Jalan Keselamatan
Pertanyaan: Apa yang dimaksud dengan jalan keselamatan? Apa saja prinsip-prinsip jalan keselamatan, baik bagi diri kita pribadi maupun bagi syakhsiyah maknawiyah? [1]
Jawaban: Kata güzergâh merupakan kata serapan dalam Bahasa Turki yang berasal dari bahasa Persia. Ia memiliki arti jalan ataupun adimarga. (1) Akan tetapi güzergâh, sesungguhnya memiliki makna jalan yang harus ditempuh supaya seseorang berhasil mencapai tujuannya. Tujuan ini kadang bersifat duniawi, kadang pula bersifat ukhrawi. Namun, karena tujuan duniawi tidak menjadi tujuan dan cita-cita hakiki dari seorang yang beriman, maka ia akan mengarahkan tujuan dan cita-citanya di jalan keabadian yang bersifat ukhrawi.
Satu-Satunya Tujuan adalah Rida Ilahi
Seorang yang beriman, ketika ia dipercaya untuk mengelola suatu desa, maka tujuan utamanya bukan/tidak boleh berupa keinginan rendah dan nafsu belaka seperti mendapatkan fasilitas materi ataupun memuaskan keinginan untuk meraih pangkat jabatan. Sebaliknya, ia akan bekerja keras untuk memastikan warga desanya meraih kebahagiaan duniawi dan ukhrawi demi meraih rida ilahi. Misalnya, mereka bisa membangun dan memaksimalkan fungsi dari institusi-institusi seperti sekolah, masjid, perpustakaan, dan lembaga lainnya. Mereka dapat mengarahkan warganya untuk meraih tujuan-tujuan agung lagi mulia melalui lembaga dan institusi tersebut. Melalui usaha tersebut, mereka dapat menghasilkan pribadi-pribadi yang bermanfaat baik bagi bangsanya sendiri maupun bagi kebaikan seluruh umat manusia. Jika kita meluaskan cakupan wilayah yang akan menjadi tanggung jawabnya, seorang yang beriman akan berusaha mempertemukan masyarakat yang berada di bawah pengayomannya dengan misi-misi mulia nan agung. Jika tidak, apa pentingnya kedudukan dan jabatan bagi seorang yang beriman? Karena, sisi duniawi dari kehidupan dunia ini tidak memiliki nilai apa pun walau hanya sebesar sayap nyamuk. Rasulullah bersabda:
لَوْ كَانَت الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللّٰهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافراً مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
“Seandainya dunia ini di sisi Allah memiliki nilai walau sekedar dengan sayap nyamuk niscaya Allah tidak akan memberi minum barang seteguk sekalipun kepada orang kafir” (HR Tirmizi, Bab Zuhud, 13). Akan tetapi, posisi dunia sangatlah agung bila dipandang dari sisi ia sebagai cerminan asma ilahi serta jalan menuju akhirat, surga, penyaksian jamaliyah-Nya, dan meraih ufuk “Aku rida kepadamu”.
Maka dari sisi ini cita-cita terbesar dari setiap daya dan upaya seorang yang beriman adalah rida ilahi. Selain itu, terdapat sarana-sarana yang memiliki derajat seperti cita-cita, yaitu mengenalkan Rasulullah shallalahu alaihi wasallam kepada umat manusia dan membuat penduduk bumi mencintai Islam. Akan tetapi, dua hal tadi pun hanya merupakan sarana untuk meraih rida Ilahi. Meskipun tanpa kedua hal tadi rida Ilahi tidak bisa diraih, rida Ilahi tetap merupakan tujuan utama. Segala daya dan upaya yang ditunjukkan di jalan ini akan terhitung sebagai usaha yang tepat untuk meraih tujuan tersebut. Demikianlah güzergâh, ia adalah jalan yang mengantarkan manusia kepada tujuan agung seperti yang dijelaskan tadi. Supaya manusia tidak terpaku pada rintangan dan halangan yang akan bermunculan ketika menempuh jalan güzergâh ini, maka sebelum berangkat segala macam bahaya dan risiko harus ditemukan melalui pandangan menyeluruh akan segala sesuatu dari awal hingga akhir perjalanan. Dengan demikian, seseorang berarti telah mengamankan jalan yang akan dilaluinya untuk meraih tujuan. Selama perjalanan pun ia tidak perlu berhadapan dengan kemacetan.
