Allah satu tetapi ada di mana-mana. Bisakah Anda menjelaskannya?
Allah Swt. satu dan esa. Meskipun demikian, Dia ada dan hadir dengan pengetahuan dan kekuasaan-Nya di setiap tempat. Ketika kita mengatakan ini, bukan berarti Allah Swt. mengisi dimensi tempat seperti jasad. Ketika kita berkata bahwa Dia satu, kita menunjuk kepada kebesaran dan keagungan-Nya serta menjelaskan kedua sifat tersebut. Ketika kita berkata bahwa Dia berada di setiap tempat, yang kita maksudkan adalah bahwa Dia dengan rahmat, pengetahuan, dan kekuasaan-Nya berada di setiap tempat. Dia—tak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya—laksana sinar mentari yang, meskipun menyentuh kepala kita, jauh dari kita dan tidak bisa kita jangkau. Artinya, meskipun Allah Swt. meliputi kita dengan sifat-sifat-Nya dan lebih dekat kepada kita daripada urat leher, kita tidak dapat menjangkau-Nya dalam kemuliaan-Nya. Ya, Allah Swt. berfirman, “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat leher.”[1]
Jadi, Allah yang lebih dekat kepada kita daripada urat leher kita sendiri sebagai Hakim dan Penguasa tentu berada di setiap tempat sekaligus berada di luar batasan kuantitas dan kualitas. Dia “berada di antara seseorang dan hatinya.”[2] Jadi, Dia lebih dekat kepadaku daripada kalbuku sendiri. Jika aku berkata, “Dia ada dalam kalbuku,” itu adalah ungkapan yang benar, karena Dia lebih mengetahui diriku daripada aku sendiri. Selanjutnya, “Bukanlah engkau yang melempar ketika melempar, namun Allahlah yang melempar.”[3] Artinya, Allah Swt. yang melempar dalam Perang Badar dan dalam perang lainnya melalui Rasul saw. Jadi, Dia memberikan pengaruh dalam segala sesuatu bahkan dalam urusan melempar sekalipun. Dengan begitu, Dia berada di setiap tempat menurut pengertian ayat ini dan ayat-ayat lainnya. Ayat-ayat itu menjelaskan kepada kita bahwa Allah Swt. hadir dan berkuasa di setiap tempat lewat kekuasaan, pengetahuan, kasih sayang, keindahan, keagungan, kehendak, dan seluruh sifat-Nya yang lain.
Walaupun demikian, Dia tetap satu. Ini sesuai dengan pengertian ayat-ayat Al-Quran dan konsekuensi logis berbagai hakikat alam. Seandainya terdapat dua tuhan, tentu langit dan bumi sudah hancur. Inilah yang disebutkan Al-Quran: “Seandainya di langit dan bumi terdapat tuhantuhan selain Allah, tentu keduanya sudah hancur. Mahasuci Allah, Tuhan Sang Pemilik arasy, dari apa yang mereka sifatkan.”[4] Bintang-gemintang pasti berbenturan, atom-atom juga saling bertabrakan, sinar matahari yang sampai ke bumi akan memicu penyinaran terhadap uranium, serta tidak satu pun makhluk di permukaan bumi hidup.
Para ulama kalam terdahulu menyebutnya dengan “argumen ketidakmungkinan”. Sesuai dengan argumen tersebut, Allah Swt. adalah esa. Tidak mungkin ada dua tuhan. Kondisi yang sederhana saja—misalnya pengendalian sebuah kapal—akan berakhir kacau jika ada dua kepala yang memegang kendali. Seandainya sebuah mobil dikendalikan oleh dua sopir, tentu kekacauan dan tabrakan akan terjadi meskipun jalan yang dilaluinya bagus. Karena itu, alam akan kacau seandainya kendali dan pengaturannya bersumber dari dua kehendak yang sama-sama mandiri dan independen.
