Al-Qur’an dan Penemuan Ilmiah
Tanya: Setelah beberapa penemuan ilmiah dan teknologi terungkap, dikatakan bahwa fakta-fakta ini telah diisyaratkan oleh Al-Qur’an. Berdasarkan perspektif ini, bagaimana seharusnya sikap para peneliti terhadap fakta-fakta ilmiah yang terdapat dalam Al-Qur’an? Apa pesan yang ingin disampaikan ayat tersebut khususnya kepada mereka yang menekuni sains?
Jawab: Al-Qur’an dan alam semesta adalah dua macam kitab Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang berbeda. Oleh karena itu sangat mustahil terjadi kontradiksi antara keduanya. Al-Qur’an Mu’jizul Bayan adalah manifestasi dari sifat Al-kalam (Maha Berfirman). Ia adalah penerjemah azali, kalam penjelas, dan bukti nyata dari kitab alam semesta, yang merupakan manifestasi dari sifat Al-Qudrah (Maha Berkuasa). Al-Qur’an menjelaskan kitab alam semesta. Dengan demikian alam semesta menjadi tercerahkan karena Al-Qur’an. Dengan kata lain, Al-Qur’an memperjelas adanya perintah penciptaan, rahasia Ilahi, dan pemeliharaan Rabbani.
Dikarenakan Al-Qur’an menjelaskan dan menginterpretasikan kitab alam semesta, maka di dalamnya terkandung beberapa isyarat ilmiah dari peristiwa-peristiwa di alam semesta. Oleh karena itu, sejak periode awal, para ilmuan Islam di samping mereka mempelajari ayat tentang, iman, ibadah, dan akhlak, mereka juga mempelajari ayat-ayat yang berhubungan dengan fakta ilmiah. Bersamaan dengan itu mereka juga menuliskan tafsir dan takwil dari ayat-ayat ilmiah tersebut. Sebagai contoh, ketika Anda membaca penafsiran Ibnu Jarir at-Tabari (w. 310 H/922 M) pada beberapa ayat, akan terlihat bahwa penafsiran beliau sangat mirip dengan penemuan-penemuan ilmiah pada zaman kita. Padahal ia hidup pada 11 abad yang lalu. Kesimpulan dan komentar yang dibuat oleh salah satu mufasirin yang luar biasa ini jauh melampaui level ilmu pengetahuan pada zamannya. Contoh, pada ayat ke-22 surah Al-Hijr,
وَأَرْسَلْنَا ٱلرِّيَـٰحَ لَوَاقِحَ
yang berarti, “Dan Kami telah mengirimkan angin untuk mengawinkan .....,” Ibnu Jarir menjelaskan bahwa salah satu peran dari angin adalah untuk membantu penyerbukan pada bibit tanaman. Fakta yang menarik disini adalah, pada zaman tersebut, di saat belum ada yang mengetahui tentang muatan positif dan negatif pada awan, Ia sudah menunjukkan bahwa ayat ini juga menyiratkan bahwa perkawinan antara awan (positif dan negatif) oleh angin, adalah pertanda untuk terjadinya hujan.
