Hubungan di antara Berbagai Jenis Kesabaran

Pertanyaan: Dalam Risalah Nur disebutkan bahwa terdapat tiga jenis kesabaran, yaitu kesabaran untuk beribadah, kesabaran untuk menahan diri dari maksiat, dan kesabaran dalam menghadapi musibah. Bagaimana hubungan antara ketiga jenis kesabaran ini?[1]

 

Jawaban: Seperti halnya para tokoh agama dan dakwah pada masa lalu yang berjuang membimbing umat manusia menuju kedalaman hati dan keluasan rohani, Ustaz Badiuzzaman Said Nursi dalam karya-karyanya juga menaruh perhatian besar pada beragam jenis kesabaran. Bisa dikatakan bahwa pada ketiga jenis kesabaran ini terdapat hubungan yang erat dan saling terkait. Sekarang, mari kita coba pahami garis besar hubungan di antara ketiganya:

 

Konsistensi dalam Ibadah Menjaga Manusia Supaya Tidak Jatuh ke Dalam Dosa

Menjalankan ibadah dengan sempurna, tanpa cacat dan cela, serta melakukannya secara konsisten dan terus-menerus, memerlukan kesabaran yang sungguh besar. Sebab, mempertahankan pengamalan suatu ibadah semenjak kali pertama hingga akhir hayat tanpa terputus bukanlah hal yang mudah bagi manusia. Namun, justru melalui kesabaran inilah seseorang dapat meraih cinta Allah. Rasulullah bersabda dalam sebuah hadis:

 

أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

 

"Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang amal dikerjakan secara terus-menerus meskipun sedikit." (HR. Bukhari, Riqâq 18; Muslim, Salâtul-Musâfirîn 216–218)

 

Konsistensi seseorang dalam menunaikan ibadah-ibadah fardu yang telah Allah wajibkan saja tanpa memperhitungkan penunaian ibadah-ibadah sunah sekalipun sudah menunjukkan kualitas penghambaan yang sangat mulia. Maka dari itu, sabar dalam menjalankan ibadah seperti yang disebut oleh Badiuzzaman Said Nursi sebagai “tahapan untuk meningkatkan derajat hingga ke maqam mahbubiyyah (derajat mencintai Allah)” menunjukkan betapa besar nilai ibadah yang dilakukan secara sabar dan konsisten di hadapan Allah.

 

Apabila seseorang mampu menjaga salatnya, puasanya, zakatnya, dan ibadah lainnya tanpa terputus sejak usia tujuh atau delapan tahun hingga tiba akhir hayatnya, maka sesungguhnya ia telah menunjukkan bentuk penghambaan yang luar biasa demi meraih keridaan Ilahi. Orang yang begitu terikat pada ibadah akan memperoleh perlindungan berkat ibadah-ibadahnya itu. Salatnya, puasanya, zakatnya, dan amal lainnya akan berperan sebagai perisai yang melindunginya dari jeratan dosa-dosa besar.

 

Sebagai contoh, kita melihat di zaman sekarang ada orang-orang yang menjadikan malam atau hari tertentu sebagai alasan untuk mengonsumsi minuman berbahaya secara berlebihan. Beberapa dari mereka bahkan mengonsumsinya sampai kehilangan kesadaran yang membuatnya menjadi budak hawa nafsu sehingga akhirnya menghancurkan kehidupan dunia dan akhirat mereka. Sekarang bayangkan seseorang yang tak pernah meninggalkan ibadah. Saat malam seperti itu tiba, ia akan tetap berangkat ke masjid untuk beribadah. Setelah keluar dari masjid, kecil kemungkinan baginya untuk tergoda melakukan perbuatan maksiat besar yang jelas-jelas dilarang agama meskipun terdapat tekanan atau ajakan dari lingkungan sekitarnya. Sebab, salat yang ia kerjakan dan zikir yang ia baca telah menjadi benteng pelindung yang menjaga langkah hidupnya supaya tetap lurus dan selamat, berkat izin dan pertolongan dari Allah. Ia seperti seorang pengemudi yang selamat dari bahaya lalu lintas karena tetap melaju pada jalurnya. Sebagai tambahan, bisa kita katakan bahwa sebagaimana air mengalir dapat mengikis dan melubangi batu marmer, begitu pula konsistensi dalam ibadah perlahan-lahan akan melunturkan kecenderungan jiwa terhadap dosa.

