Uslub dalam Berdakwah dan Pengaruh Ucapan
Pertanyaan : Hal apa saja yang perlu diperhatikan ketika menunaikan tugas “mengajak pada kebaikan dan mencegah dari keburukan (al-amr bil-makruf wan-nahy ‘anil- mungkar)” supaya tidak menyebabkan kehancuran pada saat kita membangun?[1]
Jawaban : Di dalam penjelasan Al-Qur’an, tugas al-amr bil-makruf wan-nahy ‘anil- mungkar merupakan sebuah karakteristik istimewa untuk menjadi umat terbaik. Dalam ayat suci Al-Qur’an disampaikan sebagai berikut:
كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar” (QS. Ali Imran, 3/110).
Ayat tersebut selain memberikan kabar gembira, ia juga mengingatkan kita akan tanggung jawab yang luhur nan suci itu. Al-Qur’an sebagai Mukjizul Bayan ketika bertutur kepada orang-orang yang beriman ia menyampaikan kepada mereka bahwa kaum mukminin tidak hanya ditugaskan untuk beramar makruf nahi mungkar kepada umat muslim saja. Anda adalah umat yang ditugaskan untuk menjalankan amanah tersebut kepada seluruh umat manusia. Anda bertanggung jawab untuk mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan pada umat manusia. Pada dasarnya, kesadaran pada perasaan ini tidaklah hanya bersumber pada kehendak Anda semata. Allah ta’ala telah membuka hati Anda untuk umat manusia. Dia mendorong Anda ke depan panggung. Dia menjadikan Anda sebagai aktor yang berperan dalam skenario yang sudah ditakdirkan-Nya.
Untuk itu, umat Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam harus mengajak pada kebaikan (hal-hal yang makruf) dan mencegah dari keburukan (kemungkaran) dalam rangka menjaga amanah ini dan memahkotai tanggung jawab yang telah Allah embankan pada diri mereka. Pada dasarnya, perbedaan kaum mukminin di hadapan umat-umat yang lain berkaitan dengan keistimewaan ini.
Makruf dan Kemungkaran
Makruf merupakan sesuatu yang diperintahkan agama serta diterima dengan baik oleh aql-u salim (akal yang sehat), hiss-i salim (perasaan yang sehat), dan hati nurani. Ayat suci Al-Qur’an yang memberikan penekanan pada usaha “mengajak kepada kebaikan” menunjukkan bahwa hal tersebut adalah perkara yang penting. Oleh karena itu, kita, khususnya orang-orang yang beriman harus memperhatikan bahwa apa saja yang kita katakan adalah hal-hal yang makruf; menyampaikan kebaikan dan keindahan perlu lebih diprioritaskan daripada menyampaikan keburukan dan kejelekan; juga ketika menjalankan tugas ini kita perlu mengatur dengan baik uslubnya: sebelumnya kita harus menentukan dengan tepat kepada siapa, bagaimana, dan dengan cara apa hal-hal makruf ini akan disampaikan.
Sedangkan kemungkaran adalah sesuatu yang dilarang agama, sesuatu yang dianggap merugikan nan tidak baik menurut aql-u salim (akal sehat) dan hiss-i salim (perasaan yang sehat), serta ditolak oleh hati nurani. Jika demikian, maka seorang mukmin adalah sosok yang mengajak kepada kebaikan dan mencegah pada kemungkaran dengan jalan menjaga seseorang supaya tidak melakukan kesalahan yang membuatnya harus dihukum, serta melindunginya supaya tidak hanyut dalam aliran arus yang tidak diketahui dan tenggelam ke air yang dalam. Dengan menunjukkan betapa buruknya kezaliman, kefasikan dan kekafiran, kita berusaha menyadarkan mereka dari kezaliman, kefasikan, dan kekafirannya. Tidak hanya dengan kata-kata semata, sikap dan perilaku pun harus digunakan untuk menimbulkan perasaan muak dalam hati mereka terhadap keburukan, kejelekan, dan gaya bohemian sehingga dengan demikian kita menjauhkan mereka dari kesalahan dan dosa-dosa tersebut.
