Standar Hidup
Di televisi, beberapa kali ada berita membahas tentang biaya hidup bulanan yang standar untuk keluarga beranggotakan empat orang. Saya tidak tahu pasti ukuran apa yang dijadikan patokan, tetapi melihat nominal yang disebutkan, rasanya kebanyakan orang di negeri kita sulit untuk mencapai standar itu. Yang lebih mengkhawatirkan, angka-angka seperti itu terus diulang tanpa memperhatikan cara penyampaiannya. Akibatnya, orang bisa terdorong untuk menjadi kurang bersyukur dan merasa hidupnya selalu kurang. Saya masih ingat, waktu kecil dulu, orang-orang sarapan hanya dengan yoghurt, tetapi mereka tetap cekatan bekerja di sawah, di kebun, atau di ladang. Percayalah, saya tidak melebih-lebihkan. Saya juga salah satu dari mereka. Saya sarapan dengan yoghurt, lalu seharian menggembalakan ternak. Saat itu sabun pun sulit didapat. Orang-orang mencuci pakaian dengan tanah liat. Beberapa waktu kemudian, banyak yang terserang wabah kutu. Ketika wabah pes datang, banyak orang meninggal dunia mulai dari anak-anak sampai orang tua. Saat itu, sebagian orang hanya makan sekali sehari. Keadaan saat itu sangat berat, semoga Allah tidak lagi memperlihatkan hari-hari seperti itu. Anehnya, orang-orang di masa itu tidak ada yang mengeluhkan nasibnya.[1]
Jadi, saya rasa kita telah berbuat kekeliruan. Berita-berita seperti ini atau pendekatan-pendekatan seperti ini mendorong masyarakat menjadi insan yang kurang bersyukur. Marilah hanya menyampaikan keluh kesah kita kepada Allah semata. Kita harus menemukan uslub baru dalam penyampaian berita. Berita yang disiarkan selain bukan kebohongan, ia juga harus menyampaikan fakta. Masyarakat harus diberi informasi yang benar. Masyarakat juga harus bersikap kanaah dan jauh dari kufur nikmat. Jika tidak, berapapun harta yang kita kumpulkan, dengan 2-3 miliar pun Anda tidak akan mampu memuaskan orang-orang.
Israf adalah penyakit yang secara ekonomi melumpuhkan sendi-sendi umat manusia. Ia seperti kanker yang menggerogoti tubuh secara perlahan. Beberapa waktu yang lalu, saya bertanya kepada teman-teman tentang berapa harga tisu yang biasa dipakai di kamar mandi. Mereka kemudian menyebutkan harganya. Masalah tidak terletak pada mahal atau murah harganya. Yang terpenting adalah jangan sampai tisu itu dipakai sembarangan dan terbuang sia-sia. Entah ini bisa dijadikan contoh atau tidak, tetapi sebagai contoh pelajaran saya merasa tidak ada masalah untuk menceritakannya: Ketika terpaksa menggunakan tisu, saya berusaha menggunakan satu lembar tisu hingga tiga sampai empat kali penggunaan. Pertama, untuk mengeringkan tangan dan wajah, lalu kaki, kemudian untuk membersihkan lantai kamar mandi. Baru setelah itu saya buang. Begitu juga dengan lampu, kalau tidak diperlukan, saya langsung mematikannya supaya tidak israf. Sayangnya, kepekaan seperti ini tidak selalu dapat temui. Gaya hidup kita mulai dari makanan, minuman, hingga pakaian, sayangnya sudah dikuasai oleh budaya israf dan berlebihan.
Mari perhatikan prinsip-prinsip yang disampaikan oleh Badiuzzaman Said Nursi dalam Risalah tentang Hidup Hemat. Di dalamnya tergambar dengan jelas bagaimana beliau menghadapi berbagai siksaan di penjara, penderitaan, kelaparan, dahaga, dan segala kesulitan itu dengan iman yang teguh, pandangan yang lurus ke akhirat, serta kerelaan terhadap takdir. Meski hidup dalam keadaan sesulit itu, sosok-sosok seperti beliau tetap berdiri tegak dengan penuh rasa syukur serta terus memuji dan memuliakan Allah. Saat ini, kita pun membutuhkan sosok-sosok yang berakal jernih, matang dengan baik, dan mampu mengungkapkan pikirannya dengan jelas tanpa tersendat. Orang-orang yang demikian perlu tampil di program-program televisi untuk membahas contoh-contoh baik dan menggambarkan berbagai nikmat yang telah Allah anugerahkan kepada kita. Mereka perlu menyadarkan masyarakat agar tidak terjerumus dalam sikap kufur nikmat dan agar kita semua memahami bahwa di hadapan semua karunia dan kasih sayang Allah seharusnya kita menampakkan ketundukan dan penghambaan yang sejati kepada-Nya.
