Dakwah Sebagai Kado Termahal
Jika kita umpamakan dakwah dengan berbagai macam hadiah yang biasa diberikan dari satu orang kepada yang lain, maka dakwah merupakan hadiah yang paling berharga dan termahal. Jika manusia saling memberi hadiah dengan sesamanya di berbagai kesempatan yang baik, tentunya yang akan memberi hadiah akan berpikir matang-matang, kiranya hadiah apakah yang paling berharga untuk dihadiahkan bagi sahabatnya. Sebab, seseorang yang mau memberi hadiah adalah seorang yang mencintai sahabatnya atau pihak lain yang akan diberinya hadiah.
Perlu kita ketahui bersama, bahwa hadiah yang paling dibutuhkan oleh orang yang sudah dewasa adalah petunjuk serta nasihat yang baik, atau yang berupa amar ma'ruf nahi munkar. Namun sebelum meberi hadiah, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu siapa yang akan kita beri hadiah, agar ia mau menerimanya dengan senang serta memanfaatkannya. Tentu, tidak semua orang mau menerima petunjuk dan nasihat yang baik, jika qalbunya tidak condong kepada kebenaran. Oleh karena itu, seorang da'i yang sukses adalah seorang penyeru yang dapat membaca situasi dari orang-orang yang akan diberi petunjuk dan nasihat.
Tentunya, ia harus bersikap lembut, tidak menggurui, bertutur kata yang manis, dan berperilaku yang menarik, sehingga orang yang diajaknya untuk menegakkan amar ma'ruf nahi munkar mau menerima dengan kegembiraan. Sebab, hadiah yang menyenangkan dan menggembirakan mampu mengubah sifat dan sikap seseorang. Dari yang tadinya benci dan keras, bisa berubah menjadi cinta dan lemah-lembut. Apalagi, hadiah ajakan untuk menegakkan amar ma'ruf nahi munkar bukan saja menyenangkan dan menggembirakan pihak yang diberi. Akan tetapi, juga sekaligus pihak yang memberi. Kedua belah pihak sama-sama bisa memetik manfaat atas pemberian petunjuk yang ditunaikan.
Disebutkan pula, bahwa pada saat peperangan Khaibar tengah berkecamuk, kaum Yahudi berada dalam kepungan kaum muslim dalam rentang waktu yang cukup lama, dan mereka tidak mau membuka pintu bentengnya untuk menyerah atau berdamai dengan pasukan muslimin. Hingga pada suatu hari Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Esok pagi akan aku berikan panji-panji perang kepada seorang laki-laki yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, atau seorang laki-laki yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, hingga Allah akan memberi kita kemenangan.”[1]
Sudah barang tentu ucapan Rasulullah Saw. di atas merupakan seruan yang paling berharga bagi para sahabat. Oleh karena itu, setiap orang dari mereka (para sahabat) sangat berharap mendapatkan kehormatan menjadi laki-laki yang disebutkan Rasulullah. Padahal setiap sahabat akan lebih mengutamakan orang lain daripada diri mereka sendiri dalam segala urusan. Termasuk pada saat para sahabat diberi jatah minuman (susu), maka sahabat yang ada akan memberikannya terlebih dahulu kepada orang-orang yang berada di sebelahnya. Kemudian berkata kepada orang yang memberinya minuman, “Bagaimana aku akan minum, sedangkan orang yang berada di sisiku belum mendapatkan kesempatan itu?” Kemudian dikatakan kepada orang itu, “Berikan dahulu minum ini kepada sahabatku yang lain.” Meraka saling mencintai, satu dengan yang lainnya, dan lebih mengutamakan yang lain daripada dirinya sendiri. Sehingga ada sejumlah sahabat yang akibat satu sama lain saling mengutamakan pihak yang lain daripada diri sendiri, sehingga beberapa di antara mereka rela mati akibat kehausan.[2]
Itulah salah satu sifat sahabat yang memiliki kebiasaan lebih mengutamakan kepentingan sahabat lainnya daripada diri mereka sendiri. Bahkan, apa saja yang dimiliki akan dibagi dengan sesamanya jika mereka saling membutuhkan. Sebab, mereka saling menghormati dan saling mencintai satu dengan lainnya. Oleh karena itu, sabda Rasulullah Saw. di atas merupakan berita gembira tersendiri bagi setiap sahabat, sehingga masing-masing dari mereka ingin mendapat kemuliaan seperti yang telah beliau utarakan, yakni; pelakunya akan dicintai oleh Allah dan Rasulullah. Dengan bahasa yang lebih urai dapat disebutkan di sini, bahwa setiap person dari para sahabat Rasulullah ingin mendapatkan kemuliaan seperti yang sudah beliau sampaikan. Ini terbukti, pada saat Sayyidina „Umar Ibnul Khaththab ra. yang tidak ingin menjadi pemimpin pasukan, akan tetapi pada saat itu ia sempat mengatakan, “Sesungguhnya aku tidak ingin menjadi pemimpin kalian dalam peperangan ini, kecuali pada hari ini. Sehingga aku menonjolkan diriku agar dipilih oleh Rasulullah untuk memegang panji-panji peperangan membela agama yang beliau bawa.”[3]
Setiap sahabat yang mulia pasti menginginkan kedudukan yang semahal itu di sisi Allah dan Rasul-Nya. Sehingga tidak seorang pun dari mereka yang sempat terpejam sedetik pun pada malam harinya, akibat ketidaksabaran mereka ingin segera dipanggil oleh Rasulullah Saw. pada keesokan harinya untuk menerima panji-panji peperangan pada hari itu. Pada keesokan harinya, beliau justru mencari karakter pemimpin pada shaf pertama dalam pelaksanaan shalat Shubuh. Setiap diri dari para sahabat Rasulullah yang mulia sangat berharap bahwa diri merekalah yang akan dipanggil oleh beliau. Ternyata, pada pagi hari itu Rasulullah justru bertanya, “Di manakah „Ali ibn Abi Thalib?” Mereka segera tersadar, bahwa „Ali ra. adalah seorang yang berhak mendapat karunia sebesar itu dari beliau, meskipun pada saat yang bersamaan „Ali ibn Abi Thalib tidak hadir di antara mereka, karena kedua matanya tengah sakit. Jawab para sahabat, “Kedua mata 'Ali sedang sakit, ya Rasulullah.” Akan tetapi, Rasulullah Saw. memerintahkan seseorang untuk memanggil „Ali. Setelah ia datang di hadapan Rasulullah, maka beliau mengusap kedua mata „Ali, sehingga penyakit pada kedua matanya sembuh. Kemudian beliau memberikan panji-anji peperangan kepada „Ali ibn Abi Thalib ra., yang sejak saat itu ia tidak pernah lagi mengalami sakit mata.
