Lomba Tanpa Tanding
Tanya: murid-murid istimewa Al-Qur’an ditekankan supaya menjauhi sikap iri serta tidak memancing orang lain iri kepada mereka. Dari sisi ini, bagaimana Anda memandang sosok-sosok yang berada dalam barisan terdepan perlombaan kebaikan di mana zakat dan sedekah mereka tunaikan secara terang-terangan demi memotivasi semangat kebaikan orang lain? Lalu, bagaimana Anda melihat mereka yang tak mampu menjaga dirinya dari kedengkian ketika melihat kedermawanan seperti ini?[1]
Jawaban: Ghibtah adalah iri yang diperbolehkan. Ghibtah[2] memiliki makna iri hati atas nikmat yang dimiliki orang lain atau menginginkan nikmat yang serupa, tetapi tidak disertai dengan harapan nikmat itu hilang darinya. Ia adalah keinginan untuk mendapat sifat-sifat baik yang dimiliki oleh orang lain. Sementara itu, hasad adalah ketidakrelaan seseorang terhadap nikmat yang diterima atau dimiliki orang lain di mana ia berharap supaya nikmat tersebut lepas darinya untuk kemudian dia sendiri saja yang menerima dan memiliki nikmat tersebut. Untuk itu, pada hasad terdapat ketidakrelaan, panas hati, dan cemburu. Sedangkan pada ghibtah hanya terdapat perasaan atau keinginan untuk memiliki nikmat yang diterima orang lain. Rasulullah bersabda: “Orang mukmin itu melakukan ghibtah, sedangkan orang munafik melakukan hasad.” Melalui sabdanya ini beliau menekankan bahwasanya hal terburuk yang bisa dilakukan orang mukmin adalah munculnya rasa ingin, sedangkan kaum munafik akan sibuk dalam kecemburuan yang tiada henti.
Hasad yang diperbolehkan: Ghibtah (!)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam sebuah hadisnya bersabda: “Tidak diperbolehkan hasad (iri hati) kecuali terhadap dua orang: Orang yang dikaruniai Allah ilmu lalu ia mengamalkan dan mengajarkannya malam dan siang. Berikutnya yaitu orang yang dikaruniai harta oleh Allah lalu ia menginfakkannya di waktu siang dan malam (HR. Bukhari, Tirmidzi, dan Nasa’i).”[3] Ya, meneladani orang-orang yang belajar agama, mengamalkan, dan menginspirasi orang lain dengan menjadi sumber pengetahuan serta menjadikan mereka yang menjadi penerjemah tulus hakikat-hakikat Al-Qur’an melalui jalan tablig dan tamsil sebagai contoh sembari berkata: “Andai saja aku bisa menjadi seperti dirinya; jika saja diriku bisa mempelajari agama dengan baik di mana ia bisa menerangi hidupku sekaligus juga untuk menjelaskan agama tersebut kepada orang lain!” bukankah sudah seharusnya diperbolehkan? Bahkan ghibtah yang seperti ini sangat bermanfaat sebagai bahan muhasabah pribadi, sarana untuk menganggap diri masih belum cukup memadai, serta sisi memenuhi diri dengan perasaan-perasaan agung yang bisa dianggap sebagai doa. Demikian juga memelihara rasa ghibtah kepada orang-orang yang dimuliakan dengan kekayaan sekaligus kedermawanan, juga kepada para orang kaya yang “kecanduan berinfak” karena tak pernah kenyang membelanjakan harta yang dianugerahkan Allah kepada dirinya di jalan yang diridai-Nya sehingga dalam hati pun terucap: “Andai saja aku juga memiliki keluasan rezeki sehingga aku pun bisa mengeluarkan infak tak kalah besarnya.” Ghibtah kepada orang-orang seperti mereka sembari bergumam: “seandainya saya pun bisa membangun sebuah sekolah, seandainya saya juga bisa memberi ratusan siswa-mahasiswa beasiswa” pun tidak berbahaya.