Masalah Kedengkian yang dimulai oleh Setan
Kegiatan kebaikan dan bermanfaat bagi manusia yang dikelola serius, dapat menarik perhatian mata yang menyaksikannya serta mengundang rasa dengki sehingga secara khusus harus dikelola dengan penuh waspada. Kita harus memperhitungkan bahwasanya di setiap waktu terdapat orang-orang yang dengki, di mana mereka tidak rela, marah, dan kebenciannya meluap seperti letupan magma ketika melihat program-program yang seperti ini. Kita tidak boleh menafikan adanya kemungkinan pribadi-pribadi yang berlari di jalan yang sama pun bisa saja menyimpan kedengkian di dalam hati dan bergumam “Mengapa dia yang sukses menjalankan program ini, bukan saya?”. Ya, di antara orang-orang yang berlari di jalur serta tujuan yang sama sekalipun, terkadang godaan setan memunculkan individu-individu yang iri terhadap kesuksesan yang dicapai saudaranya; menyaingi rekan-rekan yang bergerak di medan juang yang sama; merasa dirinya lebih layak mendapatkan pujian dan tepuk tangan.
Sebenarnya kedengkian terhadap kebaikan dan kebajikan pertama kali dimulai oleh setan yang memendam kebencian, dendam, hasad, dan kecemburuan kepada Nabi Adam alaihis salam. Goethe juga menyampaikan bahwasanya pertarungan antara Mefisto dan Faust tidak akan pernah berakhir (2). Jadi, di satu sisi ada setan, sedangkan di sisi lain ada insan. Bahkan terdapat setan-setan dari kalangan manusia yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada setan-setan dari kalangan jin. Al-Qur’an menjelaskan hal ini: “شَيَٰطِينَ ٱلْإِنسِ وَٱلْجِنِّ setan-setan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin (QS Al An’am 6:112). Makna dari ayat ini adalah “orang-orang yang bergerak dan mengelola hidup sepenuhnya berdasarkan godaan setan dari kalangan jin.”
Demikian banyaknya mata pengkhianat mulai dari yang paling keras hingga yang paling lembut, maka kewajiban bagi seseorang yang beraktivitas di jalan kebajikan adalah senantiasa mengecek ulang jalan guzergah yang akan dilaluinya. Dengan kata lain, seseorang yang sedang meniti jalan ini harus membaca dengan baik dan benar segala kemungkinan halangan yang mungkin muncul di tengah perjalanan untuk menghindari kerusakan yang tidak diinginkan. Sangat berhati-hati dengan apa dan bagaimana langkah kebajikan diambil akan memastikan aktivitas-aktivitas kebaikan yang sudah dan akan dikerjakan dapat berjalan dengan lancar. Demikianlah makna dari mengamankan güzergâh.
Amanah Terbesar
Ketika Rasulullah bersabda:”Namaku akan tersebar ke seluruh tempat di mana matahari terbit dan tenggelam,” artinya terdapat tanggung jawab penting di pundak kalbu-kalbu orang yang beriman. Ketika dibandingkan dengan cita-cita dan tanggung jawab ini, maka merayakan penaklukan Istanbul yang dahsyat sekalipun, di mana peristiwa itu disampaikan sebagai kabar gembira oleh Rasulullah, dengan parade mehter dan drumben setiap tahun hanya bernilai seperti setetes air di samudera. Seperti halnya itu, maka penaklukan Beograd pun di sampingnya juga akan bernilai seperti setetes air di atas segara. Apabila orang-orang yang bertanggung jawab terhadap amanah agung seperti itu bergerak tanpa memikirkan keselamatan guzergah-nya, mereka seakan telah mengkhianati amanah ini. Mereka yang berpikir: “Jangan sampai bahaya menghampiriku, Aku harus menyelamatkan kehidupanku” meskipun guzergah-nya selamat, tanpa disadari mereka telah menyia-nyiakan amanah tersebut.