Ada yang mengatakan bahwa saya menjalani pengasingan bertahun-tahun di Amerika. Namun, demi Allah, apakah keadaan saya tadi layak disebut pengasingan? Sesungguhnya, justru orang-orang yang berjalan di lorong ketidakberimananlah yang hidup dalam kesepian dan keterasingan sejati. Lihatlah Trotsky sebagai contoh. Bertahun-tahun ia tinggal di Meksiko, terisolasi di sebuah pondok kecil di belakang vila besar berpagar tinggi. Karena takut pada Stalin, ia bahkan tak berani keluar rumah. Namun lihatlah, takdir memiliki cara yang unik: tempat persembunyiannya akhirnya ditemukan dan nyawanya direnggut di sana.
Memang benar jika Allah sedang memberikan saya, Anda, dan kita semua pengalaman hidup di negeri asing, di tanah perantauan. Namun, keterasingan ini justru bisa menjadi jalan bagi kita untuk mendapatkan kedekatan dengan Allah di akhirat nanti. Maka, mengapa harus mengeluh? Bila berbicara tentang perasaan manusiawi seperti kerinduan pada tanah air, kampung halaman, keluarga, dan sahabat, itu adalah hal yang wajar, sangat manusiawi. Namun, di tengah kerinduan itu, jangan sampai kita mengabaikan nikmat dan karunia yang Allah limpahkan kepada kita tanpa henti. Sesungguhnya, kita belum pernah benar-benar merasakan arti kekurangan dalam makna yang sesungguhnya. Penderitaan yang dialami Badiuzzaman jauh melampaui apa pun yang pernah kita alami. Simaklah kata-katanya:
“Selama dua puluh delapan tahun, tak ada siksaan yang belum aku rasakan dan tak ada penderitaan yang belum aku alami. Dalam delapan puluh lebih tahun hidupku, aku tidak mengenal apa itu kenikmatan dunia.”
Ia menyampaikan fakta itu bukan untuk mengeluh, tetapi sekadar mencatat peristiwa hidupnya. Bahkan, beliau tetap berkata: “Huz mâ safâ da’ mâ keder, Ambil yang baik, tinggalkan yang buruk” yang artinya ia selalu memilih untuk melihat sisi baik dari segala sesuatu, misalnya melihat gelas dari perspektif setengah penuh, bukan setengah kosong.
Kesimpulannya: kita harus menyambut semua nikmat dan anugerah Allah dengan rasa syukur. Segala kemampuan dan kesempatan yang kita miliki harus diarahkan untuk memperkenalkan Allah, menumbuhkan kecintaan kepada-Nya, serja memuji dan menanamkan penghargaan terhadap kebesaran-Nya. Kita perlu membangkitkan rasa puas dan rida dalam segala keadaan, sakit maupun sehat, menderita maupun bahagia, kaya maupun miskin dalam diri setiap manusia. Intinya, bahkan dalam keluh kesah sekalipun seharusnya nada-nada syukur yang mengalun dari hati kita masih dapat terdengar .
Air Mata
Rasulullah ﷺ, sosok kebanggaan seluruh umat manusia, pernah bersabda: “Ada dua mata yang tidak akan tersentuh api neraka: yang pertama, mata yang meneteskan air mata karena rasa takut kepada Allah; yang kedua, mata yang tetap terjaga di perbatasan karena harus berjaga demi melindungi agama dan tanah air dari serangan musuh.” Menangis karena rasa takut kepada Allah bukan sekadar mengeluarkan air mata, tetapi mengalirkan getaran suci dari hati yang penuh ketulusan. Tempat yang sepi dan jauh dari pandangan orang lain lebih selamat bagi siapa pun yang ingin menangis dengan hati yang benar-benar jernih, tanpa riya dan sum’ah. Namun, kadang-kadang manusia tak mampu menahan luapan rasa yang memenuhi hatinya. Jika demikian, sebaiknya ia berusaha menahan diri dengan kehendaknya. Namun, bila tangis itu tetap mengalir tanpa bisa dibendung, maka biarkanlah ia mengalir apa adanya. Yang berbahaya adalah ketika seseorang berpura-pura menangis di mana ia menjadikan tangisnya sebagai sebuah peran atau pertunjukan. Tangisan yang dibuat-buat justru bisa “membunuh” kemurnian jiwa. Karena itulah Imam al-Ghazali mengingatkan: “Yang menangis bisa merugi, yang tidak menangis pun demikian.”
