Qana’ah dan Taswif
Pertanyaan: Apa makna qana’ah[1]terhadap dunia yang kita miliki yang bisa dipahami dalam perspektif hidup hemat? Apakah Anda bisa memberikan penjelasan lebih terperinci terkait dengan qana’ah jika dilihat dari sudut pandang taswif[2]?
Jawaban : Qana’ah bisa diartikan dengan menghindari sikap israf dengan hidup secara hemat dan seimbang, membeli sesuatu sesuai dengan kebutuhan dan menggunakan sesuatu dalam ukuran kebutuhan yang akan digunakan pula. Dengan kata lain, qana’ah -seperti yang diutarakan dalam Al-Quran dengan gaya bahasa yang wajiz :
وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi!”- adalah menggunakan segala fasilitas untuk pencapaian akhirat, pada saat yang pun dengan tidak melupakan hal-hal duniawi di dalam ruang lingkup yang dihalalkan.
Qana’ah merupakan sebab keberkahan. Oleh karena itu manusia yang qana’ah akan terselamatkan dari perihal meminta-minta, mengemis dan penghinaan diri. Di sisi lain pula, manusia tersebut akan menjadi manivestasi berkah Ilahiah.
Ustad Bediuzzaman Said Nursi ketika menjelaskan pembahasan ini juga mengemukakan permisalan dari kehidupannya sendiri. Seperti ketika beliau menceritakan satu oka[3] madu yang beliau makan selama tiga bulan, meski sudah diberikan pula kepada murid-muridnya tetapi madu tersebut tidak habis. Tuan Hulusi yang merupakan salah satu murid Ustad yang paling luhur, mengambil madu yang tersisa setelah Sang Ustadz menghadap Ilahi. Pada tahun 1986 ketika saya (Fethullah Gulen Hoca Efendi) mengunjungi beliau, ia menyuguhkan dan menjamu saya dengan satu sendok madu tersebut seraya berkata, “Ini, adalah madu sisa dari Ustad Said Nursi”.
Ya, karena qana’ah adalah sebab munculnya keberkahan. Kalian dapat mengambil/menggunakan sesuatu, namun hal tersebut -dengan izin Allah- akan tersisa bahkan seakan tak berkurang dengan cara yang kalian tidak ketahui.
Tetapi yang ingin dijelaskan disini lebih condong pada pemahaman qana’ah dalam makna yang tidak terlalu berlebihan terhadap pekerjaan duniawi, tidak memikirkannya agar pikiran tidak terkotori olehnya. Dengan perumpamaan yang berbeda, seorang wali kutub lain menuturkan “Allah bes baki heves” atau
حَسْبُنَا اللّٰهُ
diartikan bahwa cukup lah Allah bagiku. Artinya bergerak dengan pemikiran bahwa Allah telah mencukupkan kebutuhan kita sesuai dengan kehendakNya, sehingga segala sesuatu selain Allah, keberadaaan atau ketiadaannya bukanlah sebuah masalah’.
Namun jangan sampai salah paham. Melihat sesuatu dengan kaca mata sebab-akibat itu berbeda dengan memahami hal tersebut sebagai wujud karunia Allah. Karena Allah SWT terkadang menganugerahkan suatu nikmat, terkadang juga mencegahnya. Tergantung pada hikmah yang tersembunyi dari dua peristiwa tersebut. Kelapangan hati seseorang manusia dalam menyikapi dua kondisi yang berbeda tersebut, merupakan ungkapan sebuah qana’ah.
Disamping berqana’ah dengan Dzat Ilahi, yang kita akui sebagai salah satu wasilah untuk mencapai tujuan tertinggi, berqana’ah terhadap nubuah Nabi Muhammad SAW dan agama Islam merupakan suatu hal yang sangat penting. Seperti yang kalian ketahui salah satu dari doa yang kita baca ketika pagi dan malam ialah doa;
رَضِينَا بِاللهِ رَبًّا وَبِاْلإِسْلاَمِ دِينـــــاً وَبِمُحَمَّدٍ رَسُـــولاً
Aku ridha Allah sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku dan Muhammad sebagai Rasulku.”
Taswif
Terdapat dalih yang diarahkan untuk menjunjung perasaan, pemikiran dan pertimbangan, yang berlandaskan pada qana’ah. Taswif yang dituturkan dalam pertanyaan di atas merupakan salah satu dari dalih ini. Taswif yang merupakan kosa kata bahasa Arab, berasal dari preposisi سوف sawfa. Huruf س yang terdapat di depan fiil mudhari menunjukkan masa depan yang dekat, sedangkan سوف (sawfa) sebagai antonim menunjukkan masa depan yang jauh. Yakni سوف yang terdapat di depan fiil mudhari, mengungkapkan bahwa fiil tersebut akan terwujud dalam masa depan yang jauh. Oleh karena itu taswif, bukan menunjukkan ambisi dari sisi agar sesuatu segera terwujud.
