Kebutaan Sistem dan Umur Masyarakat
Pertanyaan: Saat berkhidmah di jalan kebenaran, -seiring berjalannya waktu- sebagian orang beranggapan bahwa pekerjaan yang dilakukan terasa monoton dan biasa saja. Lantas apakah hal ini bisa menyebabkan kebutaan pada sistem yang ada? Dan apa yang perlu dilakukan agar kita tidak terjerumus pada kebutaan semacam ini.[1]
Jawaban: Orang-orang yang berkumpul di sekitar tujuan mulia seperti mengukir senyuman di wajah umat manusia dan mengembuskan angin kebahagiaan ke seluruh penjuru dunia, hingga masa ini telah mencurahkan segala daya dan upaya yang dimilikinya demi mewujudkan mimpi-mimpi itu. Tampaknya Allah telah menjadikan usaha mereka berbuah manis. Sebagiannya Ia lipat gandakan menjadi seribu kali lipat hingga mereka pun tercurahi rahmat-Nya; Allah juga telah menjadikan mereka berhasil di jalan ditempuh. Namun, keberlangsungan dari keberhasilan yang merupakan rahmat Ilahi ini bergantung pada terjaganya keikhlasan dan ketulusan yang ada, serta tidak dihilangkan/diabaikannya cita-cita yang menjadi titik fokus pekerjaan/tugas ini.
Naudzubillahi min dzalik, jika kita menempatkan wasilah sebagai tujuan dan menganggap bahwa keberhasilan yang kita dapatkan tersebut berasal dari diri kita, serta menutup mata pada rahmat Ilahi yang tercurahkan kepada kita, maka sebagaimana yang terjadi pada umat-umat terdahulu, kehancuran yang sama pun juga dapat menimpa kita. Pada dasarnya, jika diteliti lebih lanjut latar belakang kekalahan yang dialami oleh umat Islam pada periode-periode sebelumnya terjadi karena adanya pemikiran yang melenceng semacam ini.
Meyakini Adanya Rahmat Ilahi pada Setiap Keberhasilan yang Dicapai
Mari kita bahas secara lebih spesifik: para aktivis hizmet yang berhijrah ke seluruh penjuru dunia telah mendapatkan anugerah Ilahi melebihi usaha yang mereka keluarkan. Tak seorang pun dari mereka yang mempertaruhkan nyawanya laksana pemimpin di perang Mu’tah dan tak seorang pun yang berhadapan dengan musuh sebagaimana para pahlawan di perang Yarmuk. Namun, mereka mendapatkan perhatian dimanapun mereka pergi dan hizmet/pelayanan yang mereka lakukan pun diterima dengan penuh penghargaan. Tak seorang pun dari mereka yang mengalami penderitaan kemanusiaan hingga lupa jalan pulang ke rumah, wajah keluarga, dan nama anak-anaknya. Namun, berkat rahmat Allah subhanahu wa ta’ala usaha dan upaya yang dilakukan di tempat-tempat yang mereka singgahi menjadi wasilah bagi hizmet di seluruh penjuru dunia. Di balik berbagai keindahan yang terwujud oleh segelintir upaya ini, maka perbuatan tidak melihat semua kemudahan tersebut merupakan inayah, riayah, dan karunia-Nya, malahan menisbahkannya pada diri sendiri serta beranggapan bahwa hal itu akan senantiasa berjalan seperti ini merupakan sebuah kebutaan yang hakiki terhadap rahmat dan inayah Allah subhanahu wa ta’ala.
Ya, mencetak berbagai keberhasilan, melejit ke posisi yang dianggap tinggi oleh banyak mata, membangun banyak lembaga, serta membangun sebuah sistem yang kokoh dapat memicu kebutaan pada diri manusia. Orang yang mengalami kebutaan semacam ini, dengan menganggap bahwa kenikmatan berlebih yang dianugerahkan Allah kepadanya adalah hasil jerih payahnya semata dapat tertimpa istidraj atau makr Ilahi. Oleh karenanya, alih-alih menyikapi keberhasilan yang didapat melalui tahdis binni’mah dan mengembalikannya kepada Allah seraya mengucap hamdalah, ia justru terjerembab dalam kesombongan dan kepongahan. Semua ini merupakan kesalahan yang dapat menyungkurkan manusia ke jurang kehinaan.