Meskipun demikian, dalam hadis tersebut Rasulullah menggunakan kata hasad dalam teks “لآحَسَدَ“ ketika menerangkan kata ghibtah yang mengungkap makna dengki sebenarnya menunjukkan bahwasanya ghibtah berada di ambang batas kondisi ketidakrelaan. Maksudnya, meskipun ghibtah diperbolehkan dan dalam satu kriteria dianggap mubah, ia berbatasan dengan hasad. Artinya, berjalan di atas wilayah ghibtah sama halnya dengan berjalan di atas wilayah yang meragukan. Oleh karena itu, apabila batas-batas ghibtah tidak diperjelas maka perasaan tersebut berisiko berubah menjadi kecemburuan dan hasad. Misalnya, apabila ada seseorang yang kepingin meniru rekannya yang memiliki kata-kata, sikap, dan perilaku yang disukainya, barangkali keinginan itu masih diperbolehkan. Namun, apabila yang timbul adalah perasaan membanding-bandingkan seperti: “Mengapa ia banyak tahu, sedangkan aku tidak tahu apa-apa? Mengapa ia bisa menjelaskan agama dengan baik, sedangkan aku tak bisa menjelaskan sedemikian baiknya?” itu berarti ia telah melampaui batas dan tergelincir pada persaingan. Ia telah keluar dari wilayah ghibtah dan mulai memasuki wilayah hasad. Artinya tempat yang tadinya diisi oleh perasaan kepingin telah digantikan oleh kedengkian dan ketidakrelaan.
Oleh sebab itu, murid-murid istimewa Al-Qur’an pun juga harus menjauhi ghibtah, suatu sikap yang antara dirinya dengan hasad dan ketidakrelaan hanya dibatasi oleh tabir tipis. Mereka harus rida dengan anugerah-anugerah yang telah ditakdirkan. Mereka tidak boleh mengkritik takdir hanya karena kekeliruan perasaan yang sepele. Mereka tidak boleh memandang siapapun dengan pandangan sebagai lawan tanding. Mereka harus berusaha mencapai tahta kesempurnaan mereka sendiri dalam hal kepemilikan sifat-sifat yang indah.
Karung-Karung Sembako yang datang di Malam Hari
Selain itu, semua orang ataupun mereka yang rawan menjadi sasaran ghibtah bertugas untuk tidak memancing munculnya ghibtah dari orang lain. Al-Ustaz Badiuzzaman Said Nursi ketika menyinggung perkara ini, beliau menjadikan prinsip “tidak memancing rasa ghibtah melalui sikap bangga diri dan perasaan lebih unggul” sebagai salah satu kaidah ikhlas.[4] Ya, membahas prestasi pribadi di setiap kesempatan, menggunakan setiap kata untuk menjelaskan kesuksesan individu, mengklaim semua keberhasilan sebagai keberhasilan perseorangan, serta selalu berusaha tampil di barisan terdepan berarti berjalan di wilayah yang kurang baik. Ini karena seseorang yang melakukan hal demikian meskipun tidak hasad kepada siapapun, tetapi ia telah mendorong orang lain untuk bersikap tidak rela serta membangkitkan rasa ghibtah pada dirinya.
Untuk itu, menceritakan keutamaan dan kemuliaan pribadinya adalah hal yang sangat tabu dalam kultur kita. Selain itu, pemahaman bahwa perbuatan baik dilakukan secara sembunyi-sembunyi semakin berkembang. Misalnya sedekah diletakkan dan diantarkan ke tangan orang-orang fakir melalui cara dan jalan yang tidak terlihat dan diketahui orang lain. Dengan semangat ini maka dibuatlah “sadaka taşları/kotak sedekah dari bebatuan”[5] di banyak tempat. Dalam ikhtiar ini terdapat tekad luar biasa supaya orang tidak hasad dengan mereka yang berbuat baik, sedangkan orang yang membutuhkan bisa mengambilnya sesuai kebutuhan tanpa harus mempermalukan diri ataupun merasa berhutang budi kepada pribadi tertentu. Antara pemberi dan penerima sedekah terdapat perantara seperti misalnya yayasan, sehingga dengan demikian mencegah orang-orang fakir dari rasa malu dan celaan terselubung. Begitu juga orang yang berpunya, mereka pun tercegah dari riya dan sombong.