Menghindari Penggambaran yang Batil
Ketika kita sedang berusaha mengungkap wajah buruk dari kemungkaran, kita tidak boleh menyampaikan kekuatan, kekuasaan, dan hiasan yang terdapat padanya. Jika tidak, tanpa disadari bisa jadi kita telah membangkitkan tendensi atau kecondongan pendengar pada kemungkaran yang sedang kita ungkap. Dalam hal ini Al-Ustaz Said Nursi memberi peringatan sebagai berikut: ”Menggambarkan kebatilan dalam bentuk yang baik merupakan penyesatan bagi akal yang bening (Surat Ke-33, Bagian Benih-Benih Hakikat ke-31, Kitab Al-Maktubat, hlm. 778)“.
Ya, terkadang seorang manusia yang berniat untuk menyampaikan kebenaran dan hakikat menjelaskan kemungkaran sedemikian rupa sehingga pendengarnya justru penasaran dan ingin tahu lebih jauh tentang keburukan tersebut. Kesalahan ini tidak hanya terbatas pada kata dan penyampaian. Sebagaimana ceramah, nasihat, atau seminar yang disampaikan oleh seseorang dapat mengeruhkan pikiran yang jernih, seseorang yang membuat film atau serial juga dapat jatuh ke dalam kesalahan serupa. Meskipun niatnya adalah untuk menunjukkan sisi buruk dari kebatilan, tanpa disadari mereka telah memantik rasa penasaran terhadap dosa bagi orang-orang yang lemah iradatnya. Demikianlah, orang-orang yang bermaksud menyampaikan hakikat dan membangun dinding pelindung di sekitar kebenaran tanpa disadari dapat menyeret orang lain ke jalan yang salah.
Tidak Boleh Mematahkan Harapan
Hal yang sama juga berlaku jika Anda berusaha untuk menggambarkan hal-hal negatif, keburukan, dan kejelekan dalam bentuk yang dapat mematahkan semangat serta merusak kekuatan maknawi. Sikap yang demikian bertentangan dengan semangat untuk mencegah kemungkaran.
Misalnya, ada kalanya dengan perasaan hati yang penuh keprihatinan Anda berkata, “Saat ini umat manusia terasing dari linangan air mata. Kekeringan seperti yang kita alami pada masa ini tak pernah terjadi di masa-masa sebelumnya. Dunia Islam terbakar hangus. Kemuliaan, wibawa, dan reputasinya diinjak-injak. Mereka menjadikannya sebagai bahan candaan. Namun, di hadapan potret yang menyedihkan seperti ini pun sayangnya umat muslim tidak merasa pilu dan tersentuh. Mereka masih begitu kikir untuk menyisihkan beberapa menit waktunya demi melinangkan dua tetes air matanya.” Akan tetapi di saat menyuarakan pemikiran ini pun di satu sisi kita juga dapat/harus memikul sebuah keprihatian sebagai berikut: “Apakah dengan menyatakan hal tersebut saya telah melakukan kesalahan!”. Karena ketika seorang manusia menggambarkan sebuah kondisi yang negatif, tanpa disadari, bisa jadi ia malah menyatakan sesuatu yang mana lawan bicaranya itu tak mampu mengembannya. Tanpa disadari ia mengantarkan mereka pada atmosfer suram yang dapat merusak kekuatan maknawiyah mereka.
Seorang manusia bisa jadi merasakan pasang surut kecemasan ketika ia membandingkan kondisi negatif pada masa hidupnya dengan apa yang terjadi di masa lalu. Misalnya, coba Anda renungkan puisi Sultan Ahmed I berikut yang menggambarkan betapa besar rasa cintanya kepada Rasulullah:
“Tuanku, perpisahan denganmu sungguh membuatku tak sanggup bertahan
Hati ini hancur berkeping-keping, tak mampu lagi merasakan arti cinta
Takdir ilahi itu membuatku yang tak berdaya ini menangis tersedu-sedu
Sehingga Nabi Yakub pun tak mendapatkan giliran,
Kemudian bayangkan bahwasanya penggantinya nanti adalah sosok yang gila kekuasaan. Bukankah itu adalah hal yang memilukan? Memang benar, bagi orang-orang yang mengenal periode mawar di masa lampau, musim gugur yang dirasakan saat ini merupakan hal yang begitu menyedihkan, begitu memprihatinkan! Sedangkan tidak merasakan keprihatinan yang seperti ini, tidak mampu membandingkan pencapaian di masa lalu dan masa sekarang adalah hal yang lebih berat, lebih menyakitkan lagi! Namun, betapa dalamnya kita terperosok sehingga kita pun tak sadar akan keberadaan lubang curam yang mana kita jatuh ke dalamnya! Demikian dalamnya kita terperosok sehingga kita pun tak menyadari krisis yang sedang menerpa kita!
