Kredit Terbesar bagi Para Kafilah Dakwah: Tanpa Pamrih
Tanya: Apa saja pondasi dasar yang harus dimiliki jiwa-jiwa yang bertekad untuk mempertemukan umat manusia dengan hakikat kebenaran?
Jawab: Ubudiyahmanusia yang beriman terhadap Zat Yang Mutlak Disembah, harus diletakkan sebagai penghambaan mutlak kepadaNya. Maksudnya, dalam penghambaan dirinya, ia tak boleh tercampur dengan hal selainNya. Karena kita sebenarnya adalah budakNya dimana terdapat tali kekang di leher-leher kita. Kelemahan, kepapaan, kealpaan, dan ketidakmampuan kita, serta bagaimana kita tidak memiliki kuasa untuk meraih apa yang kita cita-citakan tanpa inayahNya; kadang sesuatu sudah diraih namun ia lepas lagi dari genggaman tangan kita; bagaimana apa yang kita harapkan ternyata tak mampu kita raih; fakta tersebut sebenarnya menunjukkan betapa papanya kita. Telah jelas bahwasanya kita bahkan tidak menguasai dan memiliki diri kita sendiri. Oleh karena itu, sudah pasti ada suatu kekuasaan di atas kita.
Dan memang manusia seringkali tidak menyadari hakikat ini. Manusia kadang melakukan kalibrasi atau peneraan dalam frekuensi tertentu, tetapi ketika proses kalibrasi tidak dilakukan dengan tepat, maka dari kanan kiri akan masuk berbagai lintasan pikiran. Ia akan mempengaruhi cara berpikir dari seseorang. Oleh karena itu, manusia harus berusaha menemukan suara kebenaran lewat proses kalibrasi yang serius. Ya, sebelumnya manusia harus menimbang pemikirannya, gagasannya, dan kata-katanya di atas timbangan yang dimiliki oleh sosok-sosok yang memahami nilai hati nurani. Setelah semua ini ditunaikan, lalu jika dalam perjalanannya masih terdapat sekelebat lintasan pikiran yang mengganggu kemurnian penghambaan kita, hal selanjutnya yang dapat kita lakukan adalah mengharap pengampunan dariNya atas. Jika tidak, maka kita akan dimasuki perasaan telah melakukan semua pekerjaan dengan sempurna, dimana ia bertentangan dengan kesadaran untuk menghamba.
Gada Demi Gada
Ketika Anda bersujud dalam shalat, Anda menumpahkan segala isi perasaan Anda kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala selama lima sampai sepuluh menit. Akan tetapi di saat yang sama, setan membisikkan:’Sungguh kamu telah melakukan penghambaan yang baik.’ Jika lintasan pikiran seperti itu muncul di dalam hati, segeralah jawab ia dengan jawaban:’Wahai Allah, satu-satunya Zat yang patut disembah, sungguh kami tak mampu menghamba dengan sempurna! Wahai Allah, Zat yang namanya diagungkan oleh makhluk bumi dan langit, sungguh kami tak mampu men-zikir-kan NamaMu dengan layak! Wahai Tuhanku yang harusnya dipuja-puji dengan segala macam bahasa, sungguh kami tak mampu bersyukur kepadaMu dengan baik! Wahai Allah, Zat yang Maha Suci dari segala kekurangan, sungguh kami tak mampu bertasbih dan mensucikan NamaMu dengan baik!’. Jawaban ini bagaikan gada. Dengannya kita mennghantam lintasan pikiran yang tidak diridhoi olehNya hingga ia tak mampu lagi menegakkan tulang punggungnya.
Namun, walaupun Anda telah menghantamnya dengan Gada terbesar sesetan bagaikan makhluk bernyawa seribu, ikalipun, perlu diketahui bahwasanya a lewat waswas dan nafsu ammarah serta segala taswilat dan tazyinat[1]nya senantiasa menghantui dan siap menerkam di tempat dan waktu yang tak terduga. Demikian siaganya mereka, bahkan saat kita tawaf di Kabah; berdoa dan wukuf di Arafah; bermalam di Muzdalifah; ataupu saat melempar jumroh di Mina sekalipun, setan dan nafsu tidak pernah beristirahat; mereka selalu berusaha membuat kaki kita tergelincir.