Ya, dalam agama kita kerahasiaan penunaian ibadah-ibadah sunah dan sedekah adalah asas. Rasulullah bersabda “Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan menerima amal orang-orang sum’ah yang berharap kebajikannya disebut-sebut orang, munafik yang gila tampil, dan pemberian orang-orang yang selalu menyebut-nyebut sumbangan di hadapan orang yang menerimanya.” Dalam dunia kita, ada banyak orang yang berbuat baik secara diam-diam dan menghilang tanpa mengungkapkan diri kepada orang miskin yang mereka bantu. Beberapa salaf pendahulu kita lebih suka menaruh sedekah mereka di tempat di mana orang miskin biasa lewat atau duduk tanpa perlu menungguinya; beberapa lagi lebih suka menaruh uang di saku orang membutuhkan yang sedang tidur; yang lain lebih suka menyumbang diam-diam dengan jalan memanggul karung sembako saat tengah malam dan meletakkannya di depan pintu rumah mereka yang membutuhkan untuk kemudian segera menghilang dari pandangan. Mereka sangat berhati-hati dalam menjauhi riya, sum’ah, dan membuat orang merasa berhutang budi.
Menurut sebuah manqobah, salah satu sosok yang melakukannya adalah cicit dari Rasulullah, dialah Imam Ali Zainal Abidin. Pada masa di mana sosok yang mengabdikan dirinya untuk beribadah kepada Allah ini hidup, ada banyak orang miskin, kesepian, dan membutuhkan perhatian. Di waktu malam, sebagian besar dari mereka akan menemukan makanan, minuman, dan pakaian yang mereka butuhkan sudah tersedia di depan pintu rumah. Selama bertahun-tahun, mereka telah menggunakan dan mengonsumsi barang-barang ini, di mana mereka tidak mengetahui siapa gerangan orang yang membawanya, dengan mengandalkan sepucuk surat bertuliskan 'barang-barang ini halal' yang terpasang di salah satu karungnya. Setelah tahun demi tahun berlalu, pada suatu pagi mereka tidak lagi menemukan sesuatu di depan pintu rumahnya. Semua orang penasaran dengan apa yang menjadi penyebabnya. Lalu diumumkanlah bahwasanya Imam Ali Zainal Abidin telah meninggal dunia. Seorang petugas jenazah yang bersiap untuk memandikan jasad Sang Wali Allah ini kemudian melihat bahwasanya pada punggung Sang Imam terdapat bekas kapalan yang sangat besar. Alih-alih memandikannya dengan air biasa, ia pun memandikan Sang Imam dengan air mata. Kapalan di punggung tersebut merupakan jejak yang membekas pada Sang Imam Besar ketika membawa karung-karung bantuan kepada para fakir miskin sepanjang dua puluh tujuh tahun lamanya. Hingga akhir hayatnya tak ada satu orang pun yang mengetahuinya. Informasi bahwa beliaulah yang mengangkut dan mengantarnya pun sebenarnya juga tidak perlu diketahui orang lain. Ini karena tujuan utamanya adalah diraihnya rida Allah. Allah sebagai Zat Yang Maha Mengetahui segala sesuatu tentu Maha Melihat keadaan Imam Ali Zainal Abidin yang memanggul karung-karung bantuan ini di setiap larut malam.
Demikianlah, beliau serta tokoh-tokoh yang serupa dengannya telah mengunci ufuk pandangnya pada rida Allah semata. Mereka telah memilih untuk berlomba tanpa perlu tandingan di jalur penghambaan. Oleh karena itu, sebagaimana mereka tidak pernah tersentuh oleh ghibtah apalagi hasad, mereka juga tidak pernah memancing urat cemburu orang lain. Mereka juga sangat memperhatikan supaya bantuan yang dilakukan tidak tercampuri oleh riya, sum’ah, meninggalkan rasa hutang budi, ataupun membuat sedih orang-orang yang dibantunya. Jalan yang mereka lalui merupakan jalan ”tanafus”[6] dalam perlombaan kehidupan beragama, berinvestasi di akhirat, dan meraih rida Allah.
Tujuan Utama adalah Menikmati Air Kafur[7]
Kata “tanafus” yang juga bermakna ghibtah, memiliki arti iri pada kedewasaan yang terlihat pada orang lain sehingga membuatnya bertekad dan berjuang untuk meraih atribut indah itu serta berlomba untuk mencapai hasil yang baik. Surat Al Mutaffifin ayat ke-26 menyebut kalimat falyatanāfasil-mutanāfisụn - hendaknya orang berlomba-lomba supaya meraih kerajaan di surga - di mana di dalamnya terdapat motivasi untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Maksudnya, bukankah orang-orang yang bersungguh-sungguh bersaing satu sama lain demi meraih keindahan dunia dengan segala daya tariknya yang menawan seharusnya juga berlomba-lomba untuk dapat menikmati Air Kafur tak bertepi dan meraih ketentraman abadi.
