Silaturahmi
Pertanyaan: Al Quran dalam surat ar Ra’d ayat 21 menjelaskan bahwasanya salah satu sifat para pemilik akal (ulul albab) adalah وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا اَمَرَ اللّٰهُ بِهِ اَنْ يُوصَل “Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan”. Apa yang dimaksud dengan istilah sila dalam kalam Ilahi tersebut? [1]
Jawaban: Pada ayat-ayat yang dibahas terdapat lima sifat ulul albab yang menjadi perhatian utama. Sifat pertama, dalam kalimat اَلَّذِينَ يُوفُونَ بِعَهْدِ اللّٰهِ ((yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah) disampaikan bahwasanya mereka memenuhi apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Ayat ini merangkum pemenuhan janji mereka kepada Allah untuk beriman, baik di alam ruh maupun dalam hubungan antar manusia. Setelah ditahbiskannya sisi positif dari pemenuhan janji, lewat pernyataan وَلَا يَنْقُضُونَ الْمِيثَاقَ (dan tidak merusak perjanjian) disampaikan juga sisi negatif dari pembahasan ini serta dijelaskan bahwasanya mereka tidak akan merusak janji yang sudah pernah mereka berikan.
Kemudian lewat pernyataan وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا اَمَرَ اللّٰهُ بِهِ اَنْ يُوصَلَ (Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan) disampaikan bahwasanya mereka menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan memperhatikan hal-hal yang diperintahkan Allah untuk diperhatikan.
Lalu ungkapan وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ (dan mereka takut kepada Tuhannya) menyampaikan bahwasanya para ulul albab memiliki rasa khasyah (rasa takut yang bercampur dengan pengagungan kepada Allah subhanahu wa ta'ala) sepanjang hidupnya; bagaimana ia senantiasa berada dalam kedisiplinan beribadah dan membungkuk di hadapan Allah subhanahu wa ta'ala amat kentara dibahas dalam ayat ini. Khasyah adalah ungkapan penghormatan dari hati terdalam kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Ia merupakan ungkapan bergetarnya hati di hadapan-Nya. Khusyuk juga berarti membungkuk bagaikan tongkat di hadapan keagungan dan ketinggian-Nya. Kepemilikan rasa khusyuk dan khasyah dalam diri seseorang merupakan sifat yang berhubungan dengan kadar marifatullahnya. Ayat إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ menyampaikan hakikat itu:”Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.”
Kemudian ayatnya berlanjut: وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ (dan takut kepada hisab yang buruk, ar Ra’d ayat 21). Mereka khawatir, takut, dan gemetar ketika mengingat hasil hisab yang buruk.
Perintah Ilahi yang harus dihidupkan
Sifat-sifat ulul albab yang disebut di dalam ayat sebenarnya tidak terbatas pada poin-poin itu saja. Terdapat sifat-sifat lain yang turut dibahas. Akan tetapi, karena yang dibahas di dalam pertanyaan hanya terbatas pada pembahasan “sila” saja, maka mari kita bahas poin itu lebih mendalam lagi.
Secara harfiah, kata sila berarti menyatukan. Pada literatur Islam, sila digunakan untuk mendeskripsikan usaha menjaga ikatan kemanusiaan, praktik kebajikan, pengawasan, dan secara khusus melanggengkan kehangatan hubungan kekeluargaan. Oleh karena dalam pembahasan sebelumnya terdapat pengkajian terkait dipenuhi atau tidaknya janji-janji, di sini makna pertama yang dapat dipahami dari segala sesuatu yang diperintahkan untuk dikawal dan disatukan adalah dipegangnya janji dan terjaganya kesepakatan. Selain itu, makna-makna seperti membangun hubungan tak terputus dengan Allah subhanahu wa ta'ala, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan perintah-perintah agama juga masuk dalam cakupan ayat tersebut. Rukun Islam yang berasal dari prinsip-prinsip iman, menaati dan menunaikan segala perintah mulai dari disiplin-disiplin dasar agama hingga hukum-hukum furu’ dapat kita pandang sebagai bagian dari mengerjakan amanat kata sila. Secara singkat dapat dikatakan terdapat perintah untuk mengikatkan diri kepada agama dan hukum-hukum yang terdapat di dalamnya.
Dalam makna yang lebih khusus, sila yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah silaturahim, yaitu menjaga ikatan kekeluargaan Pada dunia saat ini di mana manusia saling terputus hubungannya satu sama lain, silaturahmi memiliki posisi yang sangat penting. Sayangnya umat manusia yang merupakan dahan, ranting, daun, dan buah yang berasal dari pohon yang sama telah terpisah satu sama lain. Anak-anak tidak hanya melalaikan tugas dan tanggung jawabnya kepada kaum kerabat, bahkan mereka juga terputus hubungannya dari ayah-ibunya. Mereka tidak mengenal sebagian besar sanak saudara serta anggota keluarga lainnya. Mereka berada dalam keadaan lupa akan tanggung jawabnya kepada sanak saudaranya. Oleh karena masyarakat telah terputus dari nilai-nilainya yang mulia dan mengalami keterasingan yang amat serius, seberapa banyaknya pemusatan perbaikan yang dilakukan, usaha itu tetap dapat dianggap masih sedikit.
