Kriteria Pengorbanan dan Keseimbangan dalam Berinfak

Tanya:  Apakah terdapat batas dalam mengerjakan pengabdian-pengabdian di jalan Allah? Bagaimana seharusnya kriteria pengorbanan materi dan maknawi bagi seorang manusia yang mendedikasikan kehidupannya untuk pengabdian-pengabdian di bidang pendidikan?[1] 

 

Jawab: Sebagaimana diketahui, dari sisi hubungannya dengan Allah subhanahu wa ta’ala tidak ada manusia yang derajatnya sama. Barangkali di antara mereka terdapat jarak yang jauhnya antara bumi dan bintang kartika. Dengan kata lain, setiap manusia memiliki hubungan yang berbeda-beda dengan Allah subhanahu wa ta’ala  di mana derajat ini mempengaruhi level iman, makrifat, mahabah, serta hasrat dan cintanya kepada Sang Pencipta. Misalnya, seseorang yang hidup penuh kesensitifan dalam menjalankan seluruh perintah agama tidak hanya berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan perintah wajib saja, tetapi juga dengan ibadah-ibadah sunah. Namun, ada juga orang-orang yang mencukupkan diri dengan menunaikan tanggung jawab yang wajib-wajib saja. Satu hal yang pasti, apapun levelnya, kita tidak boleh meremehkan hubungan dan ikatan antara seseorang dengan Tuhannya. Meremehkannya berarti menyepelekan sesuatu yang berharga di sisi Allah. Apabila kita perluas bahasannya, mereka yang masih setia dengan kalimat tauhid, yaitu dua kalimat syahadat, menunaikan salat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadan, menunaikan zakat setelah sampai nisabnya, berhaji jika mampu, meskipun hidup dengan menanggung beragam serangan dari orang-orang yang tidak suka, bernapas di tengah-tengah fitnah yang merajalela di mana lantai licin terhampar di hadapannya, artinya mereka telah menunjukkan sebuah sikap yang sangat penting. Sikap tersebut sangat penting karena setiap amal yang mereka lakukan demi rida Allah dalam situasi dan kondisi itu memiliki nilai luar biasa di sisi Allah. Untuk itu, tidak ada pengorbanan dari setiap insan yang menyokong pengabdian-pengabdian agama dengan harta dan nyawanya yang kemudian bisa dipandang remeh. Setiap dukungan yang mereka berikan harus diberi apresiasi.

 

Meningkatkan Motivasi dengan Jalan Mengapresiasi Kebajikan

 

Apabila kita melihat pembahasan ini dari sisi berinfak, akan terlihat adanya perbedaan level bahkan di antara para ashabul kiram pada masa kebahagiaan. Ketika mereka diseru untuk berinfak sebelum melakukan perjalanan menuju Tabuk. Sayidina Abu Bakar menginfakkan seluruh hartanya. Saat Rasulullah bertanya: “Apa yang kamu tinggalkan untuk anak istrimu?”, beliau menjawab: “Aku tinggalkan Allah dan Rasul-Nya untuk anak dan istriku.”[2] Inilah representasi dari derajat siddiqiyah. Loyalitasnya kepada Allah dan Rasulullah serta penerimaannya kepada Islam merupakan prototipe ideal bagi seorang muslim. Sayidina Umar sendiri memberikan setengah dari hartanya (Dari peristiwa ini kita tidak memahami bahwa level Sayidina Umar berada di bawah Sayidina Abu Bakar, karena itu merupakan sikap yang tidak sopan di hadapan para sahabat yang agung. Selain itu, Sayidina Umar juga memiliki  keunggulan di sisi-sisi lain). Para sahabat seperti Sayidina Usman dan Abdurrahman bin Auf misalnya masing-masing bersedekah sekitar 500 unta (Baca di Musnad Imam Ahmad, 6/115). Dengan situasi saat ini, besaran sedekah tersebut kira-kira setara dengan 500 mobil Mercedes. Sayidina Ali sendiri mengamalkan keikhlasan dalam infaknya sehingga setengah sedekah beliau berikan secara terang-terangan sedangkan setengahnya lagi ditunaikan secara sembunyi-sembunyi. Ketika berinfak secara terang-terangan, sebenarnya beliau sedang menunaikan tugas untuk menjadi teladan bagi orang lain serta menunjukkan bahwasanya beliau tidak tertinggal dari sahabat-sahabat agung lainnya. Sementara praktik sedekah yang ditunaikan secara tersembunyi merupakan ungkapan bahwasanya yang beliau harapkan dari amalnya ini hanyalah rida Allah semata. Selain contoh-contoh tersebut, pada masa-masa awal Islam terdapat juga para sahabat yang ambil bagian dalam kafilah kebaikan meski hanya dengan 2-3 kurma genggam, ataupun sedekah senilai 3-5 dirham saja. Sebenarnya, itu adalah hal yang manusiawi dan akan selalu muncul di setiap masa. Selain akan ada orang-orang yang rela memberikan semua yang dimilikinya, ada juga orang-orang yang rela memberikan separuh, seperempat, atau sepersepuluh dari hartanya. Untuk itu, kita tidak boleh lupa bahwa hal yang sama juga bisa terjadi pada hari ini. Kita harus tetap mengapresiasi pengorbanan sekecil apapun itu.  