Terkadang ketika menghadapi ketidakadilan Anda menjerit sebagai konsekuensi iman. Jeritan Anda bisa jadi tulus dan ikhlas. Akan tetapi, apa yang Anda lakukan dapat melahirkan suara berisik yang bisa membangkitkan fitnah di lingkungan sekitar sehingga tanpa disadari Anda telah membahayakan amanah agung ini. Rasulullah bersabda:
اَلْفِتْنَةُ نَائِمَةٌ لَعَنَ اللّٰهُ مَنْ أَيْقَظَهَا
Fitnah itu sedang tidur. Semoga Allah melaknat mereka yang membangunkannya (Kanzul Ummal 11/186, hadis nomor 30891).
Oleh sebab itu, ketika dalam beberapa sisi terdapat bahaya yang menimpa pengabdian terhadap iman dan Al-Qur’an, daripada mengatakan: ”mereka telah berbuat zalim, tidak adil, dan merugikan” terhadap orang-orang yang telah merugikan, mohon maaf, lebih baik kita katakan: “kira-kira kesalahan apa yang telah kita lakukan?” Dengan berkata: “Apakah kata-kata dan sikap kita telah mendorong orang-orang kepada kekhawatiran yang tidak semestinya” maka kita harus senantiasa mengevaluasi diri. Dari sisi ini, orang-orang yang cinta mati pada dakwah di masa kini, seperti halnya para sahabat nabi yang membentuk saf awal di masa lalu, harus menampilkan bahwasanya mereka adalah representasi dari hakikat sempurna ini, kemudian membuka kalbu-kalbu kepada semesta, dan dengan demikian mereka dapat menaklukkan kalbu-kalbu tersebut serta mendirikan singgasana di dalamnya. Sebaliknya, mencari keadilan melalui jalan kekerasan dan paksaan dengan dalih mengerjakan kebajikan tanpa disadari dapat membuatnya jatuh ke jalan yang buruk. Mohon maaf, apakah selama berada di Kota Mekkah Rasulullah pernah membalas balik penindasan bertubi-tubi meski hanya dengan satu sentilan jari belaka? Barangkali ini mudah untuk diucapkan, meskipun selama di kota Mekkah Beliau menjalani hidup penuh tekanan selama 13 tahun, tepatnya dari usia 40 hingga 53 tahun, beliau tetap bersabar menghadapi segala macam siksaan dan penindasan. Demikianlah akhlak Nabi sehingga tidak mungkin terdengar keluhan bahwa “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menginjak seekor semut.” Ya, beliau menanamkan rasa aman dan nyaman kepada orang-orang di sekitarnya, mulai dari yang paling dekat hingga ke yang paling jauh. Sekali-kali beliau tidak pernah membangkitkan fitnah.
Tanggung Jawab yang Kadarnya seperti Fardu
Demikianlah, ketika kita mempertimbangkan semua hal tersebut, menurut saya menjamin keamanan guzergah hukumnya adalah fardu ain, meskipun para fukaha kiram kontemporer bisa saja mengkritisinya. Jadi, demikian pentingnya tugas menyampaikan amanah tersebut ke posisi semestinya dengan aman dan selamat, apabila ia tidak ditunaikan dengan selayaknya, pada semua titik güzergâh akan Anda dapati kemungkinan beragam bahaya yang tidak diperkirakan sebelumnya, di mana hal tersebut dapat menyebabkan Anda tidak berhasil menunaikan amanah tersebut. Ya, pembahasan ini membutuhkan kepekaan yang demikian serius. Ia tidak akan pernah bisa bertahan dengan populisme(3), personal branding (4), dan harapan duniawi.