Pada jalan tanafus[8] dan perlombaan kebaikan tidak terdapat persaingan terbuka yang memicu ghibtah dan hasad. Ini karena dalam perlombaan ini semua orang bertugas supaya berkompetisi untuk memecahkan rekor pribadinya sendiri. Setiap individu bertanggung jawab meraih kedewasaan yang bisa dicapai ketika meniti jalan tersebut. Pada waktu yang sama, dalam pertandingan ini setiap orang adalah penolong satu sama lain. Setiap individu merupakan anggota dari syakhsiyah maknawiyah atau kepribadian kolektif. Al-Ustaz Badiuzzaman Said Nursi menyampaikan keadaaan ini dengan pernyataannya: “Orang beriman adalah petugas yang berdinas memasukkan umat Nabi Muhammad ke pantai keselamatan bernama Darussalam.” Jika demikian, maka setiap individu harus melakukan segala daya dan upaya untuk mengarahkan perahu yang dinaikinya supaya bergerak menuju pantai keselamatan tersebut. Demikianlah, kemudian ganjaran pahala akan ditulis baik dengan perhitungan individu maupun perhitungan kolektif.
Ya, dalam tanafus, ganjaran atas setiap amal-amal kolektif akan dicatat di buku amal masing-masing individu yang terlibat. Apabila kita kembali meminjam pernyataan Al-Ustaz Badiuzzaman Said Nursi untuk menggambarkannya, beliau pernah berkata: “pengabdian kepada Sang Hak ibarat memanggul dan menjaga peti harta karun yang berat. Semakin kuat tangan-tangan yang mengulurkan bantuan maka akan membuat orang yang memikul peti harta karun semakin senang dan bahagia. Alih-alih iri kepada orang-orang kuat yang mengulurkan bantuan kepada dirinya, seharusnya ia memberikan tepuk tangan melalui diskusi hangat nan penuh kasih atas kekuatan, bantuan, dan andil yang diulurkan. Jika bantuan tersebut dipandang sebagai persaingan, maka keikhlasan akan sirna. Hasil yang diharapkan pun akan luput dari raihan.”
Untuk itu, murid-murid istimewa dari Al-Qur’an tidak akan pernah memelihara sifat hasad. Mereka juga tidak akan berjalan di tepi batas sifat hasad, yaitu ghibtah. Namun, mereka memiliki sikap tanafus dan berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan. Maksudnya, setiap orang akan memandang sesamanya sebagai penolong yang penuh berkah. Mereka akan berusaha menunaikan tugas mereka dan menyelesaikan kewajiban mereka semaksimal mungkin. Misalnya, seorang manusia ketika melakukan pengabdian li i'lai kalimatillah mampu melembutkan kalbu umat manusia dengan suaranya yang indah dan ekspresinya yang tulus ketika membaca ayat suci Al-Qur’an. Orang berikutnya mampu memotivasi jiwa melalui pembacaan nasyid dan syair yang indah. Orang selanjutnya tidak ketinggalan dengan dua temannya yang pertama, ia berhasil memanfaatkan atmosfer yang berhasil dibangun tersebut dan menyampaikan pesan-pesan agama melalui beberapa kata yang penuh hikmah. Seperti yang terlihat, pekerjaan dibagi-bagi. Semua orang menunaikan tugasnya masing-masing. Pada akhirnya, semua orang sukses meraih keberhasilan. Di dalamnya terdapat pembagian tugas. Pada awalnya, bisa jadi masih belum jelas siapa orang yang bertanggung jawab dengan urusan ini. Ini karena pengerjaannya tidak mengandalkan orang perseorangan. Semua orang terlibat dan turut bergotong royong dalam menunaikan pekerjaan ini. Ketika setiap orang melakukan apa yang bisa dilakukan sebaik-baiknya, ternyata hasil yang diraih bukan hasil yang bisa diraih oleh kerja satu orang belaka, melainkan tercapailah buah-buah yang dipanen dari suatu amal kolektif. Al-Qur’an juga mendorong supaya perlombaan seperti ini dilakukan dan memerintahkannya sebagai berikut: “فَٱسْتَبِقُوا۟ ٱلْخَيْرَٰتِ ...maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan…(QS Al Maidah 48).”
