengungkapan dengan perumpamaan suud bagi seorang insan yang menyempurnakan urujnya kemudian kembali turun kedalam masyarakat. Ya, kalian dapat meletakkan seratus kedisiplinan agar mampu melewati tingkatan dalam rohani seyr suluk. Namun menurut para dzat yang memiliki kemampuan luhur dalam poin ini dan di waktu yang sama yang menampilkan kehidupan kalbu dan ruh seperti Muhyiddin Ibnul Arabi, Ismail Hakki Bursevi mungkin sebanyak seratus lima puluh. Kini kalian dapat mencapai ke dalam titik tertentu sambil melewati semua tingkatan ini dengan izin dan karunia Allah SWT. Kalian mampu memiliki pertimbangan syuhud dan wahdat begitu mencair kedalam makam fanafillah, baqabillah, maallah. Jiwa kalian mampu menetapkan pertimbangan pencapaian kedalam gaib mutlak, hakikatnya hakikat. Oleh karena itu dalam titik ini, supaya tidak menjerumuskan manusia ke dalam penjelmaan dan kehampaan, sebagai sebuah keharusan tamkin, kita tuturkan bahwa, semua ahwal ini yang dirasakan secara dzauqi[5] dan hali[6], dengan terbukanya mata batin dari segi sensasi dan spesialisasi ialah berhubungan dengan melihat permasalahannya dan merasakannya seperti itu. Dengan kata lain, hal ini yang telah salik rasakan, merupakan akhir dari sebuah kelenyapan (dalam keriangan), kelesahan[7] dan hayman[8].
Sampai ke dalam titik ini, mampu mengantarkan manusia bersamaan dengan pertimbangan kepalsuan yang ada dalam dirinya. Yakni seorang manusia yang sampai ke puncak tanpa ia sadari mereka dapat menganggap dirinya sendiri layaknya burung merak yang memamerkan keindahannya atau burung unta yang berjalan dengan langguk-langguk. Karenanya penting dalam dunia taaqul, bahkan di alam tasawur dan tahayulnya seorang salik untuk tidak masuk kedalam unsur yang dapat menjadi sebab melakukan kepalsuan tersebut. Ya, seorang hamba baik berada dalam tingkatan apa pun, kesadarannya akan penghambaan dihadapan Allah SWT, pijakannya dalam kesehariannya dengan pertimbangan bahwa Allah ialah Mabud Mutlaq, Mahbub Mutlaq dan Maqsud bil istihqaq merupakan hal yang sangat penting dan kondisi ini mengungkapkan akan tamkin. Seorang manusia meski terdapat di puncak harus selalu berada dalam kesadaran penghambaan, seperti yang sebagian mereka lakukan tidak seharusnya mengungkapkan perasaannya dalam bentuk yang tidak pantas untuk diperuntukkan kepada Dzat Yang Maha Agung, tidak masuk ke dalam igauan aneh begitu mengungkapkannya.
Sama seperti pentingnya poin ini yang disebutkan atas nama tamkin, menafsirkan beberapa ungkapkan dzat-dzat luhur seperti Imam As-Suhrawardi, Muhyiddin Ibnu 'Arabi dan Molla Cami yang secara dzahir terlihat bertentangan dengan asas-asas rukun agama sambil mengambil keterangan masing-masing kandungan yang masuk akal pun, mewujudkan sisi penting lain dimensi tamkin. Karena pendekatan seperti ini, akan menyelamatkan manusia dari lubang suudzan akan mereka. Para pembesar yang luhur itu mengatakan ini semua atas dasar kehilangan diri mereka ke dalam perasaan, hal dan kenikmatan. Sedangkan kita bukanlah orang-orang lenyap ke dalam perasaan, hal dan kenikmatan itu. Jangan mengira kita mampu lenyap ke dalam perasaan dan kenikmatan, bahkan kita tidak mampu mengungguli nafsu kita sendiri. Dari segi ini pun, kita harus bertamkin akan semua itu dan berhati-hati untuk tidak jatuh ke dalam lubang suudzan.