Sesungguhnya, kesetiaan sejati terletak dalam keheningan. Ia bagaikan sebuah toko besar yang dari luar tampak kecil, namun di dalamnya tersimpan kekayaan yang luas tak terhingga. Sedangkan air mata adalah etalase yang memperlihatkan isi toko itu. Jika isi toko itu penuh, maka etalasenya akan sama kayanya dan semewah itu pula. Namun, jika toko itu kosong melompong dan semuanya hanya sebatas etalase, maka nilainya pun hanya sebatas itu.
Rasulullah ﷺ juga bersabda: “Jika kalian tidak mampu menangis ketika membaca Al-Qur’an, maka paksalah diri kalian untuk menangis.”[2] Maksudnya, temukan dan ikutilah peristiwa-peristiwa yang dapat melembutkan hati, menggetarkan perasaan, dan mendorong diri untuk menangis. Ikutilah langkahnya sebagaimana disebut dalam hadis yaitu carilah jalan-jalan menuju tangisan.
Pada waktu yang sama, air mata juga merupakan tanda kesetiaan kepada sesuatu yang kita cintai dan yakini. Ia adalah bukti kejujuran hati, menjadi apa adanya, bukan sekadar terlihat seperti itu. Jika seseorang hanya berusaha tampak beriman tanpa benar-benar menjadi orang beriman, maka di situ terdapat kemunafikan. Sebab, kebalikan dari kesetiaan adalah kemunafikan. Oleh karena itu, dalam Surah At-Taubah, setelah Allah menjelaskan tentang orang-orang munafik yang enggan ikut dalam Perang Tabuk, Al-Qur’an menegaskan: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa, dan berkumpullah bersama orang-orang yang sadik.”
.
Semangat Kebersamaan dalam Tim
Dalam kerja tim, terkadang seseorang perlu menahan diri untuk tidak selalu menggunakan haknya secara penuh, meskipun itu adalah haknya yang sah. Seperti yang diungkapkan oleh Badiuzzaman Said Nursi, “Rasakanlah kebahagiaan ketika sesuatu dapat diinisiasi oleh orang lain.” Dengan semangat itu, bahkan dalam keadaan ketika kita merasa bisa melakukannya dengan lebih baik, kita tetap perlu memberi kesempatan tersebut kepada orang lain. Sikap seperti inilah yang menjadi salah satu pilar utama dari semangat kebersamaan. Ia juga merupakan eliksir penting supaya keikhlasan dan ketulusan hati tetap terjaga. Biarlah orang lain yang mengambil langkah terakhir dan mendapatkan penghargaan. Namun, kita perlu mengakui bahwa fitrah manusia cenderung ingin menyelesaikan pekerjaan sendiri. Karena itu, prinsip ini tidaklah mudah untuk dipraktikkan dalam kehidupan nyata.
Saya tidak terlalu paham teknik permainan sepak bola, tetapi kita bisa mengambil pelajaran darinya: Dalam satu pertandingan, seluruh tim memainkan perannya. Namun, di akhir pertandingan, hanya satu pemain yang menyentuh bola dengan ujung kakinya dan kemudian mencetak gol. Orang-orang kemudian hanya mengingat nama sang pencetak gol, mengangkatnya sebagai pahlawan kemenangan, dan wajahnya bermunculan di halaman utama surat kabar. Padahal, gol itu adalah hasil kerja seluruh tim. Jika rekan-rekan lainnya tidak menyiapkan posisi dan peluang, apakah sang penyerang akan bisa mencetak gol itu?
Menurut saya, begitulah seharusnya kita memandang persoalan ini. Untuk mengatasi perpecahan dan pertentangan di masa depan, semangat seperti inilah yang akan memegang peranan besar. Sebaliknya, cara berpikir seperti “Semua orang boleh masuk surga, tapi kuncinya harus di tanganku,” atau “Golnya harus saya yang cetak,” adalah penyakit berbahaya bagi jiwa kita. Biarlah kunci itu dipegang orang lain. Biarlah gol itu dicetak oleh yang lain. Mari kita jauhi penyakit hati seperti ini.
