Al-Quran memerintahkan kita untuk menaati ululamri. Apakah hukum menaati pemimpin?
Ya. Al-Quran memerintahkan untuk menaati ululamri, “Wahai orang-orang beriman, taatilah Allah serta taatilah Rasul dan ululamri di antara kalian.”[1]
Allah Swt. memerintahkan kita untuk mematuhi dan tidak menentang semua perintah Allah Swt. serta menyuruh kita untuk mematuhi Rasul. Kata “Rasul” dalam ayat di atas berbentuk (efinitif. Artinya, taatilah Rasul yang telah kalian diketahui, yaitu Muhammad saw. Sebenarnya kita mencintai semua nabi dan rasul serta beriman kepada mereka. Kita telah belajar mengimani dan mencintai mereka dari Rasul kita. Juga kita mengetahui kedudukan mulia mereka lewat ukuran yang diperkenalkan Rasul saw. kepada kita. Dari beliaulah kita mengetahui kedudukan mulia dan tinggi Nabi Isa a.s. meskipun keyakinan trinitas gereja mengotori citranya hingga identitas aslinya tidak lagi tampak. Kita mengenal seluruh nabi, sejak Adam a.s. sampai Isa a.s., lewat perantaraan Rasul saw.. Dengan demikian, untuk mengenal nabi-nabi lain, kita harus mengenal Rasul saw. terlebih dahulu sekaligus menaati dan mengitari orbit beliau yang bersinar. Ketika itulah semua persoalan akan jelas dan terang.
Lalu “ululamri di antara kalian.” Artinya, taatilah ululamri kalian yang mengikuti jalan terang Rasul saw. Ikutilah semua pemimpin, entah mereka memimpin tiga orang, lima orang, ribuan orang, atau jutaan orang, selama mereka meniti jalan yang diterangkan Allah Swt. Dan ditunjukkan Rasul-Nya saw. serta selama mereka melewati jalan itu dengan sungguh-sungguh dan ikhlas. Meskipun pembangkangan terhadap para pemimpin selain mereka tidak dilakukan dalam batas dan ukuran tertentu, ketaatan hanya diberikan kepada pemimpin yang mengikuti jalan dan sunnah Rasul saw.
Ayat di atas berbicara tentang ketaatan kepada Allah, Rasul-Nya, dan ululamri, yakni tentang tiga ketaatan yang terkait satu sama lain. Nabi saw. mendapatkan seluruh keagungan dan kedudukan mulia karena beliau adalah utusan Allah Swt. Beliau memang seorang manusia, namun beliau adalah perantara dan wasilah teragung bagi sampainya kita kepada Allah Swt. Kita sangat bergantung kepada wasilah ini ketika meniti jalan kita. Wasilah yang terdapat di tangan Rasul saw. merupakan tali Allah yang kokoh yang jika kita berpegang padanya, kita akan sampai kepada Allah Swt. karena ujung lain tali tersebut berada di tangan Allah Swt. Ketika menggambarkan Al-Quran, Rasul saw. bersabda, “Kitab Allah adalah tali yang terbentang dari langit ke bumi. Ia adalah tali Allah yang kokoh. Ia adalah peringatan yang penuh hikmah dan jalan yang lurus. Ia membuat hawa nafsu tidak menyimpang serta membuat lisan tidak rancu, dan para ulama tidak pernah kenyang dengannya. Ia tidak pernah usang meskipun sering diulang dan keajaibannya tidak pernah sirna.”[2]
Begitulah Nabi saw. Inilah tingkat keberpaduan ruh beliau dengan seluruh perintah Allah Swt. dan seluruh kewajiban kita kepada-Nya. Nabi bukanlah tuhan seperti yang dikatakan kaum Nasrani, namun ia merupakan cermin terang yang memantulkan manifestasi Allah Swt. Artinya, engkau tidak akan bisa menyaksikan jalan menuju Allah Swt. jika tidak menyaksikan cermin tersebut.