Sebagaimana Badiuzzaman Said Nursi pernah berkata:” Said tidak memiliki eksistensi. Said juga tidak memiliki kekuatan dan kapasitas. Yang berbicara hanyalah hakikat, yaitu hakikat iman,” maka kita juga harus bisa berseru: “Aku tidak eksis, demikian juga dengan kiprahku. Apabila terdapat keberadaan, pemikiran, pandangan duniawi, dan pernyataan-pernyataanku yang merugikan cita-cita agung ini walau hanya sebesar atom, biarlah Allah mengambil nyawaku. Namun, apabila sebaliknya ia dapat mengabdi kepada agama Islam dan mampu berkontribusi dalam realisasi cita-cita agung ini meski hanya sebesar atom, semoga Sang Pencipta menganugerahiku umur yang cukup untuk mewujudkannya.” Ya, kita harus mampu menjadi ksatria yang sanggup menyerukan pernyataan ini. Kalbu yang berdedikasi harus terikat pada pemikiran ini dan bersikap tawaduk yang luar biasa lewat jalan mengucilkan dirinya. Ia harus bergerak di dalam kerendahan hati dan rasa malu yang dahsyat.
Adalah sebuah kenyataan mereka yang senantiasa berseru “saya! saya! saya!”, ingin populer dan sangat suka jika dirinya selalu dibahas tidak ada bedanya dengan orang yang senantiasa menyampaikan pendapat duniawi serta filosofi hidupnya sendiri. Dengan demikian, meskipun mereka mengawalinya dengan gegap gempita sekalipun kegagalan di masa mendatang tak akan dapat dihindari. Dari sisi ini, prinsipnya adalah bagaimana kita bisa membawakannya tidak untuk waktu yang sementara, melainkan dari awal hingga tercapainya hasil, hampir di tiap tahapan kita selalu mengaitkannya ke inti pembahasan ini.
Apabila kita melakukan kesalahan di sini, kita akan menyesal dan malu baik di dunia maupun di akhirat disebabkan pengkhianatan yang kita lakukan tersebut. Meskipun bukan hak dan itu di luar kemampuanku, tetapi diriku mulai menjalankan tugas sebagai imam di umur yang sangat dini bahkan sebelum menunaikan wajib militer. Di masa setelahnya kemudian Yang Mahakuasa menakdirkanku untuk menjalankan profesi sebagai penceramah. Kini ketika saya melihat kembali masa-masa itu, meskipun tidak setiap hari, tetapi setidaknya dalam seminggu terdapat satu atau dua kali di mana saya sangat menyesal jika mengingat kesalahan-kesalahan yang saya lakukan saat melalui guzergah itu. Orang-orang datang hingga ke ujung mimbar. Mereka duduk dan menyimak ceramah-ceramahmu. Mengapa dirimu tidak berempati dan mempertimbangkan perasaan para jamaah tersebut? Mengapa dirimu tidak meneliti jalan-jalan untuk bisa masuk ke dalam jiwa manusia seperti halnya uslub yang digunakan oleh Nabi Yunus dan Maulana Jalaludin Rumi? Mengapa ceramah-ceramahmu terdengar seperti ayunan kapak yang membelah kepala para pendengarmu? Saya berulang kali mencela diri ini: “Meskipun kata-katamu tidak menyampaikannya dengan lugas, tetapi isi ceramahmu membentuk persepsi seperti itu!” Demikian banyaknya saya mencela diri ini, Anda tak akan dapat membayangkannya. Apalagi Allah subhanahu wa ta’ala akan meminta pertanggungjawaban dari semua yang pernah kulakukan itu. Di akhirat nanti Allah akan menanyaiku:”Aku telah memberikan fasilitas berupa mimbar dan podium. Aku juga telah mengarahkan hati orang-orang untuk menyimak ceramahmu. Mengapa dirimu tidak berusaha untuk masuk ke dalam jiwa mereka? Mengapa dirimu tidak membuat mereka mencintai Islam? Mengapa dirimu tidak membuat mereka tergila-gila kepada Allah dan Rasulullah?”