 

Terdapat satu hal lagi yang juga perlu untuk diketahui: apresiasi terhadap pengorbanan terkecil sekalipun hanyalah satu aspek saja dari pembahasan ini. Aspek lainnya yaitu berusaha meningkatkan level umat manusia serta menunjukkan target-target baru yang mengisyaratkan pintu-pintu kebaikan berikutnya. Bagi seorang manusia, betapa banyak amal-amal saleh yang lebih indah dan dapat dia kerjakan selain kewajiban minimal yang diembannya. Untuk itu, usaha seseorang tidak boleh minimalis. Ia harus memasang target setinggi mungkin. Ia harus berusaha menyimak nama Allah dengan hati nuraninya lebih dalam lagi di setiap pagi. Ia juga harus berusaha untuk menguasai semangat beragama secara lebih dalam. Dia harus mencari cara untuk lebih memperkuat hubungannya yang tulus dengan Rasulullah dan selalu berusaha untuk meningkatkan standarnya. Kita tidak boleh merasa cukup dengan level yang sudah diraih saat ini. Kita harus selalu memacu kuda dengan berkata “Hal mim mazid/apakah masih ada lagi?” sehingga dengan demikian kuda ini bisa ditunggangi lebih jauh lagi. Bahkan bila suatu hari seseorang berhasil mencapai derajat fana fillah dan baqa billah, yaitu ketika ia tiba di hadapan cahaya subuhati wajih, semua ciptaan terhapus dari matanya sehingga ia mampu menyingkirkan segala sesuatu yang fana dan sementara; ketika sisi-sisi jasmani dan ragawi dapat ditiadakan, ia akan mampu meraih sekali lagi keberadaan wujud abadinya. Dengan kalbu, jiwa, dan perasaan hidup dalam kebangkitan yang istimewa, ketika ia mampu melihat kepalanya membumbung tinggi menyentuh angkasa, ia tetap menentukan target tinggi dan berkata: “Ya Alah, anugerahkanlah kemampuan-kemampuan di atas batas kapasitasku, hujanilah aku dengan anugerah-anugerah yang terus bertambah berkat adanya kemampuan ini.

