Tidak ada puasa padaku dan tidak ada pula salat
Tidak ada puasa padaku dan tidak ada pula salat. Tidak ada linangan air mata atau semangat di hati. Yang ada hanyalah sikap ria dalam berdakwah. Meski demikian, aku tidak bisa meninggalkan pintu ini.
Itu adalah teriakan hati setiap orang yang terluka melihat dirinya diliputi kehampaan dari semua sisi. Itu bukan pertanyaan, tetapi semacam pengakuan yang berlaku bagi kita semua. Seorang tokoh besar sering mengulang bait berikut:
Aku tidak memiliki apa-apa, baik ilmu maupun amal
Aku juga tidak bersabar dalam taat dan kebajikan
Tenggelam dalam maksiat… dosaku begitu banyak
Bagaimana gerangan kondisiku di Hari Kebangkitan?
Di sini tangisan dan rintihan merupakan proses pengosongan yang dilakukan kaum ikhlas dan jujur yang hati mereka senantiasa berkobar. Seolah-olah hati mereka berisi kerikil api neraka yang membakar dada sehingga perasaan mereka ini tidak menemukan jalan keluar kecuali dengan air mata. Karena itu, kita melihat Rasulullah saw. membangun sebuah keberimbangan antara neraka dan air mata. Beliau saw. bersabda, “Tidaklah hamba mukmin meneteskan air mata meski hanya sebesar kepala lalat karena takut kepada Allah kemudian air mata itu mengalir ke wajahnya, kecuali Allah mengharamkannya dari neraka.”[1]
Ya. Yang bisa memadamkan api neraka hanya air mata. Dalam hadis lain, beliau mengungkapkan keberimbangan tersebut lewat sabdanya: “Dua mata yang tidak terkena api neraka adalah mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang tidak tidur karena berjaga di jalan Allah.”[2] Dalam hadis ini—dan hadis-hadis lain—beliau melihat dengan pandangan yang sama kepada orang yang berjihad melawan pihak lain dan kepada orang yang berjihad melawan dirinya sendiri hingga meneteskan air mata.
Al-Quran juga menyebutkan kondisi sejumlah orang yang tersungkur bersujud dan menangis, sebagaimana dalam ayat yang lain ia mengajak untuk sedikit tertawa dan banyak menangis karena menyesal. Air mata menjadi saksi atas kehalusan jiwa dan kebaikan rohani. Setiap tetesnya menyamai air telaga Kautsar di surga. Keringnya air mata merupakan musibah besar sehingga Rasul saw. berlindung kepada Allah Swt. dari kondisi tersebut. Sungguh indah seandainya setiap mukmin dapat mencermati dirinya dan mengakui kenyataan pahit tersebut dengan berkata, “Aku tidak memiliki ilmu dan amal. Aku juga tidak bisa bersabar dalam berbuat taat dan kebaikan. Air mata pun tidak berlinang. Tidak ada kemampuan dalam hati. Aku tidak memiliki cahaya kehendak.”
Betapa indah seandainya setiap mukmin dapat meyakinkan dirinya bahwa ia tidak memiliki apa-apa, bahwa kalaupun ia menampilkan sejumlah karunia Allah, itu bukanlah karena kelayakannya tetapi karena kebutuhannya. Kepapaan dan ketidakberdayaannya itulah yang mendatangkan rahmat Allah Swt. Itulah sebab adanya karunia Allah Swt. Jalan pertama agar manusia bisa keluar dari aib dan kekurangannya adalah mengenali seluruh cacatnya lalu diikuti dengan perasaan menyesal dan sedih agar ia berusaha untuk terlepas dari aibnya itu.