Oleh sebab itu, kita melihat sebuah ketentuan tersembunyi di balik alam yang besar dan sangat teratur ini, mulai dari jagat raya, alam sederhana (manusia) hingga alam kecil (atom). Tatanan, keharmonisan, dan keselarasan yang terdapat di seluruh alam membutuhkan rancangan ilmiah, di samping membutuhkan kekuasaan dan kehendak untuk mengeluarkannya dari fase perencanaan menuju fase wujud, kemudian diperlukan pengawasan dan pengendalian yang terusmenerus. Semua itu membutuhkan kehendak yang satu dan zat yang satu. Manusia sekalipun menolak campur tangan orang lain dalam urusan pribadinya dan dalam pekerjaannya. Hal itu sesuai dengan apa yang disebut dengan hukum penolakan campur tangan. Jika demikian, bagaimana mungkin ada yang ikut campur dalam urusan Allah Swt. dalam mengatur semua persoalan yang saling terkait dan rumit di jagat raya ini?
Karena itu, kita melihat bahwa seandainya ada dua kekuasaan yang berperan serta dalam kitab alam ini serta dalam laboratorium dan pabriknya, tentu seluruh alam akan hancur. Karena alam tidak kacau, tetapi tertata dengan sangat rapi, pastilah pemilik, penguasa, dan penciptanya hanya satu. Sekarang, mari kita bahas masalah ini dari sisi internal diri kita.
Berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar kita, entah pada tingkat dunia internal kita atau pada tingkat kenyataan di luar diri kita, membuktikan bahwa Allah Swt. adalah satu-satunya sandaran. Dialah satu-satunya tempat kembali. Ketika diriku, sebagai manusia yang lemah dan tak berdaya, mengangkat tangan dengan penuh ketundukan seraya menyadari kepapaanku seolaholah berada di atas sebatang kayu yang patah di tengah lautan luas dan berombak, kemudian menyeru, “Wahai Tuhan, wahai Tuhan!,” aku menyadari sepenuh hati bahwa ada Zat yang mendengarku. Agar Dia mendengarku, Dia tentu harus hadir di dan melihat setiap tempat serta harus menjadi pemelihara seluruh alam. Ketika mendengar munajat dan seruanku, pada waktu yang sama Dia juga mendengar munajat dan kebutuhan seekor semut.
Jadi, Dia lebih dekat kepada semut daripada si semut sendiri. Doa-doa yang terkabul pada tingkat alam menjelaskan kenyataan ini. Rasulullah saw. bersabda, “Sulaiman bin Daud keluar bersama para pengikutnya untuk meminta hujan. Ia lalu melihat seekor semut yang berdiri seraya mengangkat salah satu kakinya meminta hujan. Sulaiman berkata kepada para pengikutnya, ‘Kembalilah, kalian akan mendapat hujan. Semut ini meminta hujan dan ternyata dikabulkan.’”[5]
Setiap makhluk di alam ini menghadap kepada Allah Swt., mengajukan kebutuhan, serta berdoa kepada-Nya. Allah Swt. mengabulkan doa-doa itu sekaligus menyingkap hakikat tersebut kepada kita saat Dia berfirman, “Atau siapakah yang mengabulkan permintaan orang yang terdesak ketika ia berdoa kepada-Nya?”[6] Bukankah kita menyaksikan hal itu?!
Jadi, Allah Swt. ada di setiap tempat. Dia mendengar seluruh suara dan melihat semua kondisi. Dia bersegera menolong semua makhluk, hadir pada semuanya lewat rahmat dan kasih sayang-Nya. Dia Mahaagung dan Mahaperkasa. Dia tidak membutuhkan bantuan siapa pun, sebab Dia mampu melakukan segala sesuatu sendiri. Menciptakan surga sangat mudah bagi-Nya sama seperti menciptakan musim semi. Ini terwujud dari keagungan, kebesaran, dan keesaan-Nya. Di setiap tempat dan setiap kondisi, Dia melihat dan mendengar, namun bukan seperti jasad yang mengisi tempat. Dengan seluruh nama dan sifat-Nya yang mulia, Dia terlepas dan bersih dari segala besaran dan cara yang terdapat dalam benak kita saat Dia hadir di setiap tempat. Ini adalah salah satu manifestasi keesaan, keindahan, dan kasih sayang-Nya.