Demi Menjadi Contoh dan Memotivasi
Demikianlah, pada kompetisi kebaikan yang demikian maka mengumpulkan donasi secara terbuka guna menggerakkan kebaikan-kebaikan dari dalam hati rekan dan sahabat juga merupakan sesuatu yang afdal. Pada masa ketika masyarakat berkubang dalam kemalasan, ketidakpedulian, dan keputusasaan, mereka yang mengerjakan amal-amal saleh di mana daya dan upayanya penuh dengan semangat kedermawanan dapat mendorong mereka yang ada di sekitarnya untuk mengerjakan banyak kebajikan. Rasulullah juga bersabda: “Memberikan sedekah sembunyi-sembunyi lebih afdal daripada bersedekah secara terang-terangan. Namun, bagi mereka yang berniat supaya orang lain meneladani dan turut andil dalam amal saleh yang sedang dikerjakan maka sesungguhnya bagi mereka bersedekah secara terang-terangan lebih berfadilah.” Ya, seseorang yang ingin mengalihkan pandangan rekan dan sahabat-sahabatnya agar terarah ke lembah-lembah surga pastinya tak memiliki niat lain ketika melakukan kebaikan secara terang-terangan selain supaya mereka juga termotivasi untuk meraih pahala. Membayar zakat yang hukumnya wajib secara terang-terangan selain sesuai dengan perintah ilahi ia juga sekaligus mengingatkan orang lain supaya turut menunaikan kewajiban ini juga.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an: “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (QS Al Baqarah 2:274)” Ayat ini memuji sosok-sosok yang ketika melihat orang yang membutuhkan kemudian mereka segera mengulurkan bantuan tanpa menunda-nunda. Ayat ini mendorong semua kaum muslimin untuk berlari mengejar kebajikan demi kebajikan. .
Menurut riwayat, ayat ini diturunkan untuk memuji Sayidina Abu Bakar yang membagi sedekah-sedekahnya sebanyak empat puluh ribu dinar menjadi sepuluh ribu dinar di waktu malam, sepuluh ribu dinar di waktu siang, sepuluh ribu dinar secara sembunyi-sembunyi, dan sepuluh ribu lagi secara terang-terangan. Diriwayatkan juga bahwa ketika Sayidina Ali hanya memiliki perak sebanyak empat dirham, beliau membagikannya kepada fakir miskin satu dirham di waktu siang, satu dirham di waktu malam, satu dirham secara terang-terangan, dan satu dirham secara sembunyi-sembunyi. Meskipun ayat Al-Qur’an secara khusus mengisyaratkan bahwa ayat tersebut membahas dua sahabat agung ini, tetapi hukum kalam ilahi ini adalah umum. Sebagaimana disampaikan oleh Al-Allamah Elmalili Hamdi Yazir, infak yang dibahas di sini mencakup semua jenis infak, termasuk infak fardu, wajib, dan sunah. Oleh karena itu, akan tiba waktu di mana semua kekayaan perlu dibelanjakan untuk kepentingan agama dan negara. Pada masa tersebut di mana mobilisasi semua warga masyarakat diperlukan maka berinfak secara terbuka untuk menyemangati semua orang nilainya sungguh lebih baik. Terkadang tiba masa di mana pengorbanan nyawa di jalan Allah diperlukan. Pada masa yang demikian, layaklah dilakukan pengorbanan seperti menginfakkan seluruh kekayaan. Aktivitas ini yaitu kegiatan menginfakkan sebagian besar harta yang dimilikinya untuk mengajarkan pengorbanan demi hakikat-hakikat mulia kepada masyarakat awam di mana hal itu dilakukan secara terang-terangan merupakan sebuah kebaikan bila dilakukan khususnya bagi mereka yang berada dalam posisi memberi panduan kepada bangsanya (yaitu para pemimpin, penerj). Bukan hanya kebaikan, bahkan ia bisa dianggap sebagai tugas yang wajib untuk ditunaikan.