Bukan hanya Ibnu jarir, tetapi para cendekiawan muslim lainnya juga, mereka yang mengeluarkan berbagai tafsiran dan kesimpulan tentang ayat-ayat yang berhubungan dengan “hakikat penciptaan” (hukum Tuhan tentang penciptaan dan pengelolaan alam semesta serta aturan yang telah ditetapkan-Nya untuk kehidupan). Padahal isu ini belum dianggap sebagai suatu cabang ilmu yang terpisah sampai satu-dua abad terakhir. Pada masa kontemporer dimana terdapat pengaruh positivisme, pondasi yang lebih baik dibangun di atas topik tersebut. Misalnya, Muhammad Abduh (w. 1323 H/1905 M), yang menafsirkan Al-Qur’an sampai Surat Yusuf dalam 15 jilid, memberikan beberapa penafsiran modern pada beberapa ayat yang berhubungan dengan fakta ilmiah. Dan Rashid Ridha (w. 1354 H/1935 M), salah satu muridnya yang cemerlang, mengoreksi beberapa poin dari karya gurunya dan menyelesaikan sisanya. Akan tetapi dalam karya ini, ada beberapa penafsiran yang bertolak belakang dengan pandangan umum ulama Ahlussunnah Wal Jamaah. Sebagai contoh, ayat terakhir dari Surat Al-Fil,
فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُولٍ
yang berarti, “Sehingga mereka dijadikan-Nya seperti daun-daun yang dimakan (ulat)” yang dijelaskan dengan tafsiran bahwa bala tentara Abrahah tersebut dihancurkan oleh virus cacar yang dibawa oleh burung (sehingga membuat tubuhnya demikian). Padahal sesungguhnya, metafora dari kalimat “seperti daun-daun yang dimakan ulat ini” adalah keadaan tubuh para tentara Abrahah yang sebenarnya setelah dilempari batu oleh burung-burung, yaitu berlubang-lubang seperti daun yang dimakan ulat. Beberapa saat setelah tafsiran ini dipublikasikan, Tantawi Jauhari (w. 1358 H/1940 M) salah seorang cendekiawan menulis kitab tafsir yang berjudul Al-Jawahir dimana ia berusaha menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dari perspektif perkembangan sains. Walaupun kedalaman yang diharapkan dimiliki oleh sebuah kitab tafsir tidak dapat terpenuhi, ia telah berusaha mencoba untuk menjelaskan berbagai ayat menurut fakta-fakta ilmiah modern. Namun, para ahli tafsir Al-Qur’an lainnya memandang karyanya lebih mirip ensiklopedia dibanding kitab tafsir. Kemudian Said Hawwa (w. 1407 H/1989 M) juga melakukan usaha yang sama. Sebagai hasilnya, beberapa usaha dan studi yang dilakukan banyak cendekiawaan muslim terdahulu telah membawa zaman baru dalam interpretasi sains terhadap Al-Qur’an, dan penelitian lebih lanjut telah dimulai di Turki dan beberapa negara Arab.
Misalnya, Dr. Zaghlul al-Najjar, yang saya saksikan melalui channel TV Saudi dalam waktu yang cukup lama, adalah tokoh dengan studi penting di bidang ini. Tokoh luar biasa ini memiliki pengetahuan yang dalam tentang Al-Qur’an serta seorang akademisi yang memiliki capaian yang tinggi di bidang sains. İa memahami bidangnya secara baik dan mampu menjelaskan masalah ilmiah setelah mempelajarinya secara detail. Sedangkan seorang Bediuzzaman Said Nursi tidak memberikan penjelasan secara detail fakta-fakta ilmiah dalam karyanya. Tetapi beliau cukup mampu menjelaskan beberapa ayat yang menantang, seperti bagaimana Nabi Musa Alaihissalam memukul batuan dan terpancar air dari dalamnya dan bagaimana cara Nabi Sulaiman Alaihissalam menteleportasi singgasana Ratu Saba’. Tetapi ada satu hal yang beliau tegaskan bahwa mukjizat dari para nabi adalah batas terakhir dari horizon yang bisa dicapai oleh ilmu pengetahuan kita dan sebagai target yang harus dicapai manusia untuk berkembang. Dan menurut saya, ini adalah pendapat yang luar biasa dan pendekatan yang perlu dipertimbangkan dengan serius.