Padahal jika dilihat di Al Quran, terdapat banyak ayat yang membahas topik hak orang tua dan ikatan kekeluargaan dengan penuh kesensitifan. Misalnya ayat berikut:
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu (QS An Nisa:36). Pada ayat tersebut, setelah Allah subhanahu wa ta'ala memberi perintah untuk beribadah kepada-Nya, Dia melanjutkan perintah-Nya untuk memperlakukan kedua orang tua serta sanak saudara dengan baik.
Oleh sebab itu, seorang mukmin seharusnya memiliki perasaan sila yang teramat serius kepada kerabat dan familinya. Yang masuk kategori pertama adalah ayah dan ibu, membentang hingga kaum kerabat terjauh, mereka tidak boleh kekurangan silaturahmi. Segera setelah membahas posisi manusia dihadapan-Nya, Allah subhanahu wa ta'ala menjelaskan posisi manusia dan tanggung jawabnya kepada ayah dan ibu, karib kerabat, kemudian hak-hak manusia lain yang berhubungan dengannya, dan memerintahkan kita untuk menunaikannya. Batu-batuan yang tak memiliki kesadaran sekalipun ketika disusun dapat membentuk kubah yang kokoh. Begitu juga manusia dalam kehidupan sosial dimulai dari lingkaran terdekatnya, apabila mereka bergotong royong dan saling mendukung satu sama lain baik secara materi maupun maknawi, maka mereka tidak akan bisa dikalahkan dan tidak akan bisa dicerai-beraikan.
Hizmet Tidak Boleh Menghalangi Silaturahmi
Terkadang di benak seseorang muncul pemikiran syaithoniah seperti berikut: ”Bagaimanapun, saya sedang berhizmet. Saya sedang mengemban tugas suci yaitu ilayi kalimatullah (meninggikan kalimat Allah). Ketika saya sedang mengemban tugas penting seperti ini, hubungan dengan ayah ibu ataupun keluarga lainnya tidak terlalu dijaga pun tidak mengapa. Dengan demikian, seseorang pun menjadi acuh dalam menjaga hubungan kekeluargaan. Bagaimana pun, pemikiran seperti ini tidak dapat dibenarkan dengan logika Al-Quran. Topik persoalan yang mendapatkan fokus perhatian penting dalam Al-Quran dan Sunnah tidak boleh diabaikan dan dikesampingkan. Apabila Allah subhanahu wa ta'ala di dalam Kitab-Nya yang agung telah memerintahkan agar hak ini dijaga dengan baik, maka bagi ia telah menjadi satu kewajiban yang penting dalam kehidupan beragama seorang mukmin. Tidak ada seorang pun yang memiliki wewenang untuk mengubah hukum-hukum Allah subhanahu wa ta'ala. Oleh karena itu, tugas bagi seorang mukmin adalah mengunjunginya, mencium tangannya sesuai keadaan yang berlaku, meminta doa dari mereka, dan jika dibutuhkan kita juga harus membantu memenuhi kebutuhannya.
Di satu sisi tidak memberi jeda dalam pelaksanaan tugas-tugas hizmet, tetapi di sisi lain memenuhi hak ayah ibu serta anggota keluarga lainnya, kedua hal ini sangatlah mungkin untuk dikerjakan secara bersamaan. Satu sama lain tidak saling menghalangi. Di satu sisi kita harus berhizmet kepada agama islam guna meraih rida Ilahi, di sisi lain sekali lagi demi mendapatkan cinta dari-Nya, kita juga tidak boleh mengabaikan rida dari ayah-ibu, kakek-nenek, serta paman-bibi kita.
Bahkan dalam rangka meraih keberhasilan untuk bisa masuk ke dalam hati orang lain, silaturahmi dapat menjadi sarana penting agar bisa mencapainya. Dalam rangka menjaga hubungan supaya tetap erat dengan keluarga dan kerabat, kita dapat senantiasa mengabari kondisi baik kita dan perasaan kita kepada mereka masih sama. Dengan demikian, berkat izin dan inayat dari Allah subhanahu wa ta'ala kunjungan-kunjungan kita akan menjadi lebih penuh berkah, ia akan menjadi satu cabang yang membuahkan 700 bulir benih. Tanpa kata-kata sekalipun, sikap dan perilaku kita sudah dapat memberikan pesan kepada mereka. Dengannya kita bisa menjadi teladan. Sebagaimana yang sering kami sampaikan: “tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan dengan keteladanan dan representasi yang baik”
Terlebih lagi dengan kemajuan alat telekomunikasi di masa ini, maka hal itu mempermudah kita untuk sekedar menanyakan kabar dan mengambil hati mereka. Meskipun posisi kita sedang jauh dan tidak bisa mengunjungi mereka di setiap waktu, berkat sarana seperti telepon dan internet, maka kita pun bisa menunaikan tugas kita dalam menyambung silaturahmi. Kita bisa berbicara dengan mereka baik dengan panggilan suara ataupun dengan panggilan video, kita bisa menyampaikan kerinduan dan cinta kita kepada mereka, serta mengabari kondisi terakhir kita demi bisa membahagiakan hati mereka.
