
Buah dari Iman dan Harapan
Pertanyaan: Beberapa peristiwa pedih yang terjadi akhir-akhir ini terkadang membuat hati orang-orang beriman melihat masa depan penuh dengan kegelapan yang akhirnya menyebabkan mereka jatuh putus asa. Bagaimana seharusnya kita memandang masa depan? Apa harapan kita pada masa depan?[1]
Jawaban: Oleh karena masa depan secara mutlak hanya diketahui oleh Allah subhanahu wa ta’ala, maka setiap prediksi yang akan dibahas berikut ini sejatinya tak lebih dari ungkapan perasaan pribadi dan penilaian yang bersifat subjektif. Seorang mukmin tidak seharusnya terlibat dalam klaim-klaim yang mengarah pada ramalan ataupun terawangan. Oleh karena itu, meskipun kita membuat analisis atau penafsiran tentang masa depan dengan menjadikan berbagai peristiwa yang terjadi pada masa lalu maupun masa kini sebagai rujukan, hal itu tetap saja tidak bisa dianggap sebagai informasi yang pasti dan objektif. Maka dari itu, penting bagi kita untuk menyadari pertimbangan ini terlebih dahulu.
Setelah pengingat singkat ini, perlu saya sampaikan bahwa saya tidak pernah memandang masa depan Turki ataupun gerakan Hizmet berada dalam kegelapan. Bahkan di masa-masa ketika baru ada tiga atau lima orang yang mempercayai visi ini sekalipun, saya tetap menjaga supaya harapan itu tetap hidup. Memang, ada kalanya situasi menjadi gaduh. Goncangan bisa saja terjadi. Orang-orang beriman yang tulus bisa saja menjadi korban perlakuan zalim dari sebagian penguasa yang despotik. Mereka bisa tergilas oleh roda kezaliman. Namun, meminjam ungkapan dari Mehmet Akif, bila kita beriman kepada Allah, bersungguh-sungguh dalam berusaha, dan berserah diri kepada hikmah kebijaksanaan-Nya, maka tidak ada alasan untuk merasa cemas ataupun terjerumus ke dalam keputusasaan.[2] Sebab, ketika kita mulai cemas, takut, dan kehilangan harapan, maka hal itu akan menimbulkan kepanikan pada orang-orang yang berjalan bersama kita. Mereka bisa kehilangan fokus, pikirannya tercerai-berai, dan mulai dilanda keraguan. Dari situlah biasanya kemunduran dan perpecahan bermula.
Niat dan Tujuan yang Benar
Bagi seorang mukmin, hal yang paling penting adalah memastikan jalan yang ditempuh dan tujuan yang ingin dicapai sudah benar. Jika niat dan tujuan Anda adalah berusaha memperkenalkan Allah Yang Mahasuci kepada seluruh dunia dengan cara yang benar, berikhtiar menegakkan perdamaian dan ketenteraman di seluruh penjuru bumi melalui pendidikan dan sikap saling menghargai, serta menjadikan semua pengabdian dilakukan semata-mata demi meraih rida Allah, itu artinya Anda sudah berada di jalan yang benar. Inilah jalan yang akan menghantarkan manusia menuju surga, menuju keridaan dan kasih sayang-Nya. Hal-hal di luar itu tidak seharusnya terlalu mengganggu pikiran Anda. Sebab, apabila sejak awal Anda telah memulainya dengan niat, tujuan, dan upaya yang tulus tersebut, sebenarnya Anda telah meraih kemenangan. Adapun terwujud atau tidaknya cita-cita besar tersebut, serta berbuah atau tidaknya segala upaya yang dilakukan, itu adalah urusan yang sepenuhnya menjadi wewenang Allah.