Berikut ini adalah bukti atas semua itu. Seandainya air mataku tertahan dan mataku tidak diberi air, tentu mataku akan kekeringan. Jadi, setiap waktu Dia melihat mataku. Dia senantiasa membuatnya basah untuk melindunginya dari kekeringan. Jadi, harus ada Zat yang memberiku mata sebagai sarana untuk melihat benda, yang melihat mataku, serta yang mengetahui apa yang dilihat mataku agar segala sesuatunya dapat terlaksana dengan baik. Harus ada Zat yang membuat basah suapan makanan agar bisa dicerna, lalu mengirim sinyal ke lambungku, menggerakkan rahangku, serta mengirim makanan itu ke seluruh sel yang membutuhkan secara adil agar aku tetap hidup. Karena itu, kita melihat bahwa nama-nama Tuhan tampak pada diri kita lewat kasih sayang-Nya. Seandainya Tuhan tidak berada serta mendengar dan melihat di setiap tempat, tentu suapan makanan akan kering di mulut. Ia akan turun ke lambung seperti batu keras serta tidak akan terdistribusikan ke seluruh sel secara seimbang. Dari uraian ini, kita dapat memahami bahwa Allah Swt. lebih dekat kepada kita daripada diri kita sendiri. Ya, dengan seluruh manifestasi nama-nama-Nya yang mulia, Allah Swt. lebih dekat kepada kita daripada urat leher. Akan tetapi, dengan karakter kemanusiaan yang kita miliki, kita sangat jauh dari-Nya. Bagaimana kita bisa menjelaskan keadaan “dekat tetapi jauh” itu?
Kami akan menjelaskannya dengan sebuah contoh. Matahari sangat dekat dengan kita, namun kita jauh darinya. Matahari hanya satu, namun ia menyentuh kepala kita setiap hari dengan sinarnya. Ia juga mematangkan buah yang berada di pohon untuk kita. Panas, cahaya, dan warna matahari adalah aneka sifatnya. Andaikan panas matahari memiliki kekuatan, cahayanya memiliki pengetahuan, dan ketujuh warnanya memiliki indra penglihatan dan pendengaran, tentu matahari lebih dekat kepada kita daripada diri kita sendiri dan tentu ia melakukan banyak hal terhadap kita. Demikianlah kondisi matahari meski ia berupa materi. Ia mengandung hidrogen yang selalu berubah menjadi helium. Dari perubahan jutaan ton hidrogen menjadi helium, ia menjadi kekuatan besar dalam bentuk sinar dan cahaya yang sampai kepada kita dan tempattempat lain. Padahal, matahari berupa benda materi, sedangkan Allah Swt. bebas dan lepas dari materi. Allah Swt. bukan cahaya, sinar, atau atom. Dia adalah pencipta semua entitas tersebut. Karena itu, Dia pasti berbeda.
Allah Swt. adalah penerang, pemberi, dan pembentuk cahaya. Dia adalah sumber cahaya. Dia Pencipta cahaya. Seluruh jenis sinar dan cahaya serta seluruh jenis panas dan warna berada dalam genggaman kreasi-Nya. Apabila matahari yang merupakan makhluk-Nya saja demikian, tentu Allah Yang Esa sejak azali hadir di dan melihat setiap tempat.
Selain itu, para malaikat yang mulia pun dalam waktu bersamaan bisa muncul di banyak tempat. Jin juga dapat muncul di sejumlah tempat dalam waktu yang sama. Demikian pula setan terbesar bisa memengaruhi banyak manusia pada saat yang sama meskipun ia hanya satu, karena ia bisa mengirimkan bisikannya ke banyak manusia dalam satu waktu. Artinya, ia bisa memengaruhi mereka pada waktu bersamaan.
Apabila sejumlah makhluk Allah Swt.—bahkan sejumlah makhluk yang hina dan lemah—memiliki kemampuan semacam itu, mengapa nama-nama Allah Swt.—padahal Dia adalah Sang Mahahidup dan Sang Berdiri Sendiri—tidak memiliki manifestasi, kehadiran, dan pengawasan semacam itu di setiap tempat?!
[1] Q.S. Qâf: 16.
[2] Q.S. al-Anfâl: 17.
[3] Q.S. al-Anfâl: 17.
[4] Q.S. al-Anbiyâ’: 22.
[5] Abdurrazzaq, al-Mushannaf, III, 95 dan Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf, VI, 62.
[6] Q.S. al-Naml: 62.
- Dibuat oleh