Mengunjungi Mereka yang Berhenti Mengunjungi Kita
Saya ingin membahas satu hal lagi. Pemutusan hubungan dengan kita yang mungkin dilakukan oleh sebagian kerabat tidak boleh menjadi alasan bagi kita untuk tidak mengerjakan tugas menyambung silaturahmi ini. Bahkan dalam beberapa hadis sahih disampaikan bahwasanya menyambung tali silaturahmi kepada mereka yang memutus hubungannya dengan kita adalah suatu amal perbuatan yang penuh fadhilah (HR Bukhari, Bab Adab, No.15; Musnad Imam Ahmad, 24:383).
Seandainya saja setiap orang menunaikan kewajiban penting ini dengan baik! Seandainya setiap diri kita tidak lupa menelepon kerabat, pergi mengunjungi mereka, mencium tangan anggota keluarga yang dituakan, dan menyayangi anggota keluarga yang lebih muda. Bagaimanapun juga, sebagaimana kami bahas di awal dewasa ini terjadi kerenggangan serius bahkan di antara anggota keluarga terdekat sekalipun. Oleh sebab itu, meski mereka tidak pernah mengunjungi kita sekalipun, kita harus tetap mengunjungi mereka; walau mereka tidak pernah menanyakan kabar, kita tetap harus menelepon dan memberikan perhatian kepada mereka. Sebagaimana disampaikan dalam sebuah pepatah: “berbuat baik kepada orang yang baik adalah sikap orang biasa; tetapi berbuat baik kepada orang yang tidak baik kepada kita adalah sikap kesatria”.
Semua orang akan membalas silaturahmi. Semua orang akan membuat kunjungan balasan. Membalas perbuatan baik orang lain dengan kebaikan adalah pekerjaan yang mudah. Ketika ia saling berbalas, maka kebaikan itu akan lebih mudah untuk mengerjakannya. Ini semacam jual beli. Dua belah pihak akan meraih keuntungan. Akan tetapi, ketika salah satu pihak tidak melakukan kewajibannya, maka melanjutkan kebaikan dan kemurahan hati ini tidak akan mudah. Apabila seseorang tetap mengerjakan kunjungan-kunjungan meskipun kebaikannya itu tidak dibalas dengan semestinya, itulah definisi silaturahmi yang sejati. Apabila silaturahmi dibalas dengan silaturahmi, maka akan ditulis sepuluh pahala atasnya; Namun, apabila kunjungan tetap dikerjakan meskipun tidak dibalas dengan semestinya, maka silaturahmi yang demikian mungkin akan diberi ganjaran seratus pahala. Hal ini disebabkan sikap melanjutkan hubungan kepada mereka yang memutus hubungannya dengan kita adalah sesuatu yang berat bagi nafsu manusia. Apabila seseorang tetap menunaikan tugas menyambung silaturahmi demi meraih rida Allah subhanahu wa ta'ala apapun kondisinya tanpa perlu merasa tersinggung, maka tidak ada keraguan lagi bahwa perbuatan tersebut lebih diterima di sisi Allah.
Ada yang lebih parah lagi, bisa saja telepon yang kita angkat ditutup mentah-mentah, bisa saja kita diusir dari pintu rumahnya, atau bisa juga kata-kata yang kurang baik dilontarkan kepada kita. Bahkan kartu dan pesan ucapan selamat pada hari raya ataupun hari spesial lain yang kita kirim tidak dibalas. Terhadap semua hal yang serupa dengannya, jangan sampai kita tersinggung ataupun marah. Sebaliknya, melalui beragam jalan dan metode serta dengan mengembangkan perlakuan-perlakuan tertentu, kita harus mencari cara untuk melembutkan hati lawan bicara kita tersebut. Kita harus mengunjungi mereka meskipun mereka tidak mengunjungi kita; kita tetap harus menjamu mereka meskipun mereka tidak pernah menjamu kita; kita tetap harus menghubungi mereka meskipun mereka tidak pernah menghubungi kita. Kita harus membalas keburukan dengan kebaikan. Demikian juga kekasaran, kita harus membalasnya dengan kelembutan.
Itulah karakteristik akhlak dari seorang mukmin. Inilah yang disebut sebagai sikap kesatria. Inilah jalannya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
[1] Artikel ini disarikan dari ceramah pada tanggal 27 Desember 2007 dan 10 Juli 2012. Diterjemahkan dari artikel: https://www.fgulen.com/tr/eserleri/kirik-testi/sila-i-rahim
- Dibuat oleh