Namun taswif adalah suatu gerak pemikiran bahwa, ‘jika tidak hari ini, mungkin akan terwujud hari esok. Jika tidak hari esok, mungkin lusa, jika tidak lusa mungkin esok lusa.” Dengan ungkapan yang lain, berarti bersamaan dengan menjunjung segala sebab yang merupakan tirai, tidak menghubungkan permasalahannya ke dalam sebab akibat secara utuh. Karena ketika kalian menghubungkan permasalahannya dan menyukainya, kalian akan masuk kedalam hasrat dan oleh karena itu juga, kalian telah memaparkan ambisi terhadap takdir Ilahi. Yang mana kalian akan menancapkan mata kalian ke dalam hasil sebab-akibat dan berkerja keras sebisa mungkin untuk mewujudkan hal tersebut. Kemudian dengan ketamakan dan ambisi ini, seperti yang banyak terlihat di masa sekarang, kalian akan masuk pada spekulasi yang beragam, dicari jalan untuk menghisapnya dengan puas dan dilakukannya hal-hal haram yang lain.
Sesungguhnya qana’ah mampu menyelamatkan manusia dari sikap minta-meminta, menjadikannya cukup dan mempertahankan kecukupannya tanpa harus menatap harta orang lain dengan penuh perhatian. Secara prinsip inilah taswif yang kita maksud. Seperti yang Ustad Said Nursi isyaratkan dalam Hakikat Çekirdekleri (Intısari Hakikat), Ada seseorang ketika nafsunya menginginkan suatu makanan, ia segera mengumpulkan uang yang dimilikinya saat itu dalam suatu wadah, kemudian ia berkata ‘sanki yedim’ (sepertinya saya sudah memakannya). Padahal dia sama sekali tidak pernah membeli makanan tersebut. Akhirnya, hasil dari uang yang dikumpulkan tersebut, dibangunlah sebuah masjid yang kini dinamai dengan Masjid Sanki Yedim.
Ketika sesuatu datang ke pemikiran kalian atas nama kepuasan lidah, kalian juga bisa mencukupinya dengan beberapa gigitan dan tetesan. Karena setelah masuk ke dalam pangkal tenggorokan, baklava dan börek[4] tidak berbeda dengan bawang bombay dan bawang putih. Itu berarti bahwa baklava dan börek, dari sisi kelezatan yang dihasilkan dalam kekuatan perasa diantara mulut, lidah dan bibir, telah sedikit membohongi pikiran kita. Karena itu mari kita juga membohonginya. Mari kita memutar balik sebagian kecil yang kita ambil ke dalam mulut kita dan kita katakan “inilah bagianmu.”
“Sebuah Villa untuk Cucu-cucuku”
Seorang manusia bisa jadi memiliki beberapa permintaan dan keinginan dalam hal-hal duniawi . Khususnya kebiasaan serta keinginan dan permintaan yang tidak dapat dihalangi. Pemikiran dan perasaaan semacam ini akan tumbuh besar dan berkembang, sehingga dengan berjalannya waktu akan sampai pada kondisi yang sukar untuk dikendalikan. Misalnya, kita melihat rumah-rumah musim panas milik orang lain di tepian sungai yang airnya mengalir dengan suara yang menenangkan di dalam hutan. Ya, bisa jadi skema ini menjadi sebuah colekan dalam hati kita dan dapat memicu permintaan yang sama pada diri kita. Kita mulai mengatakan dari dalam hati dengan menjadikanya sebuah kebiasaan dan ketergantungan, ”Seandainya aku pun memiliki villa musim panas seperti ini.” Bahkan tidak cukup dengan ini, “Sama seperti pentingnya kehidupanku, kehidupan anak-anakku juga penting. Aku pun ingin membuatkan rumah untuk mereka. Setelahnya akan datang cucu-cucuku, aku juga harus melakukan persiapan untuk mereka”.
Ketika itu juga kita perlu mengarahkannya pada taswif. Yakni kita harus menghubungkan permasalahan ini pada ni’mat yang Allah SWT akan anugerahkan di akhirat kelak ketika kita qana’ah dengan nikmat yang ada. Insyallah hasil akhir qana’ah tersebut, Allah SWT akan memberikan kepada kita karunia perumahan yang mengalir dibawahnya sungai di akhirat nanti.