Di antara nikmat terpenting yang Allah Swt. berikan kepada mukmin adalah kecintaannya kepada segala hal yang terkait dengan iman serta kebenciannya kepada segala hal yang terkait dengan kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan. Dengan kecintaan dan kebencian tersebut, manusia dapat naik ke puncak kemanusiaan dan puncak iman, seraya berlepas diri dari segala sesuatu yang berupaya menariknya ke bawah. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh ayat: “Tetapi Allah membuat kalian cinta kepada keimanan dan membuat keimanan indah dalam hati kalian serta membuat kalian benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan. Mereka itulah orangorang yang mendapat petunjuk sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Mahatahu lagi Mahabijaksana.”[3]
Jadi, Allah menanamkan cinta kepada iman sekaligus menghiasnya di dalam hati kaum beriman. Ketika kaum beriman melihat melalui lensa keimanan, seolah-olah mereka menyaksikan surga berikut bidadarinya. Namun, yang lebih penting, mereka merasa dekat dengan Allah Swt.
Yang dimaksud oleh ayat di atas adalah para sahabat. Perilaku tersebut menjadi tabiat mereka secara umum yang tidak pernah berubah. Mereka sangat mencintai segala hal yang terkait dengan keimanan dan seluruh hukum yang terkait dengan ibadah. Di sisi lain, mereka lari dari serta benci kepada kekafiran dan setiap hal yang menjurus kepadanya. Berkat keimanan mereka, meski berada di dunia, mereka seolah-olah hidup di surga dan dalam nuansa surga. Mereka lebih memilih dilempar ke dalam api dan tidak kembali kepada kekafiran. Seandainya mereka diberi pilihan antara hidup mewah dalam kekafiran dan dibakar dalam api sebagai mukmin, tentu mereka memilih yang terakhir. Karena itu, mereka telah sampai ke tingkatan petunjuk. Ini adalah karunia dan nikmat Allah Swt.
Sebelumnya, kami telah menyebutkan bahwa jika manusia bisa menyadari dan merasakan kekurangannya, ini merupakan langkah pertama untuk keluar dari kekurangannya. Adapun jika ia merasa sempurna dan menganggap semua yang dikerjakannya untuk Islam sempurna, ketahuilah bahwa sedikit demi sedikit ia akan tenggelam. Imam al-Qasthalani menceritakan kepada kita bahwa 14 sahabat merasa gelisah karena takut kepada sifat munafik dan khawatir tercatat dalam golongan munafik. Rasa takut dan cemas tersebut merupakan tanda lain yang menunjukkan ketinggian iman mereka. Umar ibn Khattab dan Ummul Mukminin, Aisyah r.a., termasuk di antara para sahabat itu.
Umar r.a. adalah salah seorang sahabat yang diberi kabar gembira akan masuk surga. Namun, sosok agung itu tidak merasa tenang meski telah mendapat kemuliaan lewat hadis Rasul saw.: “Seandainya ada nabi sesudahku, tentu ia adalah Umar.” Karena itu, ia pergi kepada Hudzaifah r.a.[4]
Adapun Aisyah r.a. telah menjadi bagian dari rumah tangga Nabi saw. saat masih belia. Laki-laki yang dikenalnya hanyalah Rasul saw. Tak pernah terlintas keberadaan lelaki lain dalam benaknya. Ia melihat berbagai hakikat dan akidah ketuhanan lewat cermin Rasul saw. Rumahnya menjadi tempat turunnya wahyu. Ia adalah istri dari orang yang lebih tampan daripada Yusuf a.s. Seorang penyair berdendang lewat lisan Aisyah r.a., “Ketika para wanita Mesir melihat Yusuf a.s., mereka memotong tangan mereka. Seandainya mereka melihat suamiku, tentu mereka akan menusuk dada mereka dengan pisau di tangan mereka itu.”
Ibadahnya serta kepekaannya dalam ibadah telah dikenal semua orang. Ia tidak pernah tertinggal satu salat atau satu puasa pun di luar waktu halangan wanita untuk salat dan puasa. Selain itu, ia merupakan istri yang paling dicintai Nabi saw. Artinya, ia mendapatkan kedudukan yang sangat tinggi. Sebetulnya, kita bisa menyebutkan berbagai hal yang lain. Sekarang letakkanlah semua itu di hadapanmu guna memahami kadar keagungannya, kemudian perhatikanlah saat ia menangis sehingga Rasul saw. bertanya kepadanya sebagaimana disebutkan dalam hadis berikut ini.