Oleh karena sebab itulah, dalam Al Quranul Karim diperintahkan:
فَٱستَقِم كَمَا أُمِرتَ وَمَن تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطغَواْ ...١١٢
’Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu...’ (QS Hud 11: 112). Sehingga, kita pun dalam setiap shalat yang kita dirikan berdoa:
ٱهدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلمستَقِيمَ ٦
’Tunjukilah kami jalan yang lurus’ (QS Al Fatihah 1: 6). Jika kita mendirikan shalat fardhu beserta rawatibnya, kita mengulangi doa ini sebanyak empat puluh kali dalam sehari[2]. Jika kita menunaikan shalat-shalat nafilah lainnya seperti Isyrak, Dhuha, Awwabin, dan Tahajjud, maka itu artinya kita mengulang doa agar Allah senantiasa berkenan membimbing kita di jalan yang lurus sebanyak 60 kali dalam sehari[3]. Jika Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak berkenan untuk membimbing kaki kita menuju jalanNya yang lurus, maka langkah perbaikan kita akan terhenti di rutenya nafsu ammarah. Ya, jika Dia jalla jalaluh tidak membimbing langkah kaki kita, demikian banyaknya kecelakaan lalu lintas yang akan kita alami, sehingga kerusakan yang dialaminya pun tidak akan bisa diperbaiki dengan mudah.
Mereka yang Menghargai Pengabdiannya Kepada Agama dengan ‘Tarif’ tertentu, Tidak Akan Pernah Sukses
Di sisi lain, jika kita senantiasa mengeja Nama AgungNya dan menghabiskan malam-malam kita bersamaNya; jika ketika berada di mana pun kita senantiasa menzikirkan ‘Dia’ dan menghirup nafas ‘Huwa;’ maka di waktu dimana kita berada dalam ruang manusiawi[4] kita, hubungan kita denganNya akan senantiasa berlanjut. Misalnya Rasulullah shallallahu alayhi wa sallam pernah menyampaikan kabar gembira, bahwasanya mereka yang setelah menunaikan shalat isya lalu sebelum tidurnya berniat untuk bangun shalat tahajjud dan menghidupkan malam, namun karena kantuk yang amat berat lalu ia tidak sanggup untuk bangun tahajjud, beliau katakan bahwasanya tidurnya tersebut merupakan sedekah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuknya.[5] Hal tersebut adalah hadiah yang dianugerahkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dari rahmatNya yang luas kepada kita. Ya, rahmatNya tak memiliki akhir, Dia tidak meminta pertanggungjawaban atas apa-apa yang kita tidak mampu memikulnya, melainkan memberikan mukallafiyah[6] sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Seperti diisyaratkan dalam ayat:
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفسًا إِلَّا وُسعَهَا ...٢٨٦
‘Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya...’ (QS Al Baqarah 2: 286), dalam agama tidak terdapat kewajiban yang tak mampu dipikul umatnya.