Akan tetapi jika kita mengarahkannya pada peluang yang ada di dunia dan berpikir untuk menggunakannya disini secara utuh, kita akan terkena tamparan ayat أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهَا Yakni di akhirat akan dikatakan kepada kita “Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya, kamu telah menghabiskan begitu membuangnya dengan sia-sia ni’mat indah dan memuaskan itu, yang Allah SWT berikan, kamu telah menghabiskan hakmu di dunia dan tidak meninggalkan sesuatu pun di akhirat.”
Abu Dzar Al-Ghifari yang berjalan dengan pertimbangan dan kekhawatiran ini, jika ada makanan hari ini dia tidak akan memikirkan hari esok. Umar Ibnu Abdul Aziz meskipun menjadi seorang khalifah tidak pernah sama sekali merubah gaya hidupnya. Beliau hanya makan dengan sepotong roti yang dicelupkan pada minyak zaitun, makan dua kali sehari dan melewati usianya dalam keistiqamahan ini. Bisa dikatakan bahwa, pria bertubuh tinggi itu yang memaparkan kebaikan dalam bentuk yang akan menandingi secara seimbang semua keburukan Dinasti Umawi, seorang mujaddid agung yang berhasil mengubah pengharapan panjang[5] manusia masa itu, merubah permohonan dan hawa nafsu yang tiada akhirnya yang muncul dari kelalaian akan keabadian[6], merupakan rupa yang begitu luhur. Individu itu yang melakukan tugas yang tidak dapat dilakukan dalam dua ratus lima puluh tahun, ia lakukan dalam kurun dua tahun. Melukiskan kedalam sejarah masa kekhalifahannya selama dua setengah tahun sebagai periode emas. Al-Quran dan Sunnah menunjukan cakrawala yang seperti ini kepada kita. Oleh karena itu, yang layak kita lakukan ialah menjalankan sebuah kehidupan dengan pertimbangan taswif tanpa harus mengatakan, “pokoknya semuanya harus kita lakukan hari ini.”
Namun jangan sampai salah paham, mari kita bekerja.. mari kita mendapatkan keuntungan.. Namun ini semua di satu sisi untuk generasi yang akan datang, atas nama kesejahteraan yang ada di masa mendatang sebuah bangsa. Ketika memiliki tujuan agung seperti ini, menghabiskan sesuatu yang Allah SWT anugerahkan disini, tapi kita masih menghubungkan permasalahannya dalam nafsu, badan, jasmani dan hewani kita secara utuh, itu berarti di satu sisi menghukum diri kita kedalam kealpaan atas nama akhirat.
Kondisi yang Boleh Berambisi
Sikap qana’ah, di satu sisi diartikan meresa cukup terhadap urusan duniawi, di sisi lain juga berarti menunjukan ambisi yang sungguh-sungguh untuk mendapatkan ridha Allah SWT. Jika ada ruang lingkup ambisi yang diperbolehkan, itu adalah ambisi untuk mendapatkan ridha Allah SWT dan menyiarkan Nama Agung Allah dalam ranah usaha kita sebagai manusia. Ya, jika lahir kesempatan mengenalkan kepada semua orang di muka bumi ini hakikat uluhiyah sesuai dengan esensi hakikat tugasnya, mendapatkan kesempatan memberikan rasa cinta Nabi Muhammad SAW kepada semua orang, mengumumkan dengan intisari serta keindahan Al-Quran dan Islam secara nyata, kita harus mengatakan dengan permohonan yang tanpa lelah dalam perihal i'laa-i Kalimatillah dan irsyad, “Apakah ada sebuah tangga agar kita bisa sampai ke langit?”. Ya, bahkan dalam kondisi yang seperti ini pun kita harus berada dalam pencarian, “Apakah ada cara untuk memperdengarkan suara kita sampai ke langit, sehingga dakwah ini bisa didengar oleh kepada para ifrit, jin dan seytan?” Sebanyak apapun usaha yang dijalankan dalam keistiqamahan untuk mencapai tujuan ini, kita harus memiliki ambisi yang sungguh-sungguh seperti ini dalam proses usaha meski hal itu hanya sebuah wasilah, atau sebagai sebuah sebab saja. Sudah pasti bahwa memutuskan apa yang dijelaskan, itu berhubungan dengan Allah SWT. Sedangkan tugas yang ada pada diri kita adalah harus menunaikan tugas ini dengan permohonan dan ambisi yang benar-benar matang. Sedangkan menentukan hasilnya ialah berhubungan dengan Allah SWT seperti yang difirmankan dalam ayatul karimah, إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.”