Semua ini merupakan manifestasi dari sebuah hakikat. Namun, sebagaimana disampaikan oleh Badiuzzaman Said Nursi, seorang manusia harus jujur dalam setiap perkataannya. Akan tetapi, tidaklah tepat untuk mengungkap semua kejujuran (Badiuzzaman, Maktubat, Bagian Benih-Benih Hakikat)[2]. Terkadang Anda mengungkapkan sebuah hakikat yang kalian percayai bahwa itu benar. Namun, jika tingkat pemahaman lawan bicara dan cakrawala kalbunya tidak mampu memanggul hakikat ini, bisa jadi ucapan dan penjelasan Anda malah menyeret mereka pada keputusasaan; ia akan mendorong mereka pada pemikiran yang salah, seolah-olah keindahan-keindahan tidak akan dapat dirasakan kembali. Orang-orang yang berusaha mencegah orang lain dari hal-hal negatif melalui media film layar lebar, fim seri, teater, kolom koran, ceramah, dan nasehat terkadang menyebabkan kehancuran-kehancuran yang luar biasa sehingga mereka pun patah semangat. Dengan demikian mereka lambat laun akan semakin pesimis dan putus asa.
Dari sudut pandang ini, seseorang yang akan berbicara di suatu tempat, haruslah membaca dengan baik perasaan lawan bicaranya; menyampaikan permasalahan yang akan ia sampaikan dengan uslub yang cocok, dan memperhitungkan reaksi yang mungkin terjadi. Ini karena setiap ucapan yang disampaikan dengan tidak mempertimbangkan topik apa yang bisa membantu lawan bicara kita rela membuka hatinya serta pernyataan yang tidak memperhitungkan kira-kira hal apa saja yang dapat membuat mereka memberi reaksi negatif dapat menyebabkan hasil yang bertolak belakang dengan tujuan.
Sebagai kesimpulan, di saat mengajak pada kebaikan dan mencegah keburukan kita harus bersikap dengan penuh kehati-hatian. Kita tidak seharusnya berlebihan dalam menggambarkan perkara yang batil, tidak juga kikir dalam menyampaikan sebuah kebenaran.
Menjadi Pencinta Kebenaran dalam Berbicara
Terkadang Anda bisa keluar dari lingkup “al-amr bil-makruf” ketika bermaksud menjelaskan hal-hal positif dan baik. Misalnya, Anda menjelaskan kegiatan dan program kebaikan dengan penyampaian yang berlebihan. Sedangkan mubalaghah (hal yang berlebih-lebihan) merupakan kebohongan yang tersembunyi. Kebohongan sekecil apapun tidak boleh digunakan dalam pengabdian agama. Selain itu, mubalaghah juga merupakan sebab utama bagi terputusnya kemuliaan dan keberkahan yang ada pada kegiatan dan program tersebut.
Ketika membahas hal-hal baik, terkadang Anda bisa menganggap bahwa sumber kebaikan tersebut adalah diri Anda sendiri. Anda merasa bahwa diri Anda memiliki peran dalam kebaikan tersebut. Padahal keberhasilan yang sedang Anda bahas itu sebenarnya 99,9%-nya merupakan anugerah dari Allah ta’ala. Porsi iradat kita sebenarnya hanyalah satu banding seribu. Jika kita berpikir yang sebaliknya, kita akan jatuh pada kesalahan yang dilakukan oleh kaum Jabariyah. Tanpa disadari kita terpeleset pada determinisme mutlak. Namun, jika seseorang yang menggambarkan kebaikan dan menceritakannya kepada orang lain merasa bahwa dirinya adalah seorang pahlawan yang memainkan peran penting dalam kebaikan tersebut dan merasa berhak untuk mengklaim perannya itu meski masih dalam lingkup benak pikiran, sesungguhnya nalarnya telah terkena cipratan syirik. Khayalan kotor ini suatu saat akan mengeruhkan tasawwur (konsepsi)-nya dan menyebabkan kerusakan di sana. Setelah itu, ia akan menyentuh ke-taakul-annya (proses penarikan kesimpulan atau pencapaian dalil oleh akal) dan membuka jalan bagi terbentuknya retakan dalam akalnya. Pada akhirnya, orang ini pertama-tama akan melakukan syirik yang paling ringan melalui pernyataan “kita, kitalah yang melakukan” untuk kemudian melakukan syirik yang paling buruk dengan mengatakan “aku, akulah yang melakukan”.