Meskipun hanya segenggam kurma…
Terkait hal ini, contoh terbaiknya adalah para sahabat radhiyallahu anhum. Abdullah bin Mas’ud berkata: “Ketika ayat tentang sedekah turun, kami segera mencari sesuatu yang bisa kami sedekahkan. Kami berusaha berinfak meski hanya dengan upah buruh panggul yang nilainya sedikit. Kami berangkat ke pasar untuk mengangkut barang-barang. Segera setelah menerima upah, kami berlari menuju Rasulullah demi bisa masuk ke dalam golongan munfiq, orang-orang yang berinfak. Suatu hari Rasulullah kembali mengumpulkan para sahabat ansar dan muhajirin untuk penggalangan dana. Di antara keperluan yang ditanggung oleh penggalangan dana ini adalah untuk membiayai pengiriman pasukan sariyyah ke tempat-tempat tertentu, mengenyangkan perut orang-orang fakir yang datang dari gurun pasir, atau untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka lainnya. Demi menjawab motivasi yang disampaikan oleh Rasulullah, Sayidina Abdurrahman bin Auf menjawab dengan gagah berani: “Ya Rasulullah! Aku memiliki 4000 dirham. Mohon diterima!” Rasulullah amat gembira mendengarnya. Beliau pun mendoakannya dengan doa-doa yang baik. Setiap orang yang mendengar kata-kata penyemangat dari Rasulullah serta melihat pengorbanan besar dari sahabat-sahabat dermawan itu pasti kemudian ingin berpartisipasi dalam perlombaan amal ini. Ketika mereka yang kaya dengan harta benda memberi bantuan dalam jumlah melimpah, mereka yang kesempatannya terbatas pun berusaha keras mencari jalan untuk bisa menyumbangkan sesuatu. Salah satunya adalah Abu Aqil, beliau adalah sahabat ansar yang fakir. Beliau tak memiliki apapun selain dua genggam kurma. Namun, meskipun demikian namanya tetaplah harus diukir dalam daftar “orang-orang yang berlomba dalam kebaikan.” Satu genggam kurma yang dipegangnya dipisahkan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, sedangkan satu genggam lagi disumbangkan sebagai bagian dari harta yang dikumpulkan untuk pengumpulan dana.
Ya, meraih rida ilahi adalah ufuk yang sangat indah; meraih rida ilahi melalui li i'lai kalimatillah adalah tugas yang sangat suci. Berlomba tanpa tanding untuk meraihnya merupakan pekerjaan yang sangat bagus. Apabila manusia terkunci pada rida, amat sangat jauh dari hasad, ia pun akan sepenuhnya terpisah dari pemikiran ghibtah. Ia puas dengan apa yang telah diterima untuk kemudian bergabung dalam perlombaan kebaikan sejauh situasi dan kondisi mengizinkan. Seorang mukmin yang tulus lagi bertujuan hanya meraih rida Allah semata bukanlah orang berpamrih dan penuh khayalan kosong. Ia tidak berlindung di balik dalih: “seandainya aku memiliki kesempatan, seandainya aku mampu”. Ia akan berikan sejauh apa yang Allah berikan kepada dirinya. Ia akan mengerjakan tugas sesuai kemampuan dan mensyukuri nikmat-nikmat yang dianugerahkan kepadanya sehingga dengan demikian ia mengundang kehadiran anugerah-anugerah berikutnya. Sebagaimana ia jauh dari ghibtah, ia juga menjaga dirinya supaya tidak memancing orang berbuat ghibtah. Oleh karena tujuannya hanyalah rida Allah semata, jika diperlukan ia tidak segan mundur satu dua langkah. Jika diperlukan, ia bersedia untuk maju selangkah ke depan. Apabila pekerjaan yang ditunaikan sukses berkat dukungan orang lain atau bahkan sukses meraih rida ilahi berkat dilaksanakan oleh orang lain sepenuhnya, maka demikianlah ia akan menyusun pelaksanaan pekerjaannya. Baginya yang terpenting adalah tertunaikannya tugas. Baginya siapa yang akan melakukannya tidak begitu penting. Selama pesan yang disampaikan adalah hakikat, siapa yang akan menyuarakannya tidak begitu penting. Jika hakikat dan kebenaran yang menang, sama saja apakah namanya akan diingat atau tidak. Ini karena dia hanyalah pelayan yang bertugas di atas kapal yang dinakhodai oleh Rasulullah. Setelah kapal Rasulullah ini berlabuh di Darussalam, tak ada keraguan bahwasanya semua penumpang kapal tersebut akan mendarat dengan selamat
Seorang mukmin yang terkait dengan pemikiran-pemikiran seperti ini tidak akan memiliki hubungan dengan hasad, kecemburuan, bahkan ghibtah. Ia tidak akan mampir ke arah riya dan sum’ah. Ketika berjalan di barisan terdepan dalam perlombaan kebaikan, seperti halnya akan ada masa di mana para relawan diperlukan berdonasi secara terbuka sebanyak yang mampu dilaksanakan demi merangsang perasaan kebaikan tumbuh di hati orang-orang di sekitarnya, akan datang juga masa di mana cara sembunyi-sembunyi tanpa perlu memperkenalkan diri kemudian dipilih ketika diharuskan berjuang siang dan malam memenuhi kebutuhan mereka yang membutuhkan supaya penerima bantuan itu tidak perlu merasa berhutang budi.