 

Ya, baik dalam kehidupan kalbu dan jiwa maupun dalam rangka pengabdian kepada Sang Haq, meskipun level setiap orang berbeda-beda, terdapat hal yang patut untuk diketahui bahwasanya pintu perkembangan akan selalu terbuka bagi mereka yang mampu mengerjakan urusan ini meski di tingkatan yang paling minimal. Ketika intisari dari pengabdian yang ditunaikan mampu dirasa, mereka kemudian akan menerimanya lebih sepenuh hati. Saat mereka mengerjakan pengabdian-pengabdian yang sudah sepatutnya ditunaikan, ia seakan terukir di dalam hati sehingga kemudian menjadi bagian dari karakter kesehariannya. Demikian dalamnya perasaan ini, sehingga ketika tiba situasi di mana pengabdian mereka tak lagi dibutuhkan, mereka akan merasakan bahwasanya hidup tanpa dedikasi adalah kosong. Keadaan tersebut akan dilihat seperti kematian. Mereka akan merintih menderita karenanya sehingga mereka pun mencari berbagai cara demi bisa berinfak. Namun, meraih derajat ini membutuhkan waktu. Pencapaian derajat ini bergantung pada praktik sabar aktif dan internalisasi urusan-urusan tersebut di dalam hati. 

 

Mengenal Kawan Bicara dengan Baik

Pendekatan yang bisa dilakukan untuk meraih pencerahan terkait urusan ini adalah sebagai berikut: Beberapa orang menjadikan hukum-hukum syariah yang ditetapkan di Madinah al Munawarah sebagai acuan dan mencukupkan diri dengannya. Ketika mereka memberikan satu per empat puluh dari hartanya sebagai zakat atau sepersepuluh bagian dari asetnya, itu artinya tugas telah ditunaikan. Sisanya mempertimbangkan masalah ini sesuai dengan prinsip Makkah. Mereka memberikan semua yang mereka bisa berikan berdasarkan fakta bahwa ayat-ayat Makkiyah yang memerintahkan sedekah tidak menentukan jumlah tertentu. Pada titik ini, mereka yang menjadi garda terdepan bagi dijalankannya banyak pengabdian di jalan kebenaran serta orang-orang yang mengemban tugas sebagai pemandu bagi banyak orang supaya turut terlibat dalam pekerjaan baik ini harus bergerak sesuai basirah dan firasat serta kenal baik dengan semua kawan bicaranya. Apabila mereka memandang apa yang sudah ditunaikan oleh teman-temannya sebagai amal yang sedikit atau memberi beban yang tak bisa diangkat maka - semoga Allah melindungi - maka hal tersebut bisa menjadi penyebab bagi terjadinya keengganan, kejenuhan, bahkan ketidaksukaan untuk melakukan kebajikan-kebajikan berikutnya. Terkait hal itu, aku ingin menyampaikan sebuah kenangan yang kuingat bisa menjadi kriteria bagi penerapan norma-norma tersebut pada masa kini. Ketika itu masyarakat di Kecamatan Bozyaka, Izmir berkumpul untuk urusan tolong-menolong kepada sesama manusia. Setelah menjelaskan urgensi dari perkara ini, aku berdiri dan pergi masuk ke kamarku. Kudengar ada suara seseorang sedang naik ke atas melalui tangga dengan langkah yang cepat. Aku mengenal sosok ini sebagai seorang pensiunan pegawai negeri. Beliau menyerahkan kunci rumah yang baru saja dibelinya dari pesangon pensiunnya dan berkata: “Di bawah tadi semua orang telah menyampaikan niat dan janji donasi beasiswanya. Sedangkan aku tak punya apa-apa selain rumah ini. Untuk itu izinkan aku menyerahkan kunci rumah ini sebagai wujud dari bagian donasiku.” Menghadapi peristiwa yang cukup mengharukan ini aku hanya bisa berkata: “Sungguh di dalam agama tidak ada kewajiban untuk melakukan pengorbanan sebesar ini” dan mengembalikan kunci rumah tersebut kepadanya. Setelah itu aku kembali berkata: “Pulanglah ke rumah, pergaulilah dengan baik anak istrimu. Berinfaklah ketika Allah memberi tambahan rezeki untuk Anda.” Menurut pendapatku, jika semangat berinfak ini tidak diseimbangkan, di waktu berikutnya ia akan menjadi seperti paksaan di dalam agama. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 256:

 

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ

 

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Ya, tidak ada paksaan baik dalam menganut agama Islam maupun dalam melakukan amal-amal tertentu. 