Diriwayatkan dari Hasan r.a. dan dari Aisyah r.a. bahwa ia mengingat neraka hingga menangis. Rasul saw. bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Aisyah menjawab, “Aku ingat neraka sehingga aku menangis. Apakah pada Hari Kiamat engkau ingat keluargamu?” Beliau berkata, “Di tiga tempat tidak seorang pun ingat kepada orang lain, yaitu (1) di mizan sampai diketahui apakah timbangannya ringan atau berat; (2) saat menerima kitab catatan amal sampai diketahui apakah kitab catatannya berada di kanan, di kiri, atau di belakang punggungnya; (3) serta di jembatan (shirâth) ketika ia diletakkan di atas Neraka Jahanam.”[5] Demikianlah, Aisyah r.a. yang kita harapkan bisa memberikan syafaat kepada kita menampakkan rasa takut dan cemas sedemikian rupa. Ia tidak merasa tenang dan aman mengenai diri dan kondisinya. Tidak ada pengetahuan yang lebih besar daripada pengetahuan manusia tentang dirinya. Setiap orang yang mengakui kesalahan dan kekeliruannya berhak mendapatkan ucapan selamat. Itu karena ia telah menapaki langkah pertama sekaligus langkah yang sangat penting untuk menyelamatkan dan membersihkan dirinya dari segala aib.
Puasa, ibadah malam, perasaan yang tumpah ruah, dan linangan air mata itulah yang menjadi fondasi kehidupan jiwa dan spiritual. Tentu saja terdapat beberapa hal yang harus ditambahkan, misalnya pengorbanan dengan harta, terutama pada saat-saat sekarang ketika pengorbanan dengan harta dan jihad menjadi sebuah kewajiban yang tidak bisa diabaikan. Ini adalah pilar-pilar yang harus diperhatikan.
Apabila salah satu pilar hilang, ia seperti orang yang mengerjakan salat tetapi lupa akan salah satu rukunnya. Ia tidak sejalan dengan rahmat Allah Swt. Apabila kita ingin sejalan dengan rahmat Allah dan ingin berada di frekuensi yang sama dengannya, kita harus melaksanakan seluruh perintah-Nya, baik yang terkait dengan kehidupan pribadi, keluarga, ataupun kehidupan sosial. Hal ini sama dengan gigi-gigi kunci. Apabila salah satu giginya tidak sesuai, ia tidak bisa membuka pintu meskipun gigi yang lainnya sesuai. Karena itu, setiap hamba harus memerhatikan berbagai sebab serta mempersiapkan kunci yang sesuai untuk setiap gemboknya.
Inilah makna pengabdian yang sesugguhnya. Ya. Pengabdian adalah terus-menerus menanti di depan pintu. Seorang hamba harus berdiri di depan pintu dan menunggu untuk dibuka. Ia tidak boleh meninggalkannya meskipun harus menunggu sepanjang hayat. Ia tetap dengan kerinduan seperti hari pertama tanpa terkurangi oleh kebiasaan. Ibadahnya tidak boleh berubah menjadi gerakan olahraga yang tidak memiliki ruh. Inilah ibadah dan pengabdian sebenarnya: Yaitu engkau berlomba dengan zaman seraya membawa rasa rindu, takut, dan harap seperti pada hari pertama. Al-Quran mengajarkan hal ini, “Bukankah sudah tiba waktunya bagi orang-orang beriman untuk khusyuk hati mereka mengingat Allah dan kebenaran yang turun. Janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya diberi kitab suci, lalu setelah lama hati mereka menjadi keras. Sebagian besar mereka adalah orang-orang fasik.”[6]
Para sahabat yang pertama kali dituju lewat ayat ini memperbarui keimanan mereka seolah-olah hidangan spiritual turun kepada mereka dari langit setiap hari. Karena itu, diarahkannya ayat tersebut kepada mereka memiliki makna khusus untuk kita. Pasalnya, kondisi dan perasaan biasa ketika itu tidak ada. Ayat demi ayat turun. Mereka hidup bersama Islam yang masih baru dan segar. Misalnya, suatu hari mereka mendengar suara azan untuk pertama kalinya dan mereka pun bersegera menuju masjid. Pada hari lain, Rasul saw. mengajari mereka tasbih dan doa lain. Demikianlah perasaan mereka tetap segar dan selalu baru.