Terkadang Allah Yang Mahatinggi menganugerahkan keberhasilan besar bagi upaya yang dilakukan di jalan meninggikan kalimat-Nya (Li i'lai kalimatillah). Namun, terkadang dikarenakan hikmah-hikmah yang tak kita pahami, hasil dari pengabdian yang dilakukan tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Dalam situasi pertama, betapa kelirunya seorang mukmin jika menganggap keberhasilan itu berasal dari dirinya sendiri. Begitu pula dalam situasi kedua, sama kelirunya jika ia terjatuh dalam rasa putus asa dan pesimisme. Sebab, tugas kita hanyalah berpegang pada ikhtiar untuk mewujudkan cita-cita mulia itu. Adapun menciptakan hasilnya adalah wewenang Allah semata.
Sebagaimana disampaikan oleh Badiuzzaman, putus asa adalah penghalang besar bagi tercapainya tujuan-tujuan luhur.[3] Mehmet Akif pun menggambarkan betapa buruknya penyakit putus asa lewat bait puisinya:
Putus asa itu laksana rawa, sekali terjerumus engkau akan tenggelam.
Genggam eratlah harapan, dan lihatlah apa yang akan terjadi.
Mereka yang benar-benar hidup adalah yang hidup dengan tekad dan harapan.
Sedangkan orang yang putus asa terbelenggu jiwa dan nuraninya.
Karena itu, memandang masa depan dengan suram bisa membuat masa depan itu benar-benar suram dan menutup jalan menuju kesempurnaan.
Kita meyakini bahwa di hadapan kita terdapat masa depan yang cerah sebagaimana hal tersebut dijadikan sebagai kabar gembira oleh banyak ayat dan hadis. Segala bencana dan cobaan hanyalah badai sementara yang akan mengantarkan kita menuju masa depan yang cemerlang. Sekalipun bumi dipenuhi fitnah Ya’juj dan Ma’juj, meski semua porak-poranda dan tak ada yang tersisa, kita tetap harus yakin nanti akan datang masa perbaikan dan pemulihan, semuanya atas izin dan pertolongan Allah. Iman dan harapan semacam ini adalah sumber kekuatan yang sangat penting agar kita tetap tegak berdiri, terus melangkah di jalan ini, dan meraih rida ilahi.
Seperti dikisahkan, ketika Fathul Mekkah terjadi, Abu Sufyan memandang keadaan para sahabat pada hari itu lalu membandingkannya dengan masa-masa awal perjuangan Rasulullah. Ia kagum mengingat dakwah ini dulunya diawali dengan seorang perempuan (Sayidah Khadijah), seorang anak (Sayidina Ali), dan seorang budak (Sayidina Zaid bin Haritsah). Ya, Rasulullah ﷺ bersama segelintir sahabat miskin dan lemah sukses meraih keberhasilan yang luar biasa dalam waktu singkat. Dari sisi sebab, tidak diragukan lagi bahwasanya kekuatan utama di balik keberhasilan itu adalah iman, harapan, tekad, dan keteguhan. Mereka sangat yakin pada jalan yang ditempuh, tidak pernah kehilangan harapan di tengah cobaan, tidak pernah berhenti melangkah di jalan kebenaran, memanfaatkan setiap peluang untuk menyampaikan dakwah, dan senantiasa hidup dalam semangat loyalitas kepada cita-cita mereka. Akhirnya, Allah pun tidak mengecewakan mereka.
Para pejalan di jalan kenabian akan selalu berisiko menghadapi cobaan dan musibah. Mereka bisa terhimpit di bawah tekanan dan kezaliman para tiran yang hanya memikirkan diri dan kepentingannya sendiri. Namun, pasukan mekanis, pesawat tempur, meriam, atau peluru mereka, di hadapan sumber kekuatan yang diandalkan para pejuang dakwah, hanyalah hal yang remeh. Serangan dan agresi dari luar hampir mustahil bisa menghentikan orang-orang yang telah mengikat hati pada jalan ini. Syaratnya, terjaganya harmoni dalam persaudaraan, hidupnya semangat persatuan dan kebersamaan, serta tidak adanya perpecahan internal. Jika masih ada yang patut kita khawatirkan, maka ia bukanlah serangan dari luar, melainkan potensi keretakan dari dalam persatuan masyarakat kita sendiri.