Sebagaimana yang disampaikan oleh para sosiolog dan sejarawan sosial, hampir semua bangsa mengalami periode kebutaan seperti ini pasca menggapai keberhasilan. Mereka dilanda mabuk kemenangan dengan derajat lupa diri sesuai dengan keadaannya masing-masing. Kondisi ini menjadi penyebab bagi porak-porandanya masyarakat dan hasilnya adalah mereka tersungkur ke jurang yang amat dalam. Jika kita telisik latar belakang di balik runtuhnya Kerajaan Romawi, Byzantium, Dinasti Seljuk, dan Dinasti Utsmani, maka akan kita lihat bahwa sebenarnya mereka mengalami proses keruntuhan yang sama. Dapat dikatakan pula bahwa beberapa negara adidaya di masa kini juga tengah memasuki periode ini. Ya, jika kita lakukan analisis yang sehat, maka dapat dikatakan bahwa negara-negara yang telah mencapai beberapa keberhasilan dan menggenggam kekuasaan di berbagai kawasan sedang memasuki periode kebutaan sistem dan tengah mengalami keruntuhan.
Menunjukkan Cita-Cita yang Agung
Untuk dapat menjaga masyarakat dari kebutaan semacam ini dan memperpanjang umur mereka, maka hal itu hanya dapat diwujudkan melalui mengarahkan manusia kepada cita-cita yang agung dan selalu memberi mereka tugas-tugas yang dapat membuat mereka sibuk sehingga dengan jiwa yang terbuka mereka dapat merangkul alam semesta dengan hati sanubari dan nuraninya; dengannya mereka senantiasa sibuk dalam aktivitas-aktivitas positif sehingga tidak akan kehilangan tegangan metafisiknya. Jika Anda tidak mengikat mereka pada cita-cita yang luhur dan tidak menyibukkan mereka dengan program-program untuk mewujudkan cita-cita tersebut, maka setanlah yang akan menyibukkan mereka dengan hal-hal yang batil.
Memainkan Format
Disisi lain, kita juga harus melihat ragam budaya berbeda yang ada di dunia ini, menentukan dengan baik titik temu yang ada dan dengan tepat mengevaluasinya, baru kemudian memainkan format aplikatif berbeda dari program hizmet yang tengah dilakukan serta menemukan metode atau cara baru yang sesuai dengan situasi dan kondisi demi menghindari kebutaan. Jika tidak, maka kita mungkin juga akan mengalami kelesuan, kelayuan, dan meredup sama halnya dengan apa yang dialami peradaban-peradaban sebelumnya.
Menutup Diri dari Egoisme dan Pamrih
Selain yang telah disebutkan di atas, orang-orang yang berada di garda terdepan dengan tanggung jawab yang diembannya harus menutup pintu nafsu duniawi dan menaruh beberapa gerendel di pintu-pintu tersebut. Jika ada yang mengajak mereka kepada keduniawian, maka mereka haruslah menjawab, ‘’Tidak usah repot-repot, pintu-pintu itu sudah tergerendel’’. Bahkan lebih daripada itu, mereka tak sepatutnya mengharapkan imbalan ukhrawi sebagai ganti dari hizmet yang dilakukan. Mereka haruslah mengikat kehidupannya dengan falsafah ‘’Tak ada di mataku kecintaan pada surga maupun ketakutan pada neraka. Jika aku melihat bangsaku berada dalam keimanan, maka aku rela terbakar dalam api neraka. Karena pada saat tubuhku terbakar, hatiku mekar bagai taman bunga di musim semi’’[2] dan hanya mengharapkan rida Allah semata.
Karena orang-orang yang membawa masalah dan mengikatkannya pada dirinya sendiri -jika bukan hari ini maka hari esok dan jika bukan esok maka hari selanjutnya- bakal mengalami kepudaran semangat dan akan mati bahkan sebelum ajal menjemputnya. Berbicara mengenai orang-orang yang menafikan dirinya, mereka memusatkan perhatian kepada Allah dan berlindung di bawah kekuatan dan kekuasaan-Nya. Orang-orang yang berlindung di bawah kekuatan dan kekuasaan-Nya - karena bersandar pada kekuatan dan kemampuan yang abadi -, maka mereka pun akan dapat melewati gunung dan membelah samudera, tidak akan pernah tahu apa itu rasa lelah di perjalanan, serta tak akan kehabisan kekuatan dan kemampuan.