Tanya: Apakah orang yang berkata: “Saya akan memberi sekian jumlah mahasiswa beasiswa selama setahun, saya juga akan bergabung dalam perlombaan kebaikan dengan memberikan sekian jumlah infak” harus menunaikan infak sesuai dengan apa yang dikatakannya? Apa hukumnya orang yang tidak bisa memenuhi apa yang dijanjikannya?
Jawab: Memenuhi janji dan bersikap loyal merupakan salah satu prinsip paling penting dalam akhlak Islam. Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan perkara loyal dengan apa yang dijanjikan sebagai sebuah akhlak ilahi dalam banyak ayat Al-Qur’an, misalnya:
وَأَوْفُوا۟ بِٱلْعَهْدِ ۖ إِنَّ ٱلْعَهْدَ كَانَ مَسْـُٔولً
“...penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya “
(QS Al Isra: 34)
Melalui ayat tersebut Allah mengajak kita untuk menunaikan janji-janji yang telah kita niatkan.
Berpaling dari janji yang sudah diniatkan dan kesepakatan yang sudah dimufakati merupakan pertanda kemunafikan. Dalam kitab hadis paling sahih yaitu Bukhari dan Muslim terdapat Sabda Rasulullah: “Ciri-ciri munafik ada tiga: jika berkata ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari, dan jika diamanahi dia berkhianat.” Dalam beberapa riwayat terdapat tanda yang keempat yaitu “jika bertengkar ia menjauhi kebenaran dan berlebih-lebihan dalam bermusuhan.” Dalam hadis lainnya Rasul bersabda: “Janji adalah hutang. Merugilah orang-orang yang tidak memenuhinya.” Melalui sabdanya ini Rasulullah memperingatkan kita supaya berlaku loyal dengan apa yang sudah kita janjikan.
Janji adalah Hutang
Seseorang yang berjanji untuk membelanjakan sejumlah hartanya demi mendapatkan rida Allah dianggap telah mewajibkan dirinya untuk menunaikannya. Pernyataannya ini bisa dianggap termasuk ke dalam kategori nazar. Untuk itu, ia memiliki hutang untuk menunaikan janji atau nazarnya tersebut.
Alim ulama Islam memasukkan sesuatu yang bisa dibayar dengan benda serupa yang bisa diukur dan ditimbang yang terikat pada seseorang yang berhutang maupun jumlah yang dijanjikan untuk dibayar oleh seseorang termasuk dalam definisi hutang. Oleh karena itu, seseorang yang menyebutkan angka tertentu ketika berkata: “Dalam jangka waktu berikut saya akan memberi beasiswa kepada sekian banyak siswa, dalam jangka periode berikut saya akan memberi infak sejumlah ini” otomatis memiliki hutang yang perlu ia bayarkan.
Dalam hadis disampaikan bahwasanya seseorang yang memiliki kesempatan untuk membayar hutang tetapi memilih untuk menunda penunaiannya disebut sebagai zalim. Sementara bagi mereka yang tidak menunaikan hutangnya, dalam kitab referensi hadis paling terpercaya terdapat riwayat bahwasanya Rasulullah tidak akan menyalatkan jenazah mereka. “Pada suatu hari digotong satu jenazah, Rasulullah bertanya: ‘Apakah dia memiliki hutang?’ Ketika beliau menerima jawaban ‘Ya, ia memiliki hutang sebanyak dua dinar,’ Rasulullah lalu bersabda: ‘Jika demikian silakan kalian saja yang menyalatkannya.’ Abu Qatadah kemudian berkata: ‘Biar saya yang membayar hutangnya’ maka di saat itu barulah Rasulullah mau menyalatkan jenazah tersebut.” Satu hadis ini saja rasanya cukup sebagai peringatan penting yang menunjukkan perlunya bersikap sensitif dalam perkara pembayaran hutang.