Pertama-tama, Kita Harus Menasihati Diri Sendiri
Hal penting lain yang harus diperhatikan supaya nasihat dapat memberi pengaruh positif pada lawan bicara adalah para pemberi nasihat hendaknya telah mempraktikkan apa yang dinasihatkannya. Allah ta’ala berfirman kepada Nabi Isa alaihi sallam,
يَا عِيسَى عِظْ نَفْسَكَ، فَإِنِ اتَّعَظْتَ فَعِظِ النَّاسَ، وَإِلَّا فَاسْتَحِ مِنِّي
“Wahai Isa, nasihatilah dirimu sendiri (terlebih dahulu). Jika kau sudah menasihati dirimu (sendiri) maka nasihatilah manusia, (jika kau belum melakukannya) maka malulah kepada-Ku.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, 1992, h. 71).
Dalam hadis qudsi ini, Allah berfirman bahwasanya perilaku seseorang yang belum mampu meyakinkan dirinya sendiri untuk melakukan sesuatu yang dinasihatkannya kepada orang lain merupakan sikap yang tidak tidak sopan dihadapan-Nya. Apabila sosok agung seperti Nabi Isa yang merupakan salah satu Nabi Ulul Azmi dan sudah pasti sepuluh kali lebih perhatian saja mendapatkan peringatan yang demikian dari Allah ta’ala, maka dapat dipahami bahwa orang lain, termasuk kita, harus lebih perhatian dalam perkara ini.
Ketidakmampuan untuk berlepas dari penampilan fisik, ketidaksanggupan untuk terbebas dari seremonial, dan ketidakcakapan kita untuk meraih makna terdalam begitu menyisihkan gambaran lahiriah juga merupakan perkara lain yang menyebabkan pesan yang kita sampaikan tidak memiliki pengaruh pada lawan bicara. Jika dunia Islam yang jumlahnya hampir satu setengah miliar, sepuluh jutanya saja mampu menghidupkan nilai-nilai Islam sama seperti sosok-sosok muslim di Asr Saadah, mungkin saat ini wajah seluruh umat manusia akan sangat berbeda. Namun, meski masih sedikit bersyukurlah pada apa yang ada supaya kita tidak makin terisolasi dari nikmat-nikmat yang telah Dia janjikan, sebagaimana disampaikan dalam firman-Nya,
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim, 14/7)
Ya Allah! Janganlah Engkau jauhkan kami dari nikmat-nikmat yang Engkau berikan karena kami telah mengabaikannya! Pancarkanlah sinar ketenangan pada hati kami dan jadikanlah kami sosok manusia hakiki! Anugerahkanlah pada kami hati yang selalu bergemuruh dengan rasa syukur, yang selalu gemetar dengan rasa takut, yang selalu berdoa begitu memohon dengan sikap sadar akan kelemahan dan kefakiran dalam diri.
[1] Diterjemahkan dari artikel: https://fgulen.com/tr/eserleri/kirik-testi/irsadda-uslup-ve-sozun-tesiri
[2] Satu benih kejujuran bisa melenyapkan segudang kebohongan. Sebuah hakikat lebih baik daripada segudang khayalan. Engkau harus jujur dalam setiap perkataan. Namun tidaklah tepat mengungkap semua kejujuran. Sebab, keharusan untuk jujur dalam setiap tutur kata, bukan berarti harus menuturkan semua kejujuran (Surat Ke-33, Bagian Benih-Benih Hakikat ke-49, Kitab Al-Maktubat, hlm. 780).
- Dibuat oleh