Jalan itu jelas dan terang hingga saat ini. Ia juga akan jelas dan terang di masa mendatang. “Dan ululamri di antara kalian.” Sebagaimana Rasul saw. menetapkan hukum dengan hukum Allah Swt. dan meminta kaum mukmin untuk menaatinya atas dasar itu, orang yang kita sebut sebagai ululamri juga harus mengikuti jejak Rasul saw. dan menapaki jalannya.
Abu Bakar al-Shiddiq r.a., Umar al-Faruq r.a., Usman, dan Ali, semuanya tidak pernah menentang Rasul saw. sedikit pun. Bagi mereka, lebih ringan jika mereka ditelan bumi. Mereka tidak pernah membangkang kepada Rasul saw. Kaum mukmin diperintahkan untuk menaati dan mematuhi para pemimpin seperti mereka. Seberapa jauh ululamri itu menentang Rasul saw., sejauh itu pula ketaatan kepada mereka tercabut betapapun besarnya pengabdian dan jasa mereka. Karena itu, ketaatan kepada pemimpin tidak bersifat mutlak. Apabila seorang pemimpin mematuhi dan mengikuti Rasul saw., ia wajib ditaati dan ketaatan ini merupakan ibadah.
Kedua, wilayah ketaatan sangat luas dan saling terpaut. Rasul saw. bersabda, “Apabila tiga orang keluar bepergian, hendaklah mereka mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin.”[3] Artinya, salah satu dari ketiga orang itu menjadi pemimpin, sementara dua orang lainnya menaati arahannya. Selama mereka dalam perjalanan, ia bertanggung jawab atas semua aktivitas mereka dalam perjalanan, baik berdiri, duduk, tidur, rekreasi maupun lainnya. Wilayah ketaatan berawal dari sini.
Salat mengajarkan ketaatan kepada kita, sebab ketika imam rukuk, kita juga rukuk, dan ketika imam sujud, kita juga sujud. Sebagaimana ketentaraan mengajarkan keteraturan, salat pun mengajarkan—di samping tujuan mendasarnya—keteraturan kepada kita. Kita menjadi terbiasa untuk memerhatikan dan mendengar saat salat berjamaah.
Kaum mukmin yang hati dan akalnya terpaut dengan dakwah tidak mungkin berbuat sesuatu yang terkait dengan Islam secara individu semata melainkan secara kolektif dan lewat musyawarah di antara mereka. Ketika kondisi mengharuskan penyerahan sebuah persoalan kepada orang yang mereka anggap cerdas dan berpengalaman lalu sikap yang diambil sesuai dengan kesepakatan, ketaatan menjadi sesuatu yang wajib. Sebenarnya ketaatan kaum mukmin kepada ululamri yang merealisasikan musyawarah adalah bagian dari ketaatan kepada Allah Swt.
Ya. Karena Allah dan kedudukannya, kita harus mendengar dan taat meskipun pemimpinan itu adalah seorang budak berkulit hitam dan berkepala seperti kismis. Rasul saw. bersabda, “Dengarlah dan taatlah meskipun yang dijadikan pemimpin kalian adalah seorang budak dari Habasyah yang kepalanya seperti kismis.”[4] Ketika itu dan sesuai dengan adat masa itu, tidak pernah seorang berkebangsaan Quraisy menaati budak berkulit hitam. Namun, Rasul saw. datang untuk menghancurkan semua kebiasaan jahiliah. Pada waktu yang sama, ada pertanyaan yang muncul terkait dengan hadis tersebut: Apakah seorang pemimpin harus berasal dari Quraisy ataukah bisa saja seorang budak hitam diangkat sebagai pemimpin? Hadis ini menjadi dalil bolehnya mengangkat budak hitam sebagai pemimpin.
Jadi, kaum mukmin harus bermusyawarah dalam setiap urusan terkait dengan pengabdian kepada Islam yang untuk mencapai sebuah keputusan tertentu atau menerima keputusan seseorang yang kecerdasan, pengalaman, dan keikhlasannya dapat dipercaya. Dari sini kemudian berawal ketaatan dan kepatuhan. Apabila sebaliknya dan tindakan setiap orang mengikuti pendapatnya sendiri, hasilnya adalah kekacauan. Karena hati tidak menyatu dan tidak sejalan, Allah Swt. akan menghalangi mereka untuk mendapatkan keutamaan yang Dia limpahkan kepada jamaah. Seorang individu bisa jadi mempunyai taget tertentu dengan kemampuan dan keistimewaan yang dimilikinya dan bisa jadi pula Allah mewujudkan targetnya.