Ketika masuk kedalam ridha Allah SWT, hal itu, merupakan perihal yang akan dibuktikan ambisinya dengan tangannya sendiri. Seperti yang terdapat dalam doa, اَللّٰهُمَّ عَفْوَكَ وَعَافِيـَتَكَ وَرِضَاكَ وَتَوَجُّهَكَ وَنَفَحَاتِكَ وَأُنْسَكَ وَقُرْبَكَ وَمَحَبَّـتَـكَ وَمَعِيَّـتَكَ وَحِفْظَكَ وَحِرْزَكَ وَكِلاَئَـتَكَ وَنُصْرَتَكَ وَوِقَايَتَكَ وَحِمَايَتَكَ وَعِنَايَتَكَ “Ya Allah! Aku memohon pengampunan luhur-Mu, nikmat kesehatan-Mu, kebahagiaan-Mu, anjungan-Mu, hembusan Ilahi-Mu, pertemanan-Mu, kedekatan-Mu, muhabbah dalam bentuk yang sesuai dengan keagungan-Mu, kebersamaan-Mu, perlindungan dan penjagaan-Mu, bimbingan-Mu begitu perlindungan-Mu, nasib kemenangan dengan bantuan-Mu, pengawasan begitu menaungi dari diri-Mu!” Ini adalah permohonan yang seharusnya diminta secara sungguh-sungguh dari Allah SWT. Sedangkan hal-hal yang diinginkan di luar ini semua merupakan sesuatu yang fana. Karena itu semua terikat dengan kehidupan manusia. Ketika kehidupan kalian berakhir itu semua pun akan berakhir. Namun keindahan yang seperti itu pun harus kita rangkul supaya tidak berakhir, menguning, layu dan meninggalkan kalian. Persahabatan yang ada dengan diri kalian, agar tetap berlanjut dengan penuh rasa cinta. Dari sisi inilah sebaiknya menunjukkan sebuah ambisi yang tak mengenal rasa puas akan ridha Allah dan kebersamaan dengan Allah.
Ustad Bediuzzaman Said Nursi, “Kalau saja Imam Rabbani Syaikh Ahmad al-Faruqi hari ini masih hidup,” di satu tempat mengungkapkan bahwa ia akan pergi mengunjunginya meski harus memikul segala gangguan dan bahaya, jika memang terdapat panggilan untuk mengunjunginya. Meskipun seperti itu mengapa kita tidak terburu-buru untuk menengok Nabi Muhammad SAW yang melingkupi seribu al-Faruqi al-Sirhindi? Dalam perihal ini perlu merasakan sebuah kerinduan yang mendalam. Sedangkan diri kita, karena Allah SWT tidak mengatakan “Datanglah!” kita tetap bertahan untuk tinggal disini. Ya, buat kita hidup di dunia adalah sebuah beban. Oleh karena itu pertimbangan kita seharusnya ialah : “Aku menanggung beban tumpukan kefanaan ini. Karena Dialah yang menjadikanku tentara untuk perkemahan disini, yang mengirimkanku ke dalam barak dan yang akan memberikan surat resmi, jangan sampai aku terjerumus kedalam permohonan itu sebelum Dia memberikan surat resmi dengan ridha-Nya kepadaku, itu berarti aku telah bergerak bertentangan dengan ridha-Nya. Ini pun merupakan sebuah sikap tak hormat terhadap diri-Nya.”
Harapan akan sebuah Pencapaian dan Ketajaman dalam Menaati Perintah
Mari kita masuk pada pembahasan lainnya, seseorang meski ia harus berlari selama seratus tahun tidak akan sebanding dengan melihat Abu Bakar As-Sidiq atau Umar bin Khatab saja. Namun sayangnya, meski dalam jiwa kita terdapat harapan yang memikat, kerinduan yang sungguh-sungguh untuk menggapai mimpi itu, tetap saja ada hal-hal yang menghalangi diri kita untuk mencapainya. Itu karena kita tidak mendengar panggilan “Datanglah!” dari Allah SWT. Ya, ikatan kita akan panggilan pengharapan akan sebuah pencapaian “Datanglah!”, merupakan keharusan sebagai sikap hormat kita terhadap Allah SWT. Rasa hormat kepada Allah SWT, itu berarti menghormati ridha-Nya. Selama Dia menginginkan kita untuk tinggal disini, sesuatu yang patut kita lakukan atas nama membahagiakan-Nya dan mendapatkan ridha-Nya, ialah menanggung beban akan dunia. Dari segi ini seorang mumin harus mengejar sebuah cakrawala tersebut. Dalam titik ini bisa saja timbul pertanyaan ke dalam pemikiran kita seperti ini : Mereka yang berada tertinggal dibelakang cakrawala ini apakah akan lenyap dan binasa? Sudah pasti tidak. Mereka yang beriman dan beramal saleh akan terselamatkan. Namun yang layak dilakukan oleh seorang insan ialah menaruh hati ke dalam impian luhur yang seperti ini, menggenggam angan yang tinggi dan selalu mengejar untuk menjadi insan kamil.