Dikisahkan bahwa Badiuzzaman pernah berkata kurang lebih seperti ini: "Kalau ada yang berkata kepadaku, ‘Rusia datang menyerang dengan pasukan mekanisnya,’ aku akan duduk santai sambil berkata kepada Zübeyir, ‘Buatkan aku secangkir kopi.’ Namun, jika ada yang berkata, ‘Di antara kawan-kawan kita mulai muncul keretakan dan perpecahan,’ maka saat itulah aku akan menutup diri di kamar dan menangis.”
Dari sudut pandang ini, jika kita perlu merasa khawatir, maka yang paling patut dikhawatirkan adalah hilangnya level keistikamahan. Kita perlu terus bertanya kepada diri sendiri, “Apakah kita sudah menunjukkan kinerja yang sesuai dengan posisi kita? Apakah kita sudah benar-benar memiliki semangat pengorbanan dan pengabdian yang tulus demi pengabdian agama seperti yang diharapkan?” Kita harus melakukan evaluasi diri. Jika ada kekurangan, mari segera perbaiki. Inilah hal utama yang perlu menjadi perhatian kita. Selain hal tersebut, segala peristiwa pahit lainnya hanyalah sementara, tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Namun, jika “serigala” sudah masuk ke dalam tubuh, mengoyak pembuluh darah, dan menghisap darah dari dalam diri kita maka saat itulah kita pantas duduk dan menangis, na‘udzubillāh summa na‘ūdzubillāh.
Sayangnya, terkadang kita justru melupakan fokus utama dan terlalu larut dalam urusan yang sedang “trending”dibicarakan sehingga terjebak dalam perkara-perkara harian yang menyita perhatian. Akibatnya, fokus pun menjadi acak-acakan. Padahal, Badiuzzaman berkata: “Kita hanya punya dua tangan. Kalau pun kita punya seratus tangan, semua tangan itu hanya cukup untuk menggenggam cahaya” (Badiüzzaman, Al-Lamaat, hlm. 199).[4] Karena itu, tugas kalbu yang beriman adalah memusatkan seluruh tenaga dan perhatian pada pengabdian agama yang harus dijalankan tanpa membiarkan adanya kelalaian dan kelengahan. Sebab, sebagaimana saat ini kita kesulitan menutup kekosongan yang timbul akibat kekurangan dan kealpaan generasi sebelum kita, generasi setelah kita pun akan mengalami kesulitan mengisi kekosongan jika kita meninggalkannya. Bahkan, mereka bisa saja berkata, “Semoga Allah membalas apa yang pantas didapat oleh leluhur kami!”
Sebaliknya, jika kita ingin dikenang dengan baik dan didoakan dengan doa-doa penuh rahmat oleh generasi mendatang, maka langkahnya adalah dengan menunaikan tugas kita hari ini dengan sempurna tanpa cela. Bila kita bisa melakukannya, mereka akan berkata, “Dengan segala keterbatasan, mereka tetap berjuang tanpa henti. Semoga Allah meridai mereka!”
Kita harus meyakini sepenuhnya bahwa jika kita terus melangkah dengan iman yang kokoh dan harapan yang teguh serta menunaikan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawab kita dengan sebaik-baiknya, sesungguhnya Allah tidak akan meninggalkan hamba-hamba-Nya yang beriman. Sebab, Dia telah berfirman dalam Kitab-Nya: وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ “Janganlah kamu (merasa) lemah dan jangan (pula) bersedih hati, padahal kamu paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang mukmin..” (QS. Ali ‘Imran [3]: 139). Sebagaimana ditegaskan dalam ayat tersebut, orang-orang yang beriman kepada Allah sejatinya sedari awal sudah memiliki kedudukan yang tinggi. Apabila mereka yang telah memiliki potensi kemuliaan ini terus menjaga tekad dan keteguhan hatinya, keunggulan itu pada akhirnya akan dapat diraih.
