Memelihara Kebersihan Qalbu
Hendaknya setiap da'i mempunyai hati yang bersih dan hati yang lemah lembut, ketika menyampaikan dakwahnya kepada orang lain. Kalau tidak, maka hubungannya dengan Allah akan kotor, sehingga setiap kalimat dari dakwahnya tidak akan memberi pengaruh sedikit pun bagi para pendengarnya. Untuk lebih jelasnya perlu Aku sebutkan kisah berikut ini. Hendaknya seorang da'i tidak berharap apapun dalam dakwahnya selain ridha Allah. Selama ia mempunyai perasaan seperti itu, maka ia mempunyai perasaan sama dengan para rasul dan nabi dan para da'i.
Masalah ini akan terjadi bila setiap da'i mempunyai perasaann ikhlas hanya karena Allah, jika ia menanam sebutir biji, maka akan tumbuh setelahnya beribu-ribu biji, tentunya hal itu tidak akan terjadi kecuali dengan ijin Allah, karena itu ia harus berharap selalu kepada Allah. Tetapi jika ia berharap mendapat imbalan dari orang lain, maka dakwahnya tidak akan memperoleh dari Allah.
Hendaknya kita memahami arti tauhid sebaik-baiknya, sehingga kita tidak berharap keada selain Allah, karena arti tauhid adalah meniadakan Tuhan selain Allah. Artinya meniadakan segala kebaikan, kekuatan, petunjuk dan kesesatan kecuali dari Allah, karena hanya Allah yang memiliki segala kerajaaan. Dia akan memberikan kekuasaan bagi siapapun yang dikehendakinya dan akan menarik kekuasaan dari siapapun yang dikehendaki-Nya. Dia mamuliakan bagi siapapun yang dikehendaki-Nya dan menghinakan bagi siapapun yang dikehendaki-Nya.
Sesungguhnya perjuangan seseorang untuk membersihkan hatinya dan memperlembut perilakunya sangat berat, tetapi siapapun yang berjuang dengan baik, maka ia akan berhasil mencapainya.
Mari kita perhatikan tentang kisah Abu Hanifah, ketika ia menolak tawaran untuk menjadi hakim negeri, karena ia ingin menjaga kebersihan hatinya dan kelembutan negerinya dan ia tidak ingin tersiksa karena kezaliman perilakunya, tetapi kedudukan itu tidak ditolak oleh siapapun yang ingin mengotori jiwanya.[1]
Demikian pula Imam Syafii telah mengerahkan upayanya agar ia tidak ditawari kedudukan apapun oleh sang penguasa.[2]
Beliau lebih memilih hidup yang paling sederhana seperti manusia biasa, ia menolak setiap diberi kedudukan oleh sang penguasa, meskipun ia harus menghadapi berbagai siksaan dari sang penguasa. Ia lebih memilih di siksa dari pada memilih kedudukan dari negara, seperti yang dilakukan oleh Abu Hanifah an-Nukman. Demikian pula Imam Ahmad Ibn Hambal, ia berani melawan siksaan dari siapapun, terutama dari sang penguasa, karena ia menolak paham sang penguasa yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk. Ia berani berkata bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah dan ia bukan makhluk. Pendapat tersebut ia pegangi sampai di akhir hayatnya, meskipun ia dapat menyelamatkan dirinya dengan berpura-pura, tetapi ia menolak pendapat itu dengan tegas.[3]
Al Baihaqi menuturkan bahwa Rabi' berkata, “Aku pernah diutus oleh Imam Syafii membawa surat beliau untuk disamaikan kepada Imam Ahmad Ibnu Hambal. Aku menemui Ahmad ibn Hmabal setelah ia selesai melakukan shalat subuh. Ia bertanya kepadaku, “Apakah kamu telah membaca isi surat ini?” Jawabku, “Belum.” Kemudian ia menerima surat itu dariku dan membacanya sambil meneteskan air matanya, sampai aku bertanya kepadanya, “Wahai Abu Abdillah, apa yang tertulis di dalamnya?” Jawab Imam Ahmad, “Isi surat ini menyatakan bahwa Imam Syafii mimpi bertemu dengan Rasulullah Saw. dan Beliau Saw. menyuruhnya menulis surat kepadaku untuk menyampaikan slam beliau kepadaku. Katakan padanya bahwa engkau pantas menerima cobaan tentang Al- Qur'an itu makhluk, maka hendaknya ia tidak menjawab pertanyaan mereka, semoga Allah akan memberikan kedudukan kepadamu hingga hari kiamat.
Kata Rabi', “Aku katakan alangkah bagusnya isi surat itu bagi Imam Ahmad ibn Hambal.” Maka ia melepas bajunya dan memberikannya kepada Imam Ahmad, ketika ku pulang ke tempat Imam al-Syafi'i tentang kisah pertemuanku dengan Imam Ahmad sampai Imam al-Syafi'i berkata, “Aku tidak ingin mengejutkan hatimu tentang maslah baju ini, tetapi aku minta basahilah baju ini dengan air dan airnya berikan padaku, agar aku mendapat berkahnya.”[4]
[1] Lihat lebih lanjut dalam kitab Tadzkirah al-Huffâdz, karya Imam adz-Dzahabi, Jilid 1, halaman 168. Juga dalam kitab Wafâyat al-A’yân, karya Imam Ibnu Khalqan, Jilid 5, halaman 407. Juga dalam kitab Târîkh Baghdâd, karya Imam al-Khathib al-Baghdadi, Jilid 13, halaman 326-328.
[2] Lihat lebih lanjut dalam kitab Tawâli’ at-Ta’sîs, karya Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, Jilid 77, halaman 84. Juga dalam kitab asy-Syâfi’i, karya Imam ‘Abdul Ghani ad-Dikr, halaman 380-381.
[3] Lihat lebih lanjut dalam kitab Siyar A’lâm an-Nubalâ’, karya Imam adz-Dzahabi, Jilid 11, halaman 239-240. Juga dalam kitab Hilyatu al-Auliâ’, karya Imam Abu Nu’aim, Jilid 9, halaman 206.
[4] Lihat lebih lanjut dalam kitab Tarîkh Dimasyqi, Ibnu Asair, Jilid 3, halaman 250. Juga dalam kitab al- Bidâyah wa an-Nihâyah, karya Imam Ibnu Katsir, Jilid 10, halaman 331.
- Dibuat oleh