Jika demikian, kita tidak boleh memiliki harapan selain keridhoanNya, mengingat demikian luasnya anugerah dan tak terbatasnya rahmat dariNya. Karena tidak ada harapan yang lebih agung dari mengharap keridhoanNya. Hadiah terbesar kedua dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada para penghuni surga setelah tajalli jamaliyahnya adalah firmanNya:’Aku ridha kepadamu.’ Kita tak akan mampu menjelaskan dampak yang ditimbulkan oleh wangi aroma Ilahi yang bersumber dariNya terhadap ruh manusia. Barangkali sosok waliyullah seperti Syeikh Abdul Qadir Jailani, Abu Hasan as Syadzili, Muhammad Bahauddin an Naqsyabandi, Maulana Khalid al Baghdadi, Imam Rabbani, dan Bediuzzaman Said Nursi; mereka mungkin telah bermusyahadah – menyaksikan – nikmat tersebut dalam takaran sketsa yang dapat ditanggung oleh kemampuan dunia. Sedangkan saya tidak memiliki kemampuan untuk menjelaskan ataupun menggambarkan kelezatan yang didapatkan oleh mereka yang menerima nikmat tersebut. Karena Sang Pemilik Syariat shallallahu alayhi wa sallam sendiri ketika beliau menjelaskan nikmat-nikmat di dalam surga, mengatakan:
أَعْدَدْتُ لِعِبَادِيَ الصَّالِحِينَ مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ
Allah berfirman, ‘Aku telah menyediakan bagi hamba-hamba-Ku yang saleh kenikmatan yang belum pernah mata melihatnya, belum pernah telinga mendengarnya, dan belum pernah pula terbetik dalam kalbu manusia’[7]
Dalam kerangka yang digambarkan disini dapat kita pahami bahwasanya kenikmatan surga adalah sebuah topik yang melewati batas pikiran dan khayalan manusia.
Dari sisi ini, baik di dunia dan di akhirat, tidak ada sesuatu yang lebih besar dan bernilai dibandingkan dengan mengemis kasih kepada Allah subhanahu wa ta’ala serta mengingatkan orang-orang di sekitar kita untuk turut mengemis kasih dariNya. Oleh karena itulah, seluruh umur kehidupan dari para nabi digunakan untuk mengenalkan Allah dan mengarahkan umat manusia agar mencintai Allah, serta memperkuat hubungan mereka dengan Allah; dan untuk usahanya tersebut, para Nabi tidak mengharapkan imbalan apapun dari umatnya. Karena pamrih dapat mencederai keikhlasan dan menghilangkan keutamaan dari amal perbuatan. Selain itu, manusia yang mengharapkan imbalan dari setiap pengabdian yang dilakukannya tidak akan sukses. Mereka bisa jadi nampak sukses untuk sementara waktu. Akan tetapi saat angin kritik mulai menghembus, maka mereka akan terguling-guling seperti gulungan jerami.
Semua Nabi Menyampaikan Hakikat yang Sama
Allah Yang Maha Mulia dalam surat Syuara, setelah menyebutkan nama para Nabi Agung seperti Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Salih, Nabi Luth, dan Nabi Syuaib secara berurutan, Dia berfirman:
وَمَا أَسٔلُكُم عَلَيهِ مِن أَجرٍ إِن أَجرِيَ إِلَّا عَلَىٰ رَبِّ ٱلعَٰلَمِينَ ١٠٩
[QS 26. Asy Syuara: 109]. Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.[8] Mereka melakukan tugasnya hanyalah untuk Allah Subhanahu wa ta’ala; Mereka selalu mengarahkan pandangannya hanya kepadaNya; dan tidak pernah memiliki pamrih apapun walau hanya sebesar biji zarrah atas semua pengabdian yang mereka lakukan.
Walaupun mereka hidup di masa yang berbeda, dengan kondisi dan kebutuhan sosio-kultur masyarakat yang berbeda, tetapi para nabi-nabi yang dibahas dalam ayat tersebut tetap menyampaikan pesan yang sama. Apa yang disampaikan oleh Nabi Nuh, juga disampaikan oleh Nabi Hud, Nabi Salih, Nabi Luth, dan Nabi Syuaib alayhimus salam. Padahal masalah yang dimiliki setiap masyarakatnya berbeda-beda. Ini artinya apapun masalahnya, solusinya tetap sama, yaitu ikhlas dan tanpa pamrih.
Misalnya, kaum Nabi Nuh alayhis salam, mereka menuhankan para tokoh masyarakat di antara mereka; mereka menamai tuhan-tuhan mereka dengan nama-nama seperti Wadd, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr. Mereka menyampaikan salam kepada tokoh-tokoh yang jasadnya sudah di kubur di dalam tanah ini dan mengharapkan sesuatu sebagai balasannya.[9] Kondisi tersebut merupakan ancaman bahaya yang dapat ditemukan di setiap periode masa.