Namun, ada hal dan keutamaan yang tidak Allah berikan kecuali kepada jamaah. Apabila manusia telah merusak dan menceraiberaikan bangunan jamaah lalu setiap orang bertindak secara individu, mereka tidak akan mendapatkan karunia dan anugerah yang Allah berikan kepada jamaah. Salat istisqa, salat gerhana, salat id, dan berkumpul di Padang Arafah, seluruh aktivitas berjamaah ini hanya bisa terwujud dengan jamaah. Seluruh aktivitas tersebut tidak ditetapkan kecuali setelah kaum muslim sampai pada tingkat pembentukan jamaah.
Meskipun salat ditetapkan di Mekah, salat Jumat ditetapkan di Madinah. Itu karena di Mekkah belum terbentuk jamaah. Setelah kaum muslim pascahijrah membentuk jamaah, ketika itulah salat Jumat ditetapkan.
Pada saat itu Madinah telah sampai pada fase dan periode tersebut sebelum Mekah. Benar bahwa salat Jumat belum wajib, namun As’ad ibn Zurarah telah menghimpun kaum muslim Madinah pada hari Jumat dan mengimami salat Jumat mereka karena suasana Madinah lebih tepat untuk aktivitas berjamaah daripada Mekah kala itu.
Ketaatan adalah persoalan yang terkait dengan jamaah. Ketika manusia mulai bertindak dan bekerja secara kolektif, ketaatan dan kepatuhan menjadi sangat penting dalam setiap momen kecil maupun besar. Mukmin harus mengetahui makna ketaatan dan melaksanakannya. Rasul saw. sangat memerhatikan masalah ini dan bekerja keras untuk mengembangkan dan menumbuhkannya. Di sini kami hanya akan menyebutkan satu atau dua contoh.
Suatu kali dalam pasukan terjadi ketegangan antara Ammar ibn Yasir r.a. dan Khalid ibn Walid r.a. Khalid mengucapkan kata-kata kasar kepada Ammar. Di sini kemudian Rasul saw. memberikan sesuatu yang layak bagi keduanya. Ammar termasuk generasi pertama yang masuk Islam, sementara Khalid adalah pemimpin dalam pasukan itu. Beliau saw. meminta Ammar untuk menaati pemimpinnya, sementara di sisi lain beliau juga menegur Khalid atas sikapnya terhadap Ammar karena Ammar lebih dahulu beriman daripada Khalid.
Pada kali lain Rasul saw. mengirim sebuah pasukan. Beliau berpesan kepada seluruh anggota pasukan untuk menaati pemimpin mereka. Di tengah perjalanan, sang pimpinan menyalakan api dan menyuruh anggota pasukannya, “Masuklah dalam api!” Sebagian mereka hendak masuk dalam api itu karena taat, namun sebagian lain berkata, “Kita harus mengabaikannya.” Mereka kemudian melaporkan hal tersebut kepada Nabi saw. Beliau saw. bersabda tentang orang-orang yang hendak masuk dalam api, “Seandainya mereka masuk dalam api itu, mereka akan terus berada dalam api hingga kiamat.” Beliau saw. menegaskan, “Tidak ada ketaatan dalam hal maksiat. Ketaatan hanya dalam hal kebaikan.”[5] Jadi, tidak boleh taat kepada makhluk dalam hal maksiat kepada Khalik. Dengan demikian, kaidahnya di sini: ketaatan kepada pemimpin wajib kecuali dalam hal maksiat kepada Khalik.