Posisi Penemuan Ilmiah di Dalam Tujuan Umum Dari Al-Qur’an
Beberapa kali penemuan ilmiah dijelaskan di dalam Al-Qur’an, pendekatan yang dilakukan oleh Bediuzzaman menjelaskan bahawa ayat Al-Qur’an menjelaskan segaa sesuatu sesuai dengan tingkatan yag mengacu pada tujuan utama Al-Qur’an. Ketika Al-Qur’an, kitab yang terperinci, ketika dilihat dari sudut pandang holistik, akan terlihat bahwa Al-Qur’an menggambarkan kemanusian ke jalan kepada kebahagiaan yang hakiki dengan menjabarkan hakikat-hakikat taqwa dan agama. Secara bersamaan, juga memberikan kebahagiaan untuk kehidupan di dunia dengan memberikan peraturan bagi individu maupundan masyarakat. Secara khusus, Al-Qur’an memberikan keutamaan untuk masalah-masalah yang penting yang diperlukan bagi kebahagiaan manusia di dua dunia. Ketika suatu isu dilihat dari sudut pandang ini, maka akan sangat jelas bahwa masalah yang berkaitan dengan ilmu dan penemuan ilmiah adalah isu sekunder dibandingkan dengan dengan isu penting yang ditonjolkan dalam Al-Qur’an. Lebih jauh lagi, Al-Qur’an bukanlah kitab yang diturunkan secara khusus unuk para Ilmuwan. Di lain pihak, Al-Qur’an dikirimkan untuk seluruh umat manusia. Dengan demikian, karena diturunkan untuk seluruh umat, maka gaya penulisan disesuaikan agar seluruh orang menerima pesan yang dikandungnya. Jika Al-qurn menjelskan suatu permasalah melalui sudut pandang para pakar ilmuwan, yang jumlahnya tidak lebih dar 5 persen dari jmlah manusia, 95 persen manusia yang lain tidak akan bisa mendapat manfaat dari Al-Qur’an.
Kompleksitas Sebuah Dasar dan Komentar Yang Berlebihan
Di lain pihak, ketika menafsirkan ayat berdasarkan fakta ilmiah, adalah sebuah sikap yang salah untuk melebih-lebihkan sesuatu dari proporsinya dan berfantasi, serta menghubungkan kepada hal-hal yang tidak relevan terhadap Al-Qur’an dengan ambisi untuk membuat tafsir saintifik. Dengan tambahan, mencoba untuk menguji Al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan sains adalaha sebuah ketidakhormatan terhadap perkataan Allah. Berpura-pura bahwa sebuah isu sains dan teknologi adalah sebuah hal yang dasar,dan memaksa untuk mencocokan dengan penjelasan dari Al-Qur’an dengan berbagai cara, serta mengambi keuntungan dari setiap penemuan ilmiah dan pengembangannya, sebagai dasar dan mencoba untuk mendukung dengan ayat Al-Qur’an dengan memaksakan batasan dari kebenaran agama yang hakiki adalah sebuah pendekatan yang kurang ajar terhadap wahyu Allah. Selanjutnya, Al-Qur’an menyiratkan berbagai macam masalah ilmiah dengan ciri khasnya sendiri. Al-Qur’an menggunakan ciri khas yang dapat dimengerti para pendahulu dan juga menusia zaman sekarang, ketika ilmu pengetahuan mulai menunjukkan potensinya. Dengan kata lain, walaupun ayat Al-Qur’an dapa dimengerti masyarakat pada periode kenabian, ayat-ayat ini juga tidak berkontradiksi dengan fakta ilmiah pada zaman kita. Sebagai contoh, surah di Al-Qur’an seperti al-hajj, al,mu’minun, dan al-mursalatyang secara terbuka menjelaskan tentang fase yang dilewati embryo di dalam rahim. Masyarakat pada zaman itu membaca surah ini dan mendapatkan manfaat sesuai dengan akal dan ilmu yang mereka miliki, sedangkan para ginekologis di zaman kita tidak lain mengagumi akan kebenaran yang dikemukakan tentang perkembangan embrio di dalam Al-Qur’an.