Kamu ‘Aad, merasa bangga dengan kehebatannya. Mereka memiliki kemampuan memahat gunung batu dan menjadikannya tempat tinggal. Demikian angkuhnya mereka oleh kehebatannya, sampai-sampai mereka merasa tidak ada satupun dari apa yang ada di langit dan di bumi yang dapat mencelakakan mereka. Mereka merasa yakin, walaupun semua patahan bumi berkumpul di bawah tanah yang mereka pijak dan bergeser di waktu yang sama, rumah-rumah yang mereka bangun tidak akan runtuh karenanya. Dengan demikian masalah yang dihadapi Nabi Hud berbeda dengan masalah yang dihadapi Nabi Nuh. Nabi Hud alayhis salam sambil mengacuhkan ancaman demi ancaman yang dilancarkan kaum Ad kepadanya, terus-menerus menyampaikan betapa salahnya pemahaman mereka dan dalam melakukannya beliau senantiasa tidak mengharap pamrih apapun.[10]
Ketika kita sampai pada pembahasan Nabi Salih, kita akan melihat bahwa masalah yang dihadapi oleh beliau juga berbeda. Kaumnya hanyut dalam keindahan duniawi taman-taman dan kebun-kebunnya serta ranumnya bebuahan yang dihasilkannya; mereka pun mulai hidup di dalam kesenangan dan kebanggaan dalam rumah-rumah yang dimilikinya. Nabi mereka Salih alayhis salam, menghadapi semua kesulitan sambil berusaha menegakkan dadanya; ia menunaikan tugas agungnya tanpa mengharap imbalan apapun, dan mengundang kaumnya menuju tauhid. Beliau juga mengingatkan kaumnya agar tidak menjadi orang-orang yang musrif (ahli mubazir) dan mufsit (sesat).[11]
Nabi Luth alayhis salam yang datang setelahnya, menghadapi kaum yang tenggelam di dalam akhlak yang menjijikkan. Sebagaimana nabi-nabi sebelumnya, Nabi Luth pun mengabaikan ancaman dari kaumnya, beliau mengundang mereka menuju jalan yang benar dan tauhid, serta tak mengharapkan imbalan apapun sebagai balasannya.[12]
Lalu kita pun sampai pada pembahasan kaum Nabi Syuaib alayhis salam. Di masa itu, takaran dan timbangan di pasar dan pertokoan tidak dikalibrasi dengan benar. Timbangannya pun tidak jelas, yang sebelah mana yang menjadi ukuran, yang sebelah mana yang digunakan untuk menimbang. Kehidupan perdagangan penuh dengan spekulasi. Selang (kemakmuran) hanya ada di tangan-tangan yang memiliki kekuatan dan kekuasaan dimana ia digunakan untuk memenuhi tangki-tangki penyimpanan pribadinya. Nabi Syuaib dengan nasihat-nasihatnya:’Sempurnakanlah takaran dan janganlah memakan hak orang lain dengan mengurangi takarannya. Timbanglah dengan benar dan janganlah mengurangi hak orang lain. Janganlah merusak sistem dengan perilaku buruk itu.’ memperingatkan kaumnya dan atas ajakannya ini beliau tidak meminta imbalan apapun dari mereka.[13]
Surat Syuara ketika menceritakan kisah lima nabi ini tidak menyebutkan Nabi Besar Muhammad shallallahu alayhi wa sallam. Akan tetapi dalam ayat lainnya disebutkan bahwa pesan yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu alayhi wa sallam tidak berbeda dengan apa yang disampaikan oleh nabi-nabi sebelumnya:
ذَٰلِكَ الَّذِي يُبَشِّرُ اللَّهُ عِبَادَهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ۗ قُل لَّا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَىٰ ۗ وَمَن يَقْتَرِفْ حَسَنَةً نَّزِدْ لَهُ فِيهَا حُسْنًا ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ
[QS Syura 42:23]. Itulah (karunia) yang (dengan itu) Allah menggembirakan hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh. Katakanlah: "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan". Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.