Sahabat Rasulullah senantiasa menunjukkan sensitivitas dalam perkara hutang piutang. Misalnya kata-kata pertama yang disampaikan Sayidina Umar ketika menerima tikaman belati yang akan menjadi sebab bagi kematiannya adalah: “Mari kita lihat bersama apakah hartaku cukup untuk melunasi hutang-hutangku? Jika tidak cukup, mohon Bani Adi membayarnya. Jika tidak ada, maka ambillah dari Quraisy dan bayarlah hutang-hutangku.” Demikian isi dari wasiatnya.
Jika demikian, maka setiap orang harus memenuhi apa yang telah dijanjikannya. Ia harus membayar jumlah komitmen yang telah diikrarkannya.
[1] Diterjemahkan dari: https://www.herkul.org/kirik-testi/rakipsiz-yaris/
[2] Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Tidak boleh hasad (ghibtah) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Al-Quran dan As Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
[3] عَن ابنِ عُمَرَ رَضي اللٌهُ عَنهاَ قَالَ:قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صَلٌي اللٌهُ عَلَيهِ وَ سَلٌم لآحَسَدَ ألآ فيِ اثنَتَينِ رَجُلُ اتَاهُ اللٌهُ القُرانَ فَهُو يَقُومُ بِه انَأءَ اللًيلِ وَانَأءَ النَهَارِ وَرَجُلُ اعطَاهُ مَالآ فَهُوَ يُنفق مِنهُ انَأءَ الٌلَيِل وَانَأءَ النٌهَارِ.(رواه البخارى ومسلم والترمذى والنسائى وأبن ماجه.
[4] “Prinsip Kedua: Tidak mengkritik saudara-saudara yang mengabdi pada al-Qur’an serta tidak membangkitkan kedengkian mereka lewat sikap bangga diri dan perasaan lebih unggul.” (Risalah Ikhlas dan Ukhuwah, hlm. 33)
[5] Informasi tentang batu sedekah ini bisa dibaca di artikel: https://mataair.co/batu-bisu-bercerita/
[6] Suatu hari Rasulullah saw. dalam suatu pertemuan bersama para sahabatnya menyampaikan sebuah berita penting. Beliau memberitakan bahwa, diantara umat Islam ada 70 ribu orang yang dijamin akan masuk surga tanpa melalui hisab atau siksa terlebih dahulu. Mendengar berita tersebut, salah seorang sahabat bernama ‘Ukasyah berkata: “Ya Rasulullah, doakan kepada Allah agar saya termasuk diantara mereka”. Kemudian Rasulullah menjawab: “Ya, anda termasuk di antara mereka”. Melihat kejadian itu, salah seorang sahabat lain berdiri dan mengatakan sebagaimana yang dikatakan ‘Ukasyah. Kemudian Rasulullah menjawab: “’Ukasyah telah mendahuluimu”. Tanāfus atau berlomba-lomba menjadi yang paling terdepan dan terbaik adalah bagian terpenting dari nilai-nilai Islam yang harus disambut oleh setiap muslim. Allah dan Rasul-Nya menghendaki agar manusia di dunia ini selalu berusaha untuk tanāfus dalam mengejar kebaikan. Karena itu banyak ayat-ayat al Quran dan juga hadis Nabi, sebagaimana kisah ‘Ukasyah di atas, yang menganjurkan kepada kita untuk saling berlomba-lomba menjadi orang yang terbaik dalam hidup ini, dengan menggunakan istilah yang berbeda-beda tetapi memiliki makna yang sama, seperti musābaqah, musāra’ah dan mubādarah.
[7] Air kafur adalah minuman istimewa para penghuni surga yang berasal dari mata air telaga sungai al-Kautsar. Air ini memiliki aroma kesturi yang sangat harum, dengan warna yang lebih putih dari susu, dan rasa yang lebih manis dari madu, Nama minuman ini termaktub dalam Al-Quran surat Al-Insan ayat 5-6
- Dibuat oleh