 

Ibadah adalah Penjaga Keistikamahan dalam Berpikir

Ketika seseorang menjalankan ibadah dengan penuh kesungguhan, hal itu bukan hanya membuat dirinya dekat dengan Allah, tetapi juga membantu dirinya bersikap tepat ketika menghadapi berbagai ujian, kesulitan, atau musibah. Ibadah dan ketaatan yang dikerjakannya akan selalu mengingatkan manusia kepada kemuliaan rida ilahi serta ketentuan qada dan qadar-Nya. Oleh karena itu, seorang mukmin yang tenggelam dalam kesulitan akan tetap istikamah dalam berpikir. Insya Allah ia tidak mudah mengeluh, tidak lekas menyalahkan takdir, dan tidak goyah keimanannya. Sebaliknya, karena ia memiliki hubungan yang sangat kuat dengan Rabb-nya, ia akan berpikir, “Semua ini datang dari Zat yang selama ini menjadi tujuan ibadahku di mana aku selalu tunduk dan berserah diri di hadapan-Nya.” Dengan cara pandang seperti itu, ia pun menerima takdir dengan lapang dada. Bahkan ketika orang lain terguncang atau bahkan tumbang, ia akan tetap berada di ufuk keridaan sambil terus berkata:

 

“Apa pun yang datang dari-Mu adalah indah bagiku,

Apakah itu pakaian kehormatan atau pun kain kafan,

Entah itu Mawar yang harum atau duri yang tajam,

Engkau memberi nikmat maupun ujian, bagiku keduanya sama-sama menawan.”

 

Ya, ibadah dan penghambaan yang tulus kepada Allah, Tuhan Yang Mahabenar dan Mahapantas Disembah dapat menjadi semacam “rumah konservasi” yang melindungi jiwa manusia. Ia menarik kembali manusia agar tetap lurus dalam berpikir saat berhadapan dengan bala dan musibah. Jika semua hal tersebut kita perhatikan, jelas terlihat bahwa berbagai bentuk kesabaran dalam hidup memiliki hubungan yang sangat erat satu sama lain.

 

Di sisi lain, dapat pula dikatakan bahwa sabar itu memiliki beberapa tingkatan dari segi level kesulitannya. Sedangkan mempertahankan konsistensi ibadah tanpa cela sepanjang hidup bukanlah perkara mudah. Maka, barangsiapa mampu melewati kesulitan nantinya akan lebih mudah menghadapi bentuk-bentuk kesabaran lainnya. Seseorang yang pernah berhasil menyeberangi lautan darah dan nestapa ketika nantinya dihadang oleh sebuah sungai maka ia akan sanggup menyeberanginya tanpa banyak kesulitan, insya Allah. Dengan demikian, bentuk-bentuk sabar yang berhasil ditunjukkan di awal perjalanan hidup nantinya akan mempermudah dan menguatkan seseorang dalam menghadapi bentuk kesabaran berikutnya.



Pertanyaan: Apakah di luar tiga jenis sabar itu masih ada bentuk-bentuk kesabaran lain?

Jawaban: Jenis-jenis sabar yang dijelaskan oleh Badiüzzaman sebenarnya masih dapat kita perluas. Misalnya, sabar menghadapi berkecamuknya waktu di mana tidak ada lagi ikhtiar yang bisa dilakukan selain menunggu waktu saat jalan keluar tiba. Anda misalnya bisa saja membayangkan bila suatu saat nanti semua orang akan beriman; atau Anda ingin supaya gelombang kasih sayang dapat memenuhi hati setiap manusia; atau ingin kedamaian dan ketenteraman menyelimuti semua pelosok bumil atau ingin agar setiap orang bisa saling berangkulan tanpa memandang perbedaan di mana segala bentuk fanatisme kesukuan hilang dari kehidupan masyarakat; dan Anda pun bekerja keras tanpa henti demi diraihnya cita-cita ini. Namun, harus disadari bahwasanya terwujudnya semua keindahan tersebut membutuhkan penanganan dari akarnya melalui pembinaan generasi baru. Tak ada keraguan bahwasanya usaha tersebut memerlukan waktu setidaknya satu generasi lamanya. Ia bisa berlangsung seperempat atau bahkan setengah abad. Upaya sebesar ini tidak mungkin dilakukan oleh jiwa-jiwa yang tergesa-gesa. Sebagaimana ungkapan seorang penyair: orang yang terlalu terburu-buru justru membuat langkahnya sendiri terhalang; sedangkan mereka yang berjalan perlahan dengan penuh ketenangan akan sampai di tujuan.

 

Di sisi lain, ketika terdapat seseorang yang memegang tampuk kepemimpinan dan memiliki kekuatan besar di tangan sering muncul anggapan bahwa mereka bisa segera mengubah warna, bentuk, karakter, bahkan dialek masyarakat secara cepat. Lalu berdasarkan cara pandang sempit tersebut mereka pun mencoba menata ulang masyarakat. Padahal, bila persoalan tidak dibenahi dari akarnya, bila kemerdekaan berpendapat dan bersikap masyarakat tidak dihormati, jika kesabaran untuk menciptakan suasana yang baik tidak dimiliki dan semua dilakukan dengan tergesa-gesa, tanpa disadari mereka justru akan menempatkan waktu dan peristiwa sebagai lawan dari diri mereka sendiri. Bahkan untuk hal-hal yang pada awalnya dianggap sebagai keberhasilan sekalipun tiba-tiba dapat runtuh seketika seperti halnya bangunan yang rapuh karena ternyata dibangun tanpa pondasi. Itu karena sikap tergesa-gesa dan pendekatan yang memaksakan kehendak selalu bertentangan dengan proses perkembangan manusia dan masyarakat. Maka dari itu, siapa pun yang ingin menghadirkan iklim damai dan penuh kasih baik bagi bangsanya sendiri maupun untuk seluruh umat manusia, ia harus siap dengan kenyataan ini: meskipun Anda bekerja hingga melampaui batas kemampuan, bisa jadi Anda tidak akan melihat hasil dari masa depan yang Anda cita-citakan. Mungkin kerja keras Anda baru bisa dinikmati oleh generasi setelah Anda. Oleh karena itu, prinsip “tugas kita hanyalah menunaikan kewajiban, sementara hasilnya adalah hak prerogatif Tuhan” seharusnya menjadi disiplin hidup yang terus kita jaga.