Lewat nasihatnya tersebut, disampaikan bahwasanya beliau tidak mengharapkan imbalan apapun dari kaumnya di Mekkah yang selama tiga belas tahun lamanya tak pernah berhenti memberikan beragam masalah, memaksanya untuk hijrah, dan membuatnya merasakan makna sedih karena perpisahan. Ya, walaupun beliau telah menjadi wasilah bagi kebahagiaan dunia dan akhirat bagi umatnya, namun beliau tak mengharapkan apapun dari mereka sebagai imbalannya; beliau merebahkan tubuhnya di atas anyaman tikar tipis, beliau juga melewati hari-hari dengan perut lapar, tetapi tidak pernah sekalipun beliau ubah perilaku dan perbuatannya.
Meniadakan Reputasi Diri dan Jalan Terjal yang Menghadangnya
Meniadakan reputasi diri adalah satu-satunya jalan asas agar lawan bicara mempercayai dan meyakini pesan yang kita sampaikan. Karena mereka yang mengharap pamrih dan manfaat parsial dari pengabdian yang dilakukannya otomatis akan kehilangan reputasi serta mematahkan rasa hormat orang lain pada dirinya. Jika Anda memasuki medan pengabdian ini dengan ‘bismillah!’, maka Anda tidak boleh menjauhi jalan kenabian. Mereka yang menyaksikan Anda harus bisa berkata:”Ketika dulu pertama kenal dengan orang-orang ini, saya lihat ia hanya memiliki beberapa rupiah di kantongnya. Kini ketika ia pamit untuk pergi mengabdi di tempat lainnya, uang di kantongnya tak bertambah, bahkan berkurang. Ini artinya, ia pun tak bisa menahan uang pribadinya. Uang pribadinya pun terpakai untuk pengabdian yang dia lakukan.” Prinsip tanpa pamrih dan istighna[14] sebagaimana merupakan karakteristik yang perlu dimiliki oleh para abdi negara mulai dari level lurah hingga presiden, ia juga merupakan karakter yang perlu dimiliki oleh jiwa-jiwa yang berdedikasi untuk menjelaskan hakikat kebenaran. Karena dinamika terbesar dari para pengabdi adalah tanpa pamrih dan penuh dedikasi.
Kesuksesan mereka yang mendedikasikan dirinya untuk melayani umat manusia agar usahanya tetap lestari, bergantung pada sejauh mana mereka terus berjalan di atas jalan kenabian. Jika tidak, mereka bisa jadi memulai jalannya sebagai Harun namun mengakhiri perjalanannya sebagai Karun yang ditenggelamkan ke dalam harta bendanya dan diingat masyarakat dengan kutukan. Jika di dalam lidahku terdapat tempat untuk mengutuk, maka teruntuk mereka yang mengaku melayani masyarakat namun ternyata mengambil manfaat pribadi dari simpati masyarakat, mereka yang senantiasa memperhitungkan segala sesuatu dengan hitungan untung dan rugi, mereka yang mengambil komisi pribadi dari berbagai tender, dan kepada mereka yang menempatkan para munafik itu di posisi para sultan, akan kukatakan:’Semoga Allah menenggelamkan dan menghancurkan pamrih dan keinginan-keinginan Anda ke lubang bumi yang paling dalam bersama anak cucu Anda!’ Namun, karena mengutuk tidak memiliki tempat di dalam lidahku, maka aku akan mengatakan apa yang dikatakan Iqbal,[15] aku pun hanya memanjatkan doa, dan tidak mengucap “amin” untuk kutukan.