Kalau kita berkata, “Setiap orang memiliki harga diri dan kehormatan,” maka marilah kita arahkan rasa itu untuk membebaskan dunia Islam dari keterpurukan yang sedang dihadapinya. Karena kehormatan dan martabat kita bersama kini sedang diinjak-injak. Tidakkah sudah saatnya kita berkata, “Cukup sudah sampai di sini saja kita menanggung kehinaan ini!”? Maka marilah kita memilih jalan positif, merangkul semua orang dengan cinta dan kasih sayang, menyampaikan pesan-pesan suci kepada sesama, berkorban untuk menghidupkan orang lain, dan bertindak sesuai dengan tuntutan keadaan, bahkan jika itu berarti membiarkan langkah pamungkas diambil perannya oleh orang lain. Ya, keinginan untuk menyelesaikan suatu misi kemanusiaan oleh diri sendiri adalah bisikan setan.
Banyak ulama fikih menjelaskan bahwa berdiri di saf pertama di belakang imam adalah cara untuk memperoleh pahala terbesar. Namun, saya memahami hal ini sedikit berbeda. Yang utama sebenarnya adalah datang lebih awal ke masjid. Siapa pun yang datang lebih dahulu, dialah yang mendapatkan pahala lebih besar. Jadi, meskipun seseorang datang belakangan dan berhasil berdiri di saf pertama di belakang imam, tidak berarti Allah akan mengurangi pahala orang yang lebih dulu datang.
Bahkan ambisi mengejar pahala pun bisa menjerumuskan kita. Saya melihat cukup banyak orang yang terjebak dalam hal ini. Tentu tidak adil jika saya menggeneralisasi, tapi saya harus mengatakan bahwa banyak orang terperangkap dalam semangat beribadah yang berbalut ego pribadi. Saya ulangi sekali lagi: marilah kita mencari keridaan Ilahi dengan penuh keikhlasan dan ketulusan dan menautkan seluruh niat serta pertimbangan kita pada upaya meninggikan kalimat Allah, li i‘la i kalimatillah. Bekerjalah dengan penuh semangat, dengan seluruh tenaga, bahkan sampai hampir mati karena tekad dan keinginan yang kuat. Namun jangan pernah berkata, “Biarlah hanya aku yang menjadi penakluk Istanbul, hanya aku yang melewati garis finis kemenangan itu.” Sebab, pikiran dan dorongan seperti itu adalah bisikan setan.
Apa yang saya sampaikan tentang semangat kebersamaan dalam tim ini mungkin bersifat subjektif. Karena itu, ujilah semua dengan timbangan emas Al-Qur’an dan Sunnah. Jika sejalan dengannya, maka amalkanlah; tetapi jika tidak, carilah ukuran yang lebih objektif dan bertindaklah sesuai dengan kebenaran itu.
[1] Diterjemahkan dari artikel: https://fgulen.com/tr/eserleri/gurbet-ufuklari/gecim-standardi
[2] سنن ابن ماجه ١٣٢٧: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ بَشِيرِ بْنِ ذَكْوَانَ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا أَبُو رَافِعٍ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ السَّائِبِ قَالَ قَدِمَ عَلَيْنَا سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ وَقَدْ كُفَّ بَصَرُهُ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَقَالَ مَنْ أَنْتَ فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ مَرْحَبًا بِابْنِ أَخِي بَلَغَنِي أَنَّكَ حَسَنُ الصَّوْتِ بِالْقُرْآنِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ نَزَلَ بِحُزْنٍ فَإِذَا قَرَأْتُمُوهُ فَابْكُوا فَإِنْ لَمْ تَبْكُوا فَتَبَاكَوْا وَتَغَنَّوْا بِهِ فَمَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِهِ فَلَيْسَ مِنَّا
Sunan Ibnu Majah 1327: Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Ahmad bin Basyir bin Dzakwan Ad Dimasyqi berkata: telah menceritakan kepada kami Al Walid bin Muslim berkata: telah menceritakan kepada kami Abu Rafi' dari Ibnu Abu Mulaikah dari 'Abdurrahman bin As Sa`ib ia berkata: " Sa'd bin Abu Waqash datang menemui kami sementara matanya telah buta, maka aku pun mengucapkan salam kepadanya, ia berkata: "Siapa kamu?" maka aku pun kabarkan kepadanya (siapa kami). Ia pun berkata: "Selamat datang wahai anak saudaraku, telah sampai kepadaku bahwa suaramu bagus ketika membaca Al Qur`an. Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya Al Qur`an turun dengan kesedihan, jika kalian membacanya maka bacalah dengan menangis, jika kalian tidak bisa menangis maka berpura-puralah untuk menangis. Dan lagukanlah dalam membaca, barangsiapa tidak melagukannya maka ia bukan dari golongan kami. "
- Dibuat oleh