Untuk menguatkan makna ketaatan, beliau mengangkat Zaid ibn Haritsah r.a. sebagai pemimpin pasukan yang dipersiapkan ke Mu’tah. Zaid adalah anak angkat Rasulullah saw.[6] Padahal, dalam pasukan itu terdapat para sahabat senior, seperti Ja’far ibn Abu Talib r.a. yang merupakan sosok terkemuka dan sulit ditandingi karena amal-amalnya. Ia lebih tua delapan tahun daripada saudaranya, Ali ibn Abu Talib ra.. Ia pun termasuk kelompok pertama yang masuk Islam, pernah berhijrah ke Habasyah, dan telah membacakan Al-Quran kepada raja Najasyi dengan bacaan yang memberikan kesan dan pengaruh kuat kepada sang raja.
Selain itu, Ja’far sangat fasih dalam berbicara. Ia pun dikenal lihai menggunakan pedang. Kendati keistimewaan Ja’far demikian banyak, Rasul saw. mengangkat Zaid ibn Haritsah sebagai pemimpin mereka. Buku-buku peperangan menyebutkan bahwa pasukan musuh dalam Perang Mu’tah berjumlah lebih dari 200 ribu orang, sementara yang akan menghadapinya Hanya berjumlah 3 ribu muslim. Jadi, hitunglah berapa pasukan yang harus dihadapi setiap muslim. Orang-orang yang berada di sekitar Ja’far saat perang berlangsung menceritakan bagaimana Ja’far tidak berpaling meski pedang-pedang terus menyerangnya dari semua sisi serta selalu saja ada bagian tubuhnya yang terpotong. Ketika itu Rasul saw. duduk di masjid Madinah seraya menjelaskan kepada para sahabat tentang apa yang menimpa pasukan muslim dengan rinci seolah-olah beliau menyaksikan lewat layar. Beliau kemudian memberitahu mereka bahwa beliau melihat Ja’far berada di surga. Allah memberinya dua sayap yang dengan itu ia bisa terbang ke mana pun ia suka. Setelah syahidnya ketiga panglima, Rasul saw. bersabda, “Mereka telah diangkat ke surga dengan menaiki ranjang emas. Kulihat ranjang Abdullah ibn Rawahah berbeda dengan ranjang kedua sahabatnya. Aku bertanya, ‘Mengapa demikian?’ Dijawab, ‘Mereka berdua telah pergi, sementara Abdullah ibn Rawahah sedikit ragu-ragu kemudian ia pun pergi.”[7]
Demikianlah sosok Ja’far ibn Abu Talib r.a. Meskipun begitu, ia tidak menjadi pemimpin pasukan. Yang menjadi pemimpin adalah Zaid ibn Haritsah yang dulunya adalah budak lalu dibebaskan oleh Islam. Semua orang tunduk dan taat kepadanya.
Ketika kaum muslim menyaksikan besarnya jumlah musuh, sebagian mereka berkata, “Kita mengirim surat kepada Rasulullah saw. untuk memberitahu jumlah musuh kita, entah beliau memberikan tambahan kekuatan kepada kita atau memberikan perintahnya yang kemudian kita kerjakan.” Salah seorang pemimpin pasukan, Abdullah ibn Rawahah r.a., berkata dengan penuh semangat, “Wahai kaum, yang kalian benci adalah mati syahid yang sesungguhnya kalian cari. Kita tidak memerangi manusia dengan jumlah, kekuatan, atau banyaknya orang. Kita Hanya memerangi mereka dengan agama ini yang Allah muliakan kita dengannya. Bertolaklah! Hanya ada dua kebaikan: menang atau mati syahid.” Mereka menjawab, “Demi Allah, Ibnu Rawahah benar.”[8]
Dalam Perang Mu’tah, tiga panglima gugur sebagai syuhada. Kemudian, tibalah giliran Khalid ibn Walid r.a. yang bersedih melihat kucuran darah kaum muslim. Datanglah giliran sang panglima yang kelak menjadi kebanggaan kaum muslim selamanya. Beberapa bulan setelah masuk Islam, ia sudah berada di medan perang. Ada keinginan yang sangat kuat dalam dirinya untuk ikut dalam perang itu. Sejumlah kitab peperangan menyebutkan bahwa Rasul saw. Pada mulanya tidak setuju dengan keikutsertaannya dalam perang itu tetapi kemudian beliau mengizinkannya. Sekarang kita bertanya-tanya, “Apakah yang dipelajari Khalid dari Al-Quran dalam waktu yang singkat itu? Sejauh manakah ia mengenal Rasul saw.?” Ia mengenal beliau sampai tingkat ia bisa mengorbankan status sosialnya dan berada di bawah komando seorang mantan budak. Takdir kemudian menetapkannya berada di barisan terdepan. Begitu panglima pertama, Zaid ibn Haritsah r.a., mati syahid, pucuk pimpinan jatuh ke tangan Ja’far ibn Abu Talib r.a. lalu—setelah panglima kedua syahid pula—kepada Abdullah ibn Rawahah r.a. Abdullah ibn Rawahah pun mati syahid untuk kemudian digantikan oleh Khalid ibn Walid yang takdir Tuhan telah menyiapkan kemunculannya sebagai panglima besar di masa mendatang.