Dari sini, maka orang-orang yang berada di lingkaran penuh berkah, sosok-sosok yang mendedikasikan diri untuk mengabdi kepada iman dan Al Quran, tidak boleh sedikitpun terbersit dalam pikiran mereka untuk memanfaatkan kredit atas pengabdian yang mereka lakukan untuk kepentingan pribadi. Mereka tidak boleh menggunakan reputasinya untuk memenangkan tender proyek tertentu yang bukan haknya, pun untuk manfaat pribadi lainnya. Mereka tidak boleh mengorbankan dinamik terbesarnya, yaitu dedikasi dan tanpa pamrih, untuk hal-hal yang bersifat duniawi. Allah subhanahu wa ta’ala telah menganugerahkan kepada mereka berbagai nikmatNya, dan menguntungkan mereka dalam kehidupan dunianya; dan Allah masih berkenan menganugerahakannya. Mereka pun menggunakan nikmat dan rizkinya di jalan Allah. Ketika pembahasannya sampai kepada mereka yang bertanggungjawab di bidang bimbingan dan konseling, maka sesungguhnya kekayaan terbesar mereka adalah sifat tanpa pamrihnya. Jika mereka terjatuh ke posisi dimana mereka mengejar hal lainnya, maka sesungguhnya mereka telah meninggalkan sesuatu yang banyak demi mendapatkan sesuatu yang sedikit.
Akhir Menyedihkan dari Para Pelaku Jalan Rusak (Korup)
Merekalah para tokoh yang perlu diteladani. Jalan dan cara yang benar adalah jalan yang mereka ambil. Jalan yang selain jalan mereka adalah jalan rusak (korup). Orang yang keluar dari jalan yang benar, tanpa sadar terpeleset ke berbagai macam jalan rusak. Korupsi yang mereka lakukan, mungkin awalnya hanya jadi bahan tertawaan, namun akan datang suatu hari yang berat, dimana di hari itu akan membuat mereka yang mendengarnya menangis dan berkata:
يَا لَيْتَنِي كُنتُ تُرَابًا (QS An Naba 78:40). "Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah" dan tidak mendengarnya.
Oleh karena itu, orang-orang yang berada di dalam ‘komisi mulia’ ini hendaknya mengacuhkan segala hal duniawi yang mungkin nampak indah oleh hawa nafsu namun pada hakikatnya tidaklah lebih mulia dari sayap nyamuk. Ada sebuah kalimat yang dikatakan sebagai hadits, dunia tak lebih dari seonggok bangkai; semua aktivitas, rencana, roda, atau mesin, serta orang-orang yang digunakan untuk meraihnya bagaikan anjing-anjing yang berebut untuk mendapatkan bangkai tersebut[16].
Andai kita mampu melupakan dunia yang penuh tipu daya ini dan hal lain di luar hal yang harusnya menjadi fokus kita. Mereka yang tidak mampu melupakannya sesungguhnya telah menyia-nyiakan dirinya sendiri, bangsanya, dan sejarahnya. Istana Topkapi telah berhasil mengikuti jalan para sahabat dan membawa bangsa yang penuh berkah ini menjadi penguasa dunia. Di sana dunia ruh kita dipantulkan ke luar. Di sana terdapat cita-cita Fatih Sultan Mehmet, Sultan Bayezid ke-2, Yavuz Sultan Selim yang agung, serta Kanuni Sultan Sulaiman. Mereka meniti jalan ini, pergi menuju belahan dunia lainnya, melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk menciptakan keseimbangan dunia, membuat orang-orang zalim bertekuk lutut, memberi nafas kehidupan kepada orang-orang yang dizalimi. Namun, sekembalinya dari tugas, mereka pulang ke istana yang sederhana ini. Di Istana Topkapi ini mereka melanjutkan tugas mereka. Sebaliknya, istana-istana seperti Dolmabahce dan Yildiz, walaupun penuh dengan kilau kemewahan dan kebanggaan, mereka justru meredupkan cahaya bintang kita. Walaupun mereka di satu sisi menampilkan dunia seperti surga, sesungguhnya mereka telah membuat kita melupakan Allah dan surga yang sejati.
(Diterjemahkan dari Yolun Kaderi hlm. 213 artikel berjudul Irsad Yolculari icin en Buyuk Kredi: Beklentisizlik)
- Dibuat oleh