Demikian pula, ketika Rasulullah ﷺ berlindung di Gua Tsur, beliau berkata kepada Sayidina Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu: لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا “Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” (QS. At-Taubah [9]: 40). Karena itu, jika Allah bersama kita, tidak ada alasan untuk diliputi kesedihan atau kekhawatiran. Yang terpenting adalah hati, pikiran, kesadaran, dan penerimaan kita senantiasa berada dalam bingkai kebersamaan dengan-Nya. Apabila hal ini dapat terwujud, maka Allah ﷻ akan membalas dengan perhatian-Nya; Dia tidak akan membiarkan kita sendirian dan akan menyertai kita dengan limpahan kasih sayang-Nya.
Tidak Berprasangka Buruk kepada Allah
Setiap orang hendaknya memandang dan menilai musibah atau ujian yang menimpanya terlebih dahulu dari sisi dirinya sendiri, lalu dari lingkup tanggung jawab yang diembannya. Ia perlu mampu berkata dalam hati: “Jika sekarang kita terguncang, tergoyahkan, dan diguncang hebat, ini pasti karena kesalahan kita sendiri. Mungkin saja dalam hubungan kita dengan Allah, kita telah berbuat salah dan lalai.” Cara pandang seperti ini sangat penting agar kita tetap memiliki prasangka baik kepada Allah. Sebab kita tahu dengan pasti bahwa Allah ﷻ sama sekali tidak akan menzalimi hamba-Nya walau hanya sebesar zarrah sekalipun.
Selain itu, ketika menilai suatu peristiwa penting sekali untuk memiliki sudut pandang yang benar, melihatnya secara utuh hingga ke bagian latar belakangnya. Terkadang, peristiwa yang tampak buruk bagi kita justru mengandung banyak kebaikan. Boleh jadi Allah menjadikannya sebagai penghapus dosa (kaffaratuz-zunub) yang membersihkan kita dari noda maksiat; atau dengan guncangan itu Dia membuat mata hati kita terbuka sehingga kita dapat melihat kebenaran dengan lebih jelas; atau membimbing kita menuju tauhid yang murni; atau mendorong kita untuk menyempurnakan perhatian dan ketergantungan kita hanya kepada-Nya.
Untuk membangunkan orang yang sedang tersesat atau lalai, terkadang Allah ﷻ menyentuhnya dengan ujung jarum; jika itu belum cukup, dengan ujung peniti; jika masih tak mempan, dengan ujung tombak; bahkan terkadang Dia bisa menimpakan hal yang jauh lebih berat lagi. Semua ini sesungguhnya adalah “tamparan kasih sayang” dari-Nya. Jika kita hanya menilai peristiwa ini dari sisi lahiriahnya, kita mungkin mengira bahwa semua “tamparan” tadi merugikan kita. Padahal Allah menggunakannya untuk membuka mata dan menyelamatkan kita dari kebinasaan akhirat.
Lebih jauh lagi, Allah kadang mengguncang orang-orang beriman yang mulai terlena, melupakan pengorbanan yang pernah diikrarkan, tergoda oleh dunia, atau sibuk mengejar kepentingan pribadi. Dia menimpakan ujian yang secara lahiriah tampak pahit, untuk mengembalikan mereka pada tugas utama yang telah diamanahkan. Semua ini sejatinya adalah peringatan bagi mereka yang mulai kehilangan arah dalam kehidupan hati dan rohaninya. Karena itu, seorang mukmin perlu memandang segala bencana alam seperti gempa, badai, banjir, atau kekeringan, maupun kezaliman dan pengkhianatan dari orang-orang yang diliputi kebencian, sebagai peringatan dari Allah sekaligus berusaha mengambil pelajaran darinya.
Pada hakikatnya, jika Allah membersihkan kesalahan dan dosa orang-orang beriman di dunia ini melalui musibah dan tidak menunda penebusannya di akhirat maka itu adalah suatu nikmat besar. Oleh sebab itu, yang sepatutnya dilakukan oleh orang beriman adalah memandang peringatan ini sebagai bentuk perhatian dan karunia lalu berusaha memperbaiki diri serta membenahi sikap dan perilakunya. Mereka seharusnya berpikir: “Kita sebelumnya terjerumus ke dalam lumpur. Syukurlah, Sang Pembimbing dan Pendidik subhanahu wa ta’ala kemudian memegang telinga kita, menarik kita keluar dari lumpur itu, dan mengingatkan agar kita tidak kembali ke sana lagi.”