Meskipun demikian, ayat di atas mengingatkan mereka agar hati mereka tidak mengeras. Ayat tersebut juga meminta agar perasaan mereka tetap hidup, hangat, dan selalu menangis. Jika perasaan jiwa kita tidak hidup, jika mata kita tidak bisa menangis seperti yang diminta Al-Quran, sudah sewajarnya kita mengecam diri kita. Pada masa sekarang ini ketika agama telah dicampakkan tanpa ada yang menjaganya, jika kita tidak cepat-cepat berjihad guna meninggikan agama Islam, jika kita masih bisa tidur saat kekufuran merajalela dan kebatilan mengalahkan kebenaran lalu kita tidak merasa bersedih, maka tidak ada yang harus dicela selain diri kita. Karena itu, setiap kita harus mengecam dan menuntut dirinya sendiri.
Kita adalah hamba yang berada di pintu ini, pintu pengabdian kepada agama Allah Swt. Kita adalah hamba yang tidak ingin melepaskan pengabdian. Kita sama sekali tidak akan meninggalkannya. Lagi pula, adakah pintu yang lain? Kita akan tetap berada di depan pintu itu dengan sekuat tenaga tanpa pernah berpaling.
Ada sebuah kisah simbolis yang menceritakan bahwa seorang wali Allah beribadah kepada Tuhan selama bertahun-tahun. Banyak murîd yang telah lulus di tangannya. Mereka semua naik ke berbagai tingkatan hingga bisa menyaksikan dan membaca Lauh Mahfuz. Anehnya, setiap murîd membaca di Lauh Mahfûdz bahwa gurunya sial dan celaka. Mulailah mereka meninggalkan sang guru dan tidak ada yang tersisa kecuali satu orang. Sang syaikh bertanya kepadanya, “Mengapa teman-temanmu meninggalkan majelis kita dan tidak lagi datang?” Dengan malu-malu ia menjawab, “Wahai Tuan, mereka telah membaca di Lauh Mahfuz bahwa engkau celaka. Karena itu, mereka meninggalkan majelis ini.” Sang guru menjawab seraya tersenyum sedih, “Wahai anakku, aku sudah melihatnya 40 tahun sebelum mereka. Namun, beritahulah aku, wahai anakku, adakah pintu lain yang bisa kuketuk?” Seiring dengan ucapan sang guru tersebut, langit berguncang dan Lauh Mahfuz berubah. Akhirnya, ia tertulis dalam golongan yang bahagia.
Di masa setelah era sahabat, tanah menjadi subur sehingga ribuan pecinta dan prajurit Allah bermunculan. Tak satu pun dari mereka meninggalkan pintu-Nya. Ria adalah sesuatu yang paling ditakuti para tokoh besar. Tentu saja pemahaman mereka tentang ria sangat berbeda dengan pemahaman kita. Namun, rasa takut itu tetap ada pada mereka. Ada sejumlah jalan untuk terlepas. Yang pertama adalah tahu bahwa Allah Swt. mengetahui semua perbuatan kita serta mengetahui semua lintasan pikiran kita tanpa pernah lupa atau lalai. Dalam kerangka itu, kita harus menyesuaikan tindakan kita serta tidak boleh jauh dari zikir, wirid, dan studi kitab yang menumbuhkan rasa takut dalam hati kita. Menurut kami, ini adalah salah satu solusi yang bisa mengantarkan kita kepada tujuan. Selanjutnya, masalah ini bisa dilihat pada jawaban rinci yang kuberikan di tempat lain.
[1] H.R. Ibnu Majah.
[2] H.R. Tirmizi.
[3] Q.S. al-Hujurât: 7 – 8.
[4] Itu karena Rasul saw. telah memberitahu Hudzaifah r.a. sejumlah nama orang munafik. Ketika Hudzaifah tidak menghadiri salat jenazah salah satu di antara mereka yang meninggal, para sahabat pun mengetahui kalau orang yang meninggal itu adalah munafik.
[5] H.R. Abu Daud.
[6] Q.S. al-Hadîd: 16.
- Dibuat oleh