 

Bentuk sabar lainnya adalah kesabaran menghadapi daya tarik dunia. Meskipun tampak mubah, pesona dunia sering kali menyilaukan. Ketika dunia memanggil kita dengan kemilaunya yang menggoda, kemampuan untuk tetap tegar dan tidak terpengaruh oleh daya tariknya membutuhkan kesabaran yang tidak mudah. Badiuzzaman pernah menceritakan kisah seseorang yang berkata “seakan-akan saya sudah memakannya.” Maksudnya, ketika ia menginginkan makanan atau minuman tertentu, ia menahan diri, menabung uang yang semestinya digunakan untuk itu, dan pada akhirnya berhasil membangun sebuah masjid dari tabungan tersebut.[2]

 

Di atas semua itu, ada jenis kesabaran yang lebih tinggi: yaitu kesabaran para kekasih Tuhan (muqarrabin) yang merindukan perjumpaan dengan jamaliyatul kamil Ilahi dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Mereka bersabar untuk terus hidup di dunia sambil menanti datangnya kematian meski jiwa mereka terbakar oleh kerinduan itu. Salah satu tokoh besar pada jalan ini yaitu Maulana Jalaluddin Rumi mengisahkannya sebagai berikut, “Sine hâhem şerha şerha ez firak; tâbe-gûyem şerh-i derd-i iştiyak!”“ yang artinya “Aku menginginkan hati yang tercabik-cabik karena perpisahan supaya bisa kuceritakan rasa rindu yang meluap-luap ini.” Artinya, hanya orang yang pernah terluka oleh rindulah yang bisa memahami rindu; kepada orang yang tidak mengerti rasa itu, Anda tak akan bisa menjelaskannya. Pada dasarnya, Rumi mengatakan bahwa sebagai manusia, ia adalah anak dari surga yang telah hilang. Ia juga mengatakan bahwa dirinya hanyalah seorang hamba yang berasal dari hadirat Allah yang kemudian ‘dilemparkan’ ke dunia ini dalam keadaan serba terbatas dan tak berdaya. Ia senantiasa merindukan datangnya waktu kepulangan dan menyebut hari wafatnya sebagai “malam pengantin.” Namun, meskipun terbakar rindu dan ingin segera kembali kepada Sang Kekasih, ia tidak pernah berdoa meminta kematian. Ia menggunakan kehendaknya secara lurus dan bersabar menghadapi kerinduan itu. Ia bersabar menunggu datangnya waktu yang telah ditetapkan Tuhan.

 

Dialah yang mengirim kita ke dunia ini. Oleh karena itu, perintah Tuhan lebih tinggi derajatnya bahkan dari cinta itu sendiri. Walaupun cinta dapat membuat manusia kehilangan kendali, meminta untuk pulang sebelum dipanggil adalah bentuk ketidaksopanan kepada-Nya. Sebagaimana Dia-lah Zat yang menugaskan kita untuk menjadi “tentara-Nya” di dunia, Dia pula yang akan menentukan kapan kita selesai bertugas. Untuk itu, tugas kita adalah bertahan, bersabar, dan tetap teguh sampai waktunya tiba. Inilah bentuk kesabaran yang harus ditunjukkan di hadapan cinta dan kerinduan. Namun, kesabaran seperti ini hanya dimiliki oleh mereka yang benar-benar beriman, yaitu sosok yang imannya meresap mendalam di dalam makrifat. Tingkatan itu adalah derajat sosok-sosok agung yang berkat kedalaman makrifatnya kemudian terbang ke level mahabbah, dan dari level mahabbah itu dia terbang lagi ke level asyq dan isytiyak (kerinduan dan hasrat spiritual yang sangat mendalam). Sungguh derajat itu benar-benar berada di luar kemampuan kita. .

 

 

 

[1] Diterjemahkan dari artikel: https://fgulen.com/tr/eserleri/kirik-testi/sabir-cesitleri-arasindaki-munasebet

  

[2]  Baca lebih jauh kisah tentang Masjid Sanki Yedim

 

 

 

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2025 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.