Sekarang marilah kita lihat masalah ini dari sisi semangat kebersamaan dan ketaatan. Rasul saw. mengajarkan ketaatan dan ketundukan ketika beliau mengangkat seorang bekas budak sebagai pemimpin pasukan. Tentu saja kita tidak boleh menilai persoalan tersebut dengan ukuran saat ini. Pasalnya, ketika itu seorang budak diperlakukan seperti ibnatang. Ia tidak bisa duduk dan makan bersama tuannya karena kedudukannya yang rendah.
Ketika Rasul saw. menetapkan seorang bekas budak sebagai pemimpin pasukan, beliau mengajarkan kepada mereka prinsip-prinsip ketaatan dan ketundukan. Rasul saw. sangat memerhatikan aspek ini sampai-sampai sebelum wafatnya beliau mengangkat Usamah ibn Zaid ibn Haritsah r.a. sebagai pimpinan pasukan yang dikirim untuk menghadapi pasukan Bizantium guna memberikan pelajaran kepada mereka serta agar Usamah sendiri bisa mengikuti jejak ayahnya. Meskipun ketika itu Usamah ibn Zaid ibn Haritsah seorang pemuda berusia dua puluh tahun, Abu Bakar r.a. dan Umar r.a. hanya menjadi prajurit dalam pasukan tersebut. Dengan begitu, Rasul saw. hendak menghancurkan salah satu kebiasaan jahiliah serta menyebarkan semangat ketaatan dan ketundukan karena Usamah adalah anak bekas seorang budak dan orang miskin. Ketika Rasul saw. mengajari kaum muslim ketaatan kepada pemuda miskin dan anak bekas budak itu, sebenarnya beliau ingin menanamkan pemahaman tentang ketaatan yang sebenarnya. Rasul saw. sepanjang hidupnya sangat memerhatikan persoalan ini.
Kita berharap kepada para kader yang menjadikan dakwah sebagai tujuan hidup mereka satu-satunya dan bersiap-siap membuka era kebangkitan baru agar hidup dalam iklim yang sama dan dapat menyerap makna ketaatan secara baik. Jika tidak, perpecahan serta segala kerusakan, penderitaan, perselisihan, dan kekacauan akan menjadi akhir perjalanan kaum muslim.
Apalagi, dalam kondisi manusia saat ini tidak ada lagi kesempatan besar untuk ragu, bersabar, dan menunggu. Karena itu, para kader harus konsisten berada di atas kebenaran dan harus bisa melewati krisis ini dalam waktu sesingkat mungkin agar—dengan kepatuhan dan ketaatan mereka—dapat membangkitkan harapan jiwa-jiwa yang masih menderita hingga saat ini.
[1] Q.S. al-Nisâ’: 59.
[2] H.R. Muslim dan Tirmizi.
[3] H.R. Abu Daud.
[4] H.R. Bukhari dan Ibnu Majah.
[5] H.R. Bukhari dan Muslim.
[6] Sebagaimana diketahui, setelah itu Rasul saw. mengharamkan pengangkatan anak.
[7] Ibnul-Atsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, IV, h. 245.
[8] Ibid., h. 243.
- Dibuat oleh