Oleh karena itu, baik sampai ke tingkatan apa pun, atau berada dalam puncak mana pun, seseorang harus menginjakkan kakinya dengan kokoh dan selalu berada dalam kesadaran pengabdian. Allah SWT memberitahukan kepada kita di akhir sholat yang merupakan ibadah yang sangat agung, yakni dalam tahiyat yang merupakan titik ibadah kita dalam pencapaian ke jalan miraj dan Allah SWT dengan ungkapan seperti ini : وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ “Saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusannya.” Menurut beberapa ulama jika kita berpikir bahwa permasalahan ini terjadi dalam perjalanan miraj, di tempat tersebut Allah SWT memberikan pandangan akan sebuah penghambaan. Yakni, ketika sampai ke puncaknya seluruh puncak, Nabi Muhammad SAW mengingatkan kembali tentang sebuah pengabdian. Di awal juga ketika difirmankan,
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِي
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui,” ditegaskan akan pengabdian Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu tamkin; berarti selalu berada dalam pemahaman dan kesadaran penghambaan, akan anting yang ada di telinga, kalung yang ada di leher, rantai yang ada di kaki. Maulana Jalaluddin Rumi, mengatakan untuk Nabi Muhammad SAW seperti ini : “Akulah hamba, akulah hamba, akulah hamba! Aku telah menunduk kepada-Mu dalam pengabdian. Para hamba senang ketika dimerdekakan, namun aku merasa bahagia karena menjadi hamba-Mu.” Kita bisa mengatakan seribu kali “Akulah hamba, akulah hamba, akulah hamba” sambil menyanjung Allah SWT. Inilah ungkapan sebuah tamkin, menghirup tamkin dan hal menurut para wali. Ketika masuk kedalam tamkin yang berada dalam kehidupan irsyad dan tablig, itu berarti berupaya untuk memperlihatkan agama penerang Islam kepada kemanusian dengan paras sinarnya, menerangi begitu mendalami dengan contoh yang lisan ungkapkan sambil memaparkan suri tauladan yang sempurna dan mempersembahkan dengan adab dan formula yang satu orang pun tidak akan membantah yang kita katakan, yang tidak ada seorang pun segan untuk menerimanya. Juga dalam waktu yang sama, sangatlah penting atas nama tamkin untuk tidak merasa bahwa hasil akhir yang didapatkan manusia itu datang darinya dan tidak masuk kedalam perilaku seperti kepura-puraan akan pengabdian dan kesungguhan yang ia tunjukkan.
Untuk tidak Jatuh ke dalam Godaan Tamkin (Sifat ahli hakikat)
Ya, seorang manusia dengan sebagian keistimewaannya mampu terjebak ke dalam kepalsuan. Misalkan, sebagai anugerah suci Allah SWT khidmat (pengabdian) yang sangat agung bisa jadi diterapkan di seluruh ujung dunia. Namun meski sebab utama bukanlah kalian, tugas yang indah ini bisa jadi dirujukkan kepada kalian dalam satu bentuk tertentu. Jika memang yang mendapatkan apresiasi dan perhatian yang seperti ini tidak berlebihan dalam memahami kesalahan pahaman ini, insyallah tidak termasuk ke dalam sebuah dosa. Tetapi seorang yang memuji untuk dirinya sendiri, jika ia melihat secara yakin sanjungan ini benar untuknya dan -semoga Allah melindungi- tergoda ke dalam pertimbangan seperti “ini memang pantas bagiku”, itu berarti ia telah kalut dalam nuansa kemenangan. Ya, manusia bisa saja masuk ke dalam godaan begitu terperosok dari lantai permohonan dihadapan apresiasi, sanjungan dan pujian. Oleh karena itu bisa saja jatuh ke dalam godaan tamkin. Contohnya, terbesit pemikiran seperti “Lihatlah apa yang terjadi. Meski Utsmani merupakan negara agung jagat raya satu persepuluhnya pun tidak mampu mereka raih ke tempat yang telah kita capai!” dari benak seorang manusia yang berkhidmat, pertimbangan ini secara gamblang merupakan perwujudan bahwa ruh dan latifah rabbaninya[9] telah ternodai dan pemikiran yang betul betul bertentangan dengan tamkin. Jika datang ke dalam pikiran manusia pertimbangan yang berbahaya ini segera harus tahu untuk mengatakan “Ya Allah ‘Ini bukanlah untukku tak pantas ada padaku/ Apa itu sebab anugerah dan karunia ini untukku? (M. Lutfi) Aku pun tidak memahami akan semua anugerah dan keistimewaan ini. Namun mereka terkadang bisa saja orang-orang besar memasangkan mahkota kepada orang-orang kecil.”