Ya, barangkali saya memberikan contoh dari diri saya pribadi, tetapi supaya di masa mendatang setiap mukmin yang memikul amanah ini tidak menyesal, maka mereka harus bergerak dengan kepekaan yang sesuai dengan tanggung jawab dan amanah yang diembannya. Rasulullah menyampaikan bahwasanya kata “andai saja” merupakan sebuah musibah. Kata-kata “andai saja” adalah kata-kata kosong yang diucapkan oleh orang-orang lalai untuk menghibur orang-orang yang merugi karena kecerobohannya. Dari sisi ini, maka kata “andai saja” merupakan kata-kata terlarang yang tidak layak dan tidak pantas bagi seorang mukmin.
Ada juga “andai saja” yang terpuji, jangan sampai tertukar dengannya. Misalnya yang diucapkan oleh Sayyidina Abu Bakar: “Andai saja hal yang saya konsultasikan kepada Khalid, saya konsultasikan juga kepada Umar sehingga saya dapat menyelesaikan dua masalah sekaligus.” Beberapa sahabat juga pernah berkata sesuatu yang maknanya: “Seandainya di permasalahan ini saya bertanya kepada Rasulullah.” Itu semua merupakan “andai saja” yang bertawajuh kepada keagungan dan tujuan yang mulia. Semua itu adalah suatu niat di mana Allah subhanahu wa ta’ala akan menuliskan pahala atasnya. Ya, ungkapan-ungkapan itu adalah kata-kata yang disampaikan oleh mereka yang berharap menunaikan segala sesuatu dengan sempurna, tetapi terpaksa terucap karena tak mampu meraihnya. Namun, “andai saja” tadi bagi kita sepertinya dapat dipahami sebagai upaya untuk membela diri dan menutupi kesalahan-kesalahan yang kita lakukan. Ia adalah kata-kata yang terucap sebab mengerjakan sesuatu berdasarkan bisikan setan.
Maka dengan demikian kita harus bergerak dengan waspada supaya tidak menambah dosa serta untuk menghindari ucapan “andai saja” dikemudian hari karena kesalahan-kesalahan yang dilakukan pada hari ini. Di setiap langkah kita harus memulai dengan nama Allah, mengerjakan sesuatu dengan nama Allah, dan senantiasa bergerak dengan mengambil jalan kebenaran yang diridai-Nya.
Catatan kaki
- Adimarga: jalan raya yang lebar, biasanya dengan deretan pohon di kiri kanannya (KBBI)
- Dr Johann Georg Faust adalah seorang ahli kimia, ahli astrologi, dan seorang pesulap yang berasal dari Jerman. Kisah hidupnya terkenal sejak ditulis Marlow (1604) dan sastrawan Goethe (1808). Faust dikenal sebagai seseorang yang menginginkan kesenangan dan ilmu pengetahuan sehingga dia mengikat perjanjian dengan setan. Dia bersumpah menggadaikan jiwanya selama 24 tahun kepada setan, tetapi akhirnya dia menyesal setelah 16 tahun dan ingin menarik sumpahnya. Namun, setan malah membunuhnya. Faust melakukan perjanjian dengan Iblis bernama Mephisto. Mephisto adalah iblis dalam legenda rakyat Jerman. Dia awalnya muncul sebagai setan dalam legenda Faust dan ia telah muncul dalam banyak cerita legenda sebagai bentuk dari Iblis(penerj).
- Populisme: paham yang mengakui dan menjunjung tinggi hak, kearifan, dan keutamaan rakyat kecil (KBBI)
- praktik untuk mempromosikan diri, karir dan pencapaiannya sebagai sebuah merek. Personal branding merupakan proses mengembangkan dan mempertahankan reputasi dan kesan individu (penerj).
[1] Diterjemahkan dari artikel: https://fgulen.com/tr/eserleri/yenilenme-cehdi/guzergah-emniyeti
- Dibuat oleh