Paradoks yang ada disini perlu dipahami dengan baik. Yakni di satu sisi, binasa di sini dan di akhirat kelak kembali merasakan kerinduan yang mendalam dijalan pencapaian eksistensi, menaruh perhatian akan perintah yang bakal datang dari dunia lain dan meratap begitu mengatakan, “Mengapa belum datang sebuah perintah yang seperti ini, ” namun di sisi yang lain juga, merasakan kontradiksi begitu mengatakan, “Astagfirullah ya Rabbi! Mengapa aku merasa terburu-buru setelah Engkau tidak mengirimkannya kepadaku!” Sedangkan setelah ia mendengarkan firman “Datanglah!” dari Allah SWT, mampu mengatakan “Oh be!”[7] Kehidupan seorang mumin yang hakikilah yang mampu memaparkan akhir sebuah paradoks dan kontradiksi yang seperti ini. Ketika almarhum Ahmet Feyzi meninggal dunia, Tuan Ali Riza dan Sacit melihat begitu membuka wajahnya dan mengatakan kepadaku, “Demi Allah, ia tersenyum.” Saya yang menyolatkan jenazahnya. Ada persahabatan yang erat diantara kita. Meski seperti itu saya tetap merasa sedih karena tidak melihat keindahan parasnya begitu membuka wajahnya. Ia, meninggal karena penyakit serangan jantung. Seperti yang kalian ketahui, dalam wajah seseorang ketika jantungnya terserang biasanya mengerut dan memasam. Meskipun seperti itu, siapa yang tahu apa yang ditunjukkan kepada dirinya, sehingga ia tersenyum. Karena ia adalah manusia yang memiliki nilai, kehidupannya berada dalam garis Al-Quran, menitinya dijalan untuk menemukan keistiqamahan dalam pemikiran. Tidak pernah ada tuntutan yang paling kecil pun seperti, “Biarlah saya berpijak di satu tempat, biarlah mereka datang membentuk halkah di sekitarku,” tidak pernah ada dan menjalani kehidupannya tanpa mengharapkan sebuah imbalan yang seperti ini.
(Diterjemahkan dari artikel “Kanaat ve Tesvîf” dari buku Kırık Testi 11; Yaşatma İdeali)
Evaluasi
1. Apa itu sifat qana’ah yang sebenarnya dan jelaskan hubungannya dengan sebab keberkahan?
2. Berapa macam jenis qana’ah yang telah diutarakan diatas dan manakah yang paling penting bagi kehidupan kita khususnya di masa sekarang yang berorientasi kedalam nafsu diri secara mendalam?
3. Apa makna taswif yang merupakan salah satu penyangga sifat qana’ah dan apa yang dipaparkan sifat taswif untuk merespon keinginan dan permintaan manusia yang tak terbatas untuk nafsu diri dan keluarganya?
4. Ambisi yang seperti apakah yang bisa diperbolehkan sehingga kita bisa mencapai puncak cakrawala ubudiyyah? Yang kita ketahui di sisi lain ambisi juga merupakan sebab dari keserakahan.
5. Sikap insan hakiki yang bagaimanakah yang mampu menyeimbangkan akan sebuah kontradiksi diantara sebuah harapan dan kekhawatiran?
[1] Sikap rela menerima dan merasa cukup atas hasil yang diusahakannya serta menjauhkan diri dari dari rasa tidakpuas dan perasaan kurang. (Penerj.)
[2] Menunda-nunda dalam melakukan kebaikan. (Penerj.)
[3] Sebuah satuan berat yang digunakan oleh masyarakat Mesir dan juga Turki kuno, memiliki berat yang bervariasi tapi sekarang biasanya sama dengan sekitar 1,3 kg (2 3/4 lb). (Penerj.)
[4] Manisan dan makanan Turki. (Penerj.)
[5] Memiliki rencana dan pogram layaknya akan hidup secara abadi di dunia. (Penerj.)
[6] Tevehhüm-u ebediyet yakni kelalaian dalam menjalankan perintah Allah SWT dan mempersiapkan bekal untuk akhirat saat mengira dirinya akan hidup kekal. (Penerj.)
[7] Dalam bahasa Turki diungkapan sebagai rasa takjub akan peristiwa yang ia alami. (Penerj.)
- Dibuat oleh