Rasulullah ﷺ bersabda: عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ Sungguh menakjubkan urusan orang mukmin! Sesungguhnya semua urusannya adalah kebaikan, dan keadaan itu tidak dimiliki kecuali oleh orang mukmin. Jika ia mendapatkan sesuatu yang menyenangkan dan bersyukur, maka itu menjadi kebaikan baginya; jika ia ditimpa kesusahan dan bersabar, maka itu pun menjadi kebaikan baginya. (HR. Muslim, Kitab Zuhd, No. 64).
Dengan demikian, baik saat meraih keberhasilan maupun tertimpa kesulitan, seorang mukmin tetap berkesempatan meraih keuntungan dan kebaikan. Tidak ada kerugian baginya. Satu-satunya syarat untuk itu adalah tetap menjaga sikap sebagai seorang mukmin di hadapan Allah dan dalam menghadapi segala peristiwa. Yang sejatinya rugi adalah mereka yang berada dalam kesesatan, kemunafikan, kekufuran, dan kezaliman. Walaupun mereka mungkin terbuai oleh keberhasilan semu di dunia atau meraih kekuasaan melalui tipu daya, tetapi di dunia mereka tidak akan lepas dari kegelisahan, dan di akhirat mereka akan menanggung kerugian yang jauh lebih besar.
[1] Diterjemahkan dari artikel: https://fgulen.com/tr/eserleri/istikamet-cizgisi/iman-ve-umidin-kazandirdiklari
[2] “Allah’a dayan, sa’ye sarıl, hikmete râm ol —
Yol varsa budur, bilmiyorum başka çıkar yol.” (Safahat, VIII. Kitap, sayfa 390). Terjemahannya: Bersandarlah kepada Allah, berpeganglah pada kerja keras, dan tunduklah pada hikmah —
Jika ada jalan, inilah jalan itu; aku tak tahu bila ada jalan keluar yang lain.
[3] Putus asa adalah “kanker” paling berbahaya bagi umat dan bangsa. Ia menghalangi kesempurnaan dan bertentangan dengan sabda Nabi ﷺ: “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku.” Putus asa adalah sifat pengecut, rendah, dan lemah, ia adalah alasan bagi orang-orang yang tidak berani. Ia bukanlah sifat yang pantas bagi kemuliaan Islam, apalagi bagi bangsa Arab yang terkenal di antara umat manusia sebagai bangsa dengan sifat-sifat luhur yang membanggakan. Seluruh bangsa di dunia Islam telah belajar keteguhan dari bangsa Arab. Insya Allah, bangsa Arab akan kembali meninggalkan putus asa dan, bersama-sama dengan bangsa Turki yang merupakan pasukan tangguh Islam, akan menjalin solidaritas dan persatuan sejati, lalu bergandengan tangan untuk mengibarkan panji Al-Qur’an ke seluruh penjuru dunia.
(Selengkapnya baca di Khutbah Syamiyah:
https://sorularlarisale.com/risale-i-nur-kulliyati/hutbe-i-samiye/21)
[4] Teks lengkapnya sebagai berikut: “Selain itu, orang lemah sepertiku tak mungkin mempergunakan cahaya dan “pentung” sekaligus. Karenanya, aku hanya bisa berpegang pada cahaya (jalan dakwah) sekuat tenaga dan harus berpaling dari pentung politik dalam bentuk apa pun. Adapun jihad fisik tidak serta-merta bergantung pada kami. Memang benar bahwa pentung (kekerasan) harus dipakai ketika orang kafir atau orang yang murtad sudah bertindak melampaui batas. Namun, kami hanya memiliki dua tangan. Bahkan seandainya kami memiliki seratus tangan, hal itu
hanya cukup untuk cahaya. Kami tak mempunyai tangan lain untuk memegang pentung.” [Al Lamaat terbitan Risalah Nur Press hlm. 199).
- Dibuat oleh