Setelah menerima panji-anji peperangan, maka „Ali ibn Abi Thalib maju ke depan, kemudian ia berhenti sesaat, seraya bertanya, “Ya Rasulullah, berdasarkan apakah kita hendak memerangi mereka? Dan, apa yang harus kita serukan kepada mereka?” Jawab beliau, “Teruskan jalanmu sampai engkau tiba di perkampungan mereka, kemudian ajaklah mereka untuk memeluk Islam, dan beritahukan kepada mereka tentang hak serta kewajiban dalam agama Islam. Demi Allah, jika ada seorang yang diberi petunjuk oleh Allah Swt. melalui dirimu, maka hal itu lebih baik bagimu daripada engkau mendapatkan karunia berupa sejumlah unta yang bagus-bagus.”[4]
Sehingga, sejak saat itu tidaklah suatu tempat yang didatangi oleh pasukan Islam, melainkan mereka akan menyeru terlebih dahulu kepada mereka untuk memeluk agama Islam. Atau berdamai dengan mereka, dan mengharuskan kepada mereka untuk bersedia membayar Jizyah.[5]
Dalam setiap perjanjian yang dibuat oleh umat Islam dengan non-Muslim, ketentuan amar ma'ruf nahi munkar telah dijalankan berdasar pada sabda-sabda Rasulullah Saw.. Dan, beliau juga mengajak musuh-musuh Islam yang akan beliau perangi itu ke dalam pangkuan Islam terlebih dahulu. Jika mereka mau menerima ajakan memeluk agama Islam, mereka dianggap sebagai bagian umat Islam yang akan diberi perlindungan oleh tentara kaum muslim, atau seperti umat Islam pada umumnya. Akan tetapi, jika mereka menolak ajakan tersebut, mereka akan diperangi oleh tentara Islam. Alhasil, tentara Islam tidak akan menyerang musuh-musuh mereka terlebih dahulu sebelum disampaikan kepada mereka ajakan untuk masuk ke dalam pelukan Islam secara damai. Sebab, jika ada di antara mereka yang bersedia masuk Islam, meskipun hanya seorang saja, tentara yang mengislamkan orang itu akan mendapatkan pahala lebih besar daripada ia mendapatkan karunia sejumlah unta yang bagus-bagus.
Dari kisah yang kami sebutkan di atas dapat disimpulkan, bahwa hadiah termahal yang bisa diberikan oleh seorang muslim kepada sahabatnya adalah pada saat ia mampu mengajak orang lain untuk menegakkan amar ma'ruf nahi munkar . Apalagi jika ia mengajak orang lain itu dengan cara-cara yang lembut, tidak menggurui, bersikap lapang dada, dan bertutur kata yang manis.
[1] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, pada bahasan mengenai al-Jihâd, hadis nomor 121 dan 143. Juga pada bahasan mengenai “fadhâil ‘Ashâbi al-Naby”, hadis nomor 9. Diriwayatkan pula oleh Imam Muslim, pada bahasan mengenai “fadhâil al-Shahâbat”, hadis nomor 32 dan 35. Juga diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi, pada pembahasan di seputar al-Manâqib, hadis nomor 20.
[2] Lihat lebih lanjut dalam kitab Syu’ab al-Îmân, karya Imam al-Baihaqi, Jilid 3, hadis nomor 61.
[3] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam al-Musnad miliknya, Jilid 2, hadis nomor 384. Lihat pula dalam al-Thabaqât al-Kubrâ, karya Ibnu Sa’ad, Jilid 2, hadis nomor 110.
[4] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, pada bahasan mengenai “fadhâil ‘Ashâbi al-Naby”, hadis nomor 9. Diriwayatkan pula oleh Imam Muslim, pada bahasan yang sama, hadîts nomor 34.
[5] Sejenis pajak yang harus dibayarkan oleh pengikut agama lain kepada Pemerintahan Islam yang tengah berkuasa di mana mereka berada dalam naungan serta perlindungan tentara Islam dan kaum Muslim.
- Dibuat oleh