 

Agama Islam dibangun di atas pondasi kemudahan. Apabila Anda memaksakannya di mana hal tersebut bertentangan dengan tabiat manusia, artinya Anda telah menyajikan agama sebagai sesuatu yang sulit untuk dijalankan. Jika demikian, di kemudian hari Anda akan menemui situasi yang kontra dengan tujuan Anda. Ketika Anda berharap supaya orang-orang menunjukkan sifat-sifat kepahlawanan dengan jalan menyampaikannya dengan arahan semisal perintah supaya mereka memasukkan tangannya ke bawah batu raksasa, maka peristiwa dan reaksi yang akan muncul adalah respon kontraproduktif sehingga Anda pun berada dalam posisi orang yang kalah disebabkan pendekatan yang membuat agama seakan tidak mudah untuk dijalankan. 

 

Rasulullah bersabda:

 

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ

 

"Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan (karena semakin berat dan sulit untuk menjalankannya, HR Bukhari, Bab Iman, 29 & HR Nasai, Bab Iman, 28). Dari sisi ini, mereka yang berposisi sebagai pemandu harus mengenal dengan baik kawan bicaranya. Siapa mampu mengemban tugas seperti apa harus diperhitungkan dengan baik. Untuk itu, kita harus bergerak dengan basirah dan firasat yang tajam.  

 

Kita tidak boleh lupa bahwasanya bergerak logis juga merupakan bagian dari akhlak ilahi. Allah berfirman: 

 

لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

 

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (QS Al Baqarah 286)” Allah ta’ala menyampaikan bahwasanya tidak ada seorang pun makhluknya yang diberi kewajiban melebihi kapasitasnya. Jika demikian, daripada memberi tugas dan kewajiban yang melebihi kapasitas mereka, seharusnya kita menggembirakan hati dengan mengapresiasi amal-amal kebajikan yang telah mereka tunaikan. Kita harus menggunakan cara-cara yang bisa menambah semangat beramal.  

 

Kontinuitas Dalam Berinfak

Sebenarnya memaksa orang-orang untuk berinfak akan menjadi sebab bagi macetnya usaha kebajikan. Padahal usaha kebajikan yang berjalan lancar dan semakin besar akan memfasilitasi semakin besarnya infak yang dikumpulkan. Untuk itu, meskipun kecintaan dan semangat para pahlawan-pahlawan infak ini meluap-luap dan tak mengenal rasa kenyang, Anda tetap harus bertindak seimbang. Anda harus berpikir jangka panjang dan menitikberatkan pada keberlangsungan kontinuitasnya.  

 

Poin terakhir yang ingin saya sampaikan adalah sebagai berikut: mereka yang berharap supaya kawan bicaranya melakukan pengorbanan lebih banyak karena padatnya agenda-agenda hizmet seharusnya senantiasa memainkan banyak format supaya terselamatkan dari kemonotonan. Mereka harus menyampaikan nilai-nilai yang diyakininya dengan warna, desain, dan intonasi yang beraneka ragam. Dengan demikian, ombak antusiasme dan semangat dari kawan bicara akan tercipta dan meningkat. Kita tidak boleh melupakan prinsip: 

 

كُلُّ جَدِيدٍ لَذِيذٌ

 

“Segala sesuatu yang baru akan terasa lezat.” Dari sisi ini, penggunaan saluran yang berbeda-beda dalam menyajikan pesan-pesan kita akan meninggalkan rasa dan suka cita yang baru, sehingga membuatnya mudah diterima oleh kawan bicara. Jika tidak, monotonnya cara penyampaian akan menciptakan perasaan jemu di hati orang-orang. Hal ini akan membuat orang-orang bosan untuk menyimaknya. Oleh karena itu, Anda akan mengalami kesulitan untuk membuat pesan Anda beresonansi di hati masyarakat.

 

[1]  Diterjemahkan dari: https://herkul.org/kirik-testi/fedakarlik-olcusu-ve-infakta-denge/ 

 

[2] Ahmad bin Hambal, Fadhailus Sahabah, 1/360

 

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.