Ya, ketika seluruh keindahan yang tampak perlu disandarkan ke dalam kebesaran Dzat Yang Maha Agung, ia terjerumus ke dalam pemikiran seperti “Ini bagian-Nya, dan ini bagianku, ini bagian-Nya, dan ini bagianku...” sambil bersikap layaknya seseorang yang memisahkan bagian dari ganimah untuk dirinya, mengatakan “kita pun telah bersusah payah hingga bertahan sampai disini, kita pun telah berlarian bekerja keras, melakukan ini dan itu..” merupakan sesuatu yang bertentangan dengan tamkin atas nama orang-orang yang berkhidmat. Kita akan berjihad di jalan Allah dengan sungguh-sungguh, fana fil khidmat, fana fil mafkure dan dengan ungkapan Ustad Said Nursi fana fil ikhwan. Menurut perkataan murid-murid yang berada dalam halkah pelajaran Ustad Bediüzzaman, dia, bahkan ketika jatuh dari gua yang ada di kota Van berteriak “Dakwahku!” Setelah itu layaknya tangan yang tersembunyi, meski mulut gua masih berada jauh di dalam, ia terdorong ke gua yang berada dibawah. Saya rasa ketika malaikat İzrail datang mengambil nyawanya pun ia akan merintih “Dakwahku!”
Semoga Allah SWT melindungi kita dari sebuah sikap ceroboh layaknya menginginkan pujian dengan pengabdian yang kita lakukan. Karena ini, merupakan sikap keteledoran atas nama kehidupan dan gerakan khidmat kita. Dalam poin ini, mengetahui semuanya dari Allah SWT.
Semuanya dari-Mu, wahai Ganiy,
Ya Rabbi aku wajahku kembali kepada-Mu!
Engkaulah yang Maha Awal dan yang Maha Akhir,
Ya Rabbi aku wajahku kembali kepada-Mu!
Ya manusia harus berpikir begitu mengatakan : “Aku layaknya gelembung yang melihat ke arah matahari, yang berada di atas air jika aku menolehkan parasku kepada-Mu aku bersinar, bercahaya. Ketika itulah pancuran sinar matahari termaktub di dalam bola mataku. Sebaliknya ketika aku terkubur dalam kegelapan tak ada yang tertinggal entah itu matahari atau pun pantulannya.” Pertimbangan ini ialah ungkapan sebuah tamkin yang berhubungan dengan khidmat.
Evaluasi
1.Apa saja makna tamkin dari segi “mukna” yang telah dipaparkan dalam pembahasan diatas?
2. Jelaskan pemahaman sikap tamkin yang dimiliki oleh para sofi dan perbedaanya dengan pemahaman yang lain!
3. Ketika manusia sampai kedalam satu titik tertentu, apakah ia dapat terjerumus kedalam kepuasan diri? Jika ia mengapa dan seperti apa? Tamkin seperti apa yang perlu direalisasikan dalam kondisi tersebut?
4. Apa itu kesadaran akan penghambaan dan hubungannya dengan tamkin itu sendiri?
5. Apa yang dimaksud dengan tamkin yang memiliki hubungan dengan kehidupan sosial dan aspek yang merangkul lingkup pengabdian kepada hakikat?
(Diterjemahkan dari artikel “Temkin” dari buku Kırık Testi 11; Yaşatma İdeali)
[1] Tamkin adalah sifat ahli hakikat. Sedangkan Talwin merupakan sifat orang-orang yang memliki tingkah laku tahapan. Seorang hamba yang masih berjalan sepanjang jalan menuju Allah, maka dialah pemilik talwin. Sebab, dalam perjalanannya masih menjumpai tahap demi tahap, berpindah dari satu predikat ke predikat lain, keluar dari terminal ke persimpangan jalan. Tetapi jika telah sampai, mereka akan mencapai ketenangan (tamakkun). (Penerj.)
[2] Sofi, seseorang yang ahli akan Tasawuf falsafi. (Penerj.)
[3] Kembali naik ke dalam tingkatan. (Penerj.)
[4] Turunnya eksistensi ke alam jasmani. (Penerj.)
[5] Citarasa ruhaniah. (Penerj.)
[6] Secara bahasa, hal berarti keadaan sesuatu (keadaan rohani). Menurut Syeikh Abu Nashr as-Sarraj, haladalah sesuatu yang terjadi secara mendadak yang bertempat pada hati nurani dan tidak mampu bertahan lama. Sedangkan menurut al-Ghazali, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata. (Penerj.)
[7] Dalam bahasa arab bermakna membuat sesuatu bergerak, tinggal dalam kebimbangan, menjadi sedih. Dalam istilah tasawuf, memiliki makna bergeraknya orang yang mencintai menuju yang dicintai dengan kebahagiaan. (Penerj.)
[8] Heyman memiliki makna kegilaan atau cinta buta oleh karena cinta itu sendiri, sama seperti yang terbakar begitu meminum dan yang tidak dapat tertipu dengan satu jenis air. (Penerj.)
[9] Perasaan halus yang terhubung ke dalam kalbu manusia dan merupakan sultan dari seluruh perasaan. (Penerj.)
- Dibuat oleh