Dari sisi ini, orang-orang yang berada di garda terdepan haruslah senantiasa hidup sehingga dapat memberi kehidupan bagi sekitarnya. Orang-orang yang tidak bergerak dalam pusaran hati dan kalbu tidak akan dapat menjadi wasilah bagi kehidupan orang lain. Orang yang kehilangan semangat dan kehidupannya, yang tertimpa kebobrokan maknawiah tidak akan memiliki kebaikan bagi dirinya sendiri, lantas bagaimana bisa ia memberi kehidupan, cinta, dan semangat kepada orang lain. Apalagi orang yang menyandarkan dirinya pada ketakutan, kelembekan, kemalasan, kecintaan pada zona pribadi, dan mereka yang memanfaatkan pangkat jabatannya untuk kepentingan pribadinya, sekali-kali tidak mungkin mereka dapat menghembuskan kehidupan bagi orang-orang di sekitarnya.
Harus Senantiasa Aktif
Orang-orang pada zaman Rasulullah dan periode Khulafaur Rasyidin senantiasa hidup dalam rajutan pemikiran kembali dari jihad besar menuju jihad kecil dan dari jihad kecil menuju jihad besar, serta sukses melakukan banyak pembebasan. Kebanyakan dari mereka tak memiliki harta benda duniawi selain rumah singgah sementara yang terbuat dari tanah dan batu. Akan tetapi, pribadi-pribadi luhur bercakrawala luas itu –dengan izin Allah- menjadi sarana bagi terbangunnya peradaban di dunia ini. Dari sudut pandang ini, maka jalan satu-satunya untuk mencegah terjadinya kebutaan sistem dan keberhasilan adalah dengan menggapai level yang dicontohkan oleh para sahabat serta mendidik orang-orang yang dapat mewarisi cakrawala ini.
Memanjangkan Umur Masyarakat Adalah Mungkin
Mungkin kita tidak dapat mencegah kematian masyarakat secara keseluruhan. Karena sebagaimana manusia, masyarakat juga memililiki ajalnya. Suatu ketika ada yang berkata pada seorang dokter, ‘’Tidak dapatkah kau temukan obat untuk kematian?’’. Padahal ia tahu tak ada obat bagi kematian. Karena bersama kehidupan, Allah juga menciptakan kematian.
Kematian maut bukanlah di dunia, tetapi kelak di akhirat sana. Dalam sebuah hadis, Baginda Rasul bersabda bahwa kelak di Akhirat ketika semua orang telah mengambil posisinya sebagai orang bahagia atau orang celaka, maka ketika itu juga maut akan diperlihatkan dalam bentuk domba dan disembelih; akan diperdengarkan tentang ditiadakannya ketiadaan, dan kepada ahli Surga dan Neraka dikatakan, اَلْخُلوُد اَلْخُلُودُ ‘’Setelah ini hanya akan ada keabadian’’. Pada dasarnya sifat ‘’Mematikan dan Menghidupkan’’ dan asma Allah Al-Muhyi dan Al-Mumit yang dalam ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi disebutkan secara bersandingan, sebenarnya mengisayaratkan hakikat ini. Yakni, sebagaimana yang menciptakan kehidupan adalah Allah, maka Ia pula yang menciptakan kematian. Dalam ayat lain di surat Al-Mulk, Allah berfirman, ‘’Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.’’ (QS Al Mulk 67:2).
Ya, sebagaimana kematian di dunia ini berlaku bagi setiap individu manusia, maka ia juga merupakan akhir yang tak terhindarkan bagi masyarakat. Namun, dengan memperhatikan hal-hal yang telah disebutkan di atas, maka -dengan izin Allah- tidak mustahil untuk memperlambat keruntuhan yang seakan telah ditakdirkan bagi mereka dan memperpanjang umur mereka. Sebagaimana halnya yang dilakukan oleh Dinasti Usmani. Meski sepertiga dari umur Dinasti Usmani dihabiskan dalam puncak kejayaan, sepertiganya dalam kepincangan, dan sepertiga lainnya dalam keadaan yang memilukan, tetapi mereka tetap dapat berdiri dalam kurun waktu yang sangat lama, yang tidak mudah dilakukan oleh negara-negara di dunia di sepanjang sejarah yang ada. Meski di periode kepincangannya, Usmani masih tetap memainkan peran penting sebagai unsur penyeimbang negara-negara di dunia.
[1] Diterjemahkan dari artikel: Kırık Testi: Sistem Körlüğü ve Toplumların Ömrü
[2] Badiuzzaman Said Nursi, Biografi Badiuzzaman Said Nursi, halaman 616 (penerj.)
- Dibuat oleh