Ada sebuah isu yang harus diperhatikan dengan seksama: ketika menginterpresentasikan ayat Al-Qur’an dan membicarakan tentang Nabi besar muhammad dalam bayangan perkembangan sains, kita harus menyertakan hal-hal dengan alternatifnya, atau setidaknya dengan asumsi bahwa ada maksud lain yang dimaksud oleh ayat tersebut, membuka segala pintu untuksegala kemungkinan dan tidak pernah menutup isu tersebut. Khususnya, ketika penelitian diadakan dengan subjek yang baru dan keadaan yang berbeda, membuat kesimpulan yang dangkal tentang interpretasi dari sebuah ayat sebelum mendapat penjelasan yang cukup dapat membawa kita kepada kesalahan yang fatal. Tambahan, yang paling penting adalah berkiblat kepada penelitian terdahulu dan mengetahui tentang tafsiran dari sebuah isu dengan menggunakan interpretasi Al-Qur’an sebagai referensi dari zaman dahulu sampai sekarang.
Salah satu isu penting lainnya akan menambah manfaat disini: para pelajar yang mempelajari interpretasi dari Al-Qur’an harus ahli dalam beberapa bidang. Sebagai contoh, mereka harus mengetahui bahasa arab dengan sangat baik, bersamaan dengan ilmu lainnya seperti tafsir, hadist, fiqih, usul at-tafsirdan usul ad-din (theology). Dengan tambahan untuk megetahui bergam hal, mereka harus memiliki imu yang mumpuni untuk memahami sains. Layaknya, seorang peneliti yang harus memiliki ilmu agama yan cukup sebagai tambahan untuk lebih memahami bidang keilmuwannya secara mendalam, jika kebenaran adalah targetnya. Sayangnya pada masa ini, kedua bidang ini berkembang di jalan yang terpisah. Kita menyaksikan bahwa para ahli sains mengetahui secara mendalam hanya pada bidang yang mereka tekunitetapi tidak banyak mengetahui tentang agama. Saya ingin mengklarifikasi pada poin “tidak tau”:mengetahui hal-hal dasar dalam bergama tidak berarti mengetahui agama itu sendiri. Sekalipun sesorang mempelajari kumpulan hadist sahih Imam Bukharidengan hati, ini tidak berarti bahwa ia mengerti tentang agama. Menghafal seluruh Al-Qur’an juga tidak menjamin mereka mengerti, karena, selain menghafal hadist nabi dan ayat A-quran, diharuskan untuk mengetahui disiplin ilmu dari metodologi agama agar mengerti tujuan yang diwahyukan-Nya secara benar.
Mempercayai Keinginan Yang Membara Untuk Mencari Tau
Hari ini, para ilmuwan barat mempelajari secara rinci tentang kehidupan bersama dengan para peneliti yang mereka kumpulkan. Tidak satu orangpun yang tidak takjub terhadap kberanian dan usaha mereka dalam mencari. Walaupun, dikarenakan banyak dari mereka yang belym menemukan identitas sejati dari Nabi Muhammad dan ajarannya, mereka menginterpretasikan segala sesuatu dalam pandangan yang sempit tentang suatuobjek dan kejadi. Maka , sistem yang mereka ciptakan didasari oleh materialisme, positivisme,dan naturalisme. Dengan kata lain penembangan yang bisa dicapai oleh sistem ini – dimana materi adalah segalanya – dibatasi oleh cara pandang para ilmuwan barat. Para ilmuwan dalam sejarah sains dan filosofi secra pasti selalu berkembang, sampai abad kelima hijriah dimana muslim mencapai masa keemasannya , para ilmuwan muslim secara mengejutkan membuat kemajuan pesat di bidang sains. Disaat dimana anyak daripada materi-materi tersebut tidak didiskusikan di barat, mereka mengadakan penelitian yang serius, yang menghasilkan penemuan di bidang kedokteran, geometri, astronomi, dan yang fakta yang lebih pahit setelah abad kelima hijriah, muslim menyerah dalam pengembangan sains mereka selama sepuluh abad, dan barat mengambil tongkat estafet dan megembangkannya lebih jauh. Ketika ini terjadi, para ilmuwan barat yang meletakkan dasardasar yang dipake pada saat ini. semenjak mereka menciptakan sistem mereka sendiri, mereka mengevaluasi kehidupan melalui kacamata mereka. Walaupun, alasan satu-satunya adalah adanya batasan untuk mencari sebuah kebenarran. Alasan hana dapat membawa seseorang ke pemahaman tertentu dan hanya bisa menjelaskan sebuah isu sampai derajat tertentu. Ada beberapa materi yang tidak bisa dimengerti tanpa menggunakan wahyu Illahi sebagai batu loncatan: wahyu harusnya sebagai penjelasan final diberbagai bidang,termasuk sains.
Untuk mengulang kembali, di lingkup sains dan penelitian tentang roh dan metafisika harus juga memperhatikan fisiknya. Hanya dengan keseimbangan tersebutlah anda bisa secara benar melhar dan mengevaluasi apa yang anda pelajari melalui teleskop, mikroskop, dan x-rays. Perumpamaan inilah yang tidak boleh disalahartikan. Kita tidak menganut pendekatan yang menolak semua yang ditemukan oleh barat. Sejak kelebihan untuk berpikir juga memberikan manusia kebijaksanaan, ada hal-hal yang dijelaskan dengan baik melalu pengembangan sesuatu dengan berbagai macam pemikiraan tetapi semua teorinya yang dikembangkan dan hanya mempertimbangkan bentuk fisiknya harus direvisi secara mendalam, untuk membedakan mana yang benar dan salah. Dan hal ini sangat diperlukan untuk mempertimbangkan natural dan sosial sainsdari perspektif Al-Qur’an dan keimanan islam . dan hanya mereka yang mengerti Al-Qur’an akan memahami hal ini secara benar.
Pada poin ini , beberapa muslim membicarakan mentransfer atau mengislamkan ilmu. Saya berpikir ini adalah sebuah pendekatan yang salah yang tidak bisa membawa kepada kesimpulan yang tepat; seperti memakai baju pijaman. Seharusnya, kita harus mengevaluasi bersama berdasarkan prinsip dasar mereka dan mengkaji ulang sains pada masa ini dengan pandangan yang sama atas pemikiran yang beragam, rasa yang baik, dan juga ilmu yang baik dari sumber Ilahi. Menggunakan kriteria ini, muslim seharusnya mampu bangkit dengan kebenaran mereka sendiri. Sukses dalam hal ini bergantung pada cara untuk meningkatakan rasa ingin tahu akan kebenaran, ilmu, dan penemuan baru. Jika kita ingin menginterpretasikan Al-Qur’an sebenarnya yang dapat dimengerti oleh orang pada zaman ini., pertama kita harus membentuk sebuah dewan cendekiawandengan ilmu yang luar biasa di berbagai bidang sains. Dewan ini nantinya harus memulai mempertimbangkan segala sesuatu diantara mereka dan menentukan apa yang baik dan buruk dengan menggunak metodologi Al-Qur’an yang baik dan tafsirnya, serta ilmu teologi. İnterpretasi dan komentar yang dibuat setelah disahkan dalam keadaan sadar harus dimasukkan ke dalam literatur agama. Ketika dewan tersebut juga terdiri dari ahli ilmu agama Islam dan natural serta sosial sains dapat terbentuk, maka dengan bantuaan Allah, studi berkelanjutan dari interpretasi Al-Qur’an akan bisa bebas dari komentar manusia yang mencari kemustahilan. İnilah harapan kita serta ekspektasi yang mana para lmuwan terdahulu yang hatinya tercurahkan dan dipenuhi iman berkumpul nersama dan berkolaborasi dengan tujuan untuk menghasilkn interpretasi Al-Qur’an pada level yang diinginkan, sehingga muslim harus, untuk mengembangkan, membayar andil pada sesuatu yang mereka dapatkan dari Al-Qur’an yang suci ini.
(Diterjemahkan dari Kırk Testi artikel berjudul “Kur’an ve İlmî